LOGIN“Tunggu!” Seruan itu keluar tanpa kendali. Wirya merangkak ke depan. “Tolong hentikan rasa sakit ini!” Kata-kata itu terasa seperti kaca di kerongkongan.
Adiwidya berjongkok, jarinya yang bersarung menyentuh leher Wirya yang berdenyut kencang. "Salah!" bisiknya lembut. “Kau harus mengucapkan Tolong... Perdana Menteri Adiwidya. Anugerahkan aku obat itu untuk mengurangi rasa sakitku. Lakukan dengan tunduk yang benar.” Dengan gemetar, Wirya menekan dahinya ke lantai dengan gerakan cepat dan berulang. “TOLONG!” teriaknya, suara parau pecah. “Aku mohon Perdana Menteri... aku tak tahan lagi...” Dengan gerakan cepat, Adiwidya menyelipkan kapsul ke mulut Wirya. Rasa pahit menyebar, tapi dalam hitungan detik, kejang di perutnya mereda seperti ombak yang tiba-tiba tenang. Wirya tetap terbaring di lantai, bau debu dan aibnya sendiri menusuk hidung. Di balik efek kapsul yang menenangkan, rasa yang lebih dalam menggerogotinya: rasa malu. “Ayo kita tinggalkan dia!” Perintah Adiwidya kepada bawahannya. Suara Adiwidya nyaris tak terdengar oleh Wirya karena kesadarannya mulai menghilang. Pandangannya mulai kabur dan perlahan berubah menjadi gelap. ——— Cahaya bulan purnama menyelinap melalui celah jendela batu, menerangi sel penjara yang sunyi. Wirya terbangun dengan kepala masih pusing, bekas rasa sakit di perutnya seperti gema yang samar. Dua penjaga wanita bersenjata tombak bergantian berjalan di lorong depan sel, bayangan mereka terpantul di dinding seperti siluet hantu. Srikk.. Srikk.. Srikk... Suara gesekan kain sutra tiba-tiba membuat Wirya mengangkat kepala. Dewi Kirani berdiri di balik jeruji, tangan gemetar memegang nampan berisi semangkuk bubur hangat dan buah kering. Matanya merah bengkak, seperti habis menangis berjam-jam. “Maafkan aku,” bisiknya begitu penjaga berpaling. “Aku harus memalsukan cerita itu... satu-satunya cara agar kau bisa keluar dari sini hidup-hidup.” Wirya mendekati jeruji, suaranya parau. “Kenapa kamu datang ke sini?” Kirani menekan jarinya ke jeruji besi yang dingin. “Aku tak tahan melihatmu menderita karena kebohonganku. Tapi...” Suaranya terputus oleh isak. “...aku tak bisa melawan Bunda. Setelah Pendeta memberikan ramuan itu, percuma kalau aku membiarkanmu kabur dan akan menderita di luar sana.” Wirya termenung merasakan kebaikan Tuan Putri dari Wanawaron tersebut. “Aku... tak bisa memberimu penawar,” bisiknya serak, suara hancur oleh ketidakberdayaan. “Tapi Bunda menyimpannya di ruang bawah singgasananya. Ada lorong rahasia di balik ukiran bulan di lantai...” Wirya mencoba menyentuh bahu Dewi Kirani dengan lembut. “Kenapa kau memberitahu ini?” Tiba-tiba, derap kaki cepat terdengar. Adiwidya muncul di ujung lorong dengan wajah seperti elang yang mencium mangsa. “Putri!” suaranya memotong tajam. “Apa yang kau lakukan di sini?” Kirani berbalik dengan cepat, wajahnya tiba-tiba berubah dingin. “Memberinya makan terakhir kepada orang yang kalian siksa!” hardiknya, sambil sengaja meletakkan nampan di lantai. Suasana di lorong penjara mendadak beku ketika Ratu Arunya muncul dengan gaun kebesaran berwarna hitam-legam, diikuti Panglima Amita yang bersenjata lengkap. Gemerlap permata di mahkotanya memantulkan cahaya obor seperti pisau-pisau kecil di dinding batu. “Putriku,” suara Ratu menggema dingin, "sudah waktunya kau bersiap. Kita pergi ke Karta Loka setelah fajar.” Dewi Kirani tercekat, wajahnya pucat. "Tapi Bunda, aku—" “Tidak ada tapi,” Ratu memotong sambil melirik Wirya yang masih terduduk di sel. “Dan kau—” Jarinya berlapis cincin runcing menunjuk ke arah Wirya, “—harus menjadi Raja Wanawaron sempurna dalam penjamuan di Kerajaan Karta Loka. Atau organ-organmu akan kujadikan persembahan di pesta itu.” Panglima Amita membuka kunci sel. “Keluarlah!” Wirya keluar dari dalam sel dengan perlahan. Tangannya langsung di sambut oleh Amita yang dengan cepat membuka borgol yang membelenggunya. Ratu Arunya mengangkat satu tangannya seolah memberi isyarat kepada dua orang pelayan yang membawa tumpukan pakaian dan perhiasan. Adiwidya segera mengambil satu set pakaian kebanggaan kerajaan. “Ini hasil tenunan terbaik Wanawaron,” katanya dengan nada datar, menjunjung pakaian itu dengan sangat hati-hati. “Sutra bulan yang hanya diproduksi sekali dalam sepuluh tahun. Kau harus terlihat sempurna.” Wirya menyentuh kain itu dengan skeptis. Teksturnya sehalus embun pagi, tapi terasa dingin seperti es. “Kenapa tiba-tiba bermurah hati?” Ratu Arunya mendekati Wirya dengan anggun, tangannya meraih nampan berisi perhiasan. “Karena saat ini,” ujar Ratu dengan senyum diplomatis, “kita bukan tuan dan tawanan, tapi rekan yang saling membutuhkan.” Dia mengangkat kalung leher berliontin batu bulan. “Karta Loka mengira kami lemah. Tunjukkan pada mereka persatuan kita.” Adiwidya membantu Wirya mengenakan jubah tanpa kekerasan. “Kami telah meracuni aliran darahmu dengan Lara Waktu,” bisiknya tenang. “Tapi selama kau kooperatif, penawar akan diberikan secara teratur. Tak perlu ancaman kasar—kita semua dewasa di sini.” Panglima Amita mengikatkan ikat pinggang emas dengan motif akar kehidupan. “Kau akan mendapatkan kamar pribadi setelah acara. Makanan terbaik, buku-buku langka—semua hak istimewa seorang raja.” Dewi Kirani yang berdiri di paling belakang, wajahnya pucat saat menyaksikan ibunya mendekati Wirya dengan langkah penuh kalkulasi. “Rencana berubah,” suaranya memotong dingin, membuat semua orang di ruangan membeku. “Ritual pengorbanan harus dilaksanakan hari ini. Sebelum berangkat menuju Karta Loka.”Beberapa minggu telah berlalu sejak penobatan Wirya, dan istana kerajaan Nusantara mengalami perubahan drastis. Aturan baru yang ditetapkan Wirya—bahwa semua penghuni istana harus telanjang—telah menciptakan atmosfer yang penuh dengan hawa nafsu. Suatu pagi, ketika Wirya sedang duduk di singgasananya dengan beberapa wanita telanjang mengelilinginya, tiba-tiba muncul kilatan cahaya terang di tengah ruang takhta. Dari cahaya itu muncul dua sosok—Joko Loyo yang tampak tua dan bijaksana, serta Murni, istrinya yang cantik dengan mata penuh kelembutan.“Wirya!” hardik Joko Loyo, matanya menyala-nyala melihat pemandangan tak senonoh di istana. “Apa yang telah kau lakukan?”Wirya bangkit dari singgasana, dengan sombongnya menunjukkan tubuh telanjangnya yang perkasa. “Joko Loyo! Lihatlah kerajaanku! Aku memiliki segalanya di sini!”Murni menutup matanya, malu melihat kemerosotan moral Wirya. “Wirya, kami mengirimmu ke masa lalu untuk menyelamatkan sejarah, bukan untuk menghancurkannya!”Joko
Wirya menarik napas dalam. “Cincin ini... lagi-lagi...”Amita meletakkan gelas dan mendekat. “Kau tidak harus melawan hasratmu sendiri, Wirya. Kau adalah raja sekarang.”Dia berlutut di depan Wirya, tangan hangatnya menyentuh kaki Wirya. “Biarkan aku membantumu malam ini.”Cincin itu berdenyut lebih kencang, seakan menyetujui. Dan untuk malam ini, Wirya memutuskan untuk menyerah pada takdir dan hasrat yang telah dipilihkan untuknya.Amita mendekat dengan langkah yang penuh keyakinan, matanya tidak lagi memancarkan sikap prajurit yang tegas, melainkan kelembutan seorang wanita. Cahaya bulan dari balkon menerpa sisi wajahnya, menciptakan siluet yang memesona.“Wirya,” bisiknya, tangannya yang biasanya memegang pedang kini dengan lembut melepaskan jubah kerajaan yang dikenakan Wirya. “Kau tidak perlu melawan ini. Cincin itu adalah bagian dari takdirmu, dan hasrat ini adalah bagian dari kekuatanmu.”Wirya menarik napas dalam, mencoba melawan gelombang gairah yang semakin menjadi. “Tapi...
Hampir tiap hari Wirya dan Ratu Arunya sering mengunjungi gua tersebut.Di dalam gua yang diterangi cahaya keemasan dari cincin Wirya, ketika dua tubuh itu terpisah dengan napas masih tersengal. Arunya berbaring di atas jubahnya yang terhampar, wajahnya memancarkan kepuasan dan kedamaian yang lama hilang. Dari luar gua, suara Amita memanggil dengan hormat. “Yang Mulia? Pemukiman pertama sudah siap. Rakyat menanti perintah berikutnya.”Wirya dan Arunya saling memandang. Saatnya kembali kepada tanggung jawab. Dengan gerakan perlahan, mereka mengenakan kembali pakaian mereka. Wirya membantu Arunya berdiri, dan di matanya kini terlihat penghormatan yang berbeda.“Siapakah yang akan kau pilih sebagai permaisuri?” tanya Arunya sambil merapikan rambutnya. “Amita mungkin pilihan yang tepat. Dia kuat dan disegani.”Wirya menggeleng. “Masih terlalu cepat untuk memikirkan itu. Kerajaan harus dibangun terlebih dahulu. Dan...” dia menatap Arunya, “apa yang baru saja terjadi antara kita...”“Adala
“Aku...” gumamnya, suaranya bergetar. “Aku akan tinggal.”Dia berlutut menghadap Ratu Arunya, mengangkat tubuhnya perlahan. “Bangunlah, Yang Mulia. Aku bersumpah akan membantumu membangun kerajaan baru. Masa depanku... biarlah menjadi masa lalu.”Ratu Arunya memeluk Wirya erat, tangisnya pecah melegakan.Di tepi pantai, rombongan terakhir kerajaan yang hancur mulai menaiki perahu-perahu yang telah disiapkan. Wirya berdiri di samping Ratu Arunya, memandang lautan luas yang akan mereka seberangi.“Tanah baru itu bernama Nusantara,” ucap Ratu Arunya, matanya menerawang mengingat sesuatu. “Tempat di mana leluhur kita pertama kali menginjakkan kaki.”Amita mendekat dengan beberapa peta kuno di tangannya. “Menurut catatan, di sana terdapat tanah subur dengan sungai-sungai yang jernih. Tapi...” dia berhenti sejenak, “menurut legenda, tempat itu juga dijaga oleh roh-roh penjaga yang perkasa.”Wirya merasakan cincin di jarinya bergetar halus. “Aku merasa... ada yang memanggil dari sana. Sepert
Wirya memeluk Arunya erat, mengarahkan telapak tangannya sekali lagi. Kali ini, dengan keyakinan penuh, dia membayangkan melindungi Arunya dan menghentikan Candra Damar untuk selamanya.Cincin itu menyala dengan intensitas luar biasa, membentuk perisai energi yang mendorong Candra Damar hingga terpental ke dalam terowongan. Batu-batu mulai runtuh, menutup pintu keluar.Saat debu mengendap, Wirya dan Arunya terduduk lelah. Mereka selamat, tapi kehilangan Surya. Di kejauhan, asap masih membubung dari istana yang hancur.“Perjuangan belum berakhir,” bisap Arunya, “tapi hari ini, kita masih punya harapan.”Wirya memapah tubuh Ratu Arunya yang lemah melalui hutan belantara menuju titik evakuasi di Pantai Gua Karang Timur. Dengan setiap langkah, harapan mereka untuk menemukan para pengungsi yang selamat semakin berkobar. Namun, yang menyambut mereka hanyalah pemandangan yang menghancurkan hati.“Tidak...!” tercekik Arunya begitu matanya menangkap sosok yang terbaring di antara reruntuhan pe
Surya melemparkan busurnya dan menghunus pedang. “Laporan kematianku terlalu berlebihan, Candra. Dan sekarang, aku datang untuk mengembalikan kehormatan kerajaan!”Dia melompat ke tengah ruangan, pedangnya berkilat di cahaya bulan. “Anak muda! Lindungi Ratu! Aku yang akan menghadapi mereka!”Wirya segera berlari ke arah Arunya, melepaskan jubahnya sendiri untuk menutupi tubuh ratu yang setengah telanjang. Pertarungan sengit pun pecah antara Surya melawan pasukan Candra Damar, memberikan harapan baru di tengah keputusasaan.Surya bergerak lincah seperti harimau, pedangnya menari-nari membentuk lingkaran cahaya perak. Setiap tebasannya tepat sasaran, menjatuhkan prajurit Pasukan Bulan satu per satu. Darah berceceran di lantai candi yang dingin.“Wirya, bawa Ratu pergi dari sini!” teriak Surya sambil menangkis serangan tiga prajurit sekaligus.Wirya dengan sigap mengangkat tubuh Ratu Arunya yang masih lemah. “Ke mana kita harus pergi?”“Terowongan di balik patung dewa!” sahut Surya singk







