“Jadi, kalian menikamku dengan cara ini?” tanya ini datar, tetapi tatap nyalang itu mengisyaratkan amarah paling sadis. Tak ada air mata di sana, benar-benar ekspresi yang sulit diterima akal sehatku. Masih saja mampu terlihat elegan, di saat berada di titik rendah sekalipun.
“Maaf, Angela. Kami khilaf.” Berbeda dengan Angela, perempuan yang menutupi tubuh dengan selimut itu menunduk. Menyembunyikan wajah dari rasa malu, ada isak mulai tertangkap indra pendengar. Merasa bersalah mungkin.
Aku tak mau memihak, hanya mampu meraih boxer bermotif kulit harimau di lantai. Melenggang santai, tak perlu terburu-buru. Sudah ketahuan pula. Jadi, buat apa panik? Hanya tinggal mengukir praduga di ruang tunggu, tetapi masih melangitkan harapan. Semoga Angela hanya datang seorang diri.
Namun, jika mengingat karakter tegasnya, istriku ini tak mungkin melibatkan orang lain. Dia selalu menuntaskan setiap permasalahan kami dengan cerdas, seorang diri. Enggan menyeret siapa pun, termasuk orang tua kami.
Bukan karena ayah dan ibuku tak menyukainya, tidak pula karena di antara kami belum ada keturunan. Tujuh tahun menjalani kehidupan rumah tangga justru membuat aku paham betul, hasrat macam apa dalam diri ini. Bukan hanya alasan klasik, jenuh tidak mungkin membuat hati berpaling begitu saja.
Apa sudah tak ada cinta untuk Angela? Masih! Aku masih mencintainya, selayaknya perasaan pertama kali. Namun, pesona Hera bukan ilusi, mampu membius jiwa kelaki-lakianku.
“Khilaf?” cebik Angela mengulang kalimat yang dilontarkan oleh selingkuhanku, memang terdengar konyol jika harus menjadikan kata tersebut sebagai alasan dari kesalahan kami. Apalagi bagi wanita dengan tipikal pemikir logis, akan sangat ditentang.
“Apa khilaf sampai sejauh ini, di mana kalian tanggalkan kewarasan?” lanjutnya masih berujar tenang, memberikan kuliah gratis pada Hera. Perempuan dengan rambut yang sudah menutupi wajah hanya terlihat terguncang, meremas kuat selimut tebal berwarna krem.
“Kamu sahabatku, Her. Bukan orang asing yang tak tahu jika laki-laki ini adalah suamiku. Setidaknya tahan hasrat binatang dalam dirimu, demi kebersamaan kita.” Pemilihan kalimat yang bagus, berkelas. Namun, menancap kuat bagi si penerima.
Itulah Angela, perempuan yang kunikahi tujuh tahun silam. Kami pun melewati masa pacaran selama tiga tahun, tak ada yang berubah dari caranya menyikapi keadaan buruk. Tetap tenang, tidak menggebu. Sikap yang justru melipatgandakan rasa bersalah dalam diri.
“Hentikan, hal yang telanjur menjadi bubur mustahil bisa dikembalikan sebagai nasi.” Aku mencoba menengahi, tak nyaman berlama-lama di kamar hotel ini hanya untuk melihat dua wanita beradu emosi. Satu berceramah, lainnya menangis. Apa ini sinetron yang sedang disiarkan secara langsung?
“Mas, talak aku sekarang atau kalian akan menyesal setelah pintu kamar ini terbuka.” Kalimat ini masih mengalun santai, tanpa getar sensitif sedikit pun. Kenapa dia selalu mengagumkan hingga detik kehancuranku?
“Angela, jangan begitu. Kita bisa bicarakan semua ini, aku mohon.” Hera tampak gelagapan, lupa pada kondisi tanpa busana. Turun dari ranjang, mencoba mendekat pada Angela. Sial, situasi ini memaksa rasa sakit mendera kepala.
“Pakai dulu pakaianmu,” ujarku mengingatkan, mencoba membuat keadaan lebih layak disaksikan mata. Mana mungkin beradegan serius saat tanpa busana, sementara Angela terlihat rapi.
“Buat apa berpakaian? Kita sesama perempuan, tak usah malu. Lagi pula, dia sudah menikmati sesuatu yang ingin kamu tutupi. Apa masuk akal mau menyembunyikannya sekarang?” Lagi-lagi kiasan yang berkelas ia ucapkan, sarkasme. Hera hanya membeku, menunduk dengan dua tangan kesulitan menutupi bagian organ terlarang.
Kenapa dia bodoh sekali? Masih mendengarkan ucapan Angela yang jelas-jelas menindas, menunggu apa coba? Hanya tinggal menyambar pakaian, malah bergerak lelet.
“Hera, berpakaianlah.” Aku mendorong pelan tubuh perempuan yang justru terlihat sangat menyedihkan, memberi sensasi kesal berlipat ganda dalam diri. Ketika dia menghilang di balik pintu kamar mandi, aku mencoba bersikap jantan. Menghadapi emosi datar istri tercinta.
“Kamu mau bercerai?” tanyaku dengan tatap penuh selidik, mengamati wajah di depan mata. Membalas dengan sorot datar, kenapa tak ada emosi di sana? Apa dia akan benar-benar melepasku karena kejadian ini.
“Apa kamu layak dipertahankan setelah bertingkah menjijikkan begini?” Dia menanggapi dengan sikap santai, “Saat Cindy kamu naiki atau Ayu diajak melakukan dosa level tinggi, aku tak terluka. Ini Hera, dia sahabatku. Mustahil bisa kuterima sebagai satu kesalahan tak terencana.”
Kenapa lagi dia membawa kesalahan lalu? Menyebut para perempuan yang pernah tidur denganku setelah pernikahan, apa setiap wanita akan terus mengungkit setiap hal yang sudah lewat? Aku bahkan sudah lupa pada wajah mereka, entah kalau rasanya.
“Kita bicarakan kalau sudah di rumah, ayo pulang dulu.” Aku mencoba mendinginkan suasana, membujuk perempuan yang akan luluh pada sikap manisku. Nyatanya, senyum terbit di wajah cantik itu, tetapi aneh. Bukan mendamaikan, justru menakutkan. Apa ada kemungkinan dia sedang mencoba mengintimidasi dengan cara berbeda?
“Mas, jangan bercanda. Aku manusia, bukan robot. Sekali disakiti, kuanggap ujian. Naik ke level dua, kupikir bencana. Namun, tak mungkin seseorang bodoh permanen. Jadi, berhenti merasa paling dibutuhkan di dunia ini.” Angela memungkas kalimat dengan nada meledek, menggeleng penuh cibiran. Perempuan ini memang paling ahli melukai hati, tepat sasaran. Mendadak sesak mendominasi.
Hal menarik itulah yang membuatku cinta, tetapi dasarnya pria memiliki hal paling busuk dalam diri. Keserakahan yang mematikan, tak pernah puas, bahkan menganggap berkah dari Tuhan sebagai hadiah kecil saja. Sekarang, saat sosok paling hebat itu memilih pergi, aku baru merasa ketakutan.
Jangan tanya tentang penyesalan, sejak melakukan kecurangan hati. Aku sudah menyesal, tetapi saat godaan muncul. Anggapan tak akan ketahuan akan terus mengusik, berbisik manja sehingga telinga terbelai mesra oleh iming-iming kesenangan sesaat.
“Aku khilaf, beri kesempatan sekali lagi.” Aku memohon padanya, tak peduli jika Hera mendengar dari balik pintu kamar mandi. Bagiku, saat ini adalah Angela. Istri yang harus kupertahankan, bukan selingkuhan tak jelas kapasitas dan kualitas diri.
“Apa kesempatan menjamin kamu menjadi laki-laki setia? Ingat, Mas. Kesempatan itu sudah dua kali aku berikan, tentunya diikuti dengan selipan doa-doa terbaik di dalamnya. Ini jawaban Tuhan, peluang terbaik untukku terlepas dari suami menyedihkan macam kamu.” Pengucapan dengan artikulasi jelas ini membuat hantaman bertubi-tubi menerpa diri, menegaskan betapa rendahnya aku saat ini.
Pintu kamar mandi terbuka, Hera telah mengenakan pakaian lengkap. Namun, masih menyembunyikan wajah. Malu atau sudah tak memiliki muka di hadapan Angela.
“Kalian tuntaskan hasrat yang tertunda, investasikan dosa agar kelak abadi bersama di tempat paling jahanam. Sampai bertemu di pengadilan, Mas.” Angela akhirnya mengatakan kalimat pamungkasnya, ia berbalik sempurna. Sebuah sikap elegan yang manis. Sial, dia tetap memesona meski sudah mencampakkanku.
“Bagaimana ini, Sayang?” tanya Hera panik saat Angela telah menghilang di balik pintu, perempuan yang memang menjalin hubungan diam-diam denganku tersebut terlihat ketakutan. Bukan karena berpikir pada nasibku, tentu dia mencemaskan nasib dirinya sendiri.
“Tenanglah, jangan membuat aku ikut-ikutan panik. Kita telanjur khilaf, menyelam sekalian agar tak kalah oleh Angela.” Memang tak boleh menyerah, semua belum berakhir. Mungkin baru awal, aku akan menghadapi semua ini. Melirik Hera, haruskah dilanjut atau berhenti di sini saja?
***
Aku hanya bisa memukul kemudi, menoleh cepat pada Hera yang semakin menciptakan suasana mencekam. Ini bahkan bukan adegan horor, kenapa dia menjadi payah begini? Saat mendekatiku saja, bertingkah badai tanpa takut risiko apa pun. Sekarang?Hanya dipergoki oleh Angela, langsung menjadi percikan shower. Mereka berbeda, aku tahu itu. Mustahil kusamakan setiap wanita yang pernah singgah dengan istri yang menemani selama tujuh tahun, lengkap masa pacaran tiga tahun. Jauh sekali, mereka bermain perasaan. Namun, Angela? Dia akan terlihat tangguh di setiap suasana.“Berhentilah membuang air mata, kamu bilang bisa lebih baik dari Angela. Mana buktinya? Tunjukkan taringmu, Her!” Akhirnya aku kesal, bukan main dia bersikap bocah di usia kepala tiga. Apa kata dunia? Saat di atas ranjang menjadi pusat gempa, tetapi ketika ada masalah malah mirip kerupuk tersiram air.“Mas, kalau kalian beneran cerai, aku akan dianggap pelakor.” Kalimat paling koplak, sejak tahun lalu s
Aku bahkan tak berpikir tentang perceraian, kenapa Angela bisa sejauh itu? Oke, aku salah. Sering berbuat curang, mengkhianati satu-satunya perempuan yang selalu ada untukku selama ini. Semua itu hanya iseng, berpikir benar-benar kehilangan istriku bukan bagian dari rencana terstruktur di kepala.Sejak dari Cindy, aku sama sekali tak berniat serius. Hanya bocah SMK yang digoda sedikit langsung mau, cukup dipancing perhatian palsu. Anggap melatih otak agar tak pikun, mengembangkan teknik kepiawaian dalam merayu anak gadis orang.Ternyata masih ampuh, diam-diam aku terjebak pada balada kisah cinta terlarang. Saat itu, usia pernikahan kami baru dua tahun. Angela sibuk dengan urusan toko, sementara aku menjadi pegawai di instansi pemerintah.Jangan disebutkan, nanti akan viral. Cukup rapi aku bermain kala itu, sangat hati-hati mengingat Angela memiliki daya peka tingkat Dewa. Dia selalu tahu setiap kali aku berbohong, akan sangat mencekam ketika hari-hari kami dalam
Ini kisah tragisku tahun 2015, ya. Kala itu, setelah ketahuan selingkuh dengan Cindy Elfareza. Sikap istriku terlalu tenang, tetapi kalian tahu peribahasa bukan? Tentang air yang beriak tanda tak dalam dan akan tenang dalam menghanyutkan, Angela ada pada poin kedua.Tanpa riak, tandanya murka dia begitu dalam sampai aku merasakan aura mencekam setibanya di rumah. Namun, tak ada pembahasan apa pun. Satu menit, dua menit, sampai malam hari. Tiada kondisi serius di antara kami.Namun, bocah SMK itu menerorku dengan berbagai macam amarah. Angela seharusnya memaklumi, Cindy hanya anak kecil. Masih gadis 17 tahun, belum layak bertanding dengan dirinya yang memang sudah malang melintang di dunia asmara. Kenapa dia harus menyerang anak semanis itu?“Makan malam sudah siap, Bubu Sayang.” Angela berteriak dengan nada manja, dasar wanita itu! Dia sengaja menyebut panggilan sayang Cindy padaku, pasti siap ribut malam ini. Ternyata ini yang ditunggu-tunggu. Akan
Membahas Angela tak akan ada habisnya, dia bagai rumus matematika. Sulit dipecahkan isi pikirannya, kenapa selalu mengetahui setiap kesalahan yang kuperbuat di luar rumah? Berbohong pun percuma, akan tetap ketahuan. Apa kepalanya berisi metal detektor?“Dari mana?” tanya ini selalu menyambut kepulanganku, tanpa senyum sejuk yang menghalau lelah. Seharusnya sebagai istri, Angela lebih mempelajari teknik memanjakan suami. Bukan meningkatkan performa menindas pasangan.Aku tahu, setiap manusia terlahir sebagai pemarah andal. Adakah avatar yang dinobatkan sebagai pengendali emosi? Jika ada, aku akan datangi agar Angela lupa pada nada untuk marah. Bosan setiap malam mendapat sambutan khusus.Dia tidak cerewet, tetapi sedikit menikam setiap kali melontarkan kata-kata. Tak heran jika lidah mampu membunuh tanpa perlu menyentuh orang lain, cukup menjadi pemilik kosakata sadis dengan pemilihan diksi paling buruk. Iya, seperti Angela! Dia begitu ahli dalam menebas perasaan da
Masih dari tahun 2017, saat aku sudah bekerja di salah satu Puskesmas. Memang ada seorang gadis cantik yang dekat denganku, tetapi kami hanya sebatas saling menggenggam tangan. Sebab, dia anak pondok yang menjaga sikap untuk jauh dari khilaf.Kami membahas hal seru di setiap tulisan yang kukirim padanya, Ayu sangat menyukai tulisan Angela. Dia bahkan, akan antusias dalam membahas adegan demi adegan yang seolah diciptakan begitu nyata oleh istriku. Tentu saja, gadis ini tak tahu penulis aslinya.Kukatakan jika seseorang membantuku membuat tulisan tersebut, aku juga menyabotase grup-grup menulis milik Angela. Kukatakan jika di sana Dyo Kusuma sering mengisi kelas online, bahkan dianggap sebagai salah satu penulis yang keberadaannya diperhitungkan. Kalian tahu responsnya? Ayu semakin berbinar-binar.“Bapak hebat, suatu saat Ayu mau sepeti Bapak.” Dia menunjukkan rasa takjub, memberi senyuman terbaik untukku. Lihat, senyuman! Hal paling indah yang jarang
Ini di tahun yang sama, kejadian 2017 lalu. Ketika aku masih bersama Ayu, santri asal pondok pesantren ternama yang dianggap alim nan lugu itu sudah dilepas segelnya oleh Dyo Kusuma. Bangga? Jelas, dong! Usia 28 tahun masih laku pada gadis.Sebenarnya malas sekali untuk dinas malam, tetapi daripada di rumah dan terlibat adu pendapat dengan Angela atau diabaikan olehnya hanya karena dia selalu curiga pada setiap alasanku betah di Puskesmas. Heran, dia selalu merasakan hal-hal yang menyudutkan, bisa enggak tak usah mempermasalahkan kesenanganku?Aku tak melakukan hal busuk, Ayu menyerahkan kehormatannya tanpa paksaan. Dia mau, kenapa justru menganggap para pria brengsek? Tingkat kebejatan seseorang selalu dinilai secara sepihak, apa akan terjadi sebuah dosa jika tak diberi celah?Jika memang aku satu-satunya pelaku kejahatan, dianggap tukang celup sana-sini. Apa si pemilik celupan terbebas dari kesalahan? Kenapa setiap perempuan selalu memaafkan khilafnya sesama,
“Dyo!” Panggilan ini sedikit mengagetkan, seorang bidan muda yang masih sukwan menepuk pundak. Dia tersenyum saat melihat tampangku, tak ada sopan-sopannya anak muda sekarang. Padahal umurnya jauh di bawah aku.Masih mending Shiva, mau memanggil 'Mas'. Eh! Dia tak menampakkan diri setelah menyerahkan diri semalam, servis luar biasa di kala tak terduga. Kejutan keren yang mampu membuat semangat menggebu pagi ini.Namun, di mana Ayu? Kenapa dia tak terlihat? Biasanya bus mini akan datang sebelum aku muncul di sini, tetapi sekarang malah belum menampakkan batang hidung.“Apa, sih, Meg?” Aku langsung menanyakan maksud sang gadis berbadan sintal datang di saat tak biasa, atlet voli Puskesmas itu pun hanya menyengir. Mirip kuda kebelet kawin, ada apa dengannya? Mendadak sok akrab begini, pasti ada maunya.“Kita selesaikan sekarang saja, ya?” Kalimat aneh ini cukup rancu, menimbulkan sedikit perasaan aneh dalam benak. Apa yang
Dalam suatu tempat kerja pasti akan sering terjadi hal-hal penuh kejutan, ternyata tak hanya kaum pria saja. Namun, Kambing Hitam paling mengenaskan selalu dari sisi kami. Padahal setiap kali hal ilegal terjadi diam-diam, mereka yang mau.Bukankah suatu kejadian dianggap bejat dan biadab ketika penuh paksaan? Aku bahkan sama sekali tak memaksa, justru mereka yang menggiring sosok suami mania sepertiku menuju lembah kecurangan paling mematikan. Keterlaluan!Menempati kantor baru, ruang sempit yang mengharuskan berdesakan. Tak betah di dalam, para lelaki lebih suka berdiam diri di luar. Menghabiskan waktu dengan bercengkerama atau sekadar bermain kartu, tak ada pasien serius. Hanya sesekali warga datang untuk memeriksakan diri.Shiva atau Mega tak ditempatkan di sini, Ayu juga mulai jarang datang. Tak ada hiburan sama sekali, membosankan bekerja jika terus begini. Aku berharap waktu segera berlalu, mengembalikan Ayu kembali sehingga semangat tak lagi bersembunyi.