Murni menambahkan, wajahnya serius. “Seorang pemuda bangsawan yang mengaku sebagai Pangeran Surya dari Kerajaan Karta Loka. Dialah yang memberi tahu kami tentang semua kerajaan itu. Tentang bahaya Pasukan Bulan. Tentang ritual Wanawaron.”Wirya terdiam sejenak, mencerna informasi baru ini. “Pangeran Surya? Dari Karta Loka? Tapi...” wajahnya berkerut, “itu tidak masuk akal. Pasukan Bulan adalah tentara Karta Loka. Mengapa pangeran dari kerajaan itu akan memperingatkan tentang bahaya dari pasukan sendiri?”Joko mengangguk, senyum tipis di bibirnya. “Pertanyaan yang sangat bagus, Anak Muda. Itulah yang membuat kami penasaran selama 18 tahun terakhir.” Tangannya memutar-mutar roda kursinya. “Pangeran Surya mengatakan ada perpecahan dalam internal kerajaan. Faksi yang dia pimpin menentang kekejaman Pasukan Bulan.”Murni mengamati Wirya dengan penuh minat. “Apa sebenarnya yang kau cari dari Joko Loyo? Mengapa kau mencarinya?”Wirya terdiam sejenak, lalu menjawab dengan jujur. “Aku diberita
“Aaaaaahhhh..”Indah mengerang panjang, tubuhnya bergetar hebat untuk terakhir kalinya sebelum akhirnya lemas sepenuhnya, pingsan di atas dada Wirya. Wirya sendiri mencapai puncak bersamanya, napasnya terengah-engah, tubuhnya basah oleh keringat dan kelelahan.Dia masih terbaring, mencoba memulihkan tenaga, ketika tiba-tiba suara yang asing membuatnya membeku.“Akhirnya ada yang berhasil menemukan dan membuka pintu ini.”Wirya terkejut, kepalanya berputar ke arah suara. Dari celah batu yang baru terbuka di dekat air terjun, muncul seorang pria tua yang duduk di kursi roda, mengenakan jas lab putih yang terlihat aneh di tengah hutan purba. Yang mendorongnya adalah seorang wanita dengan pakaian penjelajah yang sempat dilihat Wirya kemarin."Kalian... dari mana? Pakaian itu." Wirya gagap, mencoba menutupi diri dan Indah yang tidak sadar.Pria tua di kursi roda mengangkat alisnya, terkejut. "Kau... kau tahu tentang pakaian kami?"Wanita penjelajah itu mendekat, matanya menyorotkan cahay
Dengan napas yang masih tersengal-sengal, Wirya menarik perlahan pakaian bawah Indah. Di bawah sinar bulan purnama, terbentang pemandangan yang membuatnya terkesima—pusaran rambut hitam yang sudah basah oleh hasrat mereka, kontras sempurna dengan kulit Indah yang putih dan mulus.“Wirya...” bisik Indah, suaranya gemetar berpadu dengan erangan. Matanya yang berkaca-kaca menatap Wirya, tidak lagi menyembunyikan kerinduannya. “Aku... aku juga menginginkanmu. Selama ini... tanpa aku sadari.”Dia menarik napas dalam, seolah mengumpulkan keberanian untuk mengucapkan sesuatu yang telah lama terpendam. “Ambil... kesucianku. Aku hanya ingin kau yang pertama.”Kalimat itu seakan melepas semua penahan terakhir Wirya. Dengan hati yang berdebar kencang penuh kekaguman dan hasrat, dia membimbing diri sendiri ke gerbang yang masih perawan.Indah mengerang saat Wirya perlahan memasuki dirinya untuk pertama kali. Tangannya mencengkeram erat punggung Wirya, menahan campuran rasa sakit dan kepuasan yang
Indah tiba-tiba terlihat gelisah, matanya terus melirik ke arah gelapnya hutan di luar lingkaran cahaya api unggun. “Ambarani dan Kuncoro,” gumannya, suara penuh kekhawatiran. “Mereka seharusnya sudah kembali sejak lama.”Wirya, yang masih mencoba memahami keadaan, mengerutkan kening. “Ambarani dan... pria itu? Mereka pergi kemana? Kenapa kau terlihat begitu khawatir?”“Mencari daun gigil untukmu!” jawab Indah, suaranya semakin tinggi oleh kecemasan. “Mereka pergi sejak pagi, Wirya. Dan sekarang sudah hampir tengah malam!” Tangannya meremas-remas ujung kembennya. “Ada yang tidak beres. Pasti ada yang tidak beres.”Dia berjalan mondar-mandir di depan api unggun, tidak lagi peduli dengan rasa malu atau keintiman aneh yang baru saja terjadi antara mereka. “Hutan ini berbahaya di malam hari. Apalagi dengan Pasukan Bulan yang mungkin berkeliaran, dan prajurit Wanawaron yang masih memburu kita...”Indah bergegas mengambil obor yang menyala. “Aku harus mencari mereka! Mereka sudah terlalu l
Ingatan akan kehangatan yang sempat tercipta saat dia memasukkan tangan Wirya ke dalam kembennya tadi menyambar di benak Indah. Sebuah ide yang nekat dan sangat intim muncul.“Tolonglah bekerja,” bisiknya pada diri sendiri, tangannya sudah membuka selimut yang membungkus Wirya.Dengan gemetar, dia membuka kembennya sendiri, melepaskan setiap lapisan pakaian hingga tubuhnya yang mungil sepenuhnya terbuka di udara malam. Tidak ada rasa malu, hanya keputusasaan yang mendorongnya.Dia kemudian membuka sisa pakaian Wirya yang melilit tubuh pria itu, melepasnya hingga mereka berdua sama-sama tanpa sehelai benang di bawah sinar bulan purnama.Dia membaringkan tubuhnya di atas Wirya, kulit ke kulit, berusaha menutupi sebanyak mungkin bagian tubuh Wirya dengan tubuhnya sendiri. Perlahan, dia mulai menggosok-gosokkan tubuhnya ke tubuh Wirya, menciptakan gesekan yang diharapkan bisa menghasilkan kehangatan.“Ku mohon, Wirya,” desisnya sambil terus bergerak, air matanya menetes ke dada Wirya yang
“Tahan, Wirya,” bisiknya di dekat telinga Wirya. “Aku di sini. Aku tidak akan membiarkanmu pergi.”Dia terus mengelus punggung Wirya, menyanyikan lagu pengantar tidur yang dulu sering dinyanyikan ibunya. Air matanya jatuh tanpa henti, membasahi rambut Wirya.Tiba-tiba, tangan Wirya yang dingin bergerak, mencoba memegang tangan Indah. “Jangan... tinggalkan...” ucapnya lemah, hampir seperti napas.Indah memegang erat tangan itu. “Tidak. Aku tidak akan meninggalkanmu. Aku janji.”Dalam kepanikan dan kehangatan pelukan mereka, sesuatu mulai berubah bagi Indah. Keintiman darurat ini tiba-tiba memicu sensasi yang tidak terduga. Dia merasakan detak jantungnya sendiri semakin kencang, bukan hanya karena kekhawatiran, tetapi karena kedekatan tubuh mereka yang hampir tanpa penghalang.Dengan napas tergesa-gesa, dipimpin oleh dorongan yang tidak sepenuhnya dia pahami, Indah mengambil tangan Wirya yang dingin dan lemah.“Kau perlu kehangatan,” bisiknya, lebih kepada dirinya sendiri daripada kepa