Share

Telanjur Khilaf
Telanjur Khilaf
Author: Zee Jofany

Berselingkuh dengan Sahabat Istriku

 “Jadi, kalian menikamku dengan cara ini?” tanya ini datar, tetapi tatap nyalang itu mengisyaratkan amarah paling sadis. Tak ada air mata di sana, benar-benar ekspresi yang sulit diterima akal sehatku. Masih saja mampu terlihat elegan, di saat berada di titik rendah sekalipun.

“Maaf, Angela. Kami khilaf.” Berbeda dengan Angela, perempuan yang menutupi tubuh dengan selimut itu menunduk. Menyembunyikan wajah dari rasa malu, ada isak mulai tertangkap indra pendengar. Merasa bersalah mungkin.

Aku tak mau memihak, hanya mampu meraih boxer bermotif kulit harimau di lantai. Melenggang santai, tak perlu terburu-buru. Sudah ketahuan pula. Jadi, buat apa panik? Hanya tinggal mengukir praduga di ruang tunggu, tetapi masih melangitkan harapan. Semoga Angela hanya datang seorang diri.

Namun, jika mengingat karakter tegasnya, istriku ini tak mungkin melibatkan orang lain. Dia selalu menuntaskan setiap permasalahan kami dengan cerdas, seorang diri. Enggan menyeret siapa pun, termasuk orang tua kami.

Bukan karena ayah dan ibuku tak menyukainya, tidak pula karena di antara kami belum ada keturunan. Tujuh tahun menjalani kehidupan rumah tangga justru membuat aku paham betul, hasrat macam apa dalam diri ini. Bukan hanya alasan klasik, jenuh tidak mungkin membuat hati berpaling begitu saja.

Apa sudah tak ada cinta untuk Angela? Masih! Aku masih mencintainya, selayaknya perasaan pertama kali. Namun, pesona Hera bukan ilusi, mampu membius jiwa kelaki-lakianku.

“Khilaf?” cebik Angela mengulang kalimat yang dilontarkan oleh selingkuhanku, memang terdengar konyol jika harus menjadikan kata tersebut sebagai alasan dari kesalahan kami. Apalagi bagi wanita dengan tipikal pemikir logis, akan sangat ditentang.

“Apa khilaf sampai sejauh ini, di mana kalian tanggalkan kewarasan?” lanjutnya masih berujar tenang, memberikan kuliah gratis pada Hera. Perempuan dengan rambut yang sudah menutupi wajah hanya terlihat terguncang, meremas kuat selimut tebal berwarna krem.

“Kamu sahabatku, Her. Bukan orang asing yang tak tahu jika laki-laki ini adalah suamiku. Setidaknya tahan hasrat binatang dalam dirimu, demi kebersamaan kita.”  Pemilihan kalimat yang bagus, berkelas. Namun, menancap kuat bagi si penerima.

Itulah Angela, perempuan yang kunikahi tujuh tahun silam. Kami pun melewati masa pacaran selama tiga tahun, tak ada yang berubah dari caranya menyikapi keadaan buruk. Tetap tenang, tidak menggebu. Sikap yang justru melipatgandakan rasa bersalah dalam diri.

“Hentikan, hal yang telanjur menjadi bubur mustahil bisa dikembalikan sebagai nasi.” Aku mencoba menengahi, tak nyaman berlama-lama di kamar hotel ini hanya untuk melihat dua wanita beradu emosi. Satu berceramah, lainnya menangis. Apa ini sinetron yang sedang disiarkan secara langsung?

“Mas, talak aku sekarang atau kalian akan menyesal setelah pintu kamar ini terbuka.” Kalimat ini masih mengalun santai, tanpa getar sensitif sedikit pun. Kenapa dia selalu mengagumkan hingga detik kehancuranku?

“Angela, jangan begitu. Kita bisa bicarakan semua ini, aku mohon.” Hera tampak gelagapan, lupa pada kondisi tanpa busana. Turun dari ranjang, mencoba mendekat pada Angela. Sial, situasi ini memaksa rasa sakit mendera kepala.

“Pakai dulu pakaianmu,” ujarku mengingatkan, mencoba membuat keadaan lebih layak disaksikan mata. Mana mungkin beradegan serius saat tanpa busana, sementara Angela terlihat rapi.

“Buat apa berpakaian? Kita sesama perempuan, tak usah malu. Lagi pula, dia sudah menikmati sesuatu yang ingin kamu tutupi. Apa masuk akal mau menyembunyikannya sekarang?” Lagi-lagi kiasan yang berkelas ia ucapkan, sarkasme. Hera hanya membeku, menunduk dengan dua tangan kesulitan menutupi bagian organ terlarang.

Kenapa dia bodoh sekali? Masih mendengarkan ucapan Angela yang jelas-jelas menindas, menunggu apa coba? Hanya tinggal menyambar pakaian, malah bergerak lelet.

“Hera, berpakaianlah.” Aku mendorong pelan tubuh perempuan yang justru terlihat sangat menyedihkan, memberi sensasi kesal berlipat ganda dalam diri. Ketika dia menghilang di balik pintu kamar mandi, aku mencoba bersikap jantan. Menghadapi emosi datar istri tercinta.

“Kamu mau bercerai?” tanyaku dengan tatap penuh selidik, mengamati wajah di depan mata. Membalas dengan sorot datar, kenapa tak ada emosi di sana? Apa dia akan benar-benar melepasku karena kejadian ini.

“Apa kamu layak dipertahankan setelah bertingkah menjijikkan begini?” Dia menanggapi dengan sikap santai, “Saat Cindy kamu naiki atau Ayu diajak melakukan dosa level tinggi, aku tak terluka. Ini Hera, dia sahabatku. Mustahil bisa kuterima sebagai satu kesalahan tak terencana.”

Kenapa lagi dia membawa kesalahan lalu? Menyebut para perempuan yang pernah tidur denganku setelah pernikahan, apa setiap wanita akan terus mengungkit setiap hal yang sudah lewat? Aku bahkan sudah lupa pada wajah mereka, entah kalau rasanya.

“Kita bicarakan kalau sudah di rumah, ayo pulang dulu.” Aku mencoba mendinginkan suasana, membujuk perempuan yang akan luluh pada sikap manisku. Nyatanya, senyum terbit di wajah cantik itu, tetapi aneh. Bukan mendamaikan, justru menakutkan. Apa ada kemungkinan dia sedang mencoba mengintimidasi dengan cara berbeda?

“Mas, jangan bercanda. Aku manusia, bukan robot. Sekali disakiti, kuanggap ujian. Naik ke level dua, kupikir bencana. Namun, tak mungkin seseorang bodoh permanen. Jadi, berhenti merasa paling dibutuhkan di dunia ini.” Angela memungkas kalimat dengan nada meledek, menggeleng penuh cibiran. Perempuan ini memang paling ahli melukai hati, tepat sasaran. Mendadak sesak mendominasi.

Hal menarik itulah yang membuatku cinta, tetapi dasarnya pria memiliki hal paling busuk dalam diri. Keserakahan yang mematikan, tak pernah puas, bahkan menganggap berkah dari Tuhan sebagai hadiah kecil saja. Sekarang, saat sosok paling hebat itu memilih pergi, aku baru merasa ketakutan.

Jangan tanya tentang penyesalan, sejak melakukan kecurangan hati. Aku sudah menyesal, tetapi saat godaan muncul. Anggapan tak akan ketahuan akan terus mengusik, berbisik manja sehingga telinga terbelai mesra oleh iming-iming kesenangan sesaat.

“Aku khilaf, beri kesempatan sekali lagi.” Aku memohon padanya, tak peduli jika Hera mendengar dari balik pintu kamar mandi. Bagiku, saat ini adalah Angela. Istri yang harus kupertahankan, bukan selingkuhan tak jelas kapasitas dan kualitas diri.

“Apa kesempatan menjamin kamu menjadi laki-laki setia? Ingat, Mas. Kesempatan itu sudah dua kali aku berikan, tentunya diikuti dengan selipan doa-doa terbaik di dalamnya. Ini jawaban Tuhan, peluang terbaik untukku terlepas dari suami menyedihkan macam kamu.” Pengucapan dengan artikulasi jelas ini membuat hantaman bertubi-tubi menerpa diri, menegaskan betapa rendahnya aku saat ini.

Pintu kamar mandi terbuka, Hera telah mengenakan pakaian lengkap. Namun, masih menyembunyikan wajah. Malu atau sudah tak memiliki muka di hadapan Angela.

“Kalian tuntaskan hasrat yang tertunda, investasikan dosa agar kelak abadi bersama di tempat paling jahanam. Sampai bertemu di pengadilan, Mas.” Angela akhirnya mengatakan kalimat pamungkasnya, ia berbalik sempurna. Sebuah sikap elegan yang manis. Sial, dia tetap memesona meski sudah mencampakkanku.

“Bagaimana ini, Sayang?” tanya Hera panik saat Angela telah menghilang di balik pintu, perempuan yang memang menjalin hubungan diam-diam denganku tersebut terlihat ketakutan. Bukan karena berpikir pada nasibku, tentu dia mencemaskan nasib dirinya sendiri.

“Tenanglah, jangan membuat aku ikut-ikutan panik. Kita telanjur khilaf, menyelam sekalian agar tak kalah oleh Angela.” Memang tak boleh menyerah, semua belum berakhir. Mungkin baru awal, aku akan menghadapi semua ini. Melirik Hera, haruskah dilanjut atau berhenti di sini saja?

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status