Share

4. Rumah Aslan

Ini adalah hari terburuk bagi Rara, dia harus terlihat cantik depan Aslan. Paksaan Halimah membuatnya jengkel. Rara dan sekeluarga disambut dengan ramah oleh Indrawan. 

Belum apa-apa Rara sudah menumpang toilet, lebih tepatnya dia malas mendengar prihal perjodohan itu. 

Sambil memasuki toilet Rara memainkan ponselnya, "kenapa gua terjebak disini sih?" dumel Rara tidak bisa santai saat dia masih dalam toilet. 

Seperti orang linglung Rara mondar-mandir tak tentu arah sembari mengenggam ponsel, namun tiba-tiba Rara tersandung membuat handphoneya terlempar memasuki kloset. "Aaaaaa..." Rara berteriak histeris membuat Rama dan Aslan mendekati toilet. "Taik! Pakai acara jatuh lagi. Gimana gua ngambilnya?" omelnya sendiri. 

"Siapa di dalam, bang?" tanya Rama yang tak mengetahui kedatangan Rara. 

"Teman lo Rara." Jawab Aslan seadanya. 

Sebenarnya Aslan orangnya sangat simple, apalagi saat luar sekolah dia bisa jadi sosok abang sekaligus teman terbaik untuk Rama. Aslan tampak galak, tapi tidak seperti itu. Dia hanya melakukan tugasnya sebagai guru. Jika ada yang salah dia tegas, cuma memang Rara kadang suka berlebihan menanggapinya. 

"Rara! Kok bisa disini?" Aslan mengidikkan bahunya tak tahu. 

Tok.. Tok.. Tok.. 

Rara menoleh kearah pintu sekilas, dia masih mematung menatap ponselnya belum sama sekali ia ambil. 

"Ra, lo di dalam?" tanya Rama setengah teriak khawatir dari balik pintu. 

"Iya."

"Rara, ada apa? Kenapa teriak?" 

Rara berdecak mendengar suara Aslan juga, ia berjongkok perlahan, lalu membuang mukanya kearah lain, ia mengambil handphonenya. "Uek.. Jijik banget gue. Belum juga ketemu Aslan gua udah sial." Ujarnya jengkel sendiri. 

"Ra, lo nggak kesambet kan di dalam." Ucap Rama memastikan keadaan Rara. 

"Sembarangan lo, oon." Lontar Rara yang sudah keluar dari toilet seraya menjinjing jijik ponselnya. Sementara Aslan pergi setelah melihat keadaan Rara baik-baik saja. 

"Handphone lo kenapa?" Rara mencebik sedih, "kok basah?"

"Ish.. Pakai nanya lagi lo. Masuk kloset tuh, baru juga gue beli minggu kemarin. Masa gua minta beli baru lagi sih." Rama tertawa, ia bisa melihat kekesalan tambah lagi galau karena ponselnya yang sudah pasti rusak. 

"Udahlah bokap lo kan kaya, lo minta apa aja langsung dikasih." 

Tapi Rara tidak yakin, apalagi akhir-akhir ini banyak kesalahan yang dia lakukan. "Tau ah. Pusing gua." 

"Rara, kamu dari toiletnya lama banget. Cepatan sebelum ayah kamu yang nyusul." Lontar Halimah menghampiri Rara. 

Rara tak merespon, ia langsung bergegas menuju ruang tamu yang sudah ada Fatir, Halimah, Indrawan, dan tentunya Aslan. 

"Rara, apa kabar?" sapa Indrawan yang sudah lama tidak ketemu Rara, padahal Rara sering main ke rumahnya bermain  dengan Rama.

Ya karena memang Indrawan lebih sering mengurung diri di kamarnya, sejak istrinya meninggal lima tahun yang lalu ia sering sakitan, tambah lagi perusahaan mengalami kebangkrutan. 

Bersyukur sekarang sudah ada Aslan yang bekerja, dia juga yang menolong biasa sekolah Rama. 

"Alhamdulillah, baik om. Om sendiri gimana? Udah sehat?" Indrawan tersenyum lebar, terpancar kebahagiaan dalam matanya. 

"Udah mendingan. Hemm.. Kamu benaran udah siap kan." Ucap Indrawan memastikan. 

Rara duduk antara ayah dan bundanya. Ia memandangi keduanya bergilir seolah meminta pertolongan, apa daya orangtuanya yang menginginkan pernikahan itu. Lalu Rara mengangguk. "Iya, om. In-syaAllah kalau Aslan juga udah siap." 

Aslan berdiri di belakang Indrawan. "Sekali lagi maaf, om. Bukannya Aslan menolak permintaan om Fatir, tapi Rara itu masih sekolah. Aslan rasa ini terlalu cepat takutnya Rara nggak siap." Rara tersenyum lebar mendengar respon Aslan. 

"Yes." Sumringah Rara pelan, namun masih terdengar jelas di telinga Fatir. 

"Kamu dengar kan tadi Rara bilang udah siap, Aslan. Untuk masalah biaya sekolah kamu gak usah pikirin, itu tanggungjawab om." Lalu Rara mendengus melirik Fatir tak menyerah menyakinkan  Aslan. 

"Sekali lagi maaf banget, om. Ini bukan masalah uang, Aslan hanya gak mau nanti Rara menyesal buang waktu remajanya demi Aslan."

"Hemm.. Udah paling betul tuh, yah." Celetuk Rara malah mendapat tatapan maut dari Fatir. Ia menunduk kesal. 

Rama mengerut dahinya bingung, dari semua yang dia simak, ia sama sekali tak mengerti topik pembicaraan mereka. 

"Nak Aslan, tante paham maksud kamu. Tapi coba deh pikirin lagi, ini juga buat kebaikan Rara." Lontar Halimah kali ini. 

"Kebaikan Rara apaan. Kebaikan ayah dan bunda mungkin." Celetuk Rara. 

"Tuh kan om, tante, Rara belum siap. Lebih baik jangan sekarang. Paling tidak tunggu Rara selesai kuliah." 

Beh.. Udah paling benar tuh. Kalau bisa sih jangan sama sekali. 

Rara membatin kegirangan. Ternyata Aslan juga tidak tertarik dengannya. Baguslah. 

"Kelamaan kalau tunggu Rara selesai kuliah." Komentar Indrawan membuat Rara memajukan bibirnya. 

"Tapi, pa--"

"Udah kamu pikirin lagi, kamu dan Rara itu udah saling kenal sejak kecil, gak usahlah pikir panjang lagi untuk nikah." 

"Nikah? Bang Aslan dan Rara mau nikah?" Rama kaget bukan main, dia membayangkan kucing anggora dinikahi dengan kucing kampung, apa jadinya. 

Rama bangkit melekati Rara. "Lo mau, Ra?" bisiknya. 

"Ya enggaklah. Gila kali gue nikah sama abang lo." Balasnya pelan membuat Rama terkikih. 

Aslan menghempuskan napas panjang, ia tak habis pikir dengan pemikiran orangtua zaman sekarang. Bukannya suruh anak sekolah, malah suruh married, dikira kasih makan anak orang gampang kali ya. Apalagi modelnya kayak Rara. "Gini aja, kalau ujian minggu depan Rara bisa dapat nilai tinggi. Saya akan pikirkan lagi untuk rencana pernikahan ini." 

Rara dan Rama saling pandang, mana pernah sih Rara dapat nilai tinggi, mentok-mentoknya enam udah paling tinggi, syukur kalau gak nyontek. 

"Sayang, kamu bisa dapat nilai tinggi ujian kalian ini." Ujar Fatir penuh harapan. 

Muka Rara sudah berekspresi kecut. "Semoga ya, yah." Ucapnya sembari mengangguk ragu. 

"Yang tegas dong. Yakin bisa, ntar nyontek lagi." Sindir Aslan terang-terangan. 

Gadis itu bangkit dari duduknya kesal, "bisalah lo gak percaya sama kemampuan gua."

"Buktiin dong kalau lo memang bisa, jangan ngomong doang." 

"Oke. Lo liat aja, gua bisa dapat nilai tertinggi."

"Kalau lo bisa dapat nilai tertinggi, baru kita nikah."

Astaga.. Apaan ini? Bego amat sih, ngapain terpancing dengan ucapan Aslan. Iih.. Gua gak mau nikah sama Aslan! 

"Ra, kamu jangan kecewain ayah kali. Ingat udah janji sama ayah." 

Rara kembali duduk mendengar kata-kata Fatir, kakinya terasa lemas. Satu sisi ia tak mau nikah muda, dan dia juga sudah janji gak akan kecewain Fatir. 

"Iya, yah." 

Rama terkekeh melihat kepasrahan yang Rara tunjukan. Seumur-umur belum pernah Rara pasrah dengan keadaan, lucu kali ya kalau sahabatnya jadi kakak iparnya. "Kasian banget sih nasib lo, Ra." Bisiknya meledek. 

Rara menarik rambut Rara sekilas. "Gelo!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status