Share

Imbal Balik?

Author: Nia Kannia
last update Last Updated: 2025-08-24 20:14:20

“Kamu mau bunga juga, Sayang?” tanya Revan. Mungkin berusaha mengalihkan pembicaraan.

Anya menggeleng. Tanpa mengalihkan tatapan dari sang suami

“Memberiku bunga bukan kebiasaanmu setelah kita nikah, Mas. Itu biasa kamu lakukan sebelum kita nikah, ‘kan?” tanya Anya masih dengan sikap tenang.

“Maaf, Sayang. Mungkin aku terlalu sibuk, sampai lupa kasih perhatian lebih sama kamu. Ya udah, besok aku beliin, ya.” Revan menarik garis lengkung di bibirnya. Satu tangannya terangkat menggapai pipi wanita di hadapannya.

“Tapi bukan bunga yang aku mau sekarang. Aku cuma butuh kejujuran. Jadi, kamu jawab dengan jujur, kamu beli bunga untuk siapa?” tanya Anya dengan nada penuh tuntutan dan ketegasan.

“Buat pemasok barang di toko kita, Sayang.” Revan menjawab kemudian.

Anya mengerutkan kening.

“Iya, itu adalah salah satu strategi kita untuk bikin mereka merasa dihargai. Biar kerjasama tetap jalan dan harga barang jadi lebih bersahabat,” jelas Revan sambil menatap lembut.

“Terus, kenapa cuma satu buket?” kejar Anya, nada suaranya datar tapi tegas.

“Bertahap dong, Sayang.”

Alasannya masuk akal. Terlalu masuk akal, malah. Dan justru karena itu, Anya semakin tidak yakin.

“Kalau kamu mau, besok aku belikan juga buat kamu, ya,” lanjut Revan dengan senyum hangat yang biasa membuat wanita manapun merasa diprioritaskan.

Anya tidak menjawab. Matanya tidak berkedip saat menatap suaminya. Perlahan, ia menyelipkan kembali nota itu ke dalam saku jas Revan. Lalu berkata pelan.

“Lihat aja nanti, Mas.” Kalimat itu hanya gumaman lirih, tetapi masih terdengar oleh Revan.

Tatapan tajam dan penuh ancaman tak dapat Anya sembunyikan untuk suaminya.

Revan terdiam. Seketika senyumnya luntur. Tatapan itu tak pernah ia lihat dari istrinya selama ini.

Anya kemudian melangkah meninggalkannya tanpa berkata apa-apa. Sejenak Revan merasa seakan seisi ruangan berputar mengelilingi tubuhnya.

Pria itu terperanjat seperti kembali dari dunia lain ketika mendengar dering ponselnya sendiri. Revan menempelkan ponsel ke telinga. Masih dengan wajah tegang, seakan nama yang tertera di layar ponselnya tak mampu mengubah atmosfer dalam tubuhnya.

“Mau jemput jam berapa? Aku udah siap, nih.”

***

Pagi hari saat sarapan, sebuah pesan chat muncul di layar ponsel pintar milik Anya.

“Cieee yang tadi malam ngedate bareng suami.”

Ilham adalah nama kontak pengirim pesan. Ia adalah saudara sepupu Anya yang masih sibuk mengenyam pendidikan di sebuah universitas negeri di kota mereka. Ilham Bayang.

“Salah kirim, ya, Ham?” balas Anya kemudian.

“Ya enggak lah. Aku cuma lagi chatingan sama Mbak Anya seorang.”

“Tapi aku tadi malam di rumah. Gak keluar sama sekali. Lagian Mas Revan semalam ke gudang.“

Beberapa menit kemudian. Nama kontak Ilham muncul dalam panggilan. Anya tidak langsung mengangkat, karena perhatiannya teralihkan pada seseorang yang baru saja keluar dari kamar tamu.

Dia adalah perempuan yang selama tujuh tahun ini menjadi istri almarhum ayahnya. Lebih tepatnya wanita itu adalah ibu tiri Anya. Namun, selama ini mereka tidak tinggal bersama.

Anya dan Revan pisah rumah dari orang tua sejak menikah. Namun, tak jarang ibu tiri Anya menginap sejak sang suami meninggal dengan alasan kesepian. Lalu, sejak kapan wanita itu berada di rumah ini? Kenapa Anya tidak tahu?

Usianya hanya selisih sepuluh tahun lebih tua dari Anya. Meski tak mampu menggantikan sosok sang bunda, Anya tetap menghormatinya wanita itu sebagai istri ayahnya. Bahkan setelah sang ayah meninggal.

Wanita itu melangkah gontai menghampiri Anya di meja makan. Ia mengenakan gaun tidur yang cukup seksi di mata Anya, sepuluh senti di atas dan dengan dasar gaun yang jatuh hingga membentuk tubuh.

Belum lagi bagian atas yang terbuka hingga memperlihatkan belahan dada yang sudah pasti akan menarik perhatian jika ada kaum adam yang melihat. Meski sudah hampir berusia hampir kepala empat, tetapi wanita itu terlihat merawat tubuhnya dengan baik.

Anya membalas pasrah dan alakadarnya ketika wanita itu mencium pipi kanan dan kiri dan memberi sedikit pelukan. Beruntung suaminya tidak sedang di rumah—belum pulang sejak pamit ke gudang untuk mengontrol langsung stok barang yang masuk ke gudang toko yang merupakan peninggalan ayah Anya.

Anya terkesiap. Bukan kaget karena tiba-tiba dipeluk, tetapi karena aroma—yang tak asing—dari tubuh sang ibu tiri yang samar-samar ia tangkap dengan indra penciumannya. Dalam sekejap otaknya bekerja dengan begitu cepat. Menangkap sinyal-sinyal yang tak biasa.

“Tante kapan datang?” tanya Anya yang sebenarnya lebih ke penasaran daripada basa-basi.

Anya memang tidak pernah memanggil wanita itu dengan sapaan yang mengarah pada seorang ibu, bahkan ketika ayahnya masih hidup. Wanita itu memang tidak pernah bersikap buruk pada Anya, tetapi entah kenapa Anya merasa sulit untuk menerimanya.

“Tadi malam, waktu kamu udah tidur.”

Belum sempat Anye merespons balik, dering ponsel pintar miliknya di meja makan membuat ia segera melepas pelukan sang ibu tiri. Ternyata IIham menelepon lagi.

Anya akhirnya pamit untuk mengangkat telepon di kamar. Ia bahkan belum sempat bertanya, kapan sang ibu datang.

“Mbak serius? Tadi malam gak keluar?“ Suara Ilham di sana langsung bertanya pada intinya begitu Anya menerima panggilannya setelah sampai di kamar.

“Seriuslah.”

“Mbak yakin si Silas-silas itu lagi ke gudang?” tanya Ilham dengan nada tak suka.

Pemuda itu memang jarang bisa menyebut nama Revan dengan benar. Sehingga Anya bisa melihat bagaimana Ilham sangat tidak menyukai suami Anya.

Anya bergeming. Ia tak yakin, tetapi untuk saat ini ia tidak dapat berpikir dengan jernih.

“Mbak, semalam aku lihat Revan-mu itu di bioskop. Dia nggak sendiri. Sama perempuan. Aku kira itu Mbak. Tapi kalau Mbak bilang semalam cuma di rumah aja ….”

“Jangan mulai lagi, Ham. Kamu punya buktinya gak? Aku tahu kamu gak suka sama Mas Revan. Tapi–”

“Aku cuma nggak mau Mbak terus dibohongin sama dia. Cinta boleh, tapi jangan terlalu buta.” Suara Ilham sedikit tidak sabar.

Anya bergeming. Ia menghela napas dalam. Saat ini ia memang masih mencoba menyelidiki suaminya. Perlahan, tetapi pasti, ia pasti akan bisa menemukan kebenarannya.

“Mbak?” Ilham berseru ketika Anya tak juga memberi tanggapan.

“Iya?” jawab Anya dengan nada datar.

“Mau aku bantu selidikin suamimu?” Suara di seberang sana terdengar meyakinkan.

“Memangnya apa yang bisa kamu lakukan, Ham?“ tanya Anya meremehkan, tetapi terdengar seperti tantangan bagi Ilham.

“Oke, sebagai pembuka, nanti aku kirim videonya. Tapi ….” Ilham menggantungkan kalimatnya.

“Tapi apa?"

"Tapi ... kalau aku berhasil mencari bukti. Aku minta sesuatu sama Mbak. Gimana?"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Teman Tidur Suamiku    Panggilan

    “Maaf, Ham. Aku lagi datang bulan.”Mendengar dan meresapi kalimat lirih itu seketika membuat Ilham berhenti. Seketika gerak di tubuhnya membeku. Dengan ekspresi datar, ia menatap lurus wajah Anya yang hanya berjarak sejengkal. Ia bisa melihat getar samar di bulu mata istrinya yang terpejam, dan napasnya yang sedikit tertahan.Beberapa detik kemudian, topeng ekspresi datar di wajah Ilham retak. Ia menarik bibir ke samping, membentuk lengkung khas di wajahnya. Bukan senyum kecewa, melainkan lambang sebuah pemahaman yang tulus. Tak bisa memungkiri jika ia memang kecewa, tetapi sebisa mungkin ia menyembunyikannya dari Anya. “Gak masalah,” bisiknya, suaranya sengaja direndahkan agar terdengar menenangkan. “Aku masih bisa menunggu. Yang penting, akhirnya malam ini udah bisa tidur sambil peluk kamu, Mbak,” ucap Ilham akhirnya.“Maaf.” Anya bersuara lirih lagi, kali ini ia memberanikan diri membuka mata. Ada rasa bersalah yang kentara di sana, membuatnya terlihat rapuh.“Sshh. Udah kubilang

  • Teman Tidur Suamiku    Malam Pertama?

    Ilham buru-buru menoleh pada pria berkemeja hitam itu, menyadari Arkan masih mematung di sudut ruangan. Apa yang sudah ia dapat hari ini seolah sukses mengirimkan gelombang kebahagiaan murni yang membuatnya nyaris linglung.“Kenapa kamu masih di sini?” tanya Ilham kemudian. Suaranya sedikit parau. Dia berusaha keras mengusir linglung yang mendadak menyerang karena rasa bahagia yang begitu tak terkira, yang terasa meledak-ledak di dalam dada. “Kerjakan tugasmu!” tegasnya kemudian, memaksakan nada otoriter seorang bos. Dia melepaskan genggaman pada jemari Anya, lalu berdiri dan mendekati sang asisten.“Tugas selanjutnya apa, Bos?” tanya pria yang bernama Arkan itu, wajahnya datar tapi ada kilat jenaka di matanya.“Brengsek, lu!” Ilham mendesis, tetapi tak bisa menahan senyum tipis. “Jangan mendadak pikun, tugas utamamu apa di jam-jam seperti ini? Pastikan semua beres kalau gak mau potong gaji.” Ilham mendorong bahu Arkan agar segera pergi. Tak ingin membuat Anya makin tidak nyaman deng

  • Teman Tidur Suamiku    Gak Sendiri Lagi

    “Jadi ini calon pengantin wanitanya, Mas Ilham?”Suara Pak Penghulu yang berat dan penuh penasaran menyambar Anya seolah pisau tajam. Ia membeku di tengah ruang tamu kecil rumah kontrakan Ilham, tangan yang sedang menyusun gelas teh tiba-tiba menggoyangkan hingga setetes cairan panas menyentuh pelipisnya. Apa tadi? Calon pengantin? Ia menatap Ilham dengan mata membelalak, berharap itu sekadar lelucon kelam yang tak pernah ia duga dari pria yang biasanya pendiam itu.Seketika Anya merasa seperti ada yang menampar dan menyadarkannya jika ia memang tidak salah dengar. Terlebih ketika mendengar jawaban Ilham yang tegas, tanpa secercah ragu: “Betul, Pak. Dia … calon istri saya. Namanya Anya Prasasti Prayoga.” Detik berikutnya Ilham menoleh padanya, matanya yang biasanya lembut kini menyimpan semacam tekad yang membekukan. “Gimana, Mbak, udah siap, ‘kan?”Anya tercekat. Kalimat Ilham yang ditujukan padanya seolah berhasil menenggelamkan kosakata yang ada di kepala Anya. Ia ingin berteriak,

  • Teman Tidur Suamiku    Bawa Kejutan

    Anya masih bergeming, hanya hatinya yang terlalu ramai. Tanpa bisa dipungkiri, ia memang memiliki perasaan khusus untuk Ilham, entah sejak kapan. Namun, menikah dengan pria tanpa restu dari ibu pria itu bukanlah pilihan yang baik. Meski ia yakin, Ilham akan melakukan apa pun untuk membuatnya nyaman.Waktu berlalu pelan. Dari jendela, cahaya senja sudah berubah jingga tua. Suara azan magrib mulai menggema dari kejauhan.Anya menatap jam, lalu berdiri perlahan. “Aku mau salat dulu.” setidaknya ia bisa menghindar sebentar dengan alasan itu. Tentu saja hanya alasan, karena datang bulannya belum tuntas. Ilham menatapnya, lembut seperti biasa. “Tunggu, Mbak,” ucapnya mengurung langkah Anya. “Jawab dulu. Mau ya ... kita nikah?”Anya bergeming. Langkahnya terhenti di depan tangga. Ia menarik napas dalam, kemudian berkata, “Terserah kamu, deh, Ham,” jawab Anya pasrah dengan wajah tertunduk. Lagi pula, Ilham tidak mungkin mengajaknya menikah sekarang juga, bukan? “Aku mau salat dulu,” lanjut

  • Teman Tidur Suamiku    Dilema Hati Anya

    “Mbak, ayo nikah. Kalau kayak gini aku susah buat jagain Mbak Anya. Aku pengin kita gak punya batasan lagi.” Ilham memohon lagi, tetapi ia sudah kembali duduk di tempat asalnya karena Anya terlihat tidak nyaman ketika berlutut di depan wanita itu.Berharap kali ini wanita di hadapannya itu luluh. Memikirkan kebahagiaan mereka tanpa memikirkan yang lain dulu.Anya membuang pandang ke samping. “Aku gak bisa, Ham.” Tangannya kembali menyapu pipinya yang basah.Ilham menggenggam kosong kepalan tangannya. Andai bisa, ia ingin ikut menghapus air mata itu.“Kenapa? Aku tahu, Mbak. Mbak bohong kan bilang udah punya calon suami?” Ilham tersenyum miring. “Satu-satunya calon suami Mbak Anya itu aku,” lanjutnya lagi dengan nada canda, mencoba mencairkan suasana yang kaku. Meski sebenarnya ia sedang serius. Anya bergeming, tak ingin mengelak atau mengiakan. Candaan Ilham tak berpengaruh apa pun denganya. “Apa karena Ibu?” tanya Ilham lirih. Ia tabu, beberapa waktu terakhir ibunya sering menggang

  • Teman Tidur Suamiku    Percikan Trauma Masa Lalu

    Ilham merapatkan bibirnya. “Apa yang bisa membuatku membenci Mbak Anya? Selama beberapa hari ini aku udah berusaha untuk membencimu, Mbak. Mbak Anya mengusirku, bahkan perjuanganku selama ini gak kamu anggap, Mbak. Tapi kenapa aku gak bisa membencimu, Mbak?” tanya Ilham beruntun dengan nada putus asa. . Anya menghela napas dalam. Dadanya terasa sesak. Mungkin ini saatnya dia harus mengatakan yang sejujurnya. Segala risikonya harus ia tanggung. Meski itu dibenci Ilham selamanya.Anya menghela napas panjang. Sekuat tenaga ia berusaha mencari kosakata yang pas untuk mengungkap semua. Ia harus mengatakannya sekarang, tetapi tidak tahu mulai dari mana. Beberapa kali ia membuka mulut, seperti akan mengatakan sesuatu, tetapi selalu urung. Sementara itu, Ilham sengaja menunggu Sunshine-nya bersuara. Ia menatap lurus pada wanita itu yang seakan tak memiliki kemampuan untuk menyusun bahasa.Anya berdiri. “Ham, aku pulang aja, deh. Aku–”“Mbak, plis. Kali ini aja. Tolong kasih kesempatan untu

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status