Sesil masih terisak. Meringkuk di kasur yang berantakan dengan air mata membanjiri bantal serta selimut yang ia gunakan untuk meredam tangisan dan luka hatinya.
‘Kekasihmu yang lebih dulu mengusikku. Kau tahu hatiku tak semulia itu, Sesil. Apa yang dilakukan Dirga dan penghinaanmu. Setidaknya aku akan merasa puas dengan bayaran ini.’
Masih terngiang kata-kata Saga sebelum pria itu meninggalkanya sendirian dalam kepekatan derita yang ditorehkan ke seluruh tubuhnya.
Dirga merusak kartel bisnis Saga hingga pria busuk itu merugi beberapa milliar. Alasan yang baru diketahuinya kenapa Saga tertarik mencari tahu dirinya dan membuat pertengkaran hebat antara dirinya dan Dirga untuk terakhir kalinya. Memang tak seberapa bagi pria dengan kerajaan bisnis gelap yang menguasai pasar negeri ini dan beberapa negara tetangga. Perdagangan senjata, klub-klub malam yang menawarkan kemewahan, bisnis prostisusi, dan entah pekerjaan kriminal apa lagi yang digeluti oleh seorang Saga Ganuo. Kau tak akan menemukan nama pria itu di situs internet mana pun. Tak ada orang yang cukup gila menuliskan nama pria itu di sana. Tetapi, bukan berarti orang tak mengenali namanya. Cukup orang hanya mengenali kekejamannya saja, tak perlu harus bersinggungan atau mencari tahu batang hidung seorang Saga Ganuo. Apalagi mengusik bisnis remahannya sekali pun.
Berbeda dengan Saga, Banyu Dirgantara bergerak di bisnis-bisnis legal. Setidaknya itu yang tertera di semua situs internet. Tetapi, sekarang Sesil tak menjamin kebenaran kabar itu dengan ruang lingkup Saga di sekitar Dirga. Dengan kelicikan Dirga atas perbuatan pria itu yang membuat Saga merugi, tentu konflik di antara kedua pria itu terjadi dengan suatu alasan, bukan? Dirga dan Saga, tak ada yang lebih baik dari keduanya.
Rentetan kejadian sebelum kecelakaan yang membuat ingatannya menghilang, kembali terputar di kepalanya. Sore itu, seseorang yang mengaku disuruh Dirga datang menjemputnya di cafe. Membawa Sesil ke sebuah rumah bertingkat dua dengan halaman luas dan mobil-mobil mewah terparkir di garasi yang tak kalah luasnya. Sesil mengira itu adalah rumah bossnya Dirga, hingga ia menyadari bahwa semua pelayan dan pengawal yang bertugas bersikap hormat pada Dirga. Melakukan apa pun yang Dirga pintah hanya dalam sekali ucapan ketika ia datang dan menemukan Dirga di ruang tamu berlantai marmer dan dengan lampu hias terbesar yang pernah Sesil lihat.
Dirga menyambutnya dengan wajah merah padam dan rahang mengeras, tapi tak urung melengkungkan senyum sambutan untuknya. Hingga Sesil menyadari bahwa ada sindiran di sudut bibir pria itu.
“Apa kau terkejut, Sesilku?” Dirga membuka kedua tangannya.
Sesil mengerutkan kening tak mengerti.
“Inilah diriku yang sebenarnya. Rumah, mobil, dan perhiasan yang selama ini kutunjukkan padamu. Yang kesemuanya kau tolak, kecuali kalung itu. Itu hanyalah remahan kekayaan yang kumiliki.”
Sesil mengangkat tangan. Memegang bandul kalung yang menonjol di balik kemejanya. Sejujurnya ia menerima keadaan Dirga dengan atau tanpa apa pun yang pria itu miliki. Namun, nada penghinaan yang begitu kentara itu sengaja diperuntukkan untuk menyakiti hatinya dan tepat pada sasaran. “Apa kau mempermainkanku?”
Dirga menggeleng-gelengkan kepala di antara ketidakseimbangannya menyanggah tubuhnya sendiri. Tertawa terbahak sambil merogoh ponsel di saku celana dan mulai menggeser-geser layarnya. Lalu menunjuk ke arah Sesil dan berteriak, “Kau yang mempermainkanku.”
“Apa ini?”
Dirga melempar ponsel yang menyalakan video. Sesil membungkuk dan mengambil ponsel yang tergelatak di karpet dekat kakinya. Terkejut ketika menemukan gambar dirinya terpojok di dinding dan Saga tengah mencumbu dengan mengurung seluruh tubuhnya. Video itu dimulai dan berhenti di detik yang tepat hingga siapa pun yang melihat pasti mengira mereka adalah pasangan menjijikkan yang tak tahu malu dan bercumbu di mana saja.
“Bukan itu yang sebenarnya terjadi.” Hanya itu komentar Sesil sebagai bentuk penyangkalannya.
“Jadi kau mengakui melakukan adegan menjijikkan itu.”
“Saga yang melecehkanku.”
“Aku sangat yakin itu dilakukan atas dasar suka sama suka.”
“Apa kau tidak memercayaiku?”
“Aku memercayai mataku.”
Sesil terbungkam.
“Jadi, hargamu hanya lima milliar? Cukup mahal untuk wanita pinggiran sepertimu, Sesil,” dengkus Dirga.
Air mata jatuh dan membasahi pipi Sesil. Dengan bau alkohol yang menguar dari mulut Dirga, ia tahu pria itu sedang dalam keadaan mabuk. Tetapi pria itu cukup sadar ketika melemparkan penghinaan kasar tersebut di depan wajah Sesil. Seharusnya, dengan pakaian dan mobil yang diakui Dirga milik bossnya. Restoran mahal yang selalu pria itu pesan ketika mereka berkencan dan semua kemewahan yang pria itu berikan padanya sebagai alasan bonus dari pekerjaan yang memuaskan bossnya. Wajah tampan dan tubuh terawat pria itu, seharusnya ia tak terlalu bodoh menganggap kebohohongan Dirga adalah jati diri pria itu yang sebenarnya. Bahkan seharusnya ia menggunakan ponsel mahal pemberian pria itu mencari tahu nama Banyu Dirgantara di internet. Yang tidak bisa dilakukan ponsel miliknya yang sudah dibuang Dirga ke tempat sampah di jalan. Ia bahkan tak punya waktu bersenang-senang dengan ponsel mahal itu kecuali hanya untuk menjawab pesan atau pun panggilan Dirga.
“Ternyata, selama ini kau hanya berpura-pura tak mengenali diriku yang sebenarnya. Tapi, ternyata kau sama saja dengan wanita-wanita yang merendahkan diri padaku hanya untuk menggali emasku.”
Sesil tak bisa menahan tangisannya melaju hingga membanjiri seluruh wajahnya. Penghinaan Dirga benar-benar berada di luar batas kesabarannya. Satu tamparan mendarat di pipi Dirga dan menghapus air matanya dengan sia. Ia melepas kalung yang tertutup kemeja lusuhnya, merogoh ponsel mahal pemberian Dirga di saku jeans yang warnanya sudah hampir pudar, dan melemparnya ke sofa mahal Dirga. Ia bahkan tak tahu kenapa Dirga tinggal di tempat semewah ini dan terlihat tak terusik ketika mengunjungi kafe murahan tempatnya bekerja. Bersikap seperti orang-orang kalangan bawah seakan memang dari situlah pria itu berasal.
“Setidaknya bermain dengan wanita miskin sepertimu cukup menghiburku.” Dirga benar-benar memberikan Sesil pukulan telak tepat di jantung wanita itu. Kali ini sengaja diperuntukkan untuk mematahkan hati wanita itu.
“Aku tak membutuhkan semua pemberianmu.” Sesil berbalik dan berlari melintasi ruang tamu Dirga yang luas. Untuk pertama dan akan menjadi terakhir kalinya ia menginjakkan kaki di lantai rumah ini.
Esoknya, ia tak bisa harus terus-terusan bersedih dengan kehancuran hubungannya dan Dirga. Sakit hatinya bisa menunggu, tapi pekerjaan sebagai pelayan cafe tak ingin tahu urusan hatinya yang tengah tergoncang. Ia merasa lega akhirnya bisa menyesaikan pekerjaan pada hari itu. Hingga saat ia berpamit pulang, ia melihat mobil mewah Dirga terparkir di halaman cafe. Sesil lebih memilih lewat pintu belakang, terpaksa mencegat taxi karena lebih cepat menghindari Dirga ketimbang dia harus berjalan kaki. Ditambah hujan yang tiba-tiba turun dan sial, kecelakaan itu terjadi.
Ingatan terakhirnya hanyalah mobil yang melaju tak terkendali, bunyi klakson yang memekakakkan telinga, kepalanya yang terdorong ke jendela mobil karena ia tak mengenakan sabuk pengaman, dan mobil yang berguling-guling menuruni jurang. Sungguh keajaiban ia bisa selamat dari kecelakaan menggenaskan itu.Lalu, seakan ingatan di kepalanya direset dan diganti ingatan baru yang dijejalkan Saga di kepalanya. Bukan hanya itu, Saga sengaja membuatnya terombang-ambing dengan kegelisahan akan jati dirinya yang sebenarnya. Ia tidak berselingkuh dengan Dirga, melainkan Sagalah yang membuat Dirga berpikiran bahwa ia berselingkuh dengan Saga.Suara pintu yang diketuk, sesaat menghentikan tangisan Sesil. Ia tak ingin terlihat menyedihkan di hadapan pengurus rumah tangga, karena tak mungkin Saga mengetuk pintu untuk masuk ke kamar pria itu sendiri. Segera Sesil bangkit terduduk, berusaha menutupi tubuh polosnya dengan selimut ketika pintu terbuka. Seorang pelayan masuk dengan
“Sial!!!” umpatan Saga sejenak membuyarkan konsentrasi sopir dari jalanan yang lengang. Saga membanting ponselnya ke jok dan memberi perintah, “Kembali ke rumah.”Belum ada sepuluh menit ia meninggalkan rumah, Sesil sudah membuat masalah. Berani-beraninya wanita itu melarikan diri dari rumahnya. Tentu tak akan pernah semudah itu. Wanita itu hanya bisa pergi dari rumahnya dengan ijinnya atau dengan tanpa nyawa. Dan ia benci jika rencananya tak berjalan sesuai dengan keinginannya. Urusannya masih belum selesai dengan Sesil.Sesampai di halaman rumah, ia melihat raut pucat dua penjaga yang berjaga di depan pintu kamar. Jon, pemimpin pengawal-pengawalnya berjalan mendekat ketika ia keluar dari mobil. “Maafkan kami, Tuan.”“Aku tak membutuhkan kata maaf, Jon. Bagaimana dia bisa kabur dengan menuruni balkon setinggi itu?” Saga tak membutuhkan jawaban Jon ketika melihat sprei kasurnya yang berkibar tertiup angin. Lalu ter
Saat matanya bergerak, rasa pusing yang menyerang kepala membuat Sesil mengernyit dalam-dalam dan mengerang pelan. Gorden kamar yang menutupi jendela dan lampu yang menyala terang meyakinkan Sesil bahwa hari sudah gelap. Kemudian, seketika ingatan terakhirnya sebelum ia pingsan kembali menerjang otaknya. Tangisannya kembali pecah menyadari di mana ia tengah berbaring saat ini. Ruangan yang sama tempat Saga membunuh.“Kau sudah sadar?”Sesil tak memedulikan keberadaan Saga, tangisannya tak terhenti.“Aku benci wanita yang cengeng, Sesil. Hentikan tangisanmu!” gertak Saga untuk kedua kalinya. Kali ini pria itu berdiri di pinggir ranjang dan menyentak bahu Sesil hingga wanita itu berbaring telentang dan wajahnya bisa menatap keberadaan dirinya.Sesil menepis tangan Saga. Namun, pria kejam itu memang tak pernah segan-segan bersikap kasar pada wanita. Dan malah menarik tubuh Sesil bangkit terduduk.“Pembunuh!” raung S
Jeritan nyaring memecah keheningan malam yang dingin.Saga tersentak. Matanya terbuka sempurna dan menerobos keremangan kamar. Menemukan Sesil berdiri di tengah ruangan dengan tubuh bergetar. “Ada apa?”“Aa ... aaku... aku melihat mayat.” Satu tangan Sesil menunjuk lantai di samping sofa dan satu tangannya menutup matanya yang terpejam.Saga mengikuti arah yang ditunjuk Sesil. “Tidak ada apa pun di sana, Sesil,” ketus Saga kesal.“Aku melihat mayat!” Sesil hampir berteriak pada Saga.“Apa kau masih bermimpi?”Sesil membuka mata dengan perlahan. Menatap Saga lalu menoleh ke tempat yang ia tunjuk. Tidak ada apa pun di sana. Matanya mengerjap beberapa kali, memastikan indera penglihatannya. Sungguh, ia melihat sesosok tubuh tergeletak di lantai dengan kepala penuh darah dan mata melotot menatapnya. Pria yang tadi dibunuh oleh Saga.“Apa kau berjalan sambil tidur?”
Saga merasa marah dengan kepanikan yang tak bisa ia kuasai. Napasnya tak berhenti mendesah dengan keras, seperti orang tolol berjalan mondar-mandir di lorong yang sepi. Hanya bisa menunggu pintu ruang operasi terbuka, dan sialan ia benar-benar bukan orang penyabar. Semua ketololan ini berakar dari seorang wanita murahan, licik, dan bodoh bernama Sesilia Nada.“Tuan.” Jon muncul dengan kantong pakaian berwarna hitam pada Saga. meskipun kemeja Saga berwarna gelap, noda darah yang mengotori bagian perut dan lengan tuannya tampak begitu jelas.“Aku tidak membutuhkannya, Jon.” Saga menepis kantong pakaian itu hingga jatuh ke lantai. Saat itu ia bersumpah akan membunuh Sesil. Ia mengabaikan tampilan sempurna hanya karena terlalu sibuk memikirkan keadaan wanita sialan itu. Namun, sebelum membunuh Sesil, ia akan memastikan mengambil segala manfaat yang bisa ia dapatkan dari tubuh mungil itu. Wanita itu tidak boleh mati sebelum ia merasa cukup dan terpua
“Aku bisa berjalan sendiri,” tolak Sesil saat Saga membungkuk untuk menggendongnya.“Aku tak bertanya atau meminta ijinmu.” Saga menyelipkan tangannya di kaki dan punggung Sesil. Mengangkatnya keluar dari mobil.Sesil terpaksa melingkarkan lengannya di leher Saga. Menundukkan wajah menghindari bertatapan dengan manik tajam pria itu. Apalagi dengan wajah mereka yang begitu dekat. Getaran dan desiran aneh merayapi dadanya. Membuatnya semakin mengkerut jika saja getaran itu sampai terdengar Saga.Saga tersenyum samar dengan kekikukan Sesil. Ia bisa melihat wanita itu berusaha tak bergerak dan tubuhnya kaku. Bahkan ia bisa melihat semburat rona mulai merekah di pipi wanita itu. “Selama ini, aku bertanya-tanya,” gumam Saga agak lirih. Bahkan pria itu sedikit membungkuk dan berbisik di telinga Sesil dengan nada menggoda.Desiran yang muncul karena napas panas Saga di telinganya membuat Sesil memejamkan mata. Lalu, merambat tu
Langkah Sesil terhenti melihat seorang wanita yang menghambur dalam pelukan Saga ketika kedua kakinya sudah menginjak lantai satu. Dan menyadari pasangan yang sepertinya tengah melepas rindu itu, Sesil hendak kembali ke kamar di lantai satu, tapi ancaman Saga yang akan mengurungnya di kamar jika ia terlambat turun, membuatnya berdiri seperti orang bodoh di belakang mereka.Sesil tak tahu siapa wanita itu, tapi tiba-tiba merasa sangat kesal dengan gerakan tak tahu malu ketika wanita itu dengan sengaja menempelkan dada pada lengan Saga. Dan merasa sangat panas karena Saga membiarkan perlakuan murahan itu. Penampilan wanita itu amat sangat memenuhi selera Saga. Dari model rambut, pakaian, bentuk tubuh. Semua berharga sangat mahal. Begitupun dua buah dada yang tampak tumpah di belahan kemeja dan rok pensil dengan belahan yang terlalu tinggi itu. Sesil merasa sangat geram tanpa alasan.“Apa yang kaulihat?!” bentak wanita itu galak ketika Sesil ketahuan mencuri p
Sekali lagi Cassie mematut wajahnya di depan cermin. Memastikan riasannya seperti yang ia inginkan, memastikan anting di telinganya terpasang erat, memastikan tidak ada helaian rambutnya yang mencuat tidak tepat pada tempat seharusnya, dan terakhir lipstik di bibirnya yang tergores. Saga sangat menyukai warna merah dengan kesan mengkilap. Lebih sensual dan menggoda. Ia tak pernah menyerah mendapatkan perhatian pria itu meskipun apa yang akan ia dapatkan tak akan lebih banyak dari sebelum-sebelumnya.Cassie berdiri, membenarkan ujung gaunnya yang selutut, tanpa lengan, dan warna merah yang memamerkan setengah kulit di punggungnya. Kepalanya berputar menatap jendela kamar tamu itu dengan hatinya ceria. Sungguh pagi yang sempurna.Tak sampai dua menit, ia sudah berdiri di ujung tangga lantai dua. Berbelok ke sebelah kiri menuju satu-satunya pintu ganda di sana. Namun, langkahnya terhenti dan wajahnya seketika mengeras ketika pintu itu tertarik membuka dan seor