Share

7. Rumah Baru

Hari ini aku dan Kak Sabiru resmi meninggalkan rumah Ibu. Kami sepakat memulai hidup mandiri. Walau Ibu terlihat sedih dengan kepindahan kami, tapi perempuan itu mengikhlaskan.

Bagaimanapun juga aku telah lama bersuami. Sudah menjadi kewajiban seorang istri jika harus menuruti perintah ataupun keinginan sang suami. Seperti perintah Kak Sabiru ini.

Bukan tanpa alasan Kak Sabiru menginginkan kepindahan. Dirinya juga telah nyaman tinggal di rumah Ibu. Sudah lebih tiga tahun pria itu bermukim di situ dari semenjak menikah dengan almarhum Kamila dulu.

Namun, Kak Sabiru menginginkan kemandirian dalam rumah tangganya. Pria itu ingin sepenuhnya mengimani keluarga kecilnya di rumah sendiri. Apalagi sekarang rumah kecil Ibu telah ramai penghuni. Kamar tidurnya sudah terisi orang semua. Walau Bu Halimah sudah mudik dari dua hari yang lalu, tetapi Ibu tidak akan kesepian lagi jika ditinggal oleh kami. Sudah ada Paman dan Nasya yang akan menemani hari-harinya ke depan.

*

Semua barang-barang keperluan sehari-hariku, Keanu, dan Kak Sabiru telah diangkut Kemarin. Jadi hari ini kami tinggal berangkat saja. Nasya ngotot minta ikut. Gadis itu ingin melihat hunian kami. Tadinya kularang habis-habisan, tetapi Kak Sabiru justru mengizinkan.

"Biarkan saja. Toh dia cuma main sebentar. Tapi setelah mulai sibuk kuliah, Nasya harus tinggal di rumah Ibu."Begitu alasan Kak Sabiru.

Tentu saja Nasya girang bukan kepalang mendengarnya. Gadis itu menjulurkan lidah padaku begitu dirinya mendapat izin dari sang ipar. Aku yang dongkol melihatnya ingin menjambak gadis tengil itu. Lagi-lagi Kak Sabiru menahan.

"Sudah-sudah jangan berantem terus! Gak baik kakak dan adik saling konflik gitu! Kalian itu bersaudara. Harus saling sayang." tegur Kak Sabiru menengahi. Kemudian pria itu menghadapku. "Bila sayang, tolong jangan mudah terpancing emosi. Nanti darah tinggi lho kalo dikit-dikit marah." Kak Sabiru mengingatkan. Pria itu lantas membuka pintu mobil dan langsung duduk di belakang kemudi.

"Ya habisnya dia ngeselin banget," tukasku sebal seraya menuding Nasya.

Kemudian aku pun ikut masuk mobil bersama Keanu dan duduk di sebelahnya.

"Tau ni Kak Bila ... dikit-dikit marah. Apa gak takut nanti kena stroke," timpal Nasya usai menutup pintu mobil.

"Nasya!" Aku yang dongkol langsung menengok ke belakang untuk melototi gadis tengil itu.

"Sudah-sudah!" Lagi Kak Sabiru menengahi. "Sekarang aku mau jalanin mobil. Kalian berdua diam. Jangan buat konsentrasiku ambyar," tegas pria itu kemudian.

Aku dan Nasya terdiam. Kami berdua patuh pada perintah pria itu. Kak Sabiru sendiri fokus mengemudi. Namun, sesekali dia mengajak Keanu bercanda. Karena kebetulan jalanan lenggang kami pun sampai di tujuan tepat waktu.

"Mari masuk!" ajak Kak Sabiru dengan mengulum senyum saat pertama kali membuka pintu rumah.

Aku dan Nasya lekas masuk begitu jempol Kak Sabiru mempersilahkan masuk. Sederhana. Itu kesan pertama yang kulihat dari rumah peninggalan kakek Kak Sabiru ini. Luasnya tidak lebih besar dari rumah Ibu. Tampak foto Kak Sabiru kecil bersama almarhum ibu dan kakeknya terpampang besar di ruang tamu.

Rumah ini baru saja ditinggalkan penyewanya seminggu lalu. Jadi keadaannya masih bersih dan rapi. Seperti halnya aku, mata Nasya pun menyapu seluruh penjuru ruangan.

"Kamar aku mana, Bang?" tanya Nasya mempererat tas ransel yang digendong.

"Di sini ada empat kamar. Yang paling besar itu kamar utama Abang dengan kak Bila. Nasya bebas mau pilih kamar yang mana?" jawab Kak Sabiru menerangkan.

"Oke." Nasya mengangguk paham. "Kenapa pilih tinggal di rumah ini, Bang? Kenapa gak ninggalin rumah yang dari Om Hendri? Kan itu jauh lebih besar. Ada kolam renangnya lagi." Gadis itu berujar dengan enteng. "Atau nempatin apartemen yang masih dipakai dokter Tama. Kan itu hak milik Abang. Kenapa dipakai dia?" tanya Nasya beruntun.

Ada kelancangan yang kutangkap dari pertanyaan itu. Ketika aku hendak menjawab, Kak Sabiru menahan.

"Rumah yang ada di Pondok Indah itu masih disewa orang. Gak boleh dong seenaknya main usir. Kalo apartemen itu kan sekarang dihuni oleh Zayn. Adik abang sendiri," terang Kak Sabiru panjang.

"Oh," sahut Nasya pendek. Tanpa bertanya lagi gadis itu melangkah ke salah satu kamar yang terletak di seberang kamar utama.

Kak Sabiru pun menggeret dua buah koper berisi pakaianku dan Keanu ke kamar pribadi kami. Sementara pakaian dirinya masih di ada di bagasi mobil. Aku yang lelah memilih duduk di sofa ruang tamu sembari mengajak Keanu bermain.

"Assalamualaikum ...."

"Walaikum salam," jawabku spontan.

Dari pintu yang masih terbuka, tampak seorang wanita sepantaran Ibu datang. Wanita itu masuk diikuti oleh seorang yang pemuda lumayan jangkung di belakangnya, serta dua gadis belia yang kutaksir masih duduk di bangku sekolah. Mereka semua mempunyai garis muka yang mirip dengan Kiara. Sudah bisa ditebak pasti mereka itu ibu dan adik-adik dari Kiara.

"Wahhhh ... Biru balik lagi ke rumah ini ... Senangnya!" Wanita itu berseru senang.

Ibu dan anak-anaknya itu langsung saja masuk. Lalu lekas menjumpai Kak Sabiru yang baru saja ke luar dari kamar. Mereka sama sekali tidak mengindahkan kehadiranku.

"Tante senang kamu balik lagi ke sini, Biru," ungkap wanita itu terlihat menepuk-nepuk pundak Kak Sabiru dengan sayang. Sementara anak-anaknya tampak tersenyum semringah.

Sebagai calon tetangga yang baik, aku bangkit dari duduk untuk menghampiri mereka.

"Assalamualaikum, Tante. Kenalkan saya istrinya Kak Biru." Penuh kesantunan aku mengenalkan diri. Tanganku terulur pada wanita berambut ikal diikat itu.

Ibu Kiara yang kuketahui bernama Santi itu menatapku. Wanita yang amat mirip dengan putri sulungnya itu memindaiku dari atas ke bawah.

"Oh ini adiknya almarhumah Kamila itu?" tanya wanita itu pada Kak Sabiru. Dan suamiku itu hanya mengangguk untuk mengiyakan. Tante Santi memang tidak pernah hadir di hari pernikahan kami. Entah alasan apa Kak Sabiru tidak mengundang wanita itu. "Kok lebih manisan almarhumah istrimu, Bir. Lebih shalihah dia juga."

"Iya, almarhumah Mbak Mila manis banget. Kalem juga. Kalian sangat serasi banget dulu," timpal salah satu putrinya yang lebih besar.

Mendengar itu tentu saja kuping dan hatiku menjadi sedikit panas. Namun, sorot mata Kak Sabiru yang mengisyaratkan agar aku tetap tenang, membuat aku hanya bisa terdiam.

"Ya udah ... hari tante mau masak rawon, empal goreng, pekerdel, dan semua makanan kesukaan Biru," tutur Tante Santi dengan wajah semringah. Mata ketiga anaknya langsung berbinar cerah mendengarnya. Pun dengan Kak Sabiru, pria itu ikut mengulum senyum. "Tante undang kamu makan malam di rumah ya, Bir! Itung-itung penyambutan kepulangan kamu di perumahan ini kembali. Ingat kamu harus datang lho!" undang Tante Santi antusias.

"Insya Allah aku akan datang kalo Tante ngundang istriku juga," balas Kak Sabiru kalem. Ucapannya itu seperti guyuran es yang menyejukkan hatiku yang lumayan kering ini. Melihat aksi keluarga Kiara itu.

Tante Santi terbatuk-batuk kecil mendengar jawaban dari Kak Sabiru. Wanita yang mengenakan blouse bunga-bunga itu tersenyum kecut. "Ya maksudnya kamu sama istrimu, Bir" ujarnya kemudian.

Ada gurat ketidak relaan yang kutangkap dari wajah ayu itu. Entahlah. Atau mungkin karena hatiku yang sedang sensitif. Sehingga kurasakan Ibu Kiara ini sepertinya tidak menginginkan kehadiranku pada jamuan makan malam itu.

"Kalo Bang Biru sama Kak Bila nanti makan malam di luar, aku gimana dong?" celetuk Nasya tiba-tiba.

Gadis itu baru saja ke luar dari kamar barunya. Sepertinya kebanyakan gadis pada umumnya, rambut hitamnya ia cepol asal ke atas. Memperlihatkan lehernya yang jenjang. Kaos ketat lengan pendek dengan warna hitam terlihat sangat kontras dengan kulitnya. Itu semakin menambah kesan bersih pada wajahnya.

Kulihat adik cowok Kiara memandang takjub pada Nasya. Bahkan bibir pemuda itu sedikit melongo. Seperti tidak pernah lihat gadis cantik saja.

"Aku gak mau ditinggal sendirian. Takut. Ini kan rumah baru," ujarnya seraya mendekat padaku.

"Bagaimana, Tante? Adik iparku boleh  diundang juga tidak?" Pertanyaan dari Kak Sabiru seolah mewakili hati Nasya.

"Emmm ... ya udah tante akan masak lebih," jawab Tante Santi sembari mengusap-usap tengkuknya. "Adik iparmu boleh ikutan juga kok," lanjutnya lemah. Kentara sekali wanita itu tidak ikhlas.

"Makasih kalo begitu, Tante," ucap Kak Sabiru kalem. "Insya Allah kami semua akan datang," lanjutnya tenang.

"Ya udah ... tante permisi kalo begitu," pamit Tante Desi kemudian. "Ayo anak-anak kita pulang!"

Wanita itu berlalu usai mendapat anggukan setuju dari Kak Sabiru. Aku bernapas lega melihatnya. Ketiga anaknya mengekori.

Pemuda jangkung adik Kiara itu masih saja memandangi Nasya. Sehingga membuat jalannya meleng. Alhasil dirinya kejedot pintu.

"Aduuuh!" pekiknya kesakitan.

Tampak pemuda itu meringis memegangi jidatnya. Melihat itu refleks aku dan Nasya terpingkal geli. Sementara Tante Santi dan dua anak gadisnya spontan menghentikan langkah. Mereka balik arah dan langsung menghampiri pemuda itu.

"Ya ampun, Taraa! Kok bisa meleng gitu?!" tegur Tante Santi gemas. Wanita itu mengusap kening anaknya yang terlihat benjol. Dan itu membuat sang putra kian mengaduh.

"Abisnya ngeliatin adik iparnya Bang Biru terus sih," timpal putri bungsu Tante Santi.

Tante Santi pun langsung menatap tidak suka pada Nasya. Masih dengan tatapan aneh wanita itu mendekat kembali ke arah kami.

"Biru, tante kasih tahu, tolong kamu jangan pelihara ipar di rumahmu! Bahaya!" saran Tante Santi langsung pada sasaran. Bagiku itu bukan saran, tapi lebih tepatnya lagi adalah perintah buat Kak Sabiru.

"Ipar adalah maut. Jangan sampai kejadian yang kamu alami terulang kembali." Tante Santi melanjutkan.

"Nauzubillah!" Aku, Kak Sabiru, dan Nasya menyahut bersamaan.

"Makanya jangan dipelihara!" sambar Tante Santi cepat.

"Dipelihara-dipelihara! Emangnya aku kambing," protes Nasya tidak terima.

"Seandainya mantan adik iparmu ini tidak datang ke kehidupanmu, mungkin Kamila masih hidup sampai sekarang," lanjut Tante Santi dengan seenaknya.

Otomatis aku dan Nasya menatap heran Ibu Kiara itu. Enteng sekali mulutnya berbicara.

"Tolong jangan berandai-andai seperti itu, Tante!" pinta Kak tegas. "Itu sama saja menolak takdir Allah. Kematian Kamila dan pernikahan aku dengan Nabila itu sudah menjadi kehendak-Nya," lanjut lugas dan tetap tenang.

"Ya, tapi kalo misal istrimu uang sekarang ini tidak-"

"Bun, jadi masaknya gak sih?" sambar adik Kiara yang bernama Tara. Pemuda yang kejedot pintu tadi. "Tar gak keburu lho, kalo kelamaan ngobrol di sini."

Pemuda itu menarik lengan ibunya menjauh dari kami. Ketika sang ibu masih ingin bicara, dirinya terus saja membawa sang ibu hingga ke luar dari rumah ini.

"Gak nyangka ya? Kiara yang pelit ngomong gitu punya ibu yang super lemes," kesalku begitu satu keluarga itu hengkang dari rumah ini.

"Kiara nurun dari ayahnya. Pendiam. Sama kayak Tara tadi." Kak Sabiru memberi tahu.

"Aku malas menghadiri undangan orang comel seperti itu," putusku sebal.

"Jangan gitu dong, Sayang!" Kak Sabiru langsung melarang. Pria itu lekas merangkul pundakku. "Memenuhi undangan kan wajib. Apalagi disampaikan langsung seperti tadi."

"Tapi, sikapnya dan omongannya tadi benar-benar menyulut emosi, Kak," keluhku kesal.

"Jangan diambil hati," suruh Kak Sabiru. "Udah Keanu sini sama ayah. Bunda beresin baju ke lemari saja sana!"

Aku diam. Kak Sabiru mengambil Keanu dari gendongan. Selanjutnya pria itu beranjak pergi. Nasya mengikuti sembari meledek-ledek bayi kecil kami.

Usai menghela napas. Aku pun memenuhi perintah suami, yaitu mengemasi baju-baju. Dalam hati berdoa semoga nanti malam hujan turun dengan derasnya. Bila perlu disertai petir. Biar kami batal memenuhi undangan tersebut.

Next.

Kasih tahu kalo ada typo

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status