Share

Part 6

“Ke mana kita?” tanya Sesil di antara nyeri di kepala yang berusaha ia tahan sejak ia melewati kerumunan para tamu dan berjalan kembali menuju pintu yang beberapa menit lalu ia lalui.

“Pulang.”

“Bukankah kita baru saja datang?” Sesil semakin tak mengerti. Menahan langkahnya tapi Saga malah menyeret lebih keras hingga ia terhentak.

“Aku sudah menyapa temanku.”

“Lalu siapa pria itu?” Sesil hampir berteriak saat menghempaskan tangan Saga dari pinggangnya. Mereka berhenti di halaman utama, suara keramaian pesta tersamar oleh gemericik air mancur di samping mereka. Mendadak sakit di kepalanya mereda dan sudut matanya memanas.

“Hadiah pernikahan,” gumam Saga tanpa rasa bersalah sedikit pun dengan seringai tipis yang tersamar. Mata Sesil yang berkaca menunjukkan bahwa cinta menye-menye kedua insan itu benar-benar ada. Ini pertama kalinya ia merasa  takjub meskipun dengan kesinisan.

“Apa?” Sesil menghapus air mata yang ia kira turun di pipi, dan membelalak menatap sisi wajah Saga. Perasaannya saja atau memang Saga terlihat begitu menikmati pembicaraan penuh tanda tanya mengambang di kepalanya saat ini.

Saga menoleh, lalu mengibaskan tangan dan menjawab, “Aku mendapatkan hadiah pernikahan dari temanku. Hadiahnya sangat menarik. Masuklah.” Saga membuka pintu dan mendorong tubuh Sesil masuk ke dalam mobil yang tiba-tiba muncul di dekat mereka.

“Siapa Dirga?” Sesil masih tak berhenti bertanya. Rasa penasaran benar-benar tak mampu membuatnya menahan diri.

“Bukan siapa-siapa,” jawab Saga ringan.

“Dia memanggil namaku.”

“Kau tentu tidak berharap hanya aku saja yang mengenali namamu, kan?”

“Sepertinya aku sangat dekat dengannya.” Dari cara pria itu memanggil dan dari kerinduan yang begitu kentara di sorot matanya. Namun, ia tak berani mengatakan hal itu pada Saga. Ia merasa, nama Sesil yang disebutkan pria bernama Dirga itu tak lain dan tak bukan adalah dirinya. Sejauh apa hubungannya dengan pria bernama Dirga itu?

“Aku suamimu, apakah ada hubungan wanita dan pria yang lebih dekat dari itu?”

“Dan dia terlihat sangat membencimu.”

“Well, aku memang punya banyak musuh. Dia hanya salah satunya.”

Sesil terpaksa membungkam mulut. Ada sesuatu yang membuat hatinya tak tenang dan resah meskipun jawaban Saga terasa sangat masuk akal. Perasaan bahwa Saga menyembunyikan hal besar, kini bukan hanya kecurigaannya semata.

****

Saga mengangkat salah satu alisnya ketika Alec muncul di ruang kerjanya.

“Beres. Keputusasaannya benar-benar membuatnya menjadi samsak bernapas.” Alec mengambil tempat duduk di kursi seberang Saga. Memeriksa memar-memar di punggung tangannya. Hmm, jeritan para tamu di pesta, gelas-gelas berjatuhan, musik yang kencang. Semua terasa seperti nyanyain penghibur di telinga Alec. Begitulah sebuah pesta dirayakan. “Dan Max, dia mengirim daftar kerugian di pestanya.” Alec teringat sesuatu.

“Aku sudah menerimanya.” Saga melirik ponsel di meja.

“Kau mempertemukan mereka untuk memancing ingatannya keluar?” Alec berdengus.

“Apa dia bertanya padamu?”

Alec mengangguk dengan enggan. “Kau membuatnya kebingungan dengan dirinya sendiri.”

“Butuh sedikit rasa sakit sebelum kau mendapatkan apa yang kauinginkan, Alec.” Saga tak terusik dengan kesinisan Alec. Senyum di bibirnya semakin lebar dengan nyanyian lirih berdengung tak jelas bibirnya, tapi jelas bernada bahagia. Inilah saat-saat yang dia tunggu. Ketika ingatan Sesil kembali dan menyadari bencana yang tengah terjadi di sekeliling wanita itu. Bagaimana penolakan dan penghinaan Sesil terhadap dirinya kini akan segera berganti dengan ketidakberdayaan dan penyesalan yang begitu dalam. Ia tak sabar menanti-nanti saat itu terjadi. Seharusnya tidak lama lagi, kan? Mengingat Sesil akhir-akhir ini sering mengeluh sakit kepala dan bertanya tentang masa lalu mereka.

Plaakkk ...

Tamparan keras itu mendarat di pipi Saga. Darah merembes di sudut bibirnya karena gigitan Sesil.

“Kau benar-benar pria yang menjijikkan. Kau membuatku merasa hina karena telah membiarkan tangan kotormu itu menyentuh kulitku. Aku tak akan melupakan kenistaan ini seumur hidupku dan akan mengutukmu di setiap doaku.”

Well, Sesil tak akan melupakan kejadian itu, begitu pun dengan segala kenistaan yang telah Saga lumurkan ke seluruh tubuh wanita itu saat ini. Dalam hati Saga terbahak keras.

“Kita tak sabar hingga pertunjukan utama dimulai, Alec.”

Alec hanya mendesah kasar. Apa pun itu tujuan Saga, pasti bukan hal yang bagus untuk Dirga dan Sesil.

****

“Dir ... ga? Dirga.” Sesil menatap pantulan wajahnya di cermin wastafel. Memperhatikan dengan saksama bagaimana cara bibirnya bergerak, mendengarkan nada suara  melewati tenggorokannya, dan tangan menyentuh dadanya yang menghangat ketika ia menyebutkan nama itu. Perasaan asing itu kini sepenuhnya berubah familiar. Lalu mata Sesil terpejam, berusaha mengaduk isi kepala mencari apa pun itu yang bersangkutan dengan Dirga.

Apakah pria itu memiliki arti yang sangat penting untuknya?

Ataukah ia yang memiliki arti penting bagi pria itu?

Lalu, bagaimana dengan Saga?

“Alec?” Sesil memanggil setelah memastikan Saga menghilang dari pandangan mereka di dalam rumah. Ia memang sengaja jalan melambat saat turun dari mobil dan melihat Alec mengintruksikan sesuatu pada salah satu pengawal di depan pintu dan hendak mengikuti Saga.

Alec berhenti, menunggu Sesil mendekat.

“Kau tentu mengenal pria bernama Dirga itu, bukan?”

Alec mengangkat salah satu alisnya lalu mengangguk kecil.

“Apa hubunganku dengan pria itu?”

Wajah Alec berubah murung. “Jangan menyakiti dirimu sendiri, Sesil.”

“Aku tahu, pasti ada yang disembunyikan Saga dariku,” tandas Sesil.

Alec mengamati ekspresi keras kepala di wajah Sesil. Menilai lalu menjawab, “Jika aku menjawab kau berselingkuh dengan pria itu di belakang Saga, apa kau akan percaya?”

Dada Sesil tertohok. Terkejut dengan cara yang sangat mengecewakan. Mendadak dunianya seperti terombang-ambing sebelum tenggelam ke dasar danau.

Sesil menggeleng-gelengkan kepala mengingat percakapan singkat dan mengejutkannya dengan Alec. Tidak mungkin! Ia tidak mungkin melakukan hal serendah itu? Ia tidak mungkin berselingkuh meskipun betapa buruk pasangannya. Jika memang hubungannya dengan Saga tak berjalan baik, ia pasti akan memilih jalan mundur ketimbang harus menjalin hubungan gelap seperti itu.

Alec adalah kaki tangan Saga. Apa pun yang keluar dari mulutnya, bergerak sesuai perintah Saga. Memang seperti itu, kan? Sesil mencoba menghibur diri.

“Dirga, Dirga, Dirga, Dirga,” gumam Sesil berkali-kali, masih berusaha menggali ingatannya lebih dalam. Menelaah ingatannya satu persatu dan kemudian ....

“Banyu Dirgantara.” Sesil membuka matanya ketika nama itu tiba-tiba keluar dari bibirnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status