Seperti biasa, pagi ini aku bangun pagi-pagi dan menyiapkan sarapan khusus untuk Mas Byan. Kemampuan masakku memang tergolong standar, tapi bukan berarti bisa dipandang sebelah mata karena aku tergolong orang yang tak pernah salah dalam meracik dan mencampur bumbu dalam masakan. Tak ada ajian apapun dalam sarapan yang kini sudah tersedia di atas meja itu. Semua murni aku lakukan untuk Mas Byan.
Aku tak pernah lupa fakta bahwa Mas Byan begitu menyukai nasi goreng tanpa kecap dengan sedikit tambahan bumbu instan yang berfungsi untuk meningkat cita rasa. Meski sering aku memasakkan menu yang sama berulang kali, dia tak pernah menolak. Dengan catatan sebelum Mas Byan berselingkuh dengan wanita itu karena sekarang Mas Byan jadi sering mengabaikanku bahkan jarang sekali menyentuh makanan yang aku siapkan. Miris sekali bukan? Tetapi pagi ini, setelah turun dari lantai dua lengkap dengan pakaian kantoran dan tasnya, Mas Byan menghampiriku. Sesuatu yang tergolong jarang terjadi akhir-akhir ini.
"Selamat pagi, Sayang," ucapnya sembari mengecup keningku. Hal yang tak pernah terlewatkan pada masanya.
Jika dulu hatiku berbunga-bunga dan bahagia mendapatkan perlakuan romantis sederhana seperti ini, kini aku malah mual. Bohong memang jika aku tak menginginkannya. Aku ingin, bahkan sangat ingin. Namun di sisi lain, aku benci kenyataan bahwa sekarang bukan hanya aku saja yang mendapatkan perlakuan manis darinya.
"Sarapan dulu, Mas. Aku buatkan nasi goreng kesukaan kamu yang tanpa kecap. Aku buatkan kamu susu putih juga," ucapku mempersilakan sembari mengeluarkan senyum yang sedikit terpaksa untuknya.
"Aku pingin kita sarapan berdua," balas Mas Byan sembari tersenyum. Manis sekali.
Aku mengangguk. Mengambil posisi duduk di seberangnya seperti biasa. Aku mengisi piringku sendiri begitu pun dengan Mas Byan. Sejak dulu memang Mas Byan bukan suami yang menuntut untuk dilayani dalam segala hal. Bahkan Mas Byan yang sering menghidangkannya di atas meja. Jadi aku cukup memasak saja. Itupun dia tak menuntut. Jika hari minggu dan aku sedang kebanjiran order, maka Mas Byan yang akan memasak untuk kami berdua dan aku harus mengakui bahwa masakannya begitu memanjakan lidah. Bukankah Mas Byan adalah suami yang sempurna? Jawabannya adalah sangat sempurna. Itulah yang membuatku jatuh hati berkali-kali dan begitu mencintainya dengan kadar rasa yang bertambah dari hari ke hari. Aku benar-benar menjadi ratu untuknya. Mas Byan yang romantis dan pengertian selalu berhasil membuatku melayang.
Sayangnya, semua itu hanyalah tinggal kenangan. Mas Byan memang masih berada di dunia yang sama denganku, bahkan kami masih tidur seranjang dan makan semeja. Namun perlu kutegaskan lagi, kini aku bukanlah satu-satunya wanita untuk suamiku itu.
"Kok cuman diaduk-aduk makanannya?" tanya Mas Byan menyentak lamunanku.
Aku menggeleng. Sedang tidak selera makan. Bahkan sekarang perutku terasa mual. Maklumlah, bawaan hamil muda. Belum lagi aku terus memikirkan pekerjaanku dengan Mbah Gendis. Hari ini sudah hari keenam sejak kedatanganku ke sana. Itu artinya, besok aku harus datang lagi untuk memberikan jawaban sekaligus melakukan ritual. Ah, jangan sampai Mas Byan curiga. Dengan pertimbangan itu, maka aku memaksakan diri untuk memasukkan makanan dalam mulut.
Satu-dua suapan masih oke. Namun dalam suapan ketiga, mual di perutku semakin menjadi. Aku berusaha menahannya dengan menghela napas panjang. Berusaha melupakan rasa mualku sendiri.
Nyatanya aku tak sanggup. Maka tak ada pilihan lain selain menyalurkan hasrat mual ini dengan cara memuntahkannya. Aku berlari ke wastafel tempat cucian piring. Untunglah piring-piring dan perabotan kotor lainnya tidak ada di sana.
Hoek.
Semakin aku berusaha memuntahkannya, mualku semakin menjadi. Perutku juga terasa sakit dan perih. Tak hanya itu, kepalaku juga ikut-ikutan menambah rasa tak nyaman dengan denyutan yang mulai terjadi. Saat itu juga aku merasakan pijatan lembut di tengkuk. Sudah bisa dipastikan bahwa Mas Byan adalah pelakunya.
"Kamu kenapa?" tanyanya lembut. Khas Mas Byan seperti biasanya.
Sejenak aku mengalihkan pandangan. Tatapan khawatirnya sukses mengalihkan duniaku dalam waktu beberapa detik. Setelahnya aku kembali muntah-muntah sampai tubuhku terasa begitu lemas.
Dengan penuh pengertian, Mas Byan menuntunku untuk naik ke lantai dua dan masuk ke dalam kamar. Tak lupa Mas Byan juga membantuku untuk berbaring.
"Mau ke rumah sakit atau Mas panggilkan dokter?" tanyanya membuatku terkejut. Pasalnya, dari kedua pilihan itu tak ada satu pun yang tepat bagiku.
"Nggak usah, Mas. Aku cuma masuk angin," jawabku sembari berusaha tersenyum meyakinkan.
"Nggak usah pakai senyum. Mas tahu kamu beneran sakit. Wajah kamu pucat. Masih mual?" Mas Byan kembali melayangkan pertanyaan setelah kalimat pernyataannya itu.
Aku mengangguk saja. Nyatanya memang seperti itu. Untuk hal yang nampak, pasti susah sekali berbohong di depan Mas Byan.
"Mas nggak berangkat ke kantor sekarang? Nanti telat lho," ucapku mencoba mengalihkan pembicaraan.
"Mas berangkat setelah memastikan kamu aman. Mas teleponkan dokter dulu ya?"
"Nggak usah, Mas." Aku mencoba membantah. Bisa gawat kalau Mas Byan membawa dokter ke sini, "mas bantu olesin minyak angin aja."
"Ya udah, tapi nanti kalau belum reda juga Mas panggil dokter," putusnya final.
Aku hanya bisa pasrah saat Mas Byan mengoleskan minyak angin ke leher dan dadaku. Aku mendadak panik saat dia mencoba untuk mengoleskannya ke perut. Walau bagaimanapun, jika diraba dan diperhatikan secara pasti, perutku sekarang tak lagi rata seperti dalam keadaan normal.
"Perut kamu kayak kembung, tapi kok nggak bunyi?" tanya Mas Byan sembari menepuk-nepuk perutku menggunakan keempat ujung jarinya.
Aduh, gawat. Aku harus menjawab apa?
Bersambung
Aku pulang ke toko dengan langkah gontai. Masih terngiang dengan jelas di telinga perkataan Kyai Ahmad terkait resiko dari kerjasamaku dengan Mbah Gendis. Kyai Ahmad mengatakan, bisa saja aku lepas dari Mbah Gendis, namun aku harus mengalami apa yang dialami oleh orang yang menjadi korbanku. Dalam hal ini Karin.Ya, itu yang membuatku gundah sekarang. Aku menyaksikan sendiri betapa sakitnya Karin itu tidak main-main. Mending dia memiliki Mas Byan yang selalu siap siaga di sampingnya. Sementara aku, hanya sendiri di sini.Aku mengambil mukenah dari dalam lemari setelah sebelumnya mengambil wudu. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, aku kembali membentangkan sajadah. Melakukan ibadah wajib dan bersujud dalam keheningan. Mencoba berkomunikasi dengan Allah lewat rangkaian doa. Tanpa terasa bulir bening mulai mengalir melemati kedua sudut mata. Membasahi pipi. Aku tak ingat lagi kapan terakhir kali melaksanakan ibadah salat. Entah sudah berapa lama sampai-sampai bacaan demi bacaannya
Aku diperbolehkan pulang pagi keesokan harinya setelah rawat inap. Cukup melelahkan juga harus terbaring dengan tangan diinfus sampai habis tiga botol.Aku melanjutkan perjalanan setelah sempat sarapan di kantin rumah sakit. Meski masih belum selera, setidaknya perutku tak lagi menolak. Aku merasa sudah mulai sehat.Jalan lintas yang kulewati tak pernah sepi. Maklumlah, ini jalan lintas utama antar provinsi. Banyak mobil besar yang lewat, beberapa motor dan pejalan kaki.Aku baru sampai di ruko menjelang siang. Suasananya tidak buruk. Tempatnya memang cukup strategis di tengah kota. Samping kanan ada toko bangunan, sebelahnya ATK, dan di seberang jalan depan berjajar rumah makan."Selamat datang, Ibu."Aku memperhatikan perempuan yang menyapaku. Orang yang kupilih untuk membantuku menjaga toko. Rumahnya tak jauh dari sini. Dia adalah bekas reseller toko online-ku sebelumnya. Namanya Farah."Aman semua?" tanyaku sembari memeriksa isi toko. Bagus juga susunannya. Selain pintar promosi,
"Kenapa kamu nggak pernah kasih tau Mas?" tanyanya sembari berusaha memegang perutku. Tapi aku menepisnya dengan kasar lengkap dengan ekspresi tidak suka."Jangan sentuh," seruku penuh penekanan."Dia anakku juga," lirih Mas Byan."Susah payah aku memperjuangkannya di tengah situasi yang sulit. Baru beberapa minggu dia ada di dalam sini, ayahnya justru menikah dengan wanita lain dan mentelantarkan ibunya. Itu artinya, anak ini hanya memiliki orang tua tunggal.""Jangan-jangan itu bukan anaknya Byan," sahut ibu."Anggap saja seperti itu. Aku bahkan tak sudi jika anakku menjadi bagian dari keluarga kalian," balasku. Enggan untuk mengalah dan terlihat lemah di depan mereka semua.Tak ada satupun yang menanggapi. Pasti sibuk dengan pikiran masing-masing."Bagaimana, Bu Salma? Kami sudah bisa mengambil alih rumah ini sepenuhnya 'kan?" tanya Pak Surya mengintrupsi."Tentu saja. Terima kasih atas kerjasamanya. Tolong sekalian Bapak urus pengusiran mereka juga," jawabku kejam."Karena rumah i
Rupanya Mbah gendis kembali mendatangi mimpiku saat malam harinya. Isinya kurang lebih sama. Dia marah besar dan berjanji akan membunuhku jika aku benar-benar nekad untuk membelot."Kau tak bisa bermain-main denganku. Tunggu saja pembalasanku untukmu."Aku kembali terbangun dan langsung menuju kamar mandi karena merasakan sensasi mual yang tak tertahan.Anehnya, rasa mualku tak kunjung tuntas meski sudah berusaha sekuat tenaga untuk mengeluarkan semua isi perut. Jelas ini bukan muntah yang seperti biasa.Morning sickness biasanya terjadi saat aku baru bangun di pagi hari atau saat sarapan. Kali ini masih tengah malam. Untung saja Anya masih terlelap dalam tidurnya. Jadi aku bisa leluasa tanpa harus sibuk menjawab pertanyaannya satu persatu.Tubuhku luar biasa lemas. Untuk kembali ke tempat tidur saja harus berpegangan pada dinding untuk menjaga keseimbangan agar tidak terjatuh.Aku kembali membaringkan diri di samping Anya. Masih dengan mual yang mendera, tapi tak ada lagi muntahan yan
Rumah yang menjadi saksi hari-hariku bersama Mas Byan sudah resmi beralih tangan. Beberapa hari lalu saat kujumpai calon pembelinya, orang itu hanya meminta video di beberapa sudut rumah. Ternyata prosesnya tak sesulit yang kubayangkan sebelumnya.Urusan peralihan nama di kantor hukum juga begitu mudah. Semua lancar jaya tanpa kendala. Mungkin itu yang dikatakan sebagai rezeki seorang istri yang tersakiti sepertiku."Kuat, Salma. Kamu sudah melakukan yang terbaik. Sekarang kamu menjadi Salma Nafisa yang begitu hebat," bisikku untuk menyemangati diri sendiri.Sejak pagi menjelang siang aku berada di kamar dengan pintu terkunci untuk memberskan semua barang-barangku tanpa terkecuali. Aku juga sudah mengundang jasa angkut untuk memindahkannya ke tempat tinggal yang baru. Sebentar lagi pickup-nya akan sampai.Aku memang mempersiapkan segalanya dengan matang. Untuk ruko aku memilih menyewa saja terlebih dahulu. Ruko dua lantai yang lokasinya begitu strategis. Aku memilih untuk pindah dari
Sesuai perjanjian, aku kembali ke Apartemen Nuri untuk bertemu dengan Lasmi. Ternyata saat aku datang, perempuan itu sudah menungguku di basemen."Apa kabar?" sapanya ramah. Berbeda sekali dengan malam itu."Aku baik."Kami sama-sama terdiam. Suasana jadi kaku karena aku sendiri pun tak tahu harus mengucapkan apa."Kenapa memilih datang ke sini?" tanyanya setelah keheningan menyelimuti kami selama beberapa saat."Aku hanya penasaran apa yang mau Kak Lasmi katakan padaku," ucapku jujur, meski belum sepenuhnya. Nyatanya, aku sedang mencari petunjuk bagaimana cara menyelamatkan anak dalam perutku ini dari belenggu Mbah Gendis."Katakan semuanya," balas Lasmi dengan nada bicara yang mulai dingin, begitupun dengan mimik wajahnya.Menurut analisa cepatku dan mengingat yang terjadi sebelum-sebelumnya, aku semakin yakin kalau sosok Lasmi ini bukan orang sembarangan. Dia dan suaminya itu terlalu misterius."Hanya itu," ucapku pada akhirnya. Aku takut terjebak lagi jika harus mengatakan semuany