Share

Teman Tidur Suamiku
Teman Tidur Suamiku
Author: Nia Kannia

Kecurigaan

Author: Nia Kannia
last update Last Updated: 2025-08-24 20:08:40

“Hari ini gilliran karyawan yang mana lagi yang nabrak kamu, Mas?” tanya Anya begitu selesai menyalami Revan, suaminya yang baru saja pulang. Ekor matanya melirik ke arah kemeja sang suami di bagian bawah kerah.

“Hah?” Revan mengerutkan kening karena bingung.

“Itu, ada bekas lipstik di kemejamu, Mas,” tunjuk wanita yang bernama lengkap Anya Prasasti itu hanya dengan gerakan wajah.

Anya menghela napas panjang sambil berlalu. Berusaha memahami apa yang akan menjadi alasan sang suami lagi. Menahan perasaannya yang bergejolak demi makhluk kecil yang baru mulai tumbuh di dalam sana.

Revan menahan tangan Anya yang tengah menenteng jas kotor miliknya. Pria itu menghela napas dalam, kemudian mundur selangkah untuk berada di hadapan sang istri. Perlahan ia menyentuh anak rambut Anya, kemudian menyelipkan di belakang telinga.

“Anya Sayang. Kamu percaya sama aku, ‘kan?”

Anya memalingkan wajah, lalu memutar tubuh sembilan puluh derajat. Tidak ingin berhadapan secara langsung dengan sang suami.

“Kemarin hanya bau parfum cewek yang nempel di bajumu, aku bisa percaya kalau itu hanya karena karyawan cewek yang tanpa sengaja nabrak kamu waktu mau pulang. Sekarang ada bekas lipstik, apa dia nabraknya pake bibir, Mas?” tanya Anya kesal dan menahan hati yang seperti membengkak.

Pria itu bergeming, kemudian mendengkus lirih. Perlahan ia menggapai pinggang wanita di hadapannya itu dan menariknya untuk merapat ke tubuhnya. Ia tahu, wanita yang setahun menjadi istrinya itu akan mudah ia luluhkan hanya dengan pelukan.

“Tapi ini bukan lipstik, Sayang.” Revan berbicara pelan.

Anya bergeming. TIdak menanggapi. Lebih tepatnya ia menunggu. Penjelasan apa yang akan diberikan oleh pria yang memiliki nama lengkap Revan Silas itu sebagai alasan yang bisa menghilangkan keraguan di hati Anya.

Revan menepuk halus bahu sang istri, kemudian mulai berkata, “Maksudku … iya kamu benar, ini memang lipstik, tapi bukan lipstik seseorang yang seperti kamu prasangkakan.” Revan kemudian menggiring Anya untuk duduk di sofa yang tidak jauh dari mereka. Pria itu terlihat begitu tenang. Jauh dari gestur seseorang yang baru saja tertangkap basah.

Pria itu menggenggam tangan Anya yang dingin. Sedingin hatinya sekarang.

“Jadi, ceritanya tadi pas mau pulang aku ke pantry. Di sana ada karyawan cewek yang lagi batuk-batuk sambil minum obat. Dia buru-buru ambil tisu, nggak sengaja nyenggol kopi yang aku pegang sampai tumpah, sedikit, sih. Posisiku pas banget di belakang dia. Dia panik, sama aku juga panik. Masa tisu yang udah dia pake buat lap mulutnya dipake lagi buat lap kemejaku, jadi nempel di bajuku deh tuh lipstik dia yang di tisu. Kamu lihat lagi deh, Sayang. Yang teliti.” Revan menunduk sambil memegang kemeja yang masih melekat di tubuhnya.

“Ada ada yang lain selain bekas lipstik, ada samar-samar bekas kopi kan? Eh, tapi biar yakin, coba cium.” Revan menyodorkan dadanya ke wajah Anya.

Anya mengendus kemeja sang suami. Revan benar, aroma khas kopi tercium dari sana.

“Gimana?” tanya Revan pelan.

Anya mengangguk pelan dengan kepala tertunduk.

“Sekarang kamu percaya, ‘kan, kalau aku gak selingkuh?” tanya Revan lagi. Ibu jarinya membelai halus pada punggung tangan Anyayang berada dalam genggamannya.

Anya mengangguk pelan, tetapi bibirnya masih membisu. Masih ada keraguan yang menguasai hatinya.

Mereka menikah satu tahun lalu tanpa paksaan dari siapa pun. Ia juga sudah cukup lama mengenal karakter baik dari pria itu. Bukan satu atau dua tahun, tetapi lima tahun. Lima tahun, Revan menjadi orang kepercayaan almarhum Pak Prayoga, ayah kandung Anya. Di tahun kedua, Anya Prasasti jatuh cinta pada karakter Revan. Namun, satu tahun sebelum putrinya menikah dengan Revan, Prayoga meninggalkan karena serangan jantung.

Akan tetapi, di tahun pertama pernikahan, Anya melihat sisi suaminya yang sedikit berbeda. Entahlah, Anya merasa Revan sedang menyembunyikan sesuatu yang hingga saat ini belum mampu ia lihat dengan jelas.

Anya merasakan elusan halus di perutnya dari tangan sang suami. Ia masih bergeming, mencoba meraba atau menghilangkan keraguan dengan pasti. Namun, terasa sangat sulit. Anya meremas sesuatu di dalam genggamannya. Sebuah nota pembelian buket bunga mawar merah dari sebuah toko bunga yang ia temukan di saku jas Revan kemarin—yang ia kira untuk dirinya, tetapi hingga kini tak setangkai pun ia terima.

Anya melerai pelukan mereka. “Kalau ini, apa kamu bisa jelasin, Mas?” tanya wanita itu menatap lurus pada suami.

Anya bisa melihat jelas Revan yang seketika menelan ludah sambil menatap pada secarik kertas nota yang terbuka di tangan kanan Anya.

“Sampai hari ini aku gak terima bunga itu, Mas. Jadi, kalau bukan buat aku, bunga itu buat siapa, Mas?”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Teman Tidur Suamiku    Rumah Sempurna

    Ilham berbalik perlahan. Ia duduk di tepi ranjang, meraih tangan Anya yang dingin dan basah oleh air mata. “Maafin aku, Sayang,” bisiknya, suaranya serak. “Maafin Ibu.” Anya menggeleng, mengangkat wajahnya yang sembap. “Enggak apa-apa,” jawabnya lirih, “kita berdua tahu, cepat atau lambat ini akan terjadi. Aku yang harus minta maaf karena menjadi jurang antara kamu dan ibumu. Kamu tahu, Ham, aku ga mau ini.” Ilham menggeleng. Mengeratkan genggamannya. Malam itu, mereka tidak banyak bicara lagi. Kata-kata terasa tidak ada gunanya. Mereka hanya duduk dalam diam, saling menggenggam tangan, sementara putra mereka—yang Ilham beri nama Arjuna Ilham Pratama, tertidur lelap di boks bayinya. Malaikat mungil itu menjadi satu-satunya sumber kedamaian di tengah badai yang baru saja menerpa dunia kecil mereka. *** Enam Bulan Kemudian. Kehidupan tidak berhenti. Ia terus berjalan, menyeret mereka menjauh dari malam yang penuh luka itu. Ilham dan Anya membangun kembali dunia mereka, kepingan de

  • Teman Tidur Suamiku    Kedatangan Sang Ibu

    “Ibu …?” seru Ilham lirih.Kehadirannya terasa seperti embusan angin dingin dari kutub utara yang menyelinap masuk melalui celah pintu. Suhu ruangan yang tadinya hangat dan penuh kelegaan, seketika terasa turun beberapa derajat. Ilham, yang sedang duduk, langsung berdiri. Gerakannya kaku, tubuhnya secara naluriah membentuk sebuah perisai di antara ibunya dan ranjang tempat Anya tertidur.Elia melangkah masuk, sepatunya yang bersol karet tidak menimbulkan suara di lantai vinil, tetapi setiap langkahnya terasa seperti dentuman di hati Ilham. Ia menutup pintu di belakangnya dengan pelan, menciptakan sebuah ruang kedap suara yang mengisolasi mereka dari dunia luar.Matanya tidak menatap Ilham.Tatapan itu lurus, tajam seperti pecahan kaca, mengarah langsung ke sosok wanita yang terbaring lemah di atas ranjang.“Jadi … dia masih belum meninggalkanmu? Dia menginggkari janjinya?” Suara wanita itu datar. Tidak ada amarah yang meledak-ledak, tidak ada isak tangis. Hanya sebuah pernyataan ding

  • Teman Tidur Suamiku    Pertanyaan Anya Sebelum Detik-detik Kelahiran

    Setiap detik penantian di lampu merah terasa seperti siksaan, setiap mobil lambat di depannya adalah rintangan yang ingin ia tabrak. Arkan, merasakan urgensi yang membakar di udara, memacu mobil menembus batas kecepatan yang aman. Perjalanan yang biasanya mereka tempuh selama tiga jam, kini hanya satu setengah jam. Arkan memang selalu bisa diandalkan di saat-saat begini.Begitu mobil berhenti di lobi Instalasi Gawat Darurat, Ilham tidak menunggu pintu dibuka sepenuhnya. Ia melompat keluar, berlari masuk ke dalam gedung berbau disinfektan itu seperti badai. Penampilannya kacau; kemeja batiknya kusut, rambutnya acak-acakan, dan matanya liar dipenuhi kepanikan.Ia langsung menemukan Ririn. Wanita itu berdiri mondar-mandir dengan cemas di depan sebuah pintu ganda bertuliskan ‘RUANG BERSALIN’. Wajahnya pucat dan matanya sembap karena tangis.“Mbak!” panggil Ilham, napasnya terengah. “Gimana Mbak Anya?”Ririn tersentak, lalu berlari kecil menghampirinya. “Mas Ilham!” pekiknya tertahan. “Ma

  • Teman Tidur Suamiku    Perjalanan

    “Dan saat ini, istriku sedang berjuang dan bertaruh nyawa untuk melahirkan keturunanku.”Kalimat itu jatuh seperti sebilah kapak, membelah keheningan khidmat di ruang tamu itu menjadi dua. Untuk sesaat, tidak ada yang bergerak. Suasana di ruangan itu seakan membeku.Lalu, kekacauan itu meledak.Keheningan pecah oleh suara kursi yang digeser kasar di atas lantai keramik. Gumaman syok terdengar seperti sengatan lebah dari berbagai penjuru, menyebar cepat dari satu sudut ke sudut lain.Ayah Anisa, Pak Bramantyo, seorang pria terpandang di desa itu, berdiri dengan wajah merah padam. Urat di lehernya menonjol, tangannya terkepal di sisi tubuh hingga buku-buku jarinya memutih. Jelas, ia merasa dipermalukan. Dan, rasa malu itu dengan cepat menjelma menjadi sebuah api amarah yang membara.“Jadi … jadi selama ini kami semua ditipu?” suaranya menggelegar, sarat dengan getar amarah yang tertahan. Ia menunjuk Ilham dengan jari telunjuk yang gemetar. “Kamu! Beraninya kamu mempermainkan putri saya!

  • Teman Tidur Suamiku    Bertaruh Nyawa

    [Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan .…]Panik mulai merayap di hatinya seperti sulur tanaman beracun. Ia mencobanya lagi. Dan lagi. Hasilnya sama.“Ilham, kamu di mana?” bisiknya pada keheningan kamar.Gelombang rasa sakit yang ke sekian kali datang menerjang, jauh lebih kuat dari sebelumnya. Ia menggigit bibirnya untuk menahan jeritan. Sesuatu yang hangat dan basah tiba-tiba mengalir di antara kedua kakinya, membasahi daster yang ia kenakan dan seprai di bawahnya.Matanya membelalak ngeri. Itu air ketuban. Selama hamil, Anya sudah banyak membaca artikel-artikel yang membahas tentang kehamilan dan persalinan.Ia tidak boleh panik. Ia harus tenang. Demi bayinya. Dengan sisa tenaga yang ia miliki, ia mencari kontak lain di ponselnya. Satu-satunya orang yang bisa ia andalkan untuk membantunya sekarang. Ririn.Ia menekan tombol panggil. Jemarinya terasa kaku dan tidak bertenaga. Ia bahkan tidak punya kekuatan untuk berteriak memanggil ART-nya itu yang m

  • Teman Tidur Suamiku    Akad

    Pertanyaan yang berkali-kali menyentuh pikiran Anya. Terkadang datang membawa rasa takut pada kehilangan. Mungkin akan lebih baik jika ia tak tahu apa-apa dan melupakan semua. Namun, makin hari sikap Ilham makin aneh dan makin pendiam. Anya memilih untuk tidak pernah menanyakannya secara langsung. Selain tidak siap jika firasatnya menjadi kenyataan, ia masih menunggu Ilham untuk mengatakannya sendiri tanpa paksaan atau pertanyaan. Sehingga pertanyaan itu terus menjadi penghuni tetap di kepalanya, hingga pagi ini berubah menjadi keheningan yang dingin saat sarapan. Wanita itu hanya menatap Ilham sedikit lebih lama saat Ilham menerima telepon dari ibunya. Momen itu seolah menjadi jarak tipis yang kini ada di antara mereka saat berpelukan.Waktu tidak menunggu jawaban dari pertanyaan yang terus bercokol. Bulan-bulan berlalu dalam kabut kecurigaan yang samar. Perut Anya semakin membesar, gerakannya semakin terbatas. Atas permintaan Ilham—dan juga karena kelelahannya sendiri—ia akhirn

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status