Share

Bab 9

Aвтор: Frands
last update Последнее обновление: 2025-05-02 21:00:27

“Tunggu!” Seruan itu keluar tanpa kendali. Wirya merangkak ke depan. “Tolong hentikan rasa sakit ini!” Kata-kata itu terasa seperti kaca di kerongkongan.

Adiwidya berjongkok, jarinya yang bersarung menyentuh leher Wirya yang berdenyut kencang. "Salah!" bisiknya lembut. “Kau harus mengucapkan Tolong... Perdana Menteri Adiwidya. Anugerahkan aku obat itu untuk mengurangi rasa sakitku. Lakukan dengan tunduk yang benar.”

Dengan gemetar, Wirya menekan dahinya ke lantai dengan gerakan cepat dan berulang. “TOLONG!” teriaknya, suara parau pecah. “Aku mohon Perdana Menteri... aku tak tahan lagi...”

Dengan gerakan cepat, Adiwidya menyelipkan kapsul ke mulut Wirya. Rasa pahit menyebar, tapi dalam hitungan detik, kejang di perutnya mereda seperti ombak yang tiba-tiba tenang.

Wirya tetap terbaring di lantai, bau debu dan aibnya sendiri menusuk hidung. Di balik efek kapsul yang menenangkan, rasa yang lebih dalam menggerogotinya: rasa malu.

“Ayo kita tinggalkan dia!” Perintah Adiwidya kepada bawahannya.

Suara Adiwidya nyaris tak terdengar oleh Wirya karena kesadarannya mulai menghilang. Pandangannya mulai kabur dan perlahan berubah menjadi gelap.

———

Cahaya bulan purnama menyelinap melalui celah jendela batu, menerangi sel penjara yang sunyi. Wirya terbangun dengan kepala masih pusing, bekas rasa sakit di perutnya seperti gema yang samar. Dua penjaga wanita bersenjata tombak bergantian berjalan di lorong depan sel, bayangan mereka terpantul di dinding seperti siluet hantu.

Srikk.. Srikk.. Srikk...

Suara gesekan kain sutra tiba-tiba membuat Wirya mengangkat kepala.

Dewi Kirani berdiri di balik jeruji, tangan gemetar memegang nampan berisi semangkuk bubur hangat dan buah kering. Matanya merah bengkak, seperti habis menangis berjam-jam.

“Maafkan aku,” bisiknya begitu penjaga berpaling. “Aku harus memalsukan cerita itu... satu-satunya cara agar kau bisa keluar dari sini hidup-hidup.”

Wirya mendekati jeruji, suaranya parau. “Kenapa kamu datang ke sini?”

Kirani menekan jarinya ke jeruji besi yang dingin. “Aku tak tahan melihatmu menderita karena kebohonganku. Tapi...” Suaranya terputus oleh isak. “...aku tak bisa melawan Bunda. Setelah Pendeta memberikan ramuan itu, percuma kalau aku membiarkanmu kabur dan akan menderita di luar sana.”

Wirya termenung merasakan kebaikan Tuan Putri dari Wanawaron tersebut.

“Aku... tak bisa memberimu penawar,” bisiknya serak, suara hancur oleh ketidakberdayaan. “Tapi Bunda menyimpannya di ruang bawah singgasananya. Ada lorong rahasia di balik ukiran bulan di lantai...”

Wirya mencoba menyentuh bahu Dewi Kirani dengan lembut. “Kenapa kau memberitahu ini?”

Tiba-tiba, derap kaki cepat terdengar. Adiwidya muncul di ujung lorong dengan wajah seperti elang yang mencium mangsa.

“Putri!” suaranya memotong tajam. “Apa yang kau lakukan di sini?”

Kirani berbalik dengan cepat, wajahnya tiba-tiba berubah dingin. “Memberinya makan terakhir kepada orang yang kalian siksa!” hardiknya, sambil sengaja meletakkan nampan di lantai.

Suasana di lorong penjara mendadak beku ketika Ratu Arunya muncul dengan gaun kebesaran berwarna hitam-legam, diikuti Panglima Amita yang bersenjata lengkap. Gemerlap permata di mahkotanya memantulkan cahaya obor seperti pisau-pisau kecil di dinding batu.

“Putriku,” suara Ratu menggema dingin, "sudah waktunya kau bersiap. Kita pergi ke Karta Loka setelah fajar.”

Dewi Kirani tercekat, wajahnya pucat. "Tapi Bunda, aku—"

“Tidak ada tapi,” Ratu memotong sambil melirik Wirya yang masih terduduk di sel. “Dan kau—” Jarinya berlapis cincin runcing menunjuk ke arah Wirya, “—harus menjadi Raja Wanawaron sempurna dalam penjamuan di Kerajaan Karta Loka. Atau organ-organmu akan kujadikan persembahan di pesta itu.”

Panglima Amita membuka kunci sel. “Keluarlah!”

Wirya keluar dari dalam sel dengan perlahan. Tangannya langsung di sambut oleh Amita yang dengan cepat membuka borgol yang membelenggunya.

Ratu Arunya mengangkat satu tangannya seolah memberi isyarat kepada dua orang pelayan yang membawa tumpukan pakaian dan perhiasan.

Adiwidya segera mengambil satu set pakaian kebanggaan kerajaan.

“Ini hasil tenunan terbaik Wanawaron,” katanya dengan nada datar, menjunjung pakaian itu dengan sangat hati-hati. “Sutra bulan yang hanya diproduksi sekali dalam sepuluh tahun. Kau harus terlihat sempurna.”

Wirya menyentuh kain itu dengan skeptis. Teksturnya sehalus embun pagi, tapi terasa dingin seperti es. “Kenapa tiba-tiba bermurah hati?”

Ratu Arunya mendekati Wirya dengan anggun, tangannya meraih nampan berisi perhiasan. “Karena saat ini,” ujar Ratu dengan senyum diplomatis, “kita bukan tuan dan tawanan, tapi rekan yang saling membutuhkan.”

Dia mengangkat kalung leher berliontin batu bulan. “Karta Loka mengira kami lemah. Tunjukkan pada mereka persatuan kita.”

Adiwidya membantu Wirya mengenakan jubah tanpa kekerasan. “Kami telah meracuni aliran darahmu dengan Lara Waktu,” bisiknya tenang. “Tapi selama kau kooperatif, penawar akan diberikan secara teratur. Tak perlu ancaman kasar—kita semua dewasa di sini.”

Panglima Amita mengikatkan ikat pinggang emas dengan motif akar kehidupan. “Kau akan mendapatkan kamar pribadi setelah acara. Makanan terbaik, buku-buku langka—semua hak istimewa seorang raja.”

Dewi Kirani yang berdiri di paling belakang, wajahnya pucat saat menyaksikan ibunya mendekati Wirya dengan langkah penuh kalkulasi.

“Rencana berubah,” suaranya memotong dingin, membuat semua orang di ruangan membeku. “Ritual pengorbanan harus dilaksanakan hari ini. Sebelum berangkat menuju Karta Loka.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Tawanan yang Menawan   Bab 120

    “Di manakah Putri Dewi Kirani?" tanya Wirya, mencoba memecah kesunyian yang membuatnya tidak nyaman. "Aku ingin bertemu dengannya."Salah satu penjaga meliriknya, wajahnya tetap netral. "Yang Mulia Putri juga sedang mempersiapkan diri untuk upacara nanti. Anda akan bertemu dengannya pada waktunya."Penjaga yang satunya menambahkan dengan suara datar, "Tidak perlu khawatir. Semua sudah diatur untuk... kenyamanan Anda berdua."Jawaban yang samar dan menghindar itu justru membuat Wirya semakin gelisah. Dia mencoba lagi, "Apa yang akan terjadi dalam upacara itu? Apa aku masih harus menghamili Tuan Putri?"Kedua penjaga saling memandang sejenak sebelum yang pertama menjawab, "Itu bukan urusan kami untuk menjelaskan. Anda hanya perlu mengikuti arahan."Mereka berhenti di depan sebuah pintu kayu besar yang diukir dengan simbol bulan sabit. Salah satu penjaga membukanya, memperlihatkan kamar yang luas dengan bak mandi beruap dan pakaian bersih yang sudah disiapkan."Beristirahatlah," ujar pen

  • Tawanan yang Menawan   Bab 119

    Wirya menyoroti keraguan dalam suaranya. “Tapi apa kau yakin Ratu akan mendengarkanmu?”Amita menghela napas, Wirya melihat kerentanan yang jelas dalam diri sang panglima. “Arunya adalah ratu yang bijaksana, tapi... dia juga sangat teguh pada pendiriannya. Terutama mengenai tradisi.” Dia menunduk, memilih kata-katanya dengan hati-hati. “Aku hanyalah adik. Dan dalam hal ini... mungkin pengaruhku tidak sebesar yang kuharapkan.”“Tapi setelah semua yang terjadi? Setelah aku melarikan diri?” tanya Wirya lagi.“Mungkin hal itu bisa mengubah cara pandangnya,” jawab Amita, suaranya sedikit lebih keras, seolah mencoba meyakinkan dirinya sendiri. “Kau telah menunjukkan keberanian, kecerdasan, dan... karakter yang layak dihormati.” Dia berhenti lagi, dan kali ini suaranya nyaris berbisik, “Dan mungkin... hanya mungkin... Wanawaron memang perlu mempertimbangkan kembali beberapa tradisinya.”Pengakuan itu terasa berat baginya, seperti mengucapkan sesuatu yang hampir bersifat penghujatan.Wirya

  • Tawanan yang Menawan   Bab 118

    Pertarungan sengit terjadi. Amita bertahan dengan disiplin tinggi, mencoba mencari celah untuk melumpuhkan tanpa membunuh. Tiba-tiba, dari atas kuda, Wirya berteriak keras.“NINGRUM, HENTIKAN! AMBARANI TIDAK BERSAMA KAMI!”Nama itu mengguncang Amita seperti sambaran petir. Matanya membelalak, memperhatikan lebih cermat wajah wanita yang sedang bertarung dengannya. Di balik coretan darah, keringat, dan amarah yang mendistorsi fitur wajahnya, Amita mulai mengenali sesuatu—sebuah kenangan dari masa lalu yang jauh.“Tunggu...” gumam Amita, langkahnya tiba-tara menjadi kurang ofensif, lebih defensif. “Ningrum? Ningrum yang dulu saat kecil selalu mencuri jambu di kebun istana?”Ningrum mendadak terhenti, serangannya melambat. Napasnya tersengal-sengal, matanya menyipit penuh kebingungan. "Bagaimana kau—?""Kita pernah berlatih pedang bersama di bawah bimbingan Guru Senja!" teriak Amita, mencoba menembus kabut amarah di pikiran Ningrum. "Kau selalu kalah dariku, tapi tidak pernah menyerah!"

  • Tawanan yang Menawan   Bab 117

    Amita menghentikan kudanya, menatap jauh ke arah pepohonan. "Kami bertiga dibesarkan dengan prinsip yang sama: Wanawaron adalah segalanya. Tapi kami memilih jalan yang berbeda untuk menunjukkannya."Dia menoleh, memandang Wirya. "Arunya percaya bahwa mempertahankan tradisi adalah cara terbaik melestarikan Wanawaron. Ambarani yakin bahwa mengubah tradisi adalah satu-satunya cara menyelamatkannya. Dan aku..." Dia menghela napas, "Aku hanya percaya pada hierarki dan disiplin. Aku melayani ratuku, tapi juga melindungi rakyatku—termasuk dari diri mereka sendiri jika diperlukan.""Jadi pada intinya," simpul Wirya, "kalian bertiga sama-sama mencintai Wanawaron, hanya dengan cara yang berbeda."Untuk pertama kalinya, senyum kecil muncul di bibir Amita. "Kau memang bijaksana, Tuan Jaksa. Mungkin itulah sebabnya Ambarani memilih mempertaruhkan segalanya untukmu."Sebutan itu menggantung di udara antara mereka seperti tamparan. Wirya mengeras di tempat duduknya, cengkeramannya pada pinggang Ami

  • Tawanan yang Menawan   Bab 116

    “Jangan menyebut nama itu di hadapanku,” desisnya, suara tiba-tiba penuh dengan getaran emosi yang jarang terlihat.“Kenapa?” tanya Wirya, penasaran. “Meski dia adalah musuh kalian. Tapi yang kulihat... dia tidak seperti yang kau gambarkan.”Amita menarik napas dalam. “Kau tidak tahu apa-apa tentang dia.”“Yang kukatakan, dia memiliki sisi lembut yang tersembunyi, seperti dirimu,” tukas Wirya. “Dan dia bercerita padaku bahwa dia sebenarnya—““—adik kandung Ratu Arunya,” sela Amita, suara tiba-tara lembut namun penuh beban. “Dan... kakak kandungku.”Wirya tertegun. “Jadi kau sudah tahu?”“Ya,” bisik Amita, matanya menerawang.“Dia memang kakakku. Dia melarikan diri dari Wanawaron karena menentang tradisi kita—ritual yang sekarang akan kau jalani. Dia menganggapnya tidak manusiawi.”Dia menatap Wirya, dan untuk pertama kalinya, Wirya melihat kerapuhan yang dalam di balik armor kekuatan sang panglima."Dia bukan hanya pengkhianat bagi kerajaan, Wirya. Dia adalah pengkhianat bagi kel

  • Tawanan yang Menawan   Bab 115

    Wirya merasa darahnya memanas, campuran dari malu dan sebuah keberanian aneh. “Apa kau belum pernah melihat benda seperti ini, Panglima?”Amita mengangkat pandangannya, bertemu dengan mata Wirya. Wajahnya masih berusaha netral, tetapi ada sesuatu yang berubah di matanya. “Di Wanawaron, banyak wanita yang menginginkan... apa yang kau miliki. Mereka menunggu giliran untuk merasakan.”“Dan kau?” tanya Wirya, berani yang tidak dia kenali dalam dirinya sendiri. “Apakah kau juga menunggu giliran itu, Panglima Amita?”Diam sejenak. Hanya suara sungai yang mengalir.“Aku adalah panglima,” jawabnya akhirnya, suara rendah. “Aku menjalankan tugas. Aku tidak... memperdulikan hal seperti itu.”“Jadi kau belum pernah?” Wirya mendesak, merasa anehnya kekuasaan berada di tangannya sekarang.Amita menghela napas, dan untuk pertama kalinya, Wirya melihat kerapuhan dalam diri wanita perkasa ini. “Tugasku adalah melindungi kerajaan, bukan... memenuhi nafsu. Tapi melihatmu sekarang...” Matanya kembali m

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status