“Hari ini gilliran karyawan yang mana lagi yang nabrak kamu, Mas?” tanya Anya begitu selesai menyalami Revan, suaminya yang baru saja pulang. Ekor matanya melirik ke arah kemeja sang suami di bagian bawah kerah.
“Hah?” Revan mengerutkan kening karena bingung. “Itu, ada bekas lipstik di kemejamu, Mas,” tunjuk wanita yang bernama lengkap Anya Prasasti itu hanya dengan gerakan wajah. Anya menghela napas panjang sambil berlalu. Berusaha memahami apa yang akan menjadi alasan sang suami lagi. Menahan perasaannya yang bergejolak demi makhluk kecil yang baru mulai tumbuh di dalam sana. Revan menahan tangan Anya yang tengah menenteng jas kotor miliknya. Pria itu menghela napas dalam, kemudian mundur selangkah untuk berada di hadapan sang istri. Perlahan ia menyentuh anak rambut Anya, kemudian menyelipkan di belakang telinga. “Anya Sayang. Kamu percaya sama aku, ‘kan?” Anya memalingkan wajah, lalu memutar tubuh sembilan puluh derajat. Tidak ingin berhadapan secara langsung dengan sang suami. “Kemarin hanya bau parfum cewek yang nempel di bajumu, aku bisa percaya kalau itu hanya karena karyawan cewek yang tanpa sengaja nabrak kamu waktu mau pulang. Sekarang ada bekas lipstik, apa dia nabraknya pake bibir, Mas?” tanya Anya kesal dan menahan hati yang seperti membengkak. Pria itu bergeming, kemudian mendengkus lirih. Perlahan ia menggapai pinggang wanita di hadapannya itu dan menariknya untuk merapat ke tubuhnya. Ia tahu, wanita yang setahun menjadi istrinya itu akan mudah ia luluhkan hanya dengan pelukan. “Tapi ini bukan lipstik, Sayang.” Revan berbicara pelan. Anya bergeming. TIdak menanggapi. Lebih tepatnya ia menunggu. Penjelasan apa yang akan diberikan oleh pria yang memiliki nama lengkap Revan Silas itu sebagai alasan yang bisa menghilangkan keraguan di hati Anya. Revan menepuk halus bahu sang istri, kemudian mulai berkata, “Maksudku … iya kamu benar, ini memang lipstik, tapi bukan lipstik seseorang yang seperti kamu prasangkakan.” Revan kemudian menggiring Anya untuk duduk di sofa yang tidak jauh dari mereka. Pria itu terlihat begitu tenang. Jauh dari gestur seseorang yang baru saja tertangkap basah. Pria itu menggenggam tangan Anya yang dingin. Sedingin hatinya sekarang. “Jadi, ceritanya tadi pas mau pulang aku ke pantry. Di sana ada karyawan cewek yang lagi batuk-batuk sambil minum obat. Dia buru-buru ambil tisu, nggak sengaja nyenggol kopi yang aku pegang sampai tumpah, sedikit, sih. Posisiku pas banget di belakang dia. Dia panik, sama aku juga panik. Masa tisu yang udah dia pake buat lap mulutnya dipake lagi buat lap kemejaku, jadi nempel di bajuku deh tuh lipstik dia yang di tisu. Kamu lihat lagi deh, Sayang. Yang teliti.” Revan menunduk sambil memegang kemeja yang masih melekat di tubuhnya. “Ada ada yang lain selain bekas lipstik, ada samar-samar bekas kopi kan? Eh, tapi biar yakin, coba cium.” Revan menyodorkan dadanya ke wajah Anya. Anya mengendus kemeja sang suami. Revan benar, aroma khas kopi tercium dari sana. “Gimana?” tanya Revan pelan. Anya mengangguk pelan dengan kepala tertunduk. “Sekarang kamu percaya, ‘kan, kalau aku gak selingkuh?” tanya Revan lagi. Ibu jarinya membelai halus pada punggung tangan Anyayang berada dalam genggamannya. Anya mengangguk pelan, tetapi bibirnya masih membisu. Masih ada keraguan yang menguasai hatinya. Mereka menikah satu tahun lalu tanpa paksaan dari siapa pun. Ia juga sudah cukup lama mengenal karakter baik dari pria itu. Bukan satu atau dua tahun, tetapi lima tahun. Lima tahun, Revan menjadi orang kepercayaan almarhum Pak Prayoga, ayah kandung Anya. Di tahun kedua, Anya Prasasti jatuh cinta pada karakter Revan. Namun, satu tahun sebelum putrinya menikah dengan Revan, Prayoga meninggalkan karena serangan jantung. Akan tetapi, di tahun pertama pernikahan, Anya melihat sisi suaminya yang sedikit berbeda. Entahlah, Anya merasa Revan sedang menyembunyikan sesuatu yang hingga saat ini belum mampu ia lihat dengan jelas. Anya merasakan elusan halus di perutnya dari tangan sang suami. Ia masih bergeming, mencoba meraba atau menghilangkan keraguan dengan pasti. Namun, terasa sangat sulit. Anya meremas sesuatu di dalam genggamannya. Sebuah nota pembelian buket bunga mawar merah dari sebuah toko bunga yang ia temukan di saku jas Revan kemarin—yang ia kira untuk dirinya, tetapi hingga kini tak setangkai pun ia terima. Anya melerai pelukan mereka. “Kalau ini, apa kamu bisa jelasin, Mas?” tanya wanita itu menatap lurus pada suami. Anya bisa melihat jelas Revan yang seketika menelan ludah sambil menatap pada secarik kertas nota yang terbuka di tangan kanan Anya. “Sampai hari ini aku gak terima bunga itu, Mas. Jadi, kalau bukan buat aku, bunga itu buat siapa, Mas?”Anya sedikit mengerutkan dahi melihat ekspresi kekecewaan yang ditunjukkan Ilham. Kepalanya saat ini terlalu berat untuk memikirkan tentang video apa yang Ilham kirim. “Nanti aja, Ham. Aku capek,” keluh Anya pelan. Ia benar-benar lelah. Wanita itu menghela napas dalam. Mencoba mengusir sesak yang menjalar memenuhi rongga paru. Ia lelah. Lelah dengan dirinya sendiri. Selama ini ia pikir akan bahagia setelah menikah dengan Revan. Karena pria itu selalu bersikap bijak, tenang dan berwibawa. Setidaknya itu yang Anya lihat. Apa lagi Revan adalah orang kepercayaan Prayoga semasa hidup. Tak tanggung-tanggung Prayoga menunjuk Revan sebagai orang kepercayaan dalam waktu tidak sampai lima tahun. Keahlian dan kepribadian yang ditunjukkan oleh Revan membuat Prayoga percaya sepenuhnya. Setelah kepergian ayahnya, Anya sempat menggantikan sang ayah karena dorongan Revan. Revan yang menjadi orang yang paling dekat dengan Anya setelah kepergian sang ayah. Pria itu tidak pernah terlihat bers
Sesampai di parkiran rumah sakit, Ilham bergegas keluar dari mobil sambil membopong saudara sepupunya yang tak sadarkan diri. Petugas kesehatan yang standby menyambut dengan mendorong brankar ke arah Ilham dan segera membawa Anya ke ruang IGD. “Pasien mengalami pendarahan hebat. Tindakan kuretase harus segera dilakukan, kami butuh persetujuan keluarga sekarang,” ucap salah seorang petugas nakes menghampiri Ilham yang hanya diperbolehkan menunggu di luar. “Lakukan yang terbaik,” sahut Ilham cepat tanpa mampu menyembunyikan rasa cemasnya. “Anda … keluarganya?”Ilham sempat mengangguk, bergeming sesaat, lalu menelan ludah menyembunyikan gelisah ketika sang perawat terlihat tak yaki. “Saya–saya suaminya.” Ilham merekatkan rahangnya. Seharusnya pria berstatus suami Anya yang berada di sini. Namun, pria itu sama sekali tidak merespons ketika Ilham menghubunginya beberapa kali.Perawat itu mengangguk, kemudian memberi intruksi pada Ilham untuk mengikutinya. ***HIngga gelap menyapa alam
Karena rasa penasaran terlanjur menguasai, Anya nekat pergi ke kantor pusat yang lokasinya tidak jauh dari gudang. Namun, ternyata Revan juga tidak ada di ruangannya. Bahkan sekretaris baru pengganti Dinda mengatakan Revan belum sampai di kantor.“Kamu di mana, Mas?” tanya Anya pada Revan lewat sambungan telepon. Ketika sampai di depan pintu lift untuk turun. Namun, menunda masuk karena ingin fokus menelepon.“Aku masih di kantor, Sayang. Aku pulang jam makan siang nanti, ya,” jawab Revan yang diiringi dengan napas yang memburu.Anya menghela napas dalam. Penasarannya sudah terjawab, tetapi bukan lega, malah terasa menyakitkan. “Mas Revan lagi ngapain? Kok napasnya ngos-ngosan gitu?” tanya Anya berusaha untuk terdengar tenang. “Hmmm …. ini aku lagi … lagi naik tangga, Sayang. Iya, naik tangga,” jawab Revan yang terdengar sambil mengatur napas. “Lift-nya lagi ada masalah, jadi terpaksa naik tangga.”“Sayang, ma–af ya. Aku tu–tuhup dulu. Tanngung nih, bentar lagi sam–” Tanpa menunggu
Wanita yang sepuluh tahun lebih tua dari Anya itu menarik senyum. “Kita sesama perempuan, Sayang. Tante juga pernah hamil. Jadi, itu bukan hal sulit.”Anya mengulas senyum juga. Lebih tepatnya ia memaksa diri untuk membalasnya. Wanita di depannya itu biasanya hanya datang ketika ada maunya saja. Lantas, mau apa dia sekarang?“Tapi, Tante, aku gak suka minum susu.”“Kamu harus coba. Ini susunya yang rasa buah mangga buah kesukaan kamu, loh.” Wanita itu menyodorkan kembali gelas yang ia ambil dari nampan yang dibawa oleh ART.Anya menatap gelas itu dengan ragu. Ia berpikir untuk beberapa detik.Sementara wanita yang bernama Laras Wangi itu masih memamerkan senyum yang begitu manis, sembari mengangguk dan memejamkan mata untuk menyuntikkan keyakinan pada anak sambungnya itu.Setelah beberapa saat, Anya meraih gelas itu dan mencicipinya setengah teguk saja untuk mengeja rasa di lidahnya. Setelah beberapa saat merasakan tidak ada masalah, Anya pun kembali meneguknya, hingga menyisakan beb
SEBELAS JAM YANG LALU, DI SEBUAH PERUMAHAN ELIT DUA LANTAI.“Dia hamil, Queen. Dia belum kasih tahu secara langsung, sih, tapi aku nemu tespek positif di laci.” Lirih, suara seorang pria mengandung penuh penyesalan.“Kamu bodoh!” umpat seorang wanita malam itu. Matanya menatap tajam dan tegas pada pria di hadapannya. “Kok bisa sih kamu sampe kecolongan gini?” tanya wanita itu dengan nada kesal. “Sory, Queen. Aku kelepasan. Lagian kamu sendiri yang minta nikahin dia, terus berlaku seolah jadi suami beneran.”“Iya, tapi gak harus buat dia hamil juga.” Wanita itu mendengkus kesal. Dia kemudian bersedekap, berdiri sambil menatap dengan sedikit memicingkan mata. Lalu mengeluarkan kalimat tuduhan yang bernada kecurigaan.“Jangan-jangan kamu sengaja, menghamili dia terus berencana menyingkirkanku?”Si pria yang tadi duduk di tepi ranjang, kini berdiri menatap wanita yang hanya mengenakan tanktop yang dipadukan dengan rok mini. Pria itu memegang kedua bahunya. “Sama sekali enggak, Queen.
“Kamu mau bunga juga, Sayang?” tanya Revan. Mungkin berusaha mengalihkan pembicaraan.Anya menggeleng. Tanpa mengalihkan tatapan dari sang suami “Memberiku bunga bukan kebiasaanmu setelah kita nikah, Mas. Itu biasa kamu lakukan sebelum kita nikah, ‘kan?” tanya Anya masih dengan sikap tenang.“Maaf, Sayang. Mungkin aku terlalu sibuk, sampai lupa kasih perhatian lebih sama kamu. Ya udah, besok aku beliin, ya.” Revan menarik garis lengkung di bibirnya. Satu tangannya terangkat menggapai pipi wanita di hadapannya.“Tapi bukan bunga yang aku mau sekarang. Aku cuma butuh kejujuran. Jadi, kamu jawab dengan jujur, kamu beli bunga untuk siapa?” tanya Anya dengan nada penuh tuntutan dan ketegasan.“Buat pemasok barang di toko kita, Sayang.” Revan menjawab kemudian.Anya mengerutkan kening. “Iya, itu adalah salah satu strategi kita untuk bikin mereka merasa dihargai. Biar kerjasama tetap jalan dan harga barang jadi lebih bersahabat,” jelas Revan sambil menatap lembut.“Terus, kenapa cuma satu