“Aku ingin pulang. Kapan aku boleh pulang?” gumam Sesil pagi itu di hari kelima. Memar-memarnya sudah menghilang, sakit di kakinya juga sudah menunjukkan perkembangan yang sangat baik, tapi Saga bersikeras tak membiarkannya pulang ke rumah.
“Sampai kakimu benar-benar sembuh,” tegas Saga.
“Dokter bilang itu akan sembuh dalam beberapa minggu. Aku tak mau menunggu selama itu dan tinggal di sini, Saga,” rajuk Sesil. “Itu bisa dilakukan di rumah.”
Saga akhirnya mengabulkan permohonan Sesil di usaha yang ke delapan. Denga syarat Sesil hanya boleh berbaring di ranjang. Tanpa melakukan apa pun.
“Memangnya apa yang bisa kulakukan dengan kakiku yang sakit,” yakin Sesil yang membuat Saga akhirnya mengangguk. Ya, meski itu juga tak akan menghalanginya untuk melakukan sesuatu jika Saga tak ada. Berbaring hanya membuat tulang-tulangnya kaku dan sulit digerakkan. Bahkan ia bisa berdiri dengan tegak di kamar man
Alec hanya diam. Matanya mengamati dari atas ke bawah pada tubuh Saga yang baru keluar dari kamar. Rambut basah, di siang hari seperti ini. “Sepertinya tidak lama lagi aku akan mendapatkan keponakan baru lagi,” gumam Alec. Saga tersenyum simpul. Alec masih belum terbiasa dengan senyum simpul yang tersungging di bibi Saga, tapi ia akan segera terbiasa. “Aku berharap kali ini keponakanku perempuan, Saga. Mungkin sikap pembangkang Sesil bisa menurun sedikit. Kei sangat membosankan dengan sikap penurutnya. Kenapa anak itu tak pernah membuat masalah?” “Apa kauingin mati?!” “Aku hanya mengungkapkan pendapatku.” Saga mengulurkan secarik kertas putih pada Alec. Mengingat tujuannya menyuruh pria itu datang kemari. “Pastikan dia sendiri yang menerima ini.” Alec mengambil kertas itu. Membuka lipatannya dan membacanya dengan kerutan di kedua alisn. Menatap Saga lagi penuh tanya. “Makam Rega?” “Berikan itu padanya.” Alec tercenung. Masih bertanya-tanya meski t
“Aku ingin ke rumah sakit,” ungkap Sesil setelah dokter mengatakan tak ada yang serius dengan gejala mual muntahnya dan meresepkan obat anti mual di selembar kertas putih.Dokter itu mengerutkan alisnya tak mengerti.“Aku ingin cek USG. Usianya sudah menginjak tepat delapan belas minggu hari ini, sudah cukup untuk mengetahui jenis kelaminnya.” Wajah Sesil berubah cerah. Menatap dokter itu dan Saga bergantian meminta persetujuan.“Tapi Anda butuh istirahat ....”“Kami akan ke rumah sakit, Dok,” sela Saga sebelum dokter itu melanjutkan kata-katanya. Apa pun untuk Sesil. “Sekalian menebus resep itu.”Sesil mengangguk mantap. “Bolehkah?” tanyanya pada sang dokter yang tampak ragu. Mual dan muntahnya memang menguras banyak tenaga dan ia harus beristirahat demi memulihkan tubuhnya. Tetapi, saat ini ia begitu bersemangat.Dokter itu menatap Saga yang duduk di pinggir ranjang. M
Saga Sesil 2 *** Darah itu merembes membasahi lantai. Mengalir di bawah telapak kakinya. Biasanya ia tahan dengan segala macam rasa sakit, tapi ketika darah itu seakan menusuk-nusuk kulit di bawah kakinya, siksaannya terasa tak tertahankan. Darah itu seakan meresap di antara sela-sela kulitnya. Mengalir bersama aliran darahnya menuju jantung. Di sanalah puncak siksaan yang dibawanya. Ia tak bisa bernapas. Ia butuh udara. “Kaakkkk ...” Saga menoleh. Di antara kegelapan, suara kesakitan seorang gadis yang tak kalah menyesakkannya semakin jelas. Dengan tubuhnya yang kurus dan rambut gelapnya yang lurus menutupi sebagian wajahnya. Berbaring di antara genangan darah. Matanya biru dan gelap, tampak sendu dan basah. Menahan kesakitan yang teramat. “Tolong aku, Kak.” Tangan Rega terangkat. Mencoba meraih ke arahnya. Tapi Saga tak bisa menggerakkan tubuhnya yang kaku. Sekuat apa pun ia memiliki keinginan untuk meraih tangan dan tubuh tak berdaya itu ke dalam pelukannya, tubuhnya membeku.
“Apa yang kaulamunkan?” Saga melingkarkan lengannya di pinggang Sesil sembari mengecup leher wanita itu. Sepanjang pagi, wanita itu tampak melamun dan lebih banyak diam. Memperhatikannya interaksinya dan Kei dengan reaksi seadanya. Menjawab pertanyaannya dan Kei sekenanya saja. Dan sekarang, wanita itu memandang bagian belakang mobil yang membawa Kei pergi ke sekolah dengan pandangan yang kosong. “Apa ada yang mengganggu pikiranmu?” Sesil hanya menggeleng pelan. Mengangkat wajahnya ke samping dan mencium pipi Saga. “Pagi ini kalian terlihat sangat akrab.” Saga mengangkat satu alisnya. Menyadari makna yang tersirat dalam kata kalian yang wanita itu ucapkan, menyiratkan kesedihan yang berusaha istrinya pendam. “Kalian?” “Kau dan Kei,” jelas Sesil. Senyum tipis tergores dibibirnya dengan miris. Mata Saga menyipit, berusaha mendalami makna dalam suara Sesil yang terdengar tak seperti biasa. “Kenapa dengan kami?” ‘Kalian tidak membutuhkanku,’ jawab Sesil dalam hati. Wanita itu menggele
Gara-gara mulut ember Alec, Saga tiba dua jam kemudian. Tampaknya pria itu langsung pulang begitu ditelpon oleh Alec.Memastikan gosip yang dihibahkan Alec bukanlah sekedar omong kosong, pria itu langsung membawa Sesil ke rumah sakit. Seperti biasa, mereka bisa menerobos antrean karena Saga adalah ketua yayasan rumah sakit. Sesil langsung diperiksa, tanpa menggunakan tes kehamilan dia langsung naik ke ranjang untuk diperiksa dengan mesih USG. Ia positif hamil, usia kandungan memasuki tujuh minggu. Dokter bilang janinnya masih sebesar buah ceri, -dua buah ceri-. Sangat kecil, tapi makhluk itu hidup di rahimnya. Menghangatkan perutnya. Melipatgandakan hentakan kebahagiaan yang masuk ke dadanya. Tak hanya satu keajaiban, dua keajaiban langsung dianugerahkan kepadanya. Tak henti-hentinya Saga mengelus perutnya sepanjang perjalanan mereka pulang ke rumah. Meyakinkan diri bahwa anak itu benar-benar ada di perut Sesil dengan sentuhan itu. Tetapi keyakinan itu meragu ketika sampai di rumah, S
“Undangan pernikahan?” Sesil mengambil lembaran setebal setengah senti yang terletak di atas tumpukan buku di ujung meja kerja Saga. Saga mengangkat wajahnya. Melihat kertas undangan pernikahan yang diberikan Alec beberapa hari lalu. Setelah kabar tentang kematian Cage senior, Alec kembali selama seminggu dan hanya mengirim kertas sialan untuk memberitahunya bahwa pria itu ternyata masih bernapas. “Alec Cage & Alea Mahendra? Apa ini undangan pernikahan Alec?” Mata Sesil melotot tak percaya. “Untuk apa Alec menikah?” “Untuk apa pun itu bukan urusanku, apalagi urusanmu.” Saga kembali bergulat dengan lembaran kertas lebar yang nyaris memenuhi seluruh mejanya. Berisi gambar-gambar kerangka dan denah kasino baru yang akan dibangunnya. Merasa tak puas dengan tata letak seperti yang diinginkannya, Saga kembali menggulung perkamen tersebut dan menyingkirkannya dari hadapannya. Lena harus memulainya dari awal. “Dia jelas bukan jenis pria yang bisa jadi suami yang baik, Saga.” “Tidak semua
"Sesil?" Dirga berpura terkejut. Sejak wanita itu turun dari mobil, ia sudah melihatnya. Menunggu sesaat si sopir lengah dan menyelinap masuk ke toko bunga. Bukan tak merelakan, hanya saja terkadang ia merasa begitu merindukan wanita itu. "Apa yang kaulakukan di sini?" Senyum Sesil masih secerah yang ia ingat. Ingatan lima tahun yang lalu. Karena semenjak Saga mulai ikut campur tangan dalam takdirnya, wanita itu tak lagi memberinya senyum yang sama. Seluruh hati wanita itu telah menjadi milik Saga. Tak ada lagi tempat untuknya. Tak ada lagi penyesalan yang akan menyembuhkan lukanya. Dirga menunjukkan beberapa tangkai mawar putih di tangannya. "Kau?" "Aku akan menghadiri acara pernikahan... teman." Sesil meringis dalam hati dan merasa geli dengan kata teman yang diucapkannya. Tapi mungkin saja ia bisa menjadi teman istri Alec dan membantu wanita itu melarikan diri dari pernikahan yang tidak diinginkan. Sungguh, Sesik tak bisa menahan prasangka buruknya pada Alec mengingat ingatan d
Sesil turun dari mobil lebih dulu. Melihat hiasan dan sayup-sayup suara keramaian dari kejauhan dan berjalan dengan langkah penuh ketidaksabaran. “Kita tidak akan ke sana.” Saga menahan lengan Sesil begitu wanita itu hendak melangkah lebih dulu ke arah jalan setapak yang sudah diarahkan menuju halaman belakang tempat pesta sedang berlangsung. “Kenapa?” Saga menoleh ke arah salah satu pengawalnya, yang segera berjalan melewati Sesil menuju halaman belakang. “Lewat sini.” Saga mengedarkan pandangan ke sekeliling. Ia sedang tak ingin menunjukkan diri di depan umum, terutama ketika bersama dengan Sesil yang sedang hamil dan tentu saja rentan diserang. Sepertinya di dalam rumah lebih aman. Kemudian ia membawa Sesil menuju pintu di samping rumah yang dilihatnya. “Kita tunggu di sini.” Langkah Saga terhenti ketika melihat ruangan yang kosong, yang salah satu sisi dindingnya dari kaca satu arah dan mengarah langsung ke halaman belakang. “Aku ingin melihat pengantin wanitanya dan memgucap