LOGINDrap... Drap.. Drap...
Tiba-tiba lorong menuju sel tahanan bergetar oleh derap kaki para penjaga wanita bersenjata. "Permisi, Ratu," ujar salah satunya sambil menunduk. “Persiapan di aula kerajaan sudah selesai.” Terlihat senyum yang menungging di wajah Ratu Arunya mendengar kabar tersebut. “Panglima! Kau atur dia. Aku akan pergi terlebih dahulu menuju Aula.” Perintah Ratu Arunya kepada Amita sebelum akhirnya berbalik pergi. Diikuti oleh Adiwidya dan Dewi Kirani serta beberapa pelayan. Ratu Arunya meninggalkan Wirya yang masih sibuk mengenakan perhiasan dengan dibantu Amita. “Bagaimana kalau aku tidak bisa membuat Dewi Kirani hamil?” Tanya Wirya kepada Amita. Amita menghentikan gerakan tangannya dalam mengatur perhiasan yang akan dipakai Wirya. “Kepala akan dipisahkan dari tubuhmu.” Deg.. Jantung Wirya seolah berhenti berdetak. Dia tak pernah memikirkan hal seperti ini sebelumnya. Di satu sisi dia bersyukur bisa menikahi seorang Putri cantik dari Kerajaan Wanawaron. Di sisi lain dalam posisi apapun nyawanya akan tetap terancam. “Kalian bilang akan membuatku berpura-pura menjadi Raja di kerajaan.” Wirya memperhatikan bayangannya di cermin yang tengah dibawa oleh salah satu pelayan. “Apa ada keringanan jika aku berhasil berperan menjadi raja dengan baik?” Amita sedikit terkejut mendengar cara berdiplomasi dari Wirya yang masih terus mencari peluang. Sejenak dia memperhatikan Wirya yang kini sudah terlihat gagah layaknya raja sungguhan. “Aku tidak bisa menjawab pertanyaanmu itu.” Suara Amita terdengar pelan dari biasanya. “Aku hanya mengikuti perintah dari sang Ratu.” Wajah Amita berubah merah seperti buah stroberi segar yang baru saja dipetik saat melihat Wirya berdiri mengenakan pakaian kebesaran kerajaan. Hal itu disadari oleh Wirya yang memang sebagai jaksa, dia sudah terlatih dalam menganalisis mimik seseorang. Wirya tahu Amita berbeda dari Ratu Arunya maupun Adiwidya yang pandai berdiplomasi. Amita hanya tahu tentang strategi perang dan kekerasan. “Baiklah, aku akan mencari tahu sendiri dari Ratu.” Wajah Wirya mulai tersungging senyum yang penuh makna. “Ikutlah denganku,” ujar Amita sambil membuka pintu kayu ukiran yang sebelumnya tersembunyi di balik tirai. Di baliknya terbentang koridor luas dengan karpet merah menyala, dihiasi motif sulur emas yang membentuk cerita para dewi penjaga Wanawaron. Mereka melewati kolam air di tengahnya terdapat bangunan punden berundak. Patung-patung batu wanita perkasa berdiri di sekelilingnya, masing-masing memegang berbagai macam senjata. "Kita akan sampai ke Aula,” bisik Amita sambil menunjuk ke cahaya keemasan di ujung koridor. Amita mempercepat langkahnya yang diikuti oleh Wirya. Saat pintu aula istana terbuka, desahan kagum tak sengaja keluar dari mulut Wirya. “Luar Biasa!” Ruangan seluas lapangan itu di tengahnya menjulang altar dari kristal kuarsa yang memancarkan cahaya biru pucat menerangi deretan kursi para bangsawan yang sudah duduk rapi. Dewi Kirani sudah berdiri di atas altar dengan hanya menggunakan kemben putih mewah yang dihiasi emas yang membuatnya tampak seperti dewi turun dari langit. Rambutnya yang diikat ke belakang menampakkan wajah cantiknya terpancar ke penjuru ruangan, tapi matanya kosong bagai boneka porselen. Ratu Arunya berdiri di depan altar, mengenakan jubah hitam bertabur serbuk berlian yang berkilauan. “Selamat datang, Wirya,” sambutnya dengan suara merdu. “Malam ini kita akan menjalankan Upacara Sambut Bumi—ritual untuk menyelaraskan energi asing dengan denyut nadi Wanawaron.” “Bawa pengantin pria ke Lingkaran Pengikatan!” Wirya yang masih kebingungan dengan suasana saat itu, dituntun oleh Amita dan Adiwidya menuju ke tengah Aula di mana terdapat sebuah ranjang yang ditutupi kain sutra tipis sebagai tirai pelindung hingga nampak seperti sebuah bilik. Wirya berhenti tepat di depan bilik itu. Ratu Arunya menuntun Dewi Kirani menuju ke tempat di mana Wirya sedang berdiri. “Apakah ini acara pernikahan di jaman ini?” Gumam Wirya yang sebelumnya tak membayangkan untuk menikah dalam waktu dekat. Para pendeta wanita mulai mengelilingi Wirya dan Dewi Kirani sambil melemparkan kelopak bunga seroja. “Dua sungai menjadi satu. Darah asing dan darah suci akan bersatu untuk kelangsungan pohon baru!” Lantunan syair kuno mengalun dari alat musik bambu, menciptakan melodi yang membuat udara terasa hangat dan menyatu. “Masuklah ke dalam bilik ini,” pinta Ratu Arunya sambil meremas kelopak bunga seroja dan mengusapkan ke dahi Wirya. “Ini tanda restu dariku.” Wirya menuruti, sedikit ragu. Usapan itu terasa hangat di keningnya, seolah mengeluarkan aroma hujan pertama musim semi. Wirya melangkah diikuti Dewi Kirani di belakangnya menuju ke sebuah ranjang yang kini terlihat jelas saat tirai dibuka. Ukurannya sangat besar dengan seprei berwarna merah mirip seperti bunga mawar. “Adiwidya, Amita.” Terdengar pinta dari Ratu Arunya tepat sebelum Wirya dan Dewi Kirani mendaratkan langkah terakhir sebelum masuk bilik. Dengan cepat Adiwidya dan Amita menghampiri Wirya dan menanggalkan pakaian kebesaran yang dipakai Wirya saat itu. “Apa maksudnya ini?” Wirya kebingungan saat jubahnya terlepas dari tubuhnya. “Yang kamu pakai saat ini adalah pakaian untuk raja.” Ratu Arunya dengan lembut menjelaskan. “Kamu tidak bisa masuk ke dalam bilik ini dengan pakaian itu.” Wirya mencoba memperhatikan sekelilingnya. Memang di jaman itu bertelanjang dada bagi seorang pria mungkin hal yang wajar, seperti saat dia melihat beberapa film bergenre kerajaan. Namun hal itu membuatnya agak risih, apalagi di lihat oleh banyak pasang mata wanita. “Lalu apa yang harus aku kenakan, Ratu?” “Pakai itu saja sudah cukup.” Ratu Arunya menunjuk kain jarik bermotif batik yang kini di pegang oleh Adiwidya. “Masuklah! Dan buat Tuan Putri hamil.” Deg... “Apakah aku harus menghamili Tuan Putri di bilik ini sekarang?”Beberapa minggu telah berlalu sejak penobatan Wirya, dan istana kerajaan Nusantara mengalami perubahan drastis. Aturan baru yang ditetapkan Wirya—bahwa semua penghuni istana harus telanjang—telah menciptakan atmosfer yang penuh dengan hawa nafsu. Suatu pagi, ketika Wirya sedang duduk di singgasananya dengan beberapa wanita telanjang mengelilinginya, tiba-tiba muncul kilatan cahaya terang di tengah ruang takhta. Dari cahaya itu muncul dua sosok—Joko Loyo yang tampak tua dan bijaksana, serta Murni, istrinya yang cantik dengan mata penuh kelembutan.“Wirya!” hardik Joko Loyo, matanya menyala-nyala melihat pemandangan tak senonoh di istana. “Apa yang telah kau lakukan?”Wirya bangkit dari singgasana, dengan sombongnya menunjukkan tubuh telanjangnya yang perkasa. “Joko Loyo! Lihatlah kerajaanku! Aku memiliki segalanya di sini!”Murni menutup matanya, malu melihat kemerosotan moral Wirya. “Wirya, kami mengirimmu ke masa lalu untuk menyelamatkan sejarah, bukan untuk menghancurkannya!”Joko
Wirya menarik napas dalam. “Cincin ini... lagi-lagi...”Amita meletakkan gelas dan mendekat. “Kau tidak harus melawan hasratmu sendiri, Wirya. Kau adalah raja sekarang.”Dia berlutut di depan Wirya, tangan hangatnya menyentuh kaki Wirya. “Biarkan aku membantumu malam ini.”Cincin itu berdenyut lebih kencang, seakan menyetujui. Dan untuk malam ini, Wirya memutuskan untuk menyerah pada takdir dan hasrat yang telah dipilihkan untuknya.Amita mendekat dengan langkah yang penuh keyakinan, matanya tidak lagi memancarkan sikap prajurit yang tegas, melainkan kelembutan seorang wanita. Cahaya bulan dari balkon menerpa sisi wajahnya, menciptakan siluet yang memesona.“Wirya,” bisiknya, tangannya yang biasanya memegang pedang kini dengan lembut melepaskan jubah kerajaan yang dikenakan Wirya. “Kau tidak perlu melawan ini. Cincin itu adalah bagian dari takdirmu, dan hasrat ini adalah bagian dari kekuatanmu.”Wirya menarik napas dalam, mencoba melawan gelombang gairah yang semakin menjadi. “Tapi...
Hampir tiap hari Wirya dan Ratu Arunya sering mengunjungi gua tersebut.Di dalam gua yang diterangi cahaya keemasan dari cincin Wirya, ketika dua tubuh itu terpisah dengan napas masih tersengal. Arunya berbaring di atas jubahnya yang terhampar, wajahnya memancarkan kepuasan dan kedamaian yang lama hilang. Dari luar gua, suara Amita memanggil dengan hormat. “Yang Mulia? Pemukiman pertama sudah siap. Rakyat menanti perintah berikutnya.”Wirya dan Arunya saling memandang. Saatnya kembali kepada tanggung jawab. Dengan gerakan perlahan, mereka mengenakan kembali pakaian mereka. Wirya membantu Arunya berdiri, dan di matanya kini terlihat penghormatan yang berbeda.“Siapakah yang akan kau pilih sebagai permaisuri?” tanya Arunya sambil merapikan rambutnya. “Amita mungkin pilihan yang tepat. Dia kuat dan disegani.”Wirya menggeleng. “Masih terlalu cepat untuk memikirkan itu. Kerajaan harus dibangun terlebih dahulu. Dan...” dia menatap Arunya, “apa yang baru saja terjadi antara kita...”“Adala
“Aku...” gumamnya, suaranya bergetar. “Aku akan tinggal.”Dia berlutut menghadap Ratu Arunya, mengangkat tubuhnya perlahan. “Bangunlah, Yang Mulia. Aku bersumpah akan membantumu membangun kerajaan baru. Masa depanku... biarlah menjadi masa lalu.”Ratu Arunya memeluk Wirya erat, tangisnya pecah melegakan.Di tepi pantai, rombongan terakhir kerajaan yang hancur mulai menaiki perahu-perahu yang telah disiapkan. Wirya berdiri di samping Ratu Arunya, memandang lautan luas yang akan mereka seberangi.“Tanah baru itu bernama Nusantara,” ucap Ratu Arunya, matanya menerawang mengingat sesuatu. “Tempat di mana leluhur kita pertama kali menginjakkan kaki.”Amita mendekat dengan beberapa peta kuno di tangannya. “Menurut catatan, di sana terdapat tanah subur dengan sungai-sungai yang jernih. Tapi...” dia berhenti sejenak, “menurut legenda, tempat itu juga dijaga oleh roh-roh penjaga yang perkasa.”Wirya merasakan cincin di jarinya bergetar halus. “Aku merasa... ada yang memanggil dari sana. Sepert
Wirya memeluk Arunya erat, mengarahkan telapak tangannya sekali lagi. Kali ini, dengan keyakinan penuh, dia membayangkan melindungi Arunya dan menghentikan Candra Damar untuk selamanya.Cincin itu menyala dengan intensitas luar biasa, membentuk perisai energi yang mendorong Candra Damar hingga terpental ke dalam terowongan. Batu-batu mulai runtuh, menutup pintu keluar.Saat debu mengendap, Wirya dan Arunya terduduk lelah. Mereka selamat, tapi kehilangan Surya. Di kejauhan, asap masih membubung dari istana yang hancur.“Perjuangan belum berakhir,” bisap Arunya, “tapi hari ini, kita masih punya harapan.”Wirya memapah tubuh Ratu Arunya yang lemah melalui hutan belantara menuju titik evakuasi di Pantai Gua Karang Timur. Dengan setiap langkah, harapan mereka untuk menemukan para pengungsi yang selamat semakin berkobar. Namun, yang menyambut mereka hanyalah pemandangan yang menghancurkan hati.“Tidak...!” tercekik Arunya begitu matanya menangkap sosok yang terbaring di antara reruntuhan pe
Surya melemparkan busurnya dan menghunus pedang. “Laporan kematianku terlalu berlebihan, Candra. Dan sekarang, aku datang untuk mengembalikan kehormatan kerajaan!”Dia melompat ke tengah ruangan, pedangnya berkilat di cahaya bulan. “Anak muda! Lindungi Ratu! Aku yang akan menghadapi mereka!”Wirya segera berlari ke arah Arunya, melepaskan jubahnya sendiri untuk menutupi tubuh ratu yang setengah telanjang. Pertarungan sengit pun pecah antara Surya melawan pasukan Candra Damar, memberikan harapan baru di tengah keputusasaan.Surya bergerak lincah seperti harimau, pedangnya menari-nari membentuk lingkaran cahaya perak. Setiap tebasannya tepat sasaran, menjatuhkan prajurit Pasukan Bulan satu per satu. Darah berceceran di lantai candi yang dingin.“Wirya, bawa Ratu pergi dari sini!” teriak Surya sambil menangkis serangan tiga prajurit sekaligus.Wirya dengan sigap mengangkat tubuh Ratu Arunya yang masih lemah. “Ke mana kita harus pergi?”“Terowongan di balik patung dewa!” sahut Surya singk






