Bella mengelap kamera itu dengan blazer nya. Air mata menetes di pelupuk mata ber softlens biru itu.
"Jika sampai kamera itu rusak, honor mu saya potong!" teriak pria itu berkacak pinggang.
Bella mengangguk, lalu menyeka air mata yang terus membasahi wajah menornya.
"Sekarang semuanya bubar! Kembali ke pekerjaan masing-masing! Dan kamu, cepet berdiri dan gabung dengan para artis lainnya di dalam!" teriaknya lagi, tangannya merebut kamera dari genggaman Bella.
"Gawat! Jika sampai Bella tahu, aku ada disini, dia pasti akan mengacaukan semuanya. Bisa saja dia berkata yang tidak-tidak pada semua orang disini. Atau bisa saja Bella mengadu pada Mas Seno dan keluarganya. Ini tidak boleh terjadi, aku harus bersembunyi dari Bella. Ini belum saatnya dia tau semuanya!" gumamku dalam hati. Segera aku mengambil masker di dalam tas, lalu menutupi wajahnya dengan naskah yang sedang ku pegang.
Aku p
Tak lama kemudian terdengar suara tangisan bayi dari dalam kamarku."Marsel!" teriak Vivian, ia segera bangkit dan berlari menuju kamar.Kemudian ia kembali dengan Marsel dalam gendongannya."Permisi, Bu! Ada yang bisa saya bantu?" ucap Pak satpam yang baru saja datang.Aku segera membuka lebar pintu yang setengah terbuka itu, dan kemudian menyuruh Pak satpam untuk masuk."Silahkan masuk, Pak! Tolong usir mereka dari rumah saya! Mereka berdua ingin membuat keributan di rumah saya!" ucapku dengan pasti. Seketika Ibu bangkit dan hendak menyerangku. Namun, dengan sigap Pak satpam langsung menarik tangan Ibu menjauh dariku."Menantu kurang ajar kamu, Dewi! Mertua sendiri kamu usir! Awas kamu, aku akan laporkan semua ini pada Seno! Biar kamu diusir dari rumah ini!" teriak Ibu. Emosinya semakin menjadi saat Pak satpam menariknya keluar."Awas kamu, Mbak! Aku akan balas
Aku berlari dengan perasaan was-was dan khawatir. Melihat di depan sana sudah banyak orang berkerumun mengelilingi mobil merah yang rusak parah karena membentur pembatas jalan. Tidak hanya itu, sebagian orang bahkan berlari untuk mengambil air, karena terdengar percikan api dari bagian depan mobil. Asap terus keluar dari bagian mesin mobil.Jantungku berdebar, khawatir dengan kondisi Mas Seno. Bagaimanapun juga, dia adalah Ayah dari anak-anak ku. Aku berlari menghampiri mobil yang rusak parah itu. Niat hati ingin membantu orang yang sedang berusaha mengeluarkan Mas Seno dari dalam mobil. Tapi sayang, sepertinya Mas Seno tidak suka jika aku membantunya. Dengan sombong dan angkuhnya, ia mendorongku yang berusaha membantunya. Tidak hanya itu, ia juga menyalahkan aku dengan kejadian yang telah menimpanya ini."Pergi kamu dari sini! Ini semua gara-gara kamu! Dasar istri pembawa sial!" celoteh nya penuh emos
Pov SenoAku terpaku menatap Marsel yang menangis. Ku langkahkan kaki masuk ke dalam rumah, mencari susu untuk Marsel, sepertinya ia kehausan. Dari tadi mulutnya menengok ke kanan dan ke kiri seolah mencari sesuatu.'Keterlaluan Vivian! Yang benar saja, Masa ia tidak menyiapkan susu untuk anaknya yang akan ia tinggal pergi!' batinku menatap botol susu kosong yang tergeletak diatas meja.Aku kembali membuang nafas kasar, lalu mengambil botol yang tampak kotor ini, kemudian membawanya ke dapur setelah menaruh Marsel di dalam box bayi.Aku segera mencuci botol susu dengan sabun cuci piring yang menggantung di samping wastafel. Lalu mencari keberadaan kotak susu milik Marsel. Setelah lama mencari, akhirnya aku pun menemukan toples berisi susu yang Vivian taruh di dalam kulkas.Aku bingung, berapa
Aku menatap layar dengan senyum mengembang. Melihat Mas Seno dengan wajah pucat pasi saat menerima gugatan cerai dari ku.Aku yakin, dia pasti tidak percaya aku bisa melakukan hal ini. Renata mendapatkan foto ini dari ojek online yang ditugaskan untuk mengirim surat gugatan itu pada Mas Seno.Dan benar saja, sesuai dugaanku.Tak selang lama ponselku berdering. Sebuah panggilan dari Mas Seno masuk ke benda pipih milikku."Halo Dewi! Apa-apaan kamu ini, hah? Kamu berani mengirimkan gugatan cerai padaku? Uang siapa yang kamu pakai untuk mengurus perceraian kita, hah? Kamu jual diri? Atau jangan-jangan kamu nyolong uangku?" cerocos Mas Seno memfitnahku."Astaghfirullah, Mas! Picik sekali pikiranmu! Hati-hati kalau bicara, Mas!""Alah, gak usah banyak bicara kamu! Kalau buk
Pov SenoAku bersusah payah menelan saliva, melihat pemandangan yang sangat mengerikan tepat di hadapanku. Keringat dingin tiba-tiba keluar membasahi tubuhku. Ada rasa takut yang seketika muncul begitu saja.Yang benar saja, preman itu terus menyiksa orang yang sudah hampir sekarat. Aku tidak mau bernasib sama seperti pria itu. Aku tidak mau mati sia-sia ditangan mereka."Hey!" teriak salah satu preman yang tadi menyuruhku menunggu diteras."Ngapain kamu disana? Cepat masuk! Bos besar sudah menunggu!" ucapnya menatap tajam ke arahku. Aku pun berjalan menghampirinya dengan perasaan was-was."Jadi pinjam uang apa tidak?" tanya preman itu padaku, saat aku sudah berdiri dihadapannya."Se-sebentar! Sa-saya, tanya dulu orang rumah!" ucapku terbata-bata.
"Ya ampun, Mah! Nggak penting banget sih! Ngapain juga pake minta tanda tangan segala! Dia itu kan artis baru, Mah! Aktingnya juga masih jelek! Nggak penting banget minta tanda tangan sama dia!" cetus nya kesal."Dion! Berhenti ngomong seperti itu! Kamu tau kan, dia itu siapa?" tegur Pak Anwar pada anak lelaki nya itu.Dion membuang nafas kesal mendengar teguran dari Papanya."Dion, Mama pinjam pulpennya sebentar!" ucap Bu Hanum, tangannya menunjuk pulpen yang menggantung di saku baju yang Dion kenakan.Dion menarik ujung pulpen dengan wajah kesal. Ternyata pria dingin ini tidak pandai menyembunyikan perasaan tidak sukanya pada seseorang."Nih!" ucapnya sambil menyodorkan pulpen berwarna hitam ini padaku.Aku pun segera mengambilnya dan menu
"Dion!" ucapku tak percaya melihat sosok Dion berdiri dibelakang Mas Seno dengan balok kayu di tangan kanannya.Dion melempar balok kayu yang tadi dibawa oleh Mas Seno, lalu menarik tubuh Mas Seno yang pingsan menimpaku. Aku segera menutup tubuhku dengan kedua tangan. Aku benar-benar bingung dan kikuk harus berbuat apa. Dion segera memalingkan wajah, dia tak berani menatapku.Aku segera menarik selimut untuk menutupi seluruh tubuhku yang sudah setengah terbuka ini.Kulihat Dion menarik Mas Seno ke lantai, lalu mengambil dasi yang menggantung di belakang pintu dan mengikat kedua tangan Mas Seno dengan dasi berwarna merah marun itu."Cepat pakai bajumu! Aku tunggu diluar!" ucap Dion tanpa menoleh ke arahku. Ia pun segera pergi meninggalkan kamar.Aku bergegas bangkit dari kasur, dan segera merapik
Pov SenoEntah berapa lama aku tak sadarkan diri, aku terbangun karena dinginnya lantai yang menusuk hingga ke sendi-sendi ku. Aku bangkit dengan rasa sakit di pundakku. Kurang ajar! Si Dewi pasti kabur!Entah siapa yang tadi tiba-tiba memukul ku dari belakang, apa jangan-jangan tetangga sebelah yang mendengar teriakan Dewi? Tapi, mana mungkin dia berani masuk ke dalam kamar? Ah … entahlah, aku akan cari tahu siapa pelakunya, aku pastikan akan balas dendam pada orang itu.Aku bangkit dengan kepala yang masing pusing. Berusaha melepaskan tali yang mengikat tanganku ke belakang. Sialan! Semakin aku banyak bergerak, tali ini semakin sulit untuk dilepaskan. Aku harus segera mengambil pisau atau gunting untuk melepaskan tali ini dari tanganku.Aku berjalan keluar dari kamar menuju dapur, mencari letak pisau yang Dewi simpan.&