Share

New Year Celebration Party

SUATU KEHORMATAN BAGI Abigail Russell saat Victor mengajaknya menghabiskan pengujung tahun di kapal pesiar untuk pesta yang besar dan meriah.

Gaun satin merah jambu Abigail sebatas lutut, cukup memperhatikan dengan sopan dadanya. Bibirnya yang berbentuk seperti hati dipoles lipstik nude untuk menyeimbangkan riasan mata yang mencolok. Ia cukup membutuhkan banyak riasan wajah, seperti blush on untuk memerahkan pipi, dan eyeliner untuk mempertegas matanya.

"Hai, Ma Petite Minette. Apakah kau bidadari yang baru saja turun ke bumi?" sapa Victor saat meihat Abigail menunggu di luar kapal. Pria itu sangat rapi, ia memakai tuksedo dan celana jins.

"Jangan mencoba menggodaku."

Victor tertawa. Dia mengulurkan tangan pada Abigail, tersenyum dengan mata berkilat jenaka yang terpatri di netra abu-abu pria itu. "Apakah putri cantik ini mau masuk bersamaku?"

Abigail merasakan pipinya memanas seperti demam, lalu ia menerima tangan Victor dengan senang hati dan berujar, "Tentu saja."

Mereka berjalan masuk ke kapal pesiar yang ramai. Beruntung, Abigail salah satu di dalam tamu pesta karena Victor. Pesta itu menggunakan jasa bartender dan minuman-minuman alkohol dari bar tempat Victor bekerja.

Victor mengajak Abigail ke dak paling atas kapal pesiar di mana keramaian semakin menggila di sana. Tepat sepuluh menit sebelum pukul sepuluh, kapal mulai berlayar di atas birunya laut. Namun, baru sepuluh menit mereka bersama, Victor pamit undur diri untuk bercengkeram dengan tamu penting di counter.

Awalnya, Abigail merasa keberatan, tapi ia tidak bisa egois meminta Victor terus bersamanya. Jadi, ia memilih berjalan-jalan di sekitar dak dan berhenti di ujung dak.

"Mau minum, Mademoiselle?" tawar seorang baki yang melintas di depan Abigail.

Abigail mengambil asal salah satu minuman berwarna unggu pekat dari atas nampan sebelum mengucapkan terima kasih.

Udara malam yang dingin menyapa lembut kulit Abigail, ia menyesal tidak membawa blazer karena mungkin saja pesta ini akan membuat ia menggigil.

"Abigail-girl, kaukah itu?"

Abigail sontak menoleh, menemukan Benjamin Marchetti dalam balutan tuksedo jutaan dolar dan rambutnya ditarik ke belakang membuat mata birunya terlihat memikat di bawah sinar rembulan.

"Benjamin, apa yang kau lakukan di sini?" tanya Abigail hampir menjatuhkan gelasnya karena terkejut menemukan suaminya di sini.

Geez, andaikan pintu ke mana saja milik Doraemon memang ada, Abigail rela menukarkan apa pun agar ia bisa pergi dari hadapan Benjamin sekarang juga.

"Seharusnya, itu kalimatku, Abigail-girl. Jangan salahkan aku berpikir kau mengikutiku." Sudut bibir Benjamin berkedut geli.

Abigail mengulirkan bola matanya. "Sudah kubilang, aku tidak mengikutimu."

"Lalu, apa yang kau lakukan di sini?" Sudut mulut Benjamin melengkung menjadi seringai.

"Aku datang bersama seseorang."

Benjamin mengernyit, mengangkat sebelah alisnya. Lalu, tatapan mencela memenuhi ekspresi wajahnya. "Seseorang? Pacar lidimu yang kemarin?"

"Tidak." Abigail mengangkat dagu. "Aku datang bersama pria yang di sana." Abigail menunjuk Victor yang duduk di ujung kursi counter bersama pria setengah abad.

"Oh, pacarmu?" tanya Benjamin dengan malas.

"Belum, setidaknya untuk saat ini." Abigail dengan salah tingkah meminum minuman yang diambil dari baki untuk mengurangi percakapan dengan Benjamin.

Benjamin melipat lengan di dada dan bersandar di pagar pembatas kapal. "Sepertinya, kau sangat berusaha keras mencari penggantiku, Abigail-girl."

Abigail tersedak minumannya. Ia menatap Benjamin dengan mulut terbuka seperti ikan. Ya Tuhan, apakah Abigail terlihat seperti perempuan yang haus kasih sayang pria? Padahal, tujuan Abigail hanya untuk bersenang-senang dan melupakan skandal suaminya.

"Ya! Karena suamiku tidak pernah pulang. Apakah aku salah mencari pria lain?" tanya Abigail menyelipkan seluruh rasa sakit pada ucapannya.

"Tapi sekarang, aku di sini, di depanmu, Abigail-girl."

Abigail seolah kehilangan lidah untuk berbicara, sementara ia dan Benjamin saling beradu tatap untuk lomba saling membisu. Sementara itu, Benjamin mulai bertanya-tanya apa yang dipikirkan perempuan yang selisih usia delapan tahun dengannya. Apakah Abigail menderita selama ini? Apakah Abigail menginginkannya? Atau apakah Abigail begitu membencinya?

Saat Benjamin ingin bertanya mengenai perasaan perempuan itu, seorang perempuan berambut pirang cerah sebahu berusia selisih lima tahun lebih tua dari Benjamin, menepuk pundaknya. Dia Placida Serra--manager Benjamin.

"Benjamin, kau di sini rupanya. Beberapa menit lagi kau harus tampil untuk menjadi bintang tamu." Netra cokelat hazel Placida bergeser pada perempuan di belakang Benjamin. Bibirnya berkedut saat berkata, "Monica mencarimu."

Abigail tidak bisa bersikap ramah pada Placida. Selain keluarga Benjamin, orang yang mengetahui pernikahan mereka ialah Placida Serra. Dia termasuk orang yang menentang pernikahan mereka pada awalnya karena dirasa akan menjatuhkan karir Benjamin saat pria itu sedang dalam puncak kejayaannya. Abigail tahu, Placida mungkin sedang mencoba mematik amarah padanya dengan menyebut Monica Jaquetta. Dan sialnya, itu benar-benar sukses membuat Abigail sakit hati mendengar nama perempuan itu.

Sebelum Benjamin berbalik pergi, pria itu membisikan kata-kata di telinga Abigail. "Jaga dirimu, Abigail-girl. Aku mungkin jahat padamu, tapi siapa yang tahu jika teman kencanmu lebih jahat dariku."

Setelah itu, Benjamin bergegas pergi, tetapi Placida masih di sana dengan tangan bersedekap mengamati Abigail penuh penilaian.

"Oh, hai, lama tidak bertemu, Abigail." Placida tersenyum basa-basi. "Kudengar, kau menggugat cerai Benjamin."

"Bukankah itu kabar bagus untukmu?" ketus Abigail. Rasa-rasanya, ia ingin menyiram rambut Placida dengan minumannya.

"Ya, seharusnya kau lakukan itu sejak lama. Dan, yeah, terima kasih berkat berita yang kau tulis banyak orang yang mendukung Benjamin dan Monica, hal itu membuat film mereka laku keras."

"Memang seorang bajingan lebih pantas bersama perayu suami orang." Abigail menenggak habis minumnya dan menyerahkan ke nampan baki yang kebetulan lewat, lalu pergi dari hadapan Placida dengan langkah lebar.

"Hei, ada apa? Apa kau baik-baik saja?" tanya Victor saat berpapasan dengan Abigail. Pria itu bersyukur menemukan Abigail di tengah keramaian pesta tanpa susah payah. "Maaf, meninggalkanmu terlalu lama."

"Pretty good. Apakah kau punya minuman yang bisa melupakan masalah?"

"Mari kita cari untukmu." Victor melingkarkan tangan kekarnya ke pundak Abigail, lalu menuntun perempuan itu duduk di counter.

Saat Abigail duduk menunggu Victor membuatkan minuman, atensi para tamu mulai tertarik ke arah panggung kecil di bagian depan.

Sialan, Abigail mengumpat melihat Benjamin dan Monica di depan sana mulai penyambutan. Abigail merasakan ulu hatinya naik ke kerongkongan melihat Monica menggamit lengan Benjamin. Demi Tuhan, Benjamin adalah suaminya. Bahkan, ia tidak pernah menyentuh Benjamin seperti apa yang dilakukan Monica Jaquetta pada pria itu. Rasa iri pun mulai merangkak naik ke hati Abigail.

Monica Jaquetta memang cantik, tetapi malam ini ia terlihat lebih cantik dengan gaun biru langit malam tanpa lengan dengan bagian punggung terbuka melekat erat di tubuh ramping perempuan itu. Seolah udara dingin meraba kulitnya, ia dengan sengaja menempel pada Benjamin yang notabene suami Abigail Russell untuk mencari kehangatan.

"Segelas martini untukmu, Ma Petite Minette." Victor datang dengan segelas martini di tangannya yang langsung disambut Abigail untuk meredam emosi yang bergemuruh di dada.

"Terima kasih," timpal Abigail langsung menyesep martini dalam diam tanpa melepas tatapannya pada tangan Monica di lengan Benjamin.

"Apa kau pernah berpacaran, Abigail?' tanya Victor tiba-tiba membuat Abigail menatap pria itu.

"Ya." Abigail berbohong. Ia tidak berpacaran dengan pria mana pun karena terlalu takut dengan hubungan badan, tetapi ia tidak mungkin mengatakan yang sebenarnya untuk mempermalukan diri.

Victor menumpukan dagu untuk mengamati wajah Abigail. "Kau tidak punya pacar?"

"Tidak."

Untuk kali ini, Abigail tidak berbohong jika tidak punya pacar, tetapi ia memiliki suami.

Victor tertawa membuat Abigail mengernyit. "Apanya yang lucu?"

"Aku hanya heran mengapa perempuan secantik dirimu tidak punya pacar." Bibir Victor berkedut seolah menahan senyum geli.

"Apakah itu mengerikan seperti perang ketiga akan dimulai?" Abigail mengangkat gelas martininya dan menyesapnya lagi.

“Tidak, tentu tidak.”

Abigail mengangkat kedua alis. “Oh.”

Victor mengangguk. "Berapa usiamu, Abigail?"

"Dua puluh tahun."

"Aku empat tahun lebih tua darimu. Kau begitu muda dan lebih cantik dari fotomu, Abigail. Omong-omong, kurasa kita serasi. Aku juga tidak punya pacar." Victor menyentuh dengan hati-hati punggung tangan Abigail yang ada di meja counter.

"So?" Abigail kembali meminum martini-nya hingga tersisa setengah gelas.

Victor membuat pola tidak beraturan di punggung tangan Abigail. "Aku ingin kita memulai suatu hubungan."

"Seperti apa?" Abigail bertanya hati-hati.

"Berpacaran mungkin." Victor mengedikkan bahu. Dia terlihat mengemaskan seperti anak berusia lima tahun yang meminta permen.

"Apakah kau baru saja menyatakan cinta?" tanya Abigail dengan polos.

Victor tertawa. "Ya, Abigail. Aku ingin kau menjadi kekasihku. Aku tahu ini terlalu cepat untuk kita karena aku takut kehilanganmu."

Jantung Abigail berdetak lebih kencang dari biasanya. Ini bukan pertama kali Abigail mendengar seorang pria menyatakan cinta padanya, tetapi tetap saja itu membuat ia berdebar.

Ya Tuhan, Abigail tidak tahu harus menjawab apa. Dulu, ia pernah takut berpacaran karena takut dengan hubungan badan, tetapi sekarang ia dua puluh tahun.

Abigail tidak tahu bagian Victor yang mana yang mampu membuat ia menolak pria itu. Victor adalah pria tampan dan punya pekerjaan di depan mata.

"Aku menunggu jawabanmu, Abigail."

Saat Abigail sedang menyusun kata-kata untuk menjawab, kembang api mulai meledak-ledak di langit tepat tengah malam. Keadaan sekitar semakin riuh saat pergantian tahun telah tiba. Waktu berjalan semakin cepat dan Victor menunggu jawaban darinya.

Akan tetapi, rasa panas tiba-tiba menjalar di tubuh Abigail. Jadi, sebelum menjawab tawaran Victor, Abigail pamit undur diri ke kamar mandi.

Demi Tuhan, setiap langkah yang Abigail ambil terasa seperti jeli. Sementara itu, lututnya semakin lemas.

Sesampainya, Abigail tiba di kamar mandi. Ia menatap dirinya di cermin. Ia terengah-engah untuk sesuatu yang panas dalam tubuhnya. Jadi, ia membasuh wajah di wastafel.

"Apa yang terjadi?" gumam Abigail pada dirinya sendiri.

Merasa tidak tahan dengan panas, Abigail memasuki bilik kamar mandi paling ujung dari pintu masuk dan mulai melepas seluruh pakaiannya untuk meredakan gerah. Sampai tidak terasa, itu memakan waktu setengah jam.

Abigail melirik ponselnya guna melihat jam sebelum kembali mengenakan pakaiannya dan berjalan keluar dari kamar mandi. Sialnya, panas di tubuhnya tidak mereda sekalipun ia melepas pakaiannya.

Abigail berjalan sempoyongan keluar dari kamar mandi wanita sampai ia terbentur dada seorang pria hingga membuat lututnya menyentuh lantai.

"Abigail, aku mencarimu. Kapal sudah berlabuh sepuluh menit yang lalu." Suara Victor yang serak menyapa Abigail.

Abigail bersyukur menemukan Victor. Ia bisa meminta pria itu mengantarkan pulang karena ia tidak lagi tahan dengan panas yang mendera.

"Kau baik-baik saja?"

Abigail tidak yakin ia mengangguk, tetapi tatapannya jatuh pada bibir Victor saat pria itu bertanya. Panas semakin turun ke pangkal paha Abigail membuat perempuan itu sedikit menggeliat.

Tidak tahan menunggu jawaban Abigail, Victor langsung menarik Abigail ke dalam kamar mandi wanita. Kemudian, mengunci perempuan itu ke dinding di antara lengannya sampai Abigail tidak punya jalan lain untuk melarikan diri selain memeluk Victor atau mengalungkan lengan di leher pria itu.

"Kau merasa gerah, Abigail?" tanya Victor dengan bibir yang sejengkal lagi menyentuh bibir Abigail.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status