“Ke mana kita?” tanya Sesil di antara nyeri di kepala yang berusaha ia tahan sejak ia melewati kerumunan para tamu dan berjalan kembali menuju pintu yang beberapa menit lalu ia lalui.
“Pulang.”
“Bukankah kita baru saja datang?” Sesil semakin tak mengerti. Menahan langkahnya tapi Saga malah menyeret lebih keras hingga ia terhentak.
“Aku sudah menyapa temanku.”
“Lalu siapa pria itu?” Sesil hampir berteriak saat menghempaskan tangan Saga dari pinggangnya. Mereka berhenti di halaman utama, suara keramaian pesta tersamar oleh gemericik air mancur di samping mereka. Mendadak sakit di kepalanya mereda dan sudut matanya memanas.
“Hadiah pernikahan,” gumam Saga tanpa rasa bersalah sedikit pun dengan seringai tipis yang tersamar. Mata Sesil yang berkaca menunjukkan bahwa cinta menye-menye kedua insan itu benar-benar ada. Ini pertama kalinya ia merasa takjub meskipun dengan kesinisan.
“Apa?” Sesil menghapus air mata yang ia kira turun di pipi, dan membelalak menatap sisi wajah Saga. Perasaannya saja atau memang Saga terlihat begitu menikmati pembicaraan penuh tanda tanya mengambang di kepalanya saat ini.
Saga menoleh, lalu mengibaskan tangan dan menjawab, “Aku mendapatkan hadiah pernikahan dari temanku. Hadiahnya sangat menarik. Masuklah.” Saga membuka pintu dan mendorong tubuh Sesil masuk ke dalam mobil yang tiba-tiba muncul di dekat mereka.
“Siapa Dirga?” Sesil masih tak berhenti bertanya. Rasa penasaran benar-benar tak mampu membuatnya menahan diri.
“Bukan siapa-siapa,” jawab Saga ringan.
“Dia memanggil namaku.”
“Kau tentu tidak berharap hanya aku saja yang mengenali namamu, kan?”
“Sepertinya aku sangat dekat dengannya.” Dari cara pria itu memanggil dan dari kerinduan yang begitu kentara di sorot matanya. Namun, ia tak berani mengatakan hal itu pada Saga. Ia merasa, nama Sesil yang disebutkan pria bernama Dirga itu tak lain dan tak bukan adalah dirinya. Sejauh apa hubungannya dengan pria bernama Dirga itu?
“Aku suamimu, apakah ada hubungan wanita dan pria yang lebih dekat dari itu?”
“Dan dia terlihat sangat membencimu.”
“Well, aku memang punya banyak musuh. Dia hanya salah satunya.”
Sesil terpaksa membungkam mulut. Ada sesuatu yang membuat hatinya tak tenang dan resah meskipun jawaban Saga terasa sangat masuk akal. Perasaan bahwa Saga menyembunyikan hal besar, kini bukan hanya kecurigaannya semata.
****
Saga mengangkat salah satu alisnya ketika Alec muncul di ruang kerjanya.
“Beres. Keputusasaannya benar-benar membuatnya menjadi samsak bernapas.” Alec mengambil tempat duduk di kursi seberang Saga. Memeriksa memar-memar di punggung tangannya. Hmm, jeritan para tamu di pesta, gelas-gelas berjatuhan, musik yang kencang. Semua terasa seperti nyanyain penghibur di telinga Alec. Begitulah sebuah pesta dirayakan. “Dan Max, dia mengirim daftar kerugian di pestanya.” Alec teringat sesuatu.
“Aku sudah menerimanya.” Saga melirik ponsel di meja.
“Kau mempertemukan mereka untuk memancing ingatannya keluar?” Alec berdengus.
“Apa dia bertanya padamu?”
Alec mengangguk dengan enggan. “Kau membuatnya kebingungan dengan dirinya sendiri.”
“Butuh sedikit rasa sakit sebelum kau mendapatkan apa yang kauinginkan, Alec.” Saga tak terusik dengan kesinisan Alec. Senyum di bibirnya semakin lebar dengan nyanyian lirih berdengung tak jelas bibirnya, tapi jelas bernada bahagia. Inilah saat-saat yang dia tunggu. Ketika ingatan Sesil kembali dan menyadari bencana yang tengah terjadi di sekeliling wanita itu. Bagaimana penolakan dan penghinaan Sesil terhadap dirinya kini akan segera berganti dengan ketidakberdayaan dan penyesalan yang begitu dalam. Ia tak sabar menanti-nanti saat itu terjadi. Seharusnya tidak lama lagi, kan? Mengingat Sesil akhir-akhir ini sering mengeluh sakit kepala dan bertanya tentang masa lalu mereka.
Plaakkk ...
Tamparan keras itu mendarat di pipi Saga. Darah merembes di sudut bibirnya karena gigitan Sesil.
“Kau benar-benar pria yang menjijikkan. Kau membuatku merasa hina karena telah membiarkan tangan kotormu itu menyentuh kulitku. Aku tak akan melupakan kenistaan ini seumur hidupku dan akan mengutukmu di setiap doaku.”
Well, Sesil tak akan melupakan kejadian itu, begitu pun dengan segala kenistaan yang telah Saga lumurkan ke seluruh tubuh wanita itu saat ini. Dalam hati Saga terbahak keras.
“Kita tak sabar hingga pertunjukan utama dimulai, Alec.”
Alec hanya mendesah kasar. Apa pun itu tujuan Saga, pasti bukan hal yang bagus untuk Dirga dan Sesil.
****
“Dir ... ga? Dirga.” Sesil menatap pantulan wajahnya di cermin wastafel. Memperhatikan dengan saksama bagaimana cara bibirnya bergerak, mendengarkan nada suara melewati tenggorokannya, dan tangan menyentuh dadanya yang menghangat ketika ia menyebutkan nama itu. Perasaan asing itu kini sepenuhnya berubah familiar. Lalu mata Sesil terpejam, berusaha mengaduk isi kepala mencari apa pun itu yang bersangkutan dengan Dirga.
Apakah pria itu memiliki arti yang sangat penting untuknya?
Ataukah ia yang memiliki arti penting bagi pria itu?
Lalu, bagaimana dengan Saga?
“Alec?” Sesil memanggil setelah memastikan Saga menghilang dari pandangan mereka di dalam rumah. Ia memang sengaja jalan melambat saat turun dari mobil dan melihat Alec mengintruksikan sesuatu pada salah satu pengawal di depan pintu dan hendak mengikuti Saga.
Alec berhenti, menunggu Sesil mendekat.
“Kau tentu mengenal pria bernama Dirga itu, bukan?”
Alec mengangkat salah satu alisnya lalu mengangguk kecil.
“Apa hubunganku dengan pria itu?”
Wajah Alec berubah murung. “Jangan menyakiti dirimu sendiri, Sesil.”
“Aku tahu, pasti ada yang disembunyikan Saga dariku,” tandas Sesil.
Alec mengamati ekspresi keras kepala di wajah Sesil. Menilai lalu menjawab, “Jika aku menjawab kau berselingkuh dengan pria itu di belakang Saga, apa kau akan percaya?”
Dada Sesil tertohok. Terkejut dengan cara yang sangat mengecewakan. Mendadak dunianya seperti terombang-ambing sebelum tenggelam ke dasar danau.
Sesil menggeleng-gelengkan kepala mengingat percakapan singkat dan mengejutkannya dengan Alec. Tidak mungkin! Ia tidak mungkin melakukan hal serendah itu? Ia tidak mungkin berselingkuh meskipun betapa buruk pasangannya. Jika memang hubungannya dengan Saga tak berjalan baik, ia pasti akan memilih jalan mundur ketimbang harus menjalin hubungan gelap seperti itu.
Alec adalah kaki tangan Saga. Apa pun yang keluar dari mulutnya, bergerak sesuai perintah Saga. Memang seperti itu, kan? Sesil mencoba menghibur diri.
“Dirga, Dirga, Dirga, Dirga,” gumam Sesil berkali-kali, masih berusaha menggali ingatannya lebih dalam. Menelaah ingatannya satu persatu dan kemudian ....
“Banyu Dirgantara.” Sesil membuka matanya ketika nama itu tiba-tiba keluar dari bibirnya.
“Siapa pria bernama Saga itu?”Dirga tersentak, “Apa yang dia lakukan padamu?”Sesil sudah membuka mulut untuk mengatakan perbuatan kurang ajar Saga, tapi ia tak ingin melukai hati Dirga. Belum dengan rasa jijik di bibirnya yang terasa seperti kotoran, membuatnya merasa sangat berdosa pada Dirga. “Kami bertemu di lorong toilet. Dia menyapa dan hanya memastikan aku tunanganmu.”“Kami pernah berteman dekat.”“Pernah?”“Ya, manusia berubah dan kami memilih jalan masing-masing.”“Sepertinya dia musuhmu?”“Kami selalu bersaing, dan terakhir kami bertengkar hebat.”“Hingga sekarang.”Dirga terdiam. “Jauhi dia!”Sesil tertawa. “Aku senang kau begitu posesif dengan para pria di dekatku, Dirga. Tapi kau tah
Praanggg ... vas bunga yang semula berada di meja hias pelengkap set sofa kini melayang dan berhamburan di lantai. Salah satu pecahan mengenai kaki Saga yang mengenakan sandal santai dan celana pendek berwarna coklat tua.Saga terkejut, seumur hidupnya yang terbiasa bersikap was was. Ini pertama kalinya ia merasa terancam dengan keberadaan seseorang ketika menginjakkan kaki di rumahnya sendiri. Beruntung si pelempar bukanlah pembunuh bayaran dengan bakat mumpuni yang dibayar sangat mahal atas kepalanya.Darah merembes sepanjang goresan pecahan vas yang merobek kulit kaki kanannya. Dua pengawal yang berjaga di depan pintu sudah bergerak sigap mencekal kedua tangan Sesil. Sambutan selamat datang yang mengejutkan ini tentu ada alasannya, bukan?“Berengsek sialan!” desis Sesil dengan rontaannya yang sia-sia. Bibirnya menipis di antara rahangnya yang mengeras. Mata dan wajahnya merah terbakar amarah yang begitu besar. Sungguh, ia ingin menangis tersedu ol
Sesil masih terisak. Meringkuk di kasur yang berantakan dengan air mata membanjiri bantal serta selimut yang ia gunakan untuk meredam tangisan dan luka hatinya.‘Kekasihmu yang lebih dulu mengusikku. Kau tahu hatiku tak semulia itu, Sesil. Apa yang dilakukan Dirga dan penghinaanmu. Setidaknya aku akan merasa puas dengan bayaran ini.’Masih terngiang kata-kata Saga sebelum pria itu meninggalkanya sendirian dalam kepekatan derita yang ditorehkan ke seluruh tubuhnya.Dirga merusak kartel bisnis Saga hingga pria busuk itu merugi beberapa milliar. Alasan yang baru diketahuinya kenapa Saga tertarik mencari tahu dirinya dan membuat pertengkaran hebat antara dirinya dan Dirga untuk terakhir kalinya. Memang tak seberapa bagi pria dengan kerajaan bisnis gelap yang menguasai pasar negeri ini dan beberapa negara tetangga. Perdagangan senjata, klub-klub malam yang menawarkan kemewahan, bisnis prostisusi, dan entah pekerjaan kriminal apa lagi yang digelut
Ingatan terakhirnya hanyalah mobil yang melaju tak terkendali, bunyi klakson yang memekakakkan telinga, kepalanya yang terdorong ke jendela mobil karena ia tak mengenakan sabuk pengaman, dan mobil yang berguling-guling menuruni jurang. Sungguh keajaiban ia bisa selamat dari kecelakaan menggenaskan itu.Lalu, seakan ingatan di kepalanya direset dan diganti ingatan baru yang dijejalkan Saga di kepalanya. Bukan hanya itu, Saga sengaja membuatnya terombang-ambing dengan kegelisahan akan jati dirinya yang sebenarnya. Ia tidak berselingkuh dengan Dirga, melainkan Sagalah yang membuat Dirga berpikiran bahwa ia berselingkuh dengan Saga.Suara pintu yang diketuk, sesaat menghentikan tangisan Sesil. Ia tak ingin terlihat menyedihkan di hadapan pengurus rumah tangga, karena tak mungkin Saga mengetuk pintu untuk masuk ke kamar pria itu sendiri. Segera Sesil bangkit terduduk, berusaha menutupi tubuh polosnya dengan selimut ketika pintu terbuka. Seorang pelayan masuk dengan
“Sial!!!” umpatan Saga sejenak membuyarkan konsentrasi sopir dari jalanan yang lengang. Saga membanting ponselnya ke jok dan memberi perintah, “Kembali ke rumah.”Belum ada sepuluh menit ia meninggalkan rumah, Sesil sudah membuat masalah. Berani-beraninya wanita itu melarikan diri dari rumahnya. Tentu tak akan pernah semudah itu. Wanita itu hanya bisa pergi dari rumahnya dengan ijinnya atau dengan tanpa nyawa. Dan ia benci jika rencananya tak berjalan sesuai dengan keinginannya. Urusannya masih belum selesai dengan Sesil.Sesampai di halaman rumah, ia melihat raut pucat dua penjaga yang berjaga di depan pintu kamar. Jon, pemimpin pengawal-pengawalnya berjalan mendekat ketika ia keluar dari mobil. “Maafkan kami, Tuan.”“Aku tak membutuhkan kata maaf, Jon. Bagaimana dia bisa kabur dengan menuruni balkon setinggi itu?” Saga tak membutuhkan jawaban Jon ketika melihat sprei kasurnya yang berkibar tertiup angin. Lalu ter
Saat matanya bergerak, rasa pusing yang menyerang kepala membuat Sesil mengernyit dalam-dalam dan mengerang pelan. Gorden kamar yang menutupi jendela dan lampu yang menyala terang meyakinkan Sesil bahwa hari sudah gelap. Kemudian, seketika ingatan terakhirnya sebelum ia pingsan kembali menerjang otaknya. Tangisannya kembali pecah menyadari di mana ia tengah berbaring saat ini. Ruangan yang sama tempat Saga membunuh.“Kau sudah sadar?”Sesil tak memedulikan keberadaan Saga, tangisannya tak terhenti.“Aku benci wanita yang cengeng, Sesil. Hentikan tangisanmu!” gertak Saga untuk kedua kalinya. Kali ini pria itu berdiri di pinggir ranjang dan menyentak bahu Sesil hingga wanita itu berbaring telentang dan wajahnya bisa menatap keberadaan dirinya.Sesil menepis tangan Saga. Namun, pria kejam itu memang tak pernah segan-segan bersikap kasar pada wanita. Dan malah menarik tubuh Sesil bangkit terduduk.“Pembunuh!” raung S
Jeritan nyaring memecah keheningan malam yang dingin.Saga tersentak. Matanya terbuka sempurna dan menerobos keremangan kamar. Menemukan Sesil berdiri di tengah ruangan dengan tubuh bergetar. “Ada apa?”“Aa ... aaku... aku melihat mayat.” Satu tangan Sesil menunjuk lantai di samping sofa dan satu tangannya menutup matanya yang terpejam.Saga mengikuti arah yang ditunjuk Sesil. “Tidak ada apa pun di sana, Sesil,” ketus Saga kesal.“Aku melihat mayat!” Sesil hampir berteriak pada Saga.“Apa kau masih bermimpi?”Sesil membuka mata dengan perlahan. Menatap Saga lalu menoleh ke tempat yang ia tunjuk. Tidak ada apa pun di sana. Matanya mengerjap beberapa kali, memastikan indera penglihatannya. Sungguh, ia melihat sesosok tubuh tergeletak di lantai dengan kepala penuh darah dan mata melotot menatapnya. Pria yang tadi dibunuh oleh Saga.“Apa kau berjalan sambil tidur?”
Saga merasa marah dengan kepanikan yang tak bisa ia kuasai. Napasnya tak berhenti mendesah dengan keras, seperti orang tolol berjalan mondar-mandir di lorong yang sepi. Hanya bisa menunggu pintu ruang operasi terbuka, dan sialan ia benar-benar bukan orang penyabar. Semua ketololan ini berakar dari seorang wanita murahan, licik, dan bodoh bernama Sesilia Nada.“Tuan.” Jon muncul dengan kantong pakaian berwarna hitam pada Saga. meskipun kemeja Saga berwarna gelap, noda darah yang mengotori bagian perut dan lengan tuannya tampak begitu jelas.“Aku tidak membutuhkannya, Jon.” Saga menepis kantong pakaian itu hingga jatuh ke lantai. Saat itu ia bersumpah akan membunuh Sesil. Ia mengabaikan tampilan sempurna hanya karena terlalu sibuk memikirkan keadaan wanita sialan itu. Namun, sebelum membunuh Sesil, ia akan memastikan mengambil segala manfaat yang bisa ia dapatkan dari tubuh mungil itu. Wanita itu tidak boleh mati sebelum ia merasa cukup dan terpua