Share

4. Takut Ketahuan

Seperti biasa, pagi ini aku bangun pagi-pagi dan menyiapkan sarapan khusus untuk Mas Byan. Kemampuan masakku memang tergolong standar, tapi bukan berarti bisa dipandang sebelah mata karena aku tergolong orang yang tak pernah salah dalam meracik dan mencampur bumbu dalam masakan. Tak ada ajian apapun dalam sarapan yang kini sudah tersedia di atas meja itu. Semua murni aku lakukan untuk Mas Byan.

Aku tak pernah lupa fakta bahwa Mas Byan begitu menyukai nasi goreng tanpa kecap dengan sedikit tambahan bumbu instan yang berfungsi untuk meningkat cita rasa. Meski sering aku memasakkan menu yang sama berulang kali, dia tak pernah menolak. Dengan catatan sebelum Mas Byan berselingkuh dengan wanita itu karena sekarang Mas Byan jadi sering mengabaikanku bahkan jarang sekali menyentuh makanan yang aku siapkan. Miris sekali bukan? Tetapi pagi ini, setelah turun dari lantai dua lengkap dengan pakaian kantoran dan tasnya, Mas Byan menghampiriku. Sesuatu yang tergolong jarang terjadi akhir-akhir ini.

"Selamat pagi, Sayang," ucapnya sembari mengecup keningku. Hal yang tak pernah terlewatkan pada masanya.

Jika dulu hatiku berbunga-bunga dan bahagia mendapatkan perlakuan romantis sederhana seperti ini, kini aku malah mual. Bohong memang jika aku tak menginginkannya. Aku ingin, bahkan sangat ingin. Namun di sisi lain, aku benci kenyataan bahwa sekarang bukan hanya aku saja yang mendapatkan perlakuan manis darinya.

"Sarapan dulu, Mas. Aku buatkan nasi goreng kesukaan kamu yang tanpa kecap. Aku buatkan kamu susu putih juga," ucapku mempersilakan sembari mengeluarkan senyum yang sedikit terpaksa untuknya.

"Aku pingin kita sarapan berdua," balas Mas Byan sembari tersenyum. Manis sekali.

Aku mengangguk. Mengambil posisi duduk di seberangnya seperti biasa. Aku mengisi piringku sendiri begitu pun dengan Mas Byan. Sejak dulu memang Mas Byan bukan suami yang menuntut untuk dilayani dalam segala hal. Bahkan Mas Byan yang sering menghidangkannya di atas meja. Jadi aku cukup memasak saja. Itupun dia tak menuntut. Jika hari minggu dan aku sedang kebanjiran order, maka Mas Byan yang akan memasak untuk kami berdua dan aku harus mengakui bahwa masakannya begitu memanjakan lidah. Bukankah Mas Byan adalah suami yang sempurna? Jawabannya adalah sangat sempurna. Itulah yang membuatku jatuh hati berkali-kali dan begitu mencintainya dengan kadar rasa yang bertambah dari hari ke hari. Aku benar-benar menjadi ratu untuknya. Mas Byan yang romantis dan pengertian selalu berhasil membuatku melayang.

Sayangnya, semua itu hanyalah tinggal kenangan. Mas Byan memang masih berada di dunia yang sama denganku, bahkan kami masih tidur seranjang dan makan semeja. Namun perlu kutegaskan lagi, kini aku bukanlah satu-satunya wanita untuk suamiku itu.

"Kok cuman diaduk-aduk makanannya?" tanya Mas Byan menyentak lamunanku.

Aku menggeleng. Sedang tidak selera makan. Bahkan sekarang perutku terasa mual. Maklumlah, bawaan hamil muda. Belum lagi aku terus memikirkan pekerjaanku dengan Mbah Gendis. Hari ini sudah hari keenam sejak kedatanganku ke sana. Itu artinya, besok aku harus datang lagi untuk memberikan jawaban sekaligus melakukan ritual. Ah, jangan sampai Mas Byan curiga. Dengan pertimbangan itu, maka aku memaksakan diri untuk memasukkan makanan dalam mulut.

Satu-dua suapan masih oke. Namun dalam suapan ketiga, mual di perutku semakin menjadi. Aku berusaha menahannya dengan menghela napas panjang. Berusaha melupakan rasa mualku sendiri.

Nyatanya aku tak sanggup. Maka tak ada pilihan lain selain menyalurkan hasrat mual ini dengan cara memuntahkannya. Aku berlari ke wastafel tempat cucian piring. Untunglah piring-piring dan perabotan kotor lainnya tidak ada di sana.

Hoek.

Semakin aku berusaha memuntahkannya, mualku semakin menjadi. Perutku juga terasa sakit dan perih. Tak hanya itu, kepalaku juga ikut-ikutan menambah rasa tak nyaman dengan denyutan yang mulai terjadi. Saat itu juga aku merasakan pijatan lembut di tengkuk. Sudah bisa dipastikan bahwa Mas Byan adalah pelakunya.

"Kamu kenapa?" tanyanya lembut. Khas Mas Byan seperti biasanya.

Sejenak aku mengalihkan pandangan. Tatapan khawatirnya sukses mengalihkan duniaku dalam waktu beberapa detik. Setelahnya aku kembali muntah-muntah sampai tubuhku terasa begitu lemas.

Dengan penuh pengertian, Mas Byan menuntunku untuk naik ke lantai dua dan masuk ke dalam kamar. Tak lupa Mas Byan juga membantuku untuk berbaring.

"Mau ke rumah sakit atau Mas panggilkan dokter?" tanyanya membuatku terkejut. Pasalnya, dari kedua pilihan itu tak ada satu pun yang tepat bagiku.

"Nggak usah, Mas. Aku cuma masuk angin," jawabku sembari berusaha tersenyum meyakinkan.

"Nggak usah pakai senyum. Mas tahu kamu beneran sakit. Wajah kamu pucat. Masih mual?" Mas Byan kembali melayangkan pertanyaan setelah kalimat pernyataannya itu.

Aku mengangguk saja. Nyatanya memang seperti itu. Untuk hal yang nampak, pasti susah sekali berbohong di depan Mas Byan.

"Mas nggak berangkat ke kantor sekarang? Nanti telat lho," ucapku mencoba mengalihkan pembicaraan.

"Mas berangkat setelah memastikan kamu aman. Mas teleponkan dokter dulu ya?"

"Nggak usah, Mas." Aku mencoba membantah. Bisa gawat kalau Mas Byan membawa dokter ke sini, "mas bantu olesin minyak angin aja."

"Ya udah, tapi nanti kalau belum reda juga Mas panggil dokter," putusnya final.

Aku hanya bisa pasrah saat Mas Byan mengoleskan minyak angin ke leher dan dadaku. Aku mendadak panik saat dia mencoba untuk mengoleskannya ke perut. Walau bagaimanapun, jika diraba dan diperhatikan secara pasti, perutku sekarang tak lagi rata seperti dalam keadaan normal.

"Perut kamu kayak kembung, tapi kok nggak bunyi?" tanya Mas Byan sembari menepuk-nepuk perutku menggunakan keempat ujung jarinya.

Aduh, gawat. Aku harus menjawab apa?

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status