Mag-log inLangit Jakarta mulai menggelap ketika Nisa duduk di sofa ruang tamu, memandangi jam dinding yang berdetak lambat seperti ingin menyiksa perasaannya sedikit demi sedikit.Sudah pukul 22.47.Ardi belum pulang, lagi.“Lembur,” katanya tadi sore.Alasan yang seharusnya wajar, tapi belakangan berubah jadi alarm yang tak berhenti berdenting di kepala Nisa.Ponselnya bergetar.Sebuah foto masuk ke grup kantor: potret ruang kerja lantai 7 yang gelap, hanya menyisakan dua meja yang masih menyala lampunya.Salah satunya meja Ardi.Dan satu lagi… bukan meja siapa pun yang Nisa kenal dekat.Meja itu sudah mati lampunya sejak dua jam lalu ketika Rani pamit pulangNisa menggigit bibirnya.“Kalau dia lembur sendirian, kenapa meja itu ikut nyala?” gumamnya pelanIa mengamati foto itu lama, zoom in ke berbagai sisiAda dua gelas minuman di meja samping printerAda jaket perempuan tergantung di kursi yang terbiasa kosongAda bayangan seseorang di kaca jendela, seolah dua siluet berdiri cukup dekatFoto
Langit pagi itu berwarna keemasan. Suara burung bercampur dengan aroma kopi dari dapur rumah Ardi. Meja makan dipenuhi map, daftar tamu, dan undangan yang sudah siap dibagikan.Nisa sibuk memeriksa vendor lewat telepon. “Halo, iya Mbak, tolong pastikan dekorasi di ruang tengah pakai nuansa putih gading, ya, bukan krem tua. Aku udah kirim referensinya kemarin sore.”Ardi hanya duduk di meja, menatap kosong ke arah jendela. Matanya lelah, pikirannya melayang entah ke mana.“Sayang, lo dengerin gue nggak?” tegur Nisa sambil menutup telepon.Ardi tersadar. “Hm? Iya, sorry. Gue lagi mikirin rundown aja.”Nisa mendesah kecil tapi tersenyum. “Tenang, semuanya udah gue handle. Lo tinggal fokus ke hari H. Aku pengen semuanya sempurna.”Ardi mengangguk, lalu berdiri untuk mengambil map yang tergeletak di atas lemari. Saat membuka laci bawah, tangannya tanpa sengaja menyenggol sesuatu—sebuah amplop usang berwarna cokelat muda, terselip di antara tumpukan buku catatan kuliah.Ia menatapnya lama.
Hari itu, aula kampus penuh oleh warna. Toga, bunga, tawa, dan kilatan kamera bercampur jadi satu. Musik wisuda mengalun lembut, menciptakan suasana yang hampir sempurna—nyaris seperti bab akhir dari perjuangan panjang.Rani berdiri di antara barisan wisudawan, tersenyum ke arah orang tuanya yang duduk di barisan tamu. Ia merasa lega. Semua kerja keras, begadang, dan tumpukan tugas akhirnya terbayar.Di sebelahnya, Nisa tidak berhenti berceloteh.“Ran, sumpah ya, toga ini bikin gue berasa kayak penyihir. Tinggal bawa tongkat, gue siap buka Hogwarts cabang Bekasi.”Rani tertawa kecil. “Yang ada lo ngelindes kucing, Nis.”“Eh, jangan jahat lo. Nih lihat Ardi, toga-nya aja rapi banget. Cowok kayak gitu mah susah dicari. Kalau bukan temen gue, udah gue rebut, sumpah.”Ardi yang berdiri beberapa langkah di depan mereka menoleh sambil tertawa. “Kalian berdua ribut mulu dari semester satu sampai sekarang, nggak berubah.”“Ya kalau nggak ada kita, wisuda ini kaku, Di!” sahut Nisa sambil menun
Hujan baru saja berhenti sore itu, meninggalkan udara dingin dan aroma tanah basah yang lembap di sekitar gedung pascasarjana. Mahasiswa-mahasiswa baru berdatangan, sebagian sibuk mencari kelas, sebagian lagi duduk di tangga sambil menyeruput kopi.Rani berjalan cepat sambil merapikan tote bag-nya. Ia baru saja pindah ke kota itu untuk melanjutkan studi S2 setelah dua tahun bekerja. Rasanya campur aduk—deg-degan, gugup, dan sedikit semangat.“Semester baru, hidup baru,” gumamnya sambil tersenyum kecil.Di dalam kelas, dosen baru sedang mempersilakan mahasiswa memperkenalkan diri satu per satu. Saat giliran Rani tiba, ia berdiri dengan tenang.“Halo, saya Rani Putri, latar belakang saya dari bidang manajemen proyek. Saya tertarik melanjutkan studi ini untuk mendalami strategi pengembangan bisnis berkelanjutan.”“Bagus sekali, Rani,” ujar dosen. “Silakan duduk.”Belum sempat ia menarik kursi, seseorang masuk ke ruangan.“Permisi, Pak. Maaf agak terlambat. Jalanan macet banget.”Rani men
Masa itu, dunia terasa lebih ringan. Rani dan Ardi sering bertemu di kampus, bukan karena janjian, tapi entah kenapa langkah mereka selalu saja bertemu di lorong, kantin, atau bahkan di halte tempat menunggu angkot. Semuanya terasa alami, seolah mereka memang ditakdirkan untuk sering berada di tempat yang sama.Hari itu, Rani sedang duduk di bangku taman kampus sambil mengetik sesuatu di laptop. Tiba-tiba bayangan seseorang menutupi layar.“Lah, ngerjain apa? Hack NASA?” suara Ardi terdengar dengan nada menggoda.Rani menoleh, memutar bola mata. “Iya, gue lagi coba nerbangin satelit sendiri. Lo mau ikut jadi astronot?”Ardi terkekeh, lalu duduk tanpa izin di sebelahnya. “Boleh sih, asal nanti di luar angkasa ada indomie goreng. Gue nggak bisa hidup tanpa itu.”“Yaelah, minta indomie di luar angkasa. Lo pikir warung burjo ada franchise di Mars?” balas Rani sambil menahan tawa.Mereka berdua terbahak, menarik perhatian beberapa mahasiswa lain yang lewat. Obrolan mereka selalu ringan, ta
Malam itu rumah terasa lebih hening dari biasanya. Detak jam dinding terdengar begitu jelas, sesekali suara kendaraan melintas di jalan depan rumah. Nisa duduk di sofa ruang tamu, ponselnya masih di tangan, tapi tatapannya kosong. Ia berpura-pura sibuk scrolling media sosial, padahal pikirannya melayang ke hal-hal yang sejak beberapa minggu terakhir mengganggu hatinya.Ardi keluar dari kamar mandi, rambutnya masih basah dan meneteskan air, hanya mengenakan kaos tipis dan celana pendek. Dengan handuk di bahunya, ia berjalan santai lalu menjatuhkan diri ke sofa di sebelah Nisa.“Kok bengong, Sayang?” tanya Ardi sambil menatapnya, senyum kecil tersungging di bibirnya.Nisa mengangkat wajah, lalu tersenyum tipis. “Enggak. Cuma lihat-lihat aja, banyak temen upload foto-foto zaman kuliah. Jadi nostalgia gitu.”“Oh, iya ya. Seru pasti kalau lihat foto lama.” Ardi meletakkan handuknya, kemudian bersandar. “Eh, besok aku lembur lagi ya. Project kantor belum kelar, deadline udah mepet banget.”







