Share

Kehilangan

Author: Nia Kannia
last update Last Updated: 2025-08-24 20:32:15

Sesampai di parkiran rumah sakit, Ilham bergegas keluar dari mobil sambil membopong saudara sepupunya yang tak sadarkan diri. Petugas kesehatan yang standby menyambut dengan mendorong brankar ke arah Ilham dan segera membawa Anya ke ruang IGD.

“Pasien mengalami pendarahan hebat. Tindakan kuretase harus segera dilakukan, kami butuh persetujuan keluarga sekarang,” ucap salah seorang petugas nakes menghampiri Ilham yang hanya diperbolehkan menunggu di luar.

“Lakukan yang terbaik,” sahut Ilham cepat tanpa mampu menyembunyikan rasa cemasnya.

“Anda … keluarganya?”

Ilham sempat mengangguk, bergeming sesaat, lalu menelan ludah menyembunyikan gelisah ketika sang perawat terlihat tak yaki. “Saya–saya suaminya.” Ilham merekatkan rahangnya.

Seharusnya pria berstatus suami Anya yang berada di sini. Namun, pria itu sama sekali tidak merespons ketika Ilham menghubunginya beberapa kali.

Perawat itu mengangguk, kemudian memberi intruksi pada Ilham untuk mengikutinya.

***

HIngga gelap menyapa alam, Ilham masih belum beranjak dari rumah sakit untuk meninggalkan Anya yang saat ini sudah dipindahkan ke ruang perawatan. Ia masih setia duduk di samping brankar tempat wanita berhijab itu masih terbaring lemas.

“Maaf, ya, Ham. Aku terlalu ngerepotin kamu, ya?” tanya Anya dengan suara parau, juga tatapan lemah dan layu.

Ilham menggeleng. “Enggak, Mbak. Aku gak merasa direpotin, kok.” Ilham tersenyum datar.

“Terus, kenapa mukanya ditekuk gitu?” tanya Anya pelan.

“Sampai kapan sih, Mbak, mempertahankan laki mokondo kayak si Revan itu?” tanya Ilham yang jelas terdengar kesal.

Anya menghela napas pelan dalam. Mencoba mengusir kecewa karena untuk pertama kali ia menemukan sendiri bukti nyata tentang kebohongan suami. Selama ini ia hanya sebatas curiga dan tanpa menyelidiki—lalu kecurgiaan itu selalu hilang dengan alasan dan pembelaan yang diajukan oleh sang suami.

Revan mengambil ponsel milik Anya di atas nakas lalu menekan tombol power untuk menyalakan layar yang terkunci.

“Mbak lihat …? Ini jam berapa, udah jam delapan malam, Mbak. Gak ada satu pun panggilan atau notifikasi pulang. Atau jangan-jangan dia malah belum tahu kalau Mbak Anya enggak di rumah?” oceh Ilham panjang lebar.

“Aku emang gak pamit, Ham. Kan aku ngikutin saran kamu untuk cek dia ke gudang,” ucap Anya menjawab omelan Ilham yang panjang lebar.

“Terus, hasilnya?”

Anya tersenyum kecut. “Kamu benar. Makanya aku butuh ketemu kamu hari ini. Tapi sebelum aku bilang apa-apa sama kamu … malah ….” Anya menggantung kalimatnya.

Anya menatap ke arah perutnya. Pelupuk matanya kemudian mengembun. Perlahan tangannya meraba perut sendiri.

Ilham melihat itu hanya bergeming. Seakan kehabisan kata-kata untuk mengatakan sesuatu yang menentramkan. Ingin rasanya ia menggenggam tangan yang seperti kesepian itu. Namun, ia urung. Seperti ada angin yang mengingatkan. Apa haknya.

“Apa sebenarnya yang terjadi?” Kalimat tanya itu muncul begitu saja dari bibir Ilham.

Anya menoleh. Matanya berkedip dengan cepat, sehingga embun yang tadi menggenang kini tumpah mengaliri pelipisnya. Wanita itu menyapu pelipis yang basah.

“Jangan keluarin air mata buat laki-laki seperti itu, Mbak!” tegas Ilham. “Air matamu lebih berharga.”

Anya menatap Ilham lemah. Bibirnya sedikit bergetar menahan sesuatu yang ingin merebak.

“Aku gak nangis untuk dia, Ham. Tapi untuk dia baru saja pergi bahkan sebelum aku bisa melihatnya. Rasanya lebih sakit.” Lirih Anya mengeluh.

Hidung bangirnya memerah dan kembang kempis menahan isak.

Ilham membuang pandang, perih seketika ia rasakan melihat pemandangan menyedihkan itu di depan mata.

Ia menghela napas, lalu kembali menatap pada Anya.

“Mbak Anya gak tahu kalau lagi hamil?”

“Tahu, Ham. Aku bahkan udah sempat periksa ke dokter. Dokter bilang gak ada masalah. Semua normal.” Anya menjawab lagi. “Seharusnya gak masalah aku bawa jalan sebentar.”

Ilham mengerutkan dahi, wajah sedikit menegang.

“Kenapa, Ham?” tanya Anya.

“Aku curiga. Ini adalah kesengajaan.”

“Maksud kamu?”

“Mbak belum buka video yang aku kirim tadi pagi?”

Anya menggeleng.

“Ck!” Ilham berdecak lirih, ia kemudian menoleh ke pintu ruang perawatan. Seperti memastikan sesuatu dari sana. Ia sedikit mencondongkan tubuhnya kini.

“Apa yang Mbak makan tadi pagi? Apa ada yang ada yang aneh?” ucap Ilham pelan, setengah berbisik.

Anya mengerutkan kening. Mencoba mengingat-ingat.

“Aku cuma sarapan roti selai buatanku sendiri, Ham. Tapi ….” Seketika wajah wanita itu berubah.

Ilham bergeming. Seperti sedang menanti kepastian.

“Aku minum susu hamil dari Tante Laras.”

Bahu Ilham yang tadi tampak tegang, kini seperti lunglai. “Andai Mbak langsung buka video yang aku kirim,” ucap Ilham lemah. Sarat sekali akan kekecewaan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Teman Tidur Suamiku    Panggilan

    “Maaf, Ham. Aku lagi datang bulan.”Mendengar dan meresapi kalimat lirih itu seketika membuat Ilham berhenti. Seketika gerak di tubuhnya membeku. Dengan ekspresi datar, ia menatap lurus wajah Anya yang hanya berjarak sejengkal. Ia bisa melihat getar samar di bulu mata istrinya yang terpejam, dan napasnya yang sedikit tertahan.Beberapa detik kemudian, topeng ekspresi datar di wajah Ilham retak. Ia menarik bibir ke samping, membentuk lengkung khas di wajahnya. Bukan senyum kecewa, melainkan lambang sebuah pemahaman yang tulus. Tak bisa memungkiri jika ia memang kecewa, tetapi sebisa mungkin ia menyembunyikannya dari Anya. “Gak masalah,” bisiknya, suaranya sengaja direndahkan agar terdengar menenangkan. “Aku masih bisa menunggu. Yang penting, akhirnya malam ini udah bisa tidur sambil peluk kamu, Mbak,” ucap Ilham akhirnya.“Maaf.” Anya bersuara lirih lagi, kali ini ia memberanikan diri membuka mata. Ada rasa bersalah yang kentara di sana, membuatnya terlihat rapuh.“Sshh. Udah kubilang

  • Teman Tidur Suamiku    Malam Pertama?

    Ilham buru-buru menoleh pada pria berkemeja hitam itu, menyadari Arkan masih mematung di sudut ruangan. Apa yang sudah ia dapat hari ini seolah sukses mengirimkan gelombang kebahagiaan murni yang membuatnya nyaris linglung.“Kenapa kamu masih di sini?” tanya Ilham kemudian. Suaranya sedikit parau. Dia berusaha keras mengusir linglung yang mendadak menyerang karena rasa bahagia yang begitu tak terkira, yang terasa meledak-ledak di dalam dada. “Kerjakan tugasmu!” tegasnya kemudian, memaksakan nada otoriter seorang bos. Dia melepaskan genggaman pada jemari Anya, lalu berdiri dan mendekati sang asisten.“Tugas selanjutnya apa, Bos?” tanya pria yang bernama Arkan itu, wajahnya datar tapi ada kilat jenaka di matanya.“Brengsek, lu!” Ilham mendesis, tetapi tak bisa menahan senyum tipis. “Jangan mendadak pikun, tugas utamamu apa di jam-jam seperti ini? Pastikan semua beres kalau gak mau potong gaji.” Ilham mendorong bahu Arkan agar segera pergi. Tak ingin membuat Anya makin tidak nyaman deng

  • Teman Tidur Suamiku    Gak Sendiri Lagi

    “Jadi ini calon pengantin wanitanya, Mas Ilham?”Suara Pak Penghulu yang berat dan penuh penasaran menyambar Anya seolah pisau tajam. Ia membeku di tengah ruang tamu kecil rumah kontrakan Ilham, tangan yang sedang menyusun gelas teh tiba-tiba menggoyangkan hingga setetes cairan panas menyentuh pelipisnya. Apa tadi? Calon pengantin? Ia menatap Ilham dengan mata membelalak, berharap itu sekadar lelucon kelam yang tak pernah ia duga dari pria yang biasanya pendiam itu.Seketika Anya merasa seperti ada yang menampar dan menyadarkannya jika ia memang tidak salah dengar. Terlebih ketika mendengar jawaban Ilham yang tegas, tanpa secercah ragu: “Betul, Pak. Dia … calon istri saya. Namanya Anya Prasasti Prayoga.” Detik berikutnya Ilham menoleh padanya, matanya yang biasanya lembut kini menyimpan semacam tekad yang membekukan. “Gimana, Mbak, udah siap, ‘kan?”Anya tercekat. Kalimat Ilham yang ditujukan padanya seolah berhasil menenggelamkan kosakata yang ada di kepala Anya. Ia ingin berteriak,

  • Teman Tidur Suamiku    Bawa Kejutan

    Anya masih bergeming, hanya hatinya yang terlalu ramai. Tanpa bisa dipungkiri, ia memang memiliki perasaan khusus untuk Ilham, entah sejak kapan. Namun, menikah dengan pria tanpa restu dari ibu pria itu bukanlah pilihan yang baik. Meski ia yakin, Ilham akan melakukan apa pun untuk membuatnya nyaman.Waktu berlalu pelan. Dari jendela, cahaya senja sudah berubah jingga tua. Suara azan magrib mulai menggema dari kejauhan.Anya menatap jam, lalu berdiri perlahan. “Aku mau salat dulu.” setidaknya ia bisa menghindar sebentar dengan alasan itu. Tentu saja hanya alasan, karena datang bulannya belum tuntas. Ilham menatapnya, lembut seperti biasa. “Tunggu, Mbak,” ucapnya mengurung langkah Anya. “Jawab dulu. Mau ya ... kita nikah?”Anya bergeming. Langkahnya terhenti di depan tangga. Ia menarik napas dalam, kemudian berkata, “Terserah kamu, deh, Ham,” jawab Anya pasrah dengan wajah tertunduk. Lagi pula, Ilham tidak mungkin mengajaknya menikah sekarang juga, bukan? “Aku mau salat dulu,” lanjut

  • Teman Tidur Suamiku    Dilema Hati Anya

    “Mbak, ayo nikah. Kalau kayak gini aku susah buat jagain Mbak Anya. Aku pengin kita gak punya batasan lagi.” Ilham memohon lagi, tetapi ia sudah kembali duduk di tempat asalnya karena Anya terlihat tidak nyaman ketika berlutut di depan wanita itu.Berharap kali ini wanita di hadapannya itu luluh. Memikirkan kebahagiaan mereka tanpa memikirkan yang lain dulu.Anya membuang pandang ke samping. “Aku gak bisa, Ham.” Tangannya kembali menyapu pipinya yang basah.Ilham menggenggam kosong kepalan tangannya. Andai bisa, ia ingin ikut menghapus air mata itu.“Kenapa? Aku tahu, Mbak. Mbak bohong kan bilang udah punya calon suami?” Ilham tersenyum miring. “Satu-satunya calon suami Mbak Anya itu aku,” lanjutnya lagi dengan nada canda, mencoba mencairkan suasana yang kaku. Meski sebenarnya ia sedang serius. Anya bergeming, tak ingin mengelak atau mengiakan. Candaan Ilham tak berpengaruh apa pun denganya. “Apa karena Ibu?” tanya Ilham lirih. Ia tabu, beberapa waktu terakhir ibunya sering menggang

  • Teman Tidur Suamiku    Percikan Trauma Masa Lalu

    Ilham merapatkan bibirnya. “Apa yang bisa membuatku membenci Mbak Anya? Selama beberapa hari ini aku udah berusaha untuk membencimu, Mbak. Mbak Anya mengusirku, bahkan perjuanganku selama ini gak kamu anggap, Mbak. Tapi kenapa aku gak bisa membencimu, Mbak?” tanya Ilham beruntun dengan nada putus asa. . Anya menghela napas dalam. Dadanya terasa sesak. Mungkin ini saatnya dia harus mengatakan yang sejujurnya. Segala risikonya harus ia tanggung. Meski itu dibenci Ilham selamanya.Anya menghela napas panjang. Sekuat tenaga ia berusaha mencari kosakata yang pas untuk mengungkap semua. Ia harus mengatakannya sekarang, tetapi tidak tahu mulai dari mana. Beberapa kali ia membuka mulut, seperti akan mengatakan sesuatu, tetapi selalu urung. Sementara itu, Ilham sengaja menunggu Sunshine-nya bersuara. Ia menatap lurus pada wanita itu yang seakan tak memiliki kemampuan untuk menyusun bahasa.Anya berdiri. “Ham, aku pulang aja, deh. Aku–”“Mbak, plis. Kali ini aja. Tolong kasih kesempatan untu

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status