Share

Part 7

“Siapa pria bernama Saga itu?”

Dirga tersentak, “Apa yang dia lakukan padamu?”

Sesil sudah membuka mulut untuk mengatakan perbuatan kurang ajar Saga, tapi ia tak ingin melukai hati Dirga. Belum dengan rasa jijik di bibirnya yang terasa seperti kotoran, membuatnya merasa sangat berdosa pada Dirga. “Kami bertemu di lorong toilet. Dia menyapa dan hanya memastikan aku tunanganmu.”

“Kami pernah berteman dekat.”

“Pernah?”

“Ya, manusia berubah dan kami memilih jalan masing-masing.”

“Sepertinya dia musuhmu?”

“Kami selalu bersaing, dan terakhir kami bertengkar hebat.”

“Hingga sekarang.”

Dirga terdiam. “Jauhi dia!”

Sesil tertawa. “Aku senang kau begitu posesif dengan para pria di dekatku, Dirga. Tapi kau tahu aku tidak akan mungkin mendekati pria yang menjadi musuhmu,” canda Sesil.

Dirga mengangguk. Tersenyum sambil mengelus rambut Sesil dengan penuh cinta.

“Aku mencintaimu.” Sesil berharap kata-kata itu mampu membuatnya melupakan ciuman Saga yang masih begitu membekas di bibirnya seperti kotoran.

“Aku juga mencintaimu.”

Aku mencintaimu.

Aku juga mencintaimu.

Aku mencntaimu.

Aku juga mencintaimu.

Mata Sesil terbuka. Ketika suaranya dan Dirga bergaung dan saling bersahutan di kepala. Mimpi itu terasa nyata. Apakah itu salah satu pecahan-pecahan ingatannya yang menghilang. Anehnya, bagian-bagian kecil yang muncul dan mengambang di otaknya, membuat koneksinya dengan Dirga semakin nyata. Ia pernah sangat dekat dengan Dirga. Apakah yang dikatakan Alec benar? Bahwa ia berselingkuh dengan Dirga di belakang Saga. Apakah itu yang membuat Saga begitu tergesa dengan pernikahan ini? Rasa kantuk seketika lenyap. Digantikan matanya yang menyalang menatap langit-langit kamar.

Banyu Dirgantara, Banyu Dirgantara. Sejak lisannya mengingat nama itu dengan sangat baik. Pikirannya terus berputar dan tak berhenti meskipun pada akhirnya ia menyerah. Karena sekeras apa pun otaknya berpikir, ingatannya masih berbentuk teka-teki yang membutuhkan kepingan-kepingan puzzle lainnya.

“Apa kau bermimpi buruk?”

Sesil menoleh ke samping. Di antara keremangan kamar, ia melihat mata Saga yang awas duduk di sofa tunggu menghadap ranjang. Apa yang pria itu lakukan di sana dengan kaki dan tangan bersilang?

“Apa ... kau tidak tidur?” Sesil mengangkat tubuhnya terduduk.

Saga mengurai dasi sambil berdiri dari duduknya. Berjalan mendekati ranjang sambil membuka satu persatu kancing kemeja. “Aku baru saja menyelesaikan urusanku di luar. Ingin berendam tapi sepertinya langsung bergabung denganmu lebih menarik.”

Saga membungkuk, satu kakinya bersandar di pinggiran ranjang dan jemari tangan kanannya menyentuh dagu Sesil. Membawa wajah wanita itu ke bibinya. Tersenyum dalam hati saat merasakan ketakutan dan kegamangan dengan gestur Sesil saat kulit mereka saling bersentuhan. Jelas wanita itu masih terombang-ambing dalam masa lalu dan masa depan yang berbaur dan mengaduk-aduk isi kepala maupun isi hati istrinya. Menunggu dengan hati berdebar hingga ingatan Sesil kembali sepenuhnya, ia tak akan keberatan menikmati momen kebersamaan mereka sebagai pasangan yang saling mengasihi. Dan tubuh Sesil tak pernah mengecewakan dalam sentuhan tangan dan bibirnya. Memuaskannya dengan cara yang menakjubkan dan istimewa.

Entah kenapa, tubuh Sesil berjingkat ketika kulitnya dan Saga bersentuhan. Mungkin pengaruh mimpi itu yang berpadu dengan pernyataan Alec tentang dirinya dan Dirga. Apa Saga sangat marah dengan perselingkuhan yang ia lakukan? Karena sudah jelas pria itu bukan pria pemaaf saat meninju salah satu pengawal hanya karena menyentuh kulitnya ketika ia tak sengaja hampir terpeleset di tangga. Apakah memang Saga seposesif itu? Jika iya, lalu hukuman apa yang ditimpakan Saga dengan perselingkuhannya dengan Dirga?

“Saga?” Sesil berusaha menjauhkan diri dari rengkuhan Saga di tubuhnya sebelum aktifitas mereka berlanjut lebih panas. Sambil dalam hati mencoba menekan dalam-dalam ketakutan atas dominasi tubuh Saga di atasnya.

“Hmm.” Saga menjawab meskipun merasa sedikit kesal karena keasyikannya yang tengah menikmati cekungan leher Sesil terpaksa diganggu.

“Aku ingin berkunjung ke rumah pamanku.”

“Pamanmu?” Saga teringat tentang rincian berkas tentang Sesil yang diberikan Alec. Ya, pria kurus dan tinggi yang bekerja serabutan demi memenuhi kebutuhan keluarga kecilnya. Alec sudah mengurusnya. Siapa pun memang tak bisa menolak uang, bukan. “Baiklah.”

Sesil tertegun beberapa saat, dengan wajah Saga yang berada begitu dekat di atasnya, ia bisa merasakan napas panas Saga yang berhembus memenuhi wajahnya. Seketika gelenyar aneh memenuhi perut dan menekan perasaan takut serta gamangnya. Tubuhnya berbaring, seketika melemah ketika Saga menarik tali gaun tidurnya melewati bahu. Di detik berikutnya, Saga menyatukan bibir mereka. Bermain-main di setiap inci kulit telanjangnya sebelum menyatukan tubuh mereka. Membawa Sesil tenggelam dalam kenikmatan tanpa batas. Lagi dan lagi.

****

“Saga?”

“Tidurlah, Sesil.” Saga menekan wajahnya semakin dalam di tengkuk Sesil. Tangannya memeluk wanita itu dari belakang begitu erat, seakan kulit tubuh mereka yang menempel dari atas sampai bawah tak cukup memberinya kehangatan dan kepuasan. Sebelumnya, ia tak pernah suka bermanja-manja dengan tubuh wanita setelah aktifitas panas mereka berlalu. Namun, dengan Sesil. Semua terasa berbeda. Sesil istrinya. Tempat spesial dirinya sebagai lelaki pertama wanita itu, tak terduga tapi memberinya kebanggan tersendiri.

Sesil berniat mutar kepalanya ke belakang, tapi pelukan Saga sangat erat dan mengungkung tubuhnya.

“Atau kau masih menginginkan diriku lagi?”

Terpaksa Sesil memejamkan mata. Ya, ia mengakui sangat menikmati kesenangan mereka di atas ranjang, tapi tubuhnya sudah sangat lelah dan tak ingin menguras tenaganya lebih banyak lagi.

Dan pagi itu, ia terbangun dengan dua jam lebih lambat dari biasanya. Saga sudah pergi ke pertemuan di luar, kata pelayan yang mengantarkan sarapan pagi ke kamarnya. Lalu ide itu muncul secara tiba-tiba. Mungkin ini kesempatannya untuk menuntaskan rasa penasaran yang tidak bisa dipuaskan oleh jawaban Saga dan Alec mengenai Dirga. Sepertinya, ruang kerja Saga yang ada di ujung sayap barat akan memberinya sesuatu.

“Apakah ada yang Anda butuhkan lagi, Nyonya?”

Sesil mengusap mulutnya dari sisa-sisa jus jeruk yang mungkin masih ada di sekitar bibir. Menggelengkan kepala sambil berkata, “Aku ingin berkeliling ke sekitar rumah, sambil menunggu Saga pulang. Apa di sini ada perpustakaan atau sesuatu yang bisa membuang kebosanan?”

“Perpustakan di sayap barat, di samping ruang kerja tuan Saga,” jawab pelayan itu sambil menunjukan arah dengan tangan kanan. “Atau Anda ingin berenang di kolam renang belakang?”

Sesil tertegun. Pelayan di sini kebanyakan sudah bekerja bertahun-tahun pada Saga. Bagaimana mungkin pelayan itu tidak tahu bahwa dirinya tak bisa berenang? Bukankah ia tinggal di sini sudah hampir empat bulan, itu yang dikatakan Saga. Terkadang, saat ia meneliti dengan jeli pernyataan-pernyataan Saga, ada kejanggalan yang tak bisa ia abaikan begitu saja.

“Nyonya?”

Panggilan pelayan itu menarik kembali kecamuk yang muncul.

“Tidak. Aku ingin ke perpustakaan saja,” jawab Sesil sambil meneguk habis jus jeruknya. Sepertinya keputusannya untuk menyusup ke dalam ruang kerja Saga sangat benar.

Pelayan itu mengangguk. Lalu membersihkan peralatan sarapan Sesil ke nampan dan berlalu keluar.

Sesil menunggu selama lima menit, memastikan pelayan itu selesai menuruni anak tangga dan berjalan keluar. Berbelok ke arah kanan dan menyusuri lorong ke arah barat bangunan. Menuju pintu kayu berpelitur nomor dua dari paling ujung. Beberapa kali ia memergoki Saga keluar masuk melalui pintu ini.

Sesil menutup pintu ruang kerja Saga dengan hati-hati. Ini pertama kalinya ia memasuki ruangan ini. Ya, tak banyak ruangan yang ia ketahui di rumah ini karena sebagian ingatannya yang menghilang. Penjelasan pelayan Saga yang menjelaskan dengan detail ruangan-ruangan di bangun tingkat dua ini tak sampai di ingatannya yang memang masih bermasalah.

Dengan langkah perlahan, ia mengamati satu persatu furnitur dan hiasan di seluruh ruang kerja Saga. Satu set sofa kulit berwarna hitam, guci, beberapa lukisan, jendela dengan gorden berwarna gelap, buku-buku di rak belakang kursi, meja. Perhatian Sesil berhenti, terpusat pada meja yang sepertinya digunakan Saga untuk mengerjakan pekerjaannya. Mungkin di situ adalah tempat Saga biasa menyimpan sesuatu yang sangat berharga dengan laci-laci tersusun sepanjang kaki meja sebelah kiri. Pistolkah? Tubuhnya bergidik, ketika ia pernah melihat Saga mengeluarkan pistol dari tempat tersembunyi di pinggang pria itu yang tak pernah Sesil sangka. Apakah Saga menyimpan senjata lainnya di sana?

Menepis ketakutannya, Sesil bergegas mendekat. Ia menoleh ke arah pintu. Memastikan tidak ada siapa pun yang berjalan mendekati ruangan ini sebelum tangannya menarik laci teratas. Terkunci. Seharusnya ia sudah memperkirakan hal ini. Mencoba keberuntungannya, ia menarik laci kedua dan mendesah pelan ketika berakhir sama menyedihkan dengan usaha pertama. Hingga laci ketiga dan keempat. Sudah jelas apa yang disembunyikan Saga adalah hal yang sangat penting. Menarik rasa penasarannya lebih besar lagi.

Tak putus asa, mata Sesil mengamati satu persatu benda-benda yang ada di atas meja. Hanya laptop, mouse, hiasan-hiasan dari batu, pigura yang berisi foto pernikahannya dan Saga, beberapa map bertumpuk, dan cangkir hitam gelap dan mengkilat yang berisi beberapa bolpoin. Sesil melongok ke dalam cangkir tersebut dengan jantung berdegup kencang saat menemukan beberapa kunci yang tergantung dalam lingkaran besi perak di sana. Sekali lagi, ia menoleh ke arah pintu, memasang telinga dengan baik sebelum mengambil kunci tersebut. Ada empat kunci, Sesil mencoba asal untuk laci pertama. Memutarnya dan berhasil. Dengan sangat pelan, ia menarik laci tersebut. Hanya berisi berkas-berkas dan foto-foto pria atau wanita yang tidak ia kenali. Sebagian besar berwajah garang, dan tak sedikit yang memiliki bekas luka di hidung, kening, atau pipi. Membuatnya bertanya, bisnis apa yang tengah digeluti oleh Saga.

Merasa tak akan menemukan apa pun dengan berkas orang-orang mengerikan itu, Sesil mendorong laci tertutup. Namun, sebelum laci itu benar-benar merapat, benda mungil dan mengkilat yang terselip di antara kertas-kertas itu menarik perhatiannya. Sesil mengulurkan tangan dan mengambilnya. Sebuah cincin emas putih dengan hiasan permata mungil di sana. Mirip dengan cincin tunangannya dengan Saga meskipun cincin yang ini tak lebih bagus dan mewah.

Sesil mengamati dengan lebih saksama cincin yang terasa sangat familiar tersebut. Hingga matanya terkejut membaca nama yang terukir di bagian dalam lingkaran.

Dirga Love Sesil

Sesil tersentak, dentuman itu datang menusuk ke pusat kepalanya. Membuat tubuhnya terhuyung ke belakang dan menabrak kursi putar Saga. Dentingan cincin yang terjatuh ke lantai memecah keheningan di ruangan yang senyap itu. Kedua tangan Sesil mencengkeram kepala menekan rasa sakit yang bergiliran menusuk otaknya dengan jarum. Sesil tersungkur di lantai dan mengerang kesakitan. Matanya terpejam ketika pusaran gelap menenggelamkan pandangannya. Kemudian, satu persatu lembaran bergambar muncul di kepalanya.

‘Maukah kau menikah denganku?’ Dirga bersimpuh di hadapannya. Mengulurkan cincin emas putih tanpa hiasan permata tapi sangat indah dan baginya adalah perhiasan paling indah di dunia. Pria yang ia cintai, menawarkan kesepakatan untuk hidup bersama. Berbahagia hingga maut memisahkan.

‘Aku memiliki banyak kekurangan, tapi aku berjanji akan mengerahkan seluruh tenagaku untuk membuatmu dan anak-anak kita bahagia. Apa ...’

Sesil mengangguk mantap tanpa memberi Dirga kesempatan untuk melanjutkan kalimat lebih banyak lagi. Ia menghambur dalam pelukan Saga dan menangis. Menangis bahagia.

Ya, saat itu ia menangis bahagia. Namun, air mata yang saat ini jatuh membanjiri pipinya bukanlah air mata yang sama. Melainkan air mata pengkhianatan dan kenistaan. Saga telah menipunya mentah-mentah. Pria itu merenggut kehidupannya. Merampas kebahagiaannya.

Sesil tersungkur, sangat keras. Hancur, melebur.

****

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status