Share

5. Detik Ujian

Ibarat kutukan yang harus Rara lakukan, dia mau tapi tak mau. Untuk apa nilai tinggi akhirnya dia menikah. Nilai jelek pasti ia akan dapat ejekan dari Aslan. Makin belagu dong sih guru menyebalkan! 

Bahkan dia hampir tidak pernah mengunjungi perpustakaan, dan berakhir duduk disini. Rara seminggu ini belajar sungguh-sungguh untuk mencapai nilai terbaik, itu juga atas desakan sang ayah. 

Terpaksa Rara menurut lantaran Fatir drama sakit membuatnya pasrah. Ia mana tega melihat ayahnya sakit, ataupun sedih. Dia ingin belajar atas bentuk kasih sayang kepada ayahnya. 

"Tumben kamu belajar." Tegur Aslan yang kebetulan mengembalikan buku dari perpustakaan. 

Rara mendelik sinis. 

Aslan membungkukkan setengah tubuh, ia melekatkan bibirnya di telinga Rara membuat sang pemilik merasa tegang seketika. "Saya rasa kamu memang berminat jadi istri saya." Bisiknya. 

Rara terbelalak, ia menolehkan wajahnya tanpa sengaja membuat bibir keduanya bertemu. 

Entah kenapa mendadak jantung Rara tak karuan, dia bungkam layaknya patung. Syukurnya tidak ada yang melihat kejadian itu, karena Rara duduk di lorong yang sepi. 

"Kamu sengaja?" ujar Aslan lagi berhasil menumbuhkan amarah gadis yang belum dua puluh tahun. 

"Sembarang! Najis gua sengaja, kayak gak ada cowok lain yang bisa cicip bibir gua." Hardik Rara marah, hingga membuatnya bangkit dari duduknya. 

Seketika murid dan penjaga perpustakaan bergerombol mendekati mereka, suara Rara berhasil menjadikan dirinya sendiri tontonan. "Ngapain lo semua liat-liat! Kenapa gua cantik, hah?" teriak Rara galak. "Pergi gak!" usir Rara memajukan langkahnya sambil berkacak pinggang. 

"Lo gak bosan bikin masalah sama Pak Aslan. Gak capek tuh?" komentar salah satu siswi. 

"Muka lo udah kayak tembok sih."

Rara mulai geram dengan komentar teman-teman setingkatnya itu, mereka gak tau Rara untuk apa shock paling benar. 

"Bubar gak lo semua, atau mau gua lempari buku satu persatu." Ancam Rara histeris. 

Aslan yang terlihat melihat reaksi Rara, dia hanya tersenyum bias. "Kalian semua bisa bubar." Perintah Aslan langsung membuat para murid meninggal keduanya. 

"Elo!" Rara masih menggebu penuh emosi, ia kembali memandangi Aslan terpancar kebencian dari mata Rara. 

"Ini sekolah. Yang sopan sama guru sendiri, kamu gak mau kan dihukum lagi. Sia-sia dong perbuatan baik kamu selama seminggu, hanya karena bersikap kurang ajar sama guru sendiri." Tegur Aslan yang tahu usaha keras Rara selama beberapa hari belakang ini. 

Kemudian Rara tersenyum palsu, menunjukkan gigi ratanya seolah sebagai permintaan maaf. "Ya sudah maaf, Pak." Selama ini Rara ogahan sekali untuk meminta maaf kepada Aslan, bisa bayangan dia ingin menelan kembali apa terlontar dari bibir sexynya. 

"Karena saya ingin melihat nilai terbaik kamu, saya menerima permintaan maaf kamu." Ujar Aslan yang sulit sekali mimiknya terbaca. 

Apa? Apa? Apa? 

Gak salah dengar gua. Emangnya siapa dia, gue juga gak ikhlas minta maaf, najis gua! 

"Sekarang bapak bisa tinggali saya sendiri, saya gak bisa konsetrasi belajar kalau bapak ngintil saya disini. Udah kayak bodyguard." Aslan menaiki alisnya satu membuat Rara sama sekali tak mengerti ekspresi apa yang sedang pria itu tunjukkan. 

Rara membanting pantatnya ke kursi yang ia duduknya. Kini dia menenggelamkan wajahnya, apalagi yang bisa membuat pusing kecuali Aslan. Usaha Rara lakukan selama seminggu bukan untuk laki-laki itu, namun ayahnya. Rara sadar selama ini belum bisa jadi anak baik, sekali-kali ia ingin membuat ayah maupun bunda bangga. Dia sadar, jika ia tidak terlalu pintar. Bisa masuk sekolah populer di Jakarta, dan hanya anak pintar yang bisa menginjak sekolah ini. Pastinya Rara sudah tau alasannya, siapa lagi kalau bukan sang ayah. Fatir ayahnya sudah lama menjadi donatur tetap sekolah itu, tapi ia tidak ingin Rara diperlakukan istimewa. Namun tidak ada guru lain yang berani menghukumnya, terkecuali Aslan. 

***

Ujian sudah dimulai, Rara membaca sangat hati-hati lembar soal yang dia dapat. Kalau biasa ia selalu mengandalkan Edo sahabatnya, kali ini dia menggunakan otaknya sendiri. 

"Ra, lo gak mau nyontek?" ucap pelan Loli disampingnya. Rara tak memperdulikannya, ia serius mengerjakan ujian penentuan naik kelas kali ini. 

"Lol, lo udah?" tanya Rama menendang kursi Loli. 

Loli menggeleng, sebenarnya ia melihat jawaban Rara sudah banyak terisi, hanya dia ragu menyontek Rara. "Edo ngapain sih pindah depan. Gue jadi gak bisa nyontek." Protes Loli. 

"Lo kayak gak tau bu Lastri aja. Yang pintar dipindahin depan semua." Lontar Rama malas, lalu dia memberikan kode melihat Rara. 

Hanya tinggal tiga puluh menit waktu tersisa mengerjakan ujian. Rara memeras otaknya kali ini, akhirnya dia bisa menyelesaikan semuanya dengan usaha sendiri tanpa harus menyontek. "Lol, gue udah selesai." Loli terperangah nyaris tak percaya. 

"Yakin jawaban lo benar." Loli masih tampak ragu, tapi dia juga belum selesai. Daripada harus menunggu lagi, ia akhirnya menyalin setengah jawaban Rara. 

"Tawakal aja gua." Rara menghembuskan napas panjang. Ia sendiri kurang yakin jawabannya, maklum ia selalu mengandalkan otak Edo daripada otaknya. 

"Ya udah sih daripada jawaban kosong, bagi gua jawabannya." Pinta Rama tak sabar. 

"Gak malu lo nyontek, lo kan adik Pak Aslan." Ejek Rara sembari mendelik belakang bangkunya. 

Benar juga. Kalau abang gua tahu, bisa habis gua. Tapi mau gimana lagi gua gak sempat belajar. Membatin Rama. 

Rama sebenarnya otaknya cukup pintar, pastinya lebih pintar dari Rara. Namun malam tadi ia tak sempat belajar hingga membuatnya menyontek. "Bawel lo ah. Cepatan mana jawabannya." 

Rara terkekeh kecil, lalu memberikan kertas jawabannya saat Loli sudah selesai menyalin. Ketiga orang ini memang sudah mahir dalam menyontek, jarang sekali mereka ketahuan, apalagi tempat duduk mereka paling pojok. Otomatis membuat mereka justru bebas melihat jawaban satu sama lain. 

Tit.. Tit.. 

Bel sekolah berbunyi menandakan ujian hari ini selesai. Semua murid diminta untuk meninggalkan kelas. 

Rara, Rama, Loli dan Edo langsung keluar meninggalkan kelas. Empat orang ini menuju kantin, setelah otaknya digunakan untuk berpikir, sekarang giliran perutnya harus terisi. 

"Mbak Nur, Rara pesan bakso dan minumnya lemon tea." Pekik Rara saat sudah di kantin. 

Mbak Nur menghampiri Rara. "Bakso, sama lemon tea ya neng. Kalau yang lain apa?" 

"Eh.. Cepatan pesan, kasian tuh mbak Nur nungguin." Timpal Rara sambil memainkan sumpit di atas meja. 

"Gua samain aja kayak Rara, mbak." Ucap Loli. 

"Kalau gua siomay ya, mbak. Jangan pakai telur gua alergi." Ujar Rama. "Lo apaan, do. Malah buka buku lo, nggak capek tuh otak." Tegurnya pada Edo yang sibuk memastikan jawaban ujiannya tidak banyak salah. 

"Gu..ggue--"

"Yaelah kelamaan lo, samain aja mbak." Potong Rara kesal, pasalnya ia tak tega melihat mbak Nur menunggu lama. Dibalik sifat brutal Rara, ia memiliki sifat baik pada orang kecil seperti mbak Nur. 

"Ra, gua masih nggak yakin sama jawaban lo." Rara mendengus. 

"Paling nilai lo jelek kayak gua. So.. Kalau gak naik kelas, gua ada temannya." Papar Rara enteng. 

"Ih apaan lo gak naik ajak-ajak." Protes Loli gak terima sambil mengibas rambut sepundaknya itu. 

Kini bibir Rara mengerucut. "Habis seolah-olah lo nyalahin gua terus. Kalau gak percaya jawaban gua, simple gak usah nyontek gua." 

"Baperan lo, Ra." Komentar Rama menarik ujung rambut Rara yang terkuncir belakang. "Eh.. Emang lo udah siap married." 

"What married?" 

Sontak Loli dan Edo kaget, hingga suara khas mereka menimbulkan murid lain yang berada di kantin melihat kearah meja mereka, bahkan Edo yang biasa tergagap bisa berseru dengan lancar. 

"Bisa kali volume suara lo kecilkan." Respon Rara kesal. 

Kedua masih tercengang tak percaya, mulut Loli terbuka lebar, sedangkan Edo melotot, hingga makanan pesanan mereka sudah datang. 

"Aaaa.."

"Uhuk.. Ra, lo apaan sih suapin gua bakso, gua punya makanan sendiri." Loli langsung mengambil minuman karena tersedak akibat ulah Rara. 

"Makanya mingkem! Masuk lalat baru lo tau." Kesal Rara seakan di atas kepadanya terdapat air panas yang baru mendidih. 

"Sekarang lo jelasin sama gua yang barusan Rama bilang. Lo mau married? Sama siapa? Terus sekolah lo gimana?" lontar Loli tak sabar. 

"Pertanyaan lo banyak banget. Bisa kali satu persatu." Mood Rara jadi berantakan seketika, bahkan ia belum menyentuh bakso yang dipesannya. 

"Pokoknya lo harus jelasin sama gua." Rengek Loli. 

"E..elo benar..ran mau ma.. Married."  Sekarang giliran Edo merespon. 

"Rama, mulut lo ya. Udah sama kayak bebek comelnya." Jengkel Rara mendelik tajam Rama yang menyengir. 

Lalu Rara merunduk menghempaskan napas kasar. "Gua memang mau married. Do'ain aja gak jadi." Tutur Rara. 

"Sama siapa?" penasaran Loli, tadinya ia semangat mengisi perut. Tapi nyatanya ia lebih tertarik dengan cerita Rara. 

"Kepo lo."

"Sama abang gua." Sahut Rama polos. 

"Pa.. Pak Aslan."

"Benaran Pak Aslan?" 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status