LOGINSEBELAS JAM YANG LALU, DI SEBUAH PERUMAHAN ELIT DUA LANTAI.
“Dia hamil, Queen. Dia belum kasih tahu secara langsung, sih, tapi aku nemu tespek positif di laci.” Lirih, suara seorang pria mengandung penuh penyesalan. “Kamu bodoh!” umpat seorang wanita malam itu. Matanya menatap tajam dan tegas pada pria di hadapannya. “Kok bisa sih kamu sampe kecolongan gini?” tanya wanita itu dengan nada kesal. “Sory, Queen. Aku kelepasan. Lagian kamu sendiri yang minta nikahin dia, terus berlaku seolah jadi suami beneran.” “Iya, tapi gak harus buat dia hamil juga.” Wanita itu mendengkus kesal. Dia kemudian bersedekap, berdiri sambil menatap dengan sedikit memicingkan mata. Lalu mengeluarkan kalimat tuduhan yang bernada kecurigaan. “Jangan-jangan kamu sengaja, menghamili dia terus berencana menyingkirkanku?” Si pria yang tadi duduk di tepi ranjang, kini berdiri menatap wanita yang hanya mengenakan tanktop yang dipadukan dengan rok mini. Pria itu memegang kedua bahunya. “Sama sekali enggak, Queen. Kamu gak tahu gimana tersiksanya aku terus berpura-pura mencintainya. Ayo, dong, sampai kapan kita terus seperti ini?” Kalimat itu meluncur dengan bias putus asa. “Seberapa lama, tergantung kecepatan gerakanmu. Semakin cepat kamu menyelesaikannya, semakin cepat kita terbebas dari permainan ini.” Wanita dengan bibir tipis itu meraih pipi pria di hadapannya dan membelainya. Dia kemudian mendekatkan bibirnya pada telinga sang pria. “Akhir permainan ini ada di tanganmu, Sayang. Apa yang kulakukan nanti, itu tergantung dari akhir yang kamu buat untuk anak ingusan itu,” bisiknya. Pria di hadapannya seakan tak ingin melepaskan kesempurnaan, ia menarik pinggang ramping itu. Mata dengan bulu lentik karena sapuan maskara dan eyeliner tipis itu kini mampu ia tatap dalam jarak dekat. “Gimana kalau aku jatuh cinta dengan dia, Queen? Kamu gak takut?” tanyanya nyaris berbisik. “Apa yang kutakutkan? Tanpa kukatakan, kamu tahu apa yang akan kulakukan, Sayang. Sudah kubilang, ‘kan, apa yang kulakukan nanti tergantung dari bagaimana kamu mengakhiri permainan ini. Kalau kamu ingin berakhir seperti ayah dan ibunya … silakan,” ucap wanita itu dengan tenang, seolah apa pun yang terjadi nanti, dia yang akan keluar sebagai pemenang. Lingkaran tangan pria itu di pinggangnya, ia sambut dengan mengalungkan kedua tangan di leher sang pria. “Sejauh ini, apa pernah aku mengkhianatimu, Sayang? Bukannya aku selalu menjadi orang yang bisa kamu andalkan, hmm?” Pria itu menaikkan kedua alisnya. Bibir merah ranum itu tersenyum penuh arti. “Bagus, sekarang terima hukumanmu dan jangan halangi apa yang akan kulakukan untuk membereskan kekacauan yang sudah kamu buat. Jangan terlalu sering membuatku marah, karena itu gak akan baik. Ingat baik-baik ini, kamu cuma boleh punya anak dariku, bukan wanita mana pun.” Pria itu menghela napas dalam. Di dalam sana ada sebuah gejolak kecil yang tak mampu ia ekspresikan. Alih-alih mengatakannya, ia memilih menikmati sesuatu yang tersaji di depan mata. *** Pagi itu, Anya masih bergeming mendengarkan penawaran dari saudaranya. Tanpa disadari, matanya mulai berkaca-kaca. Tarikan napasnya mulai terasa berat ketika ingin mulai bicara. “Aku hanya ingin tahu siapa perempuan itu, Ham,” ucap Anya akhirnya. Pemuda di seberang sana tidak langsung menjawab. “Aku beritahu nanti, Mbak.” Pria itu menjawab. “Maaf, aku tutup dulu teleponnya, Mbak. Aku udah mau ada kelas ini. Pokoknya Mbak Anya jangan terlalu percaya pada orang-orang di sekitar kamu, Mbak. Termasuk juga aku. Yang baik bukan berarti bisa dipercaya, Mbak.” Telepon sudah berakhir, tetapi kalimat Ilham masih terngiang jelas di pendengaran. Suara ketukan pintu yang berulang kali menarik kesadaran Anya kembali. Ia segera berjalan menuju pintu membukanya. Seorang wanita dengan pakaian sederhana berdiri di depan pintu dan membawa nampan yang menampung segelas susu. “Ada apa, Mbak?” tanya Anya seraya mengerutkan dahi. “Ini, Non,” ucap wanita itu sambil menyodorkan nampan yang dia bawa. “Susu?“ “Nyonya Laras meminta saya memberikan ini ke Non Anya.” Anya mengerutkan dahi. “Tapi Mbak, ‘kan tahu, saya ga minum susu?” ucapnya kemudian. “Harus dicoba, Sayang. Susu itu bagus sebagai asupan nutrisi tambahan untuk ibu hamil.” Suara itu muncul tiba-tiba di tengah mereka dan membuat Anya menoleh ke sumber suara. Wanita itu sudah mengganti gaun tidurnya dengan daster rumahan. Namun, tetap tidak meninggalkan kesan seksi. Jika tadi ia mengurai rambut, kini mencepolnya hingga ke atas. Hingga memperlihatkan lehernya yang jenjang. Bukan hanya itu, meski samar, Anya bisa melihat tanda merah di sana. Namun, bukan hal itu saja yang membuat Anya bingung, tetapi prihal kehamilannya. Dari mana ibu tirinya tahu jika ia hamil? Anya bahkan belum memberi tahu siapa pun termasuk suaminya sendiri ia bahkan masih ragu untuk memberitahu. “Tante gimana bisa tahu kalau aku lagi hamil?” tanya Anya penasaran.“Maaf, Ham. Aku lagi datang bulan.”Mendengar dan meresapi kalimat lirih itu seketika membuat Ilham berhenti. Seketika gerak di tubuhnya membeku. Dengan ekspresi datar, ia menatap lurus wajah Anya yang hanya berjarak sejengkal. Ia bisa melihat getar samar di bulu mata istrinya yang terpejam, dan napasnya yang sedikit tertahan.Beberapa detik kemudian, topeng ekspresi datar di wajah Ilham retak. Ia menarik bibir ke samping, membentuk lengkung khas di wajahnya. Bukan senyum kecewa, melainkan lambang sebuah pemahaman yang tulus. Tak bisa memungkiri jika ia memang kecewa, tetapi sebisa mungkin ia menyembunyikannya dari Anya. “Gak masalah,” bisiknya, suaranya sengaja direndahkan agar terdengar menenangkan. “Aku masih bisa menunggu. Yang penting, akhirnya malam ini udah bisa tidur sambil peluk kamu, Mbak,” ucap Ilham akhirnya.“Maaf.” Anya bersuara lirih lagi, kali ini ia memberanikan diri membuka mata. Ada rasa bersalah yang kentara di sana, membuatnya terlihat rapuh.“Sshh. Udah kubilang
Ilham buru-buru menoleh pada pria berkemeja hitam itu, menyadari Arkan masih mematung di sudut ruangan. Apa yang sudah ia dapat hari ini seolah sukses mengirimkan gelombang kebahagiaan murni yang membuatnya nyaris linglung.“Kenapa kamu masih di sini?” tanya Ilham kemudian. Suaranya sedikit parau. Dia berusaha keras mengusir linglung yang mendadak menyerang karena rasa bahagia yang begitu tak terkira, yang terasa meledak-ledak di dalam dada. “Kerjakan tugasmu!” tegasnya kemudian, memaksakan nada otoriter seorang bos. Dia melepaskan genggaman pada jemari Anya, lalu berdiri dan mendekati sang asisten.“Tugas selanjutnya apa, Bos?” tanya pria yang bernama Arkan itu, wajahnya datar tapi ada kilat jenaka di matanya.“Brengsek, lu!” Ilham mendesis, tetapi tak bisa menahan senyum tipis. “Jangan mendadak pikun, tugas utamamu apa di jam-jam seperti ini? Pastikan semua beres kalau gak mau potong gaji.” Ilham mendorong bahu Arkan agar segera pergi. Tak ingin membuat Anya makin tidak nyaman deng
“Jadi ini calon pengantin wanitanya, Mas Ilham?”Suara Pak Penghulu yang berat dan penuh penasaran menyambar Anya seolah pisau tajam. Ia membeku di tengah ruang tamu kecil rumah kontrakan Ilham, tangan yang sedang menyusun gelas teh tiba-tiba menggoyangkan hingga setetes cairan panas menyentuh pelipisnya. Apa tadi? Calon pengantin? Ia menatap Ilham dengan mata membelalak, berharap itu sekadar lelucon kelam yang tak pernah ia duga dari pria yang biasanya pendiam itu.Seketika Anya merasa seperti ada yang menampar dan menyadarkannya jika ia memang tidak salah dengar. Terlebih ketika mendengar jawaban Ilham yang tegas, tanpa secercah ragu: “Betul, Pak. Dia … calon istri saya. Namanya Anya Prasasti Prayoga.” Detik berikutnya Ilham menoleh padanya, matanya yang biasanya lembut kini menyimpan semacam tekad yang membekukan. “Gimana, Mbak, udah siap, ‘kan?”Anya tercekat. Kalimat Ilham yang ditujukan padanya seolah berhasil menenggelamkan kosakata yang ada di kepala Anya. Ia ingin berteriak,
Anya masih bergeming, hanya hatinya yang terlalu ramai. Tanpa bisa dipungkiri, ia memang memiliki perasaan khusus untuk Ilham, entah sejak kapan. Namun, menikah dengan pria tanpa restu dari ibu pria itu bukanlah pilihan yang baik. Meski ia yakin, Ilham akan melakukan apa pun untuk membuatnya nyaman.Waktu berlalu pelan. Dari jendela, cahaya senja sudah berubah jingga tua. Suara azan magrib mulai menggema dari kejauhan.Anya menatap jam, lalu berdiri perlahan. “Aku mau salat dulu.” setidaknya ia bisa menghindar sebentar dengan alasan itu. Tentu saja hanya alasan, karena datang bulannya belum tuntas. Ilham menatapnya, lembut seperti biasa. “Tunggu, Mbak,” ucapnya mengurung langkah Anya. “Jawab dulu. Mau ya ... kita nikah?”Anya bergeming. Langkahnya terhenti di depan tangga. Ia menarik napas dalam, kemudian berkata, “Terserah kamu, deh, Ham,” jawab Anya pasrah dengan wajah tertunduk. Lagi pula, Ilham tidak mungkin mengajaknya menikah sekarang juga, bukan? “Aku mau salat dulu,” lanjut
“Mbak, ayo nikah. Kalau kayak gini aku susah buat jagain Mbak Anya. Aku pengin kita gak punya batasan lagi.” Ilham memohon lagi, tetapi ia sudah kembali duduk di tempat asalnya karena Anya terlihat tidak nyaman ketika berlutut di depan wanita itu.Berharap kali ini wanita di hadapannya itu luluh. Memikirkan kebahagiaan mereka tanpa memikirkan yang lain dulu.Anya membuang pandang ke samping. “Aku gak bisa, Ham.” Tangannya kembali menyapu pipinya yang basah.Ilham menggenggam kosong kepalan tangannya. Andai bisa, ia ingin ikut menghapus air mata itu.“Kenapa? Aku tahu, Mbak. Mbak bohong kan bilang udah punya calon suami?” Ilham tersenyum miring. “Satu-satunya calon suami Mbak Anya itu aku,” lanjutnya lagi dengan nada canda, mencoba mencairkan suasana yang kaku. Meski sebenarnya ia sedang serius. Anya bergeming, tak ingin mengelak atau mengiakan. Candaan Ilham tak berpengaruh apa pun denganya. “Apa karena Ibu?” tanya Ilham lirih. Ia tabu, beberapa waktu terakhir ibunya sering menggang
Ilham merapatkan bibirnya. “Apa yang bisa membuatku membenci Mbak Anya? Selama beberapa hari ini aku udah berusaha untuk membencimu, Mbak. Mbak Anya mengusirku, bahkan perjuanganku selama ini gak kamu anggap, Mbak. Tapi kenapa aku gak bisa membencimu, Mbak?” tanya Ilham beruntun dengan nada putus asa. . Anya menghela napas dalam. Dadanya terasa sesak. Mungkin ini saatnya dia harus mengatakan yang sejujurnya. Segala risikonya harus ia tanggung. Meski itu dibenci Ilham selamanya.Anya menghela napas panjang. Sekuat tenaga ia berusaha mencari kosakata yang pas untuk mengungkap semua. Ia harus mengatakannya sekarang, tetapi tidak tahu mulai dari mana. Beberapa kali ia membuka mulut, seperti akan mengatakan sesuatu, tetapi selalu urung. Sementara itu, Ilham sengaja menunggu Sunshine-nya bersuara. Ia menatap lurus pada wanita itu yang seakan tak memiliki kemampuan untuk menyusun bahasa.Anya berdiri. “Ham, aku pulang aja, deh. Aku–”“Mbak, plis. Kali ini aja. Tolong kasih kesempatan untu







