"Jadi, apa lagi yang mau dibicarakan?" tanya Zoya segera setelah Elvio keluar dari mobil.
"Aku harus kembali ke perusahaan pusat selama beberapa hari ke depan," ucap Arvin sembari diam-diam mengunci seluruh pintu mobil.Kening Zoya berkerut. "Lalu?" tanyanya lagi, tidak mengerti apa hubungan antara mantan suaminya yang ingin kembali ke kota asalnya dengan pembicaraan ini."Sudah memiliki jawaban atas tawaranku semalam?" tanya Arvin dengan raut serius, menatap wanita yang tampak terkejut di tempatnya."Aku sudah memberikan jawabannya semalam dan tidak akan mengubahnya lagi!" tutur Zoya tegas, tangannya langsung meraih gagang pintu dan terkejut saat tidak bisa membukanya. Wanita itu berbalik untuk menatap tajam mantan suaminya, tapi yang didapatnya adalah wajah Arvin yang teramat dekat."Ma-mau apa kamu?!" Suara Zoya mencicit, meski begitu tatapannya tetap tajam dan mengawasi pergerakan lelaki yang kini mengungkungnya. Sial!"Aku juga sudah mengatakannya bahwa bukan jawaban seperti itu yang kuinginkan," ucap Arvin seraya menatap intens netra jernih Zoya sebelum beralih pada bibir mungil berwarna merah muda yang tidak pernah dia rasakan. Mungkin pernah saat mereka membuat Elvio, tapi Arvin tidak mengingatnya."Menjauhlah dariku, Tuan Kalandra!" Tangan Zoya terangkat, menahan dada Arvin agar tidak bergerak lebih dekat, meski itu adalah tindakan sia-sia karena saat ini Zoya bisa merasakan detak jantung mantan suaminya yang berpacu sangat kencang."Kalau aku menciummu sekarang, apa kamu akan menamparku?" tanya Arvin dengan suara pelan, tatapannya tidak bisa lagi dialihkan dari bibir mantan istrinya.Zoya yang tidak pernah berpikir lelaki seperti Arvin akan mengacaukan hatinya hanya dengan sebuah tanya, menggigit kecil bibirnya, mengutuk jantungnya yang berdebar tidak tahu diri."Jangan macam--" perkataan Zoya terputus ketika pria di hadapannya langsung membungkam dengan sebuah ciuman. Zoya mendelik, berusaha mendorong Arvin untuk menjauh, tapi tangannya justru berakhir dipegangi di atas kepala.Zoya menggeleng, masih berusaha melepaskan diri. Tangan kiri Arvin naik, menahan kepala wanita yang memberontak di bawah kendalinya tanpa melepas tautan bibir mereka.Pagutan yang awalnya lembut itu berubah menjadi lebih kasar dan menuntut. Zoya terkesiap ketika lidah Arvin memasuki rongga mulutnya dan menyapa lidahnya sendiri. Rasa panas yang menjalar ke seluruh tubuhnya akibat ciuman itu membuat Zoya merutuki dirinya sendiri.Zoya melenguh pelan, napasnya hampir habis, tapi sepertinya Arvin belum mau melepaskannya. Tidak ada yang bisa wanita itu lakukan untuk menghentikan aksi gila mantan suaminya, air matanya luruh tanpa tertahan dan isakan kecil lolos dari bibirnya."Hhh!"Napas Zoya putus-putus saat akhirnya Arvin melepas pagutannya. Air matanya masih berjatuhan tanpa wanita itu tahu bagaimana menghentikannya.Tatapan Arvin menajam, melihat bibir Zoya membengkak dan memerah akibat ulahnya, juga tangisan kecil yang keluar dari sana, ditambah netra jernih yang berair membuat Arvin menelan ludah.'Sial! Aku seperti orang mesum saja!' rutuk lelaki itu pada dirinya sendiri. Bagaimana mungkin dia nyaris hilang akal hanya dengan melihat kondisi Zoya sekarang?'Aku ingin membuatnya menangis lebih keras,' batin Arvin sebelum menghela napas panjang, merutuki bayangan yang baru saja melintas di kepalanya. Hanya dengan membayangkan membuat Zoya menangis di bawah kendalinya di atas ranjang membuat libidonya meningkat."Aku akan kembali untuk mendapat jawaban yang kuinginkan. Selama beberapa hari ke depan, pikirkan baik-baik pilihanmu. Menikah denganku atau menyerahkan Elvio padaku." Arvin menjauh, kembali duduk dengan benar di balik kemudi sebelum membuka kunci pintu.Zoya tidak menjawab apa pun, memilih untuk langsung keluar dan segera berlari ke dalam rumah. Wanita itu masih menangis meski sudah menghapus air matanya berkali-kali.Kenapa mudah sekali bagi Arvin untuk menciumnya dan mengancamnya setelah itu? Zoya tidak pernah membayangkan akan merasa sangat terhina akibat ulah mantan suaminya. Tubuhnya seolah bukan miliknya, tidak peduli meski ia tidak suka, tubuhnya tetap memiliki reaksi lain. Zoya membenci kelemahan yang ia punya!"Mama?!" Elvio yang langsung keluar dari kamar setelah mendengar suara pintu rumahnya dibuka, menatap lekat wajah ibunya yang berurai air mata.Zoya kembali menghapus air matanya dengan kasar, tersenyum saat melihat wajah Elvio yang jelas sedang mengkhawatirkannya."Mama kenapa nangis?" Elvio mendekat, meraih tangan ibunya dan menuntunnya untuk duduk di satu-satunya sofa panjang di ruangan itu.Melihat bagaimana putranya bersikap sangat lembut dan dewasa membuat perasaan Zoya terenyuh. Dia tidak mau kehilangan momen berharga bersama Elvio dan tidak berniat membaginya dengan siapa pun, tapi sepertinya Arvin tidak akan tinggal diam.Hanya dengan membayangkan putranya diambil secara hukum sudah membuat perasaan Zoya hancur. Bagaimana dia akan hidup tanpa Elvio? Tapi, Zoya juga tidak mau lagi berurusan dengan Arvin."Maaf, Sayang. Mama membuat El terkejut, ya?" Zoya mengelus lembut surai kelam putranya, tersenyum ketika anak itu mendongak dan langsung memeluknya. Zoya bisa merasakan tepukan pelan di belakang punggungnya.Merasakan kelembutan dan kehangatan yang melingkupinya membuat air mata Zoya kembali berjatuhan. Wanita itu berakhir menangis dengan keras, terisak di dalam pelukan putranya yang belum genap berusia enam tahun.Sisa hari itu dihabiskan Zoya dengan memeluk putranya erat, seraya mengatakan betapa dia sangat mencintai dan menyayangi Elvio.Beberapa hari setelahnya Arvin memang tidak datang lagi. Seperti yang pemuda itu katakan, Zoya juga terus memikirkan jawaban apa yang bisa dia berikan pada lelaki itu nanti."Mbak Zoya menghela napas terus dari kemarin, ada masalah?"Zoya mengerjap, segera menoleh pada seorang gadis yang tengah bertanya di sisinya. Mereka sedang berada di gudang untuk memeriksa beberapa barang yang baru datang."Yah, biasalah masalah rumah tangga," jawab Zoya seraya terkekeh pelan. "Mbak sedang berpikir untuk mencari pekerjaan tambahan karena sebentar lagi Elvio masuk SD," lanjutnya sebelum kembali menghela napas.Gadis di sisi Zoya mengerutkan kening. "Memang Elvio mau disekolahkan di mana? Daftarkan di SD Negeri saja, Mbak, biayanya tidak terlalu mahal. Adik saya juga semuanya sekolah negeri," ucapnya memberi saran.Zoya mengangguk. "Sudah ada beberapa sekolah di sekitar yang direkomendasikan pihak TK, sih! Mbak hanya sedang memilih dan menghitung biaya di setiap tempat.""Mbak Zoya!!!"Panggilan keras itu membuat Zoya langsung menoleh, menatap seseorang yang datang dengan napas putus-putus, sepertinya habis berlari ratusan meter."Ada apa? Kenapa teriak-teriak begitu?" Zoya bangkit, berjalan menghampiri pemuda yang baru saja memanggilnya."Elvio kecelakaan, Mbak!"Gelap. Arvin menyadari jika matanya ditutup oleh sesuatu ketika ia tidak bisa membuka kedua matanya meski kesadarannya perlahan pulih. Pria itu menggeliat pelan, hanya untuk menyadari bahwa tubuhnya terikat. Meski tidak tahu pasti posisinya, Arvin yakin saat ini ia diikat pada sebuah kursi, tangan dan kakinya tidak bisa bergerak. “Sepertinya kau mulai sadar.”Suara itu membuat Arvin menegakkan tubuh siaga. Meski baru sekali mendengar suaranya, tapi Arvin yakin itu milik pria yang sama dengan yang menodongkan pistol pada Arvin, seseorang yang dipanggil Zayn. Sial, apa Arvin terjebak di sarang musuh?!‘Bagaimana bisa aku masih diculik di usia segini?’ Arvin membatin jengkel, menyalahkan dirinya yang masih lemah dan tidak ada bedanya dengan masa kecilnya dulu. Hanya saja, dulu tidak ada yang Arvin pedulikan, karena ia percaya anak buah kakeknya akan segera datang menyelamatkan.Tapi, situasinya berbeda saat ini! Arvin memiliki orang-orang yang ingin ia lindungi. Kalau ia terjebak di tem
"Kalian sengaja melakukan ini, kan? Katakan padaku, sejak kapan kalian merencanakan pengkhianatan seperti ini?" Kaindra menatap galak pada wanita yang tengah duduk dengan tenang. "Kamu bahkan tidak punya rasa bersalah, Lova! Bagaimana kamu tega melakukan ini pada adikmu?" Kaindra kembali mengejar dengan pertanyaan, kaki yang sebelumnya sempat terhenti hanya untuk menatap penuh permusuhan pada Zoya, kembali melangkah gusar mengelilingi ruangan."Jangan mengerutkan keningmu," ucap salah satu wanita di hadapan Zoya.Hari ini adalah hari pernikahan Zoya dan Arvin dilaksanakan, jaraknya hanya satu minggu dari pernikahan Kaindra dan Mia.Zoya yang sejak seminggu terakhir terus mendengar omelan Kaindra tentang pengkhianatan hanya bisa menghela napas dan mengabaikan tingkah kekanakkan saudara kembarnya.Hari ini adalah hari di mana Zoya akan menikah dengan seseorang yang dicintai dan mencintainya. Dalam pernikahannya kali ini, Zoya tidak sendirian. Meski tidak dimulai dengan mengucap janji su
"Dia memang sudah agak besar, tapi-- kenapa senyummu terlihat mencurigakan, Tuan Kalandra? Jangan bilang kamu belum pamit pada El?!" Zoya mengerutkan kening sejak pemuda di sisinya tampak tersenyum kikuk."Aku tidak melakukan kesalahan sama sekali," ucap Arvin membela diri, tapi jawabannya justru membuat kening Zoya semakin berkerut dalam. "Ma-maksudku ... yah, aku lupa. Tapi, bisakah sekarang kamu fokus saja ke depan?" pintanya seraya mengusap punggung wanitanya.Zoya memilih mengikuti apa yang diminta Arvin, menelan kembali kata-katanya untuk mendebat pemuda itu."Wah!" Zoya tidak bisa menahan rasa kagum melihat pemandangan di hadapannya. Lampu-lampu yang berasal dari seluruh kota di bawah sana, dipadukan dengan gemerlap bintang di langit serta keheningan di sekitarnya membuat Zoya tersenyum cerah.Dia tidak tahu apa yang Arvin persiapkan, tapi sudah bisa menebak beberapa hal. Bukankah adegan seperti ini sudah sangat biasa di akhir sebuah novel? Zoya mengulum bibir, menahan senyum h
Arvin terkekeh saat Zoya memukul bahunya. Arvin meletakkan bunga di atas meja sebelum meraih Zoya ke dalam pelukan."Bisa ditahan dulu tidak menangisnya? Kita pindah ke tempat di mana tidak ada orang lain, setelah itu kamu boleh menangis lagi." Arvin berucap lembut, tangannya mengusap punggung istrinya dengan perlahan. Arvin berhasil membawa Zoya menjauh dari tempat pesta setelah wanita itu lebih tenang. Meski sempat dipelototi Kaindra dan Narendra, pemuda itu akhirnya bisa membawa wanitanya ke tempat lebih privat."Kita mau ke mana?" Zoya bertanya ketika Arvin terus menuntunnya keluar dari gedung. Pestanya belum selesai dan Zoya belum sempat berpamitan pada ibunya atau Elvio."Ke tempat di mana kita bisa bicara berdua tanpa gangguan," ucap Arvin sembari membukakan pintu mobil, senyumnya tidak pernah lepas.Zoya memasuki mobil tanpa bertanya lagi. Mereka mungkin memang perlu bicara berdua di tempat yang tenang. Sepanjang perjalanan, Zoya hanya diam, menahan diri untuk membicarakan b
"Apa kau keberatan kalau aku duduk di sini?"Zoya menoleh saat seseorang mendekat, pria yang menjadi topik hangat karena menjadi best man hari ini tampak tersenyum, bertanya dengan suara lembut pada Zoya. "Ah ya, silakan, tidak apa-apa." Zoya menggeser sedikit kursinya, memberi jarak pada kursi kosong di sampingnya. "Terima kasih. Ngomong-ngomong, bagaimana kabarmu?"Hm? Zoya sedikit mengernyit saat pria di sisinya, aktor yang mendapat julukan sebagai pria tertampan di dunia, bertanya santai seolah mereka sudah saling mengenal cukup lama."Aku ... baik," ucap Zoya tidak yakin. "Anda sendiri ... Tuan Ragava, bagaimana bisa mengenal Kaindra?" Pria yang dipanggil Ragava menaikkan satu alis sebelum bibirnya naik, tawanya terdengar renyah dan sedikit menggelitik di telinga Zoya. Untuk sesaat wanita itu terpesona, sedikitnya mengerti alasan pria di sampingnya disebut sebagai yang tertampan dan terseksi. "Yah, hanya kebetulan bertemu saat kami sedang di luar negeri. Tapi, kau benar-benar
"Memangnya saat kamu dan Tuan Arvin menikah, kalian tidak melempar bunga?" Grace bertanya dengan kening berkerut, setahunya pernikahan di mana-mana sama. Sayang sekali ia tidak bisa datang ke resepsi pernikahan Zoya dan Arvin karena harus menyiapkan banyak hal di kediaman utama Kalandra untuk menyambut nyonya baru.Zoya memiringkan kepala saat mengingat kembali hari pernikahannya. "Kami juga melakukannya, tapi aku tidak ingat siapa yang dapat bunga itu. Yah, waktu itu pikiranku sedikit kacau."Pernikahan pertama Zoya tidak dihadiri oleh orang tuanya, Kaindra juga tidak ada. Saat itu Zoya juga tidak punya seseorang yang bisa disebut teman selain Mia.Grace meletakkan karangan bunga lili ke atas meja kaca di sampingnya. "Maaf, seharusnya saat itu aku berusaha lebih keras untuk lebih dekat denganmu."Zoya tersenyum saat Grace menggenggam tangannya. Perasaan tulus sosok di sampingnya membuat Zoya merasa cukup. "Tidak apa-apa, semuanya sudah jadi masa lalu. Jangan memasang wajah seperti it