Share

Bab 10

Author: Frands
last update Last Updated: 2025-05-03 18:40:16

Drap... Drap.. Drap...

Tiba-tiba lorong menuju sel tahanan bergetar oleh derap kaki para penjaga wanita bersenjata.

"Permisi, Ratu," ujar salah satunya sambil menunduk. “Persiapan di aula kerajaan sudah selesai.”

Terlihat senyum yang menungging di wajah Ratu Arunya mendengar kabar tersebut.

“Panglima! Kau atur dia. Aku akan pergi terlebih dahulu menuju Aula.” Perintah Ratu Arunya kepada Amita sebelum akhirnya berbalik pergi.

Diikuti oleh Adiwidya dan Dewi Kirani serta beberapa pelayan. Ratu Arunya meninggalkan Wirya yang masih sibuk mengenakan perhiasan dengan dibantu Amita.

“Bagaimana kalau aku tidak bisa membuat Dewi Kirani hamil?” Tanya Wirya kepada Amita.

Amita menghentikan gerakan tangannya dalam mengatur perhiasan yang akan dipakai Wirya. “Kepala akan dipisahkan dari tubuhmu.”

Deg..

Jantung Wirya seolah berhenti berdetak. Dia tak pernah memikirkan hal seperti ini sebelumnya.

Di satu sisi dia bersyukur bisa menikahi seorang Putri cantik dari Kerajaan Wanawaron. Di sisi lain dalam posisi apapun nyawanya akan tetap terancam.

“Kalian bilang akan membuatku berpura-pura menjadi Raja di kerajaan.” Wirya memperhatikan bayangannya di cermin yang tengah dibawa oleh salah satu pelayan. “Apa ada keringanan jika aku berhasil berperan menjadi raja dengan baik?”

Amita sedikit terkejut mendengar cara berdiplomasi dari Wirya yang masih terus mencari peluang. Sejenak dia memperhatikan Wirya yang kini sudah terlihat gagah layaknya raja sungguhan.

“Aku tidak bisa menjawab pertanyaanmu itu.” Suara Amita terdengar pelan dari biasanya. “Aku hanya mengikuti perintah dari sang Ratu.”

Wajah Amita berubah merah seperti buah stroberi segar yang baru saja dipetik saat melihat Wirya berdiri mengenakan pakaian kebesaran kerajaan. Hal itu disadari oleh Wirya yang memang sebagai jaksa, dia sudah terlatih dalam menganalisis mimik seseorang.

Wirya tahu Amita berbeda dari Ratu Arunya maupun Adiwidya yang pandai berdiplomasi. Amita hanya tahu tentang strategi perang dan kekerasan.

“Baiklah, aku akan mencari tahu sendiri dari Ratu.” Wajah Wirya mulai tersungging senyum yang penuh makna.

“Ikutlah denganku,” ujar Amita sambil membuka pintu kayu ukiran yang sebelumnya tersembunyi di balik tirai. Di baliknya terbentang koridor luas dengan karpet merah menyala, dihiasi motif sulur emas yang membentuk cerita para dewi penjaga Wanawaron.

Mereka melewati kolam air di tengahnya terdapat bangunan punden berundak. Patung-patung batu wanita perkasa berdiri di sekelilingnya, masing-masing memegang berbagai macam senjata.

"Kita akan sampai ke Aula,” bisik Amita sambil menunjuk ke cahaya keemasan di ujung koridor.

Amita mempercepat langkahnya yang diikuti oleh Wirya.

Saat pintu aula istana terbuka, desahan kagum tak sengaja keluar dari mulut Wirya.

“Luar Biasa!”

Ruangan seluas lapangan itu di tengahnya menjulang altar dari kristal kuarsa yang memancarkan cahaya biru pucat menerangi deretan kursi para bangsawan yang sudah duduk rapi.

Dewi Kirani sudah berdiri di atas altar dengan hanya menggunakan kemben putih mewah yang dihiasi emas yang membuatnya tampak seperti dewi turun dari langit. Rambutnya yang diikat ke belakang menampakkan wajah cantiknya terpancar ke penjuru ruangan, tapi matanya kosong bagai boneka porselen.

Ratu Arunya berdiri di depan altar, mengenakan jubah hitam bertabur serbuk berlian yang berkilauan. “Selamat datang, Wirya,” sambutnya dengan suara merdu. “Malam ini kita akan menjalankan Upacara Sambut Bumi—ritual untuk menyelaraskan energi asing dengan denyut nadi Wanawaron.”

“Bawa pengantin pria ke Lingkaran Pengikatan!”

Wirya yang masih kebingungan dengan suasana saat itu, dituntun oleh Amita dan Adiwidya menuju ke tengah Aula di mana terdapat sebuah ranjang yang ditutupi kain sutra tipis sebagai tirai pelindung hingga nampak seperti sebuah bilik.

Wirya berhenti tepat di depan bilik itu. Ratu Arunya menuntun Dewi Kirani menuju ke tempat di mana Wirya sedang berdiri.

“Apakah ini acara pernikahan di jaman ini?” Gumam Wirya yang sebelumnya tak membayangkan untuk menikah dalam waktu dekat.

Para pendeta wanita mulai mengelilingi Wirya dan Dewi Kirani sambil melemparkan kelopak bunga seroja.

“Dua sungai menjadi satu. Darah asing dan darah suci akan bersatu untuk kelangsungan pohon baru!”

Lantunan syair kuno mengalun dari alat musik bambu, menciptakan melodi yang membuat udara terasa hangat dan menyatu.

“Masuklah ke dalam bilik ini,” pinta Ratu Arunya sambil meremas kelopak bunga seroja dan mengusapkan ke dahi Wirya. “Ini tanda restu dariku.”

Wirya menuruti, sedikit ragu. Usapan itu terasa hangat di keningnya, seolah mengeluarkan aroma hujan pertama musim semi.

Wirya melangkah diikuti Dewi Kirani di belakangnya menuju ke sebuah ranjang yang kini terlihat jelas saat tirai dibuka. Ukurannya sangat besar dengan seprei berwarna merah mirip seperti bunga mawar.

“Adiwidya, Amita.” Terdengar pinta dari Ratu Arunya tepat sebelum Wirya dan Dewi Kirani mendaratkan langkah terakhir sebelum masuk bilik.

Dengan cepat Adiwidya dan Amita menghampiri Wirya dan menanggalkan pakaian kebesaran yang dipakai Wirya saat itu.

“Apa maksudnya ini?” Wirya kebingungan saat jubahnya terlepas dari tubuhnya.

“Yang kamu pakai saat ini adalah pakaian untuk raja.” Ratu Arunya dengan lembut menjelaskan. “Kamu tidak bisa masuk ke dalam bilik ini dengan pakaian itu.”

Wirya mencoba memperhatikan sekelilingnya.

Memang di jaman itu bertelanjang dada bagi seorang pria mungkin hal yang wajar, seperti saat dia melihat beberapa film bergenre kerajaan. Namun hal itu membuatnya agak risih, apalagi di lihat oleh banyak pasang mata wanita.

“Lalu apa yang harus aku kenakan, Ratu?”

“Pakai itu saja sudah cukup.” Ratu Arunya menunjuk kain jarik bermotif batik yang kini di pegang oleh Adiwidya. “Masuklah! Dan buat Tuan Putri hamil.”

Deg...

“Apakah aku harus menghamili Tuan Putri di bilik ini sekarang?”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Tawanan yang Menawan   Bab 120

    “Di manakah Putri Dewi Kirani?" tanya Wirya, mencoba memecah kesunyian yang membuatnya tidak nyaman. "Aku ingin bertemu dengannya."Salah satu penjaga meliriknya, wajahnya tetap netral. "Yang Mulia Putri juga sedang mempersiapkan diri untuk upacara nanti. Anda akan bertemu dengannya pada waktunya."Penjaga yang satunya menambahkan dengan suara datar, "Tidak perlu khawatir. Semua sudah diatur untuk... kenyamanan Anda berdua."Jawaban yang samar dan menghindar itu justru membuat Wirya semakin gelisah. Dia mencoba lagi, "Apa yang akan terjadi dalam upacara itu? Apa aku masih harus menghamili Tuan Putri?"Kedua penjaga saling memandang sejenak sebelum yang pertama menjawab, "Itu bukan urusan kami untuk menjelaskan. Anda hanya perlu mengikuti arahan."Mereka berhenti di depan sebuah pintu kayu besar yang diukir dengan simbol bulan sabit. Salah satu penjaga membukanya, memperlihatkan kamar yang luas dengan bak mandi beruap dan pakaian bersih yang sudah disiapkan."Beristirahatlah," ujar pen

  • Tawanan yang Menawan   Bab 119

    Wirya menyoroti keraguan dalam suaranya. “Tapi apa kau yakin Ratu akan mendengarkanmu?”Amita menghela napas, Wirya melihat kerentanan yang jelas dalam diri sang panglima. “Arunya adalah ratu yang bijaksana, tapi... dia juga sangat teguh pada pendiriannya. Terutama mengenai tradisi.” Dia menunduk, memilih kata-katanya dengan hati-hati. “Aku hanyalah adik. Dan dalam hal ini... mungkin pengaruhku tidak sebesar yang kuharapkan.”“Tapi setelah semua yang terjadi? Setelah aku melarikan diri?” tanya Wirya lagi.“Mungkin hal itu bisa mengubah cara pandangnya,” jawab Amita, suaranya sedikit lebih keras, seolah mencoba meyakinkan dirinya sendiri. “Kau telah menunjukkan keberanian, kecerdasan, dan... karakter yang layak dihormati.” Dia berhenti lagi, dan kali ini suaranya nyaris berbisik, “Dan mungkin... hanya mungkin... Wanawaron memang perlu mempertimbangkan kembali beberapa tradisinya.”Pengakuan itu terasa berat baginya, seperti mengucapkan sesuatu yang hampir bersifat penghujatan.Wirya

  • Tawanan yang Menawan   Bab 118

    Pertarungan sengit terjadi. Amita bertahan dengan disiplin tinggi, mencoba mencari celah untuk melumpuhkan tanpa membunuh. Tiba-tiba, dari atas kuda, Wirya berteriak keras.“NINGRUM, HENTIKAN! AMBARANI TIDAK BERSAMA KAMI!”Nama itu mengguncang Amita seperti sambaran petir. Matanya membelalak, memperhatikan lebih cermat wajah wanita yang sedang bertarung dengannya. Di balik coretan darah, keringat, dan amarah yang mendistorsi fitur wajahnya, Amita mulai mengenali sesuatu—sebuah kenangan dari masa lalu yang jauh.“Tunggu...” gumam Amita, langkahnya tiba-tara menjadi kurang ofensif, lebih defensif. “Ningrum? Ningrum yang dulu saat kecil selalu mencuri jambu di kebun istana?”Ningrum mendadak terhenti, serangannya melambat. Napasnya tersengal-sengal, matanya menyipit penuh kebingungan. "Bagaimana kau—?""Kita pernah berlatih pedang bersama di bawah bimbingan Guru Senja!" teriak Amita, mencoba menembus kabut amarah di pikiran Ningrum. "Kau selalu kalah dariku, tapi tidak pernah menyerah!"

  • Tawanan yang Menawan   Bab 117

    Amita menghentikan kudanya, menatap jauh ke arah pepohonan. "Kami bertiga dibesarkan dengan prinsip yang sama: Wanawaron adalah segalanya. Tapi kami memilih jalan yang berbeda untuk menunjukkannya."Dia menoleh, memandang Wirya. "Arunya percaya bahwa mempertahankan tradisi adalah cara terbaik melestarikan Wanawaron. Ambarani yakin bahwa mengubah tradisi adalah satu-satunya cara menyelamatkannya. Dan aku..." Dia menghela napas, "Aku hanya percaya pada hierarki dan disiplin. Aku melayani ratuku, tapi juga melindungi rakyatku—termasuk dari diri mereka sendiri jika diperlukan.""Jadi pada intinya," simpul Wirya, "kalian bertiga sama-sama mencintai Wanawaron, hanya dengan cara yang berbeda."Untuk pertama kalinya, senyum kecil muncul di bibir Amita. "Kau memang bijaksana, Tuan Jaksa. Mungkin itulah sebabnya Ambarani memilih mempertaruhkan segalanya untukmu."Sebutan itu menggantung di udara antara mereka seperti tamparan. Wirya mengeras di tempat duduknya, cengkeramannya pada pinggang Ami

  • Tawanan yang Menawan   Bab 116

    “Jangan menyebut nama itu di hadapanku,” desisnya, suara tiba-tiba penuh dengan getaran emosi yang jarang terlihat.“Kenapa?” tanya Wirya, penasaran. “Meski dia adalah musuh kalian. Tapi yang kulihat... dia tidak seperti yang kau gambarkan.”Amita menarik napas dalam. “Kau tidak tahu apa-apa tentang dia.”“Yang kukatakan, dia memiliki sisi lembut yang tersembunyi, seperti dirimu,” tukas Wirya. “Dan dia bercerita padaku bahwa dia sebenarnya—““—adik kandung Ratu Arunya,” sela Amita, suara tiba-tara lembut namun penuh beban. “Dan... kakak kandungku.”Wirya tertegun. “Jadi kau sudah tahu?”“Ya,” bisik Amita, matanya menerawang.“Dia memang kakakku. Dia melarikan diri dari Wanawaron karena menentang tradisi kita—ritual yang sekarang akan kau jalani. Dia menganggapnya tidak manusiawi.”Dia menatap Wirya, dan untuk pertama kalinya, Wirya melihat kerapuhan yang dalam di balik armor kekuatan sang panglima."Dia bukan hanya pengkhianat bagi kerajaan, Wirya. Dia adalah pengkhianat bagi kel

  • Tawanan yang Menawan   Bab 115

    Wirya merasa darahnya memanas, campuran dari malu dan sebuah keberanian aneh. “Apa kau belum pernah melihat benda seperti ini, Panglima?”Amita mengangkat pandangannya, bertemu dengan mata Wirya. Wajahnya masih berusaha netral, tetapi ada sesuatu yang berubah di matanya. “Di Wanawaron, banyak wanita yang menginginkan... apa yang kau miliki. Mereka menunggu giliran untuk merasakan.”“Dan kau?” tanya Wirya, berani yang tidak dia kenali dalam dirinya sendiri. “Apakah kau juga menunggu giliran itu, Panglima Amita?”Diam sejenak. Hanya suara sungai yang mengalir.“Aku adalah panglima,” jawabnya akhirnya, suara rendah. “Aku menjalankan tugas. Aku tidak... memperdulikan hal seperti itu.”“Jadi kau belum pernah?” Wirya mendesak, merasa anehnya kekuasaan berada di tangannya sekarang.Amita menghela napas, dan untuk pertama kalinya, Wirya melihat kerapuhan dalam diri wanita perkasa ini. “Tugasku adalah melindungi kerajaan, bukan... memenuhi nafsu. Tapi melihatmu sekarang...” Matanya kembali m

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status