Sesampai di parkiran rumah sakit, Ilham bergegas keluar dari mobil sambil membopong saudara sepupunya yang tak sadarkan diri. Petugas kesehatan yang standby menyambut dengan mendorong brankar ke arah Ilham dan segera membawa Anya ke ruang IGD.
“Pasien mengalami pendarahan hebat. Tindakan kuretase harus segera dilakukan, kami butuh persetujuan keluarga sekarang,” ucap salah seorang petugas nakes menghampiri Ilham yang hanya diperbolehkan menunggu di luar. “Lakukan yang terbaik,” sahut Ilham cepat tanpa mampu menyembunyikan rasa cemasnya. “Anda … keluarganya?” Ilham sempat mengangguk, bergeming sesaat, lalu menelan ludah menyembunyikan gelisah ketika sang perawat terlihat tak yaki. “Saya–saya suaminya.” Ilham merekatkan rahangnya. Seharusnya pria berstatus suami Anya yang berada di sini. Namun, pria itu sama sekali tidak merespons ketika Ilham menghubunginya beberapa kali. Perawat itu mengangguk, kemudian memberi intruksi pada Ilham untuk mengikutinya. *** HIngga gelap menyapa alam, Ilham masih belum beranjak dari rumah sakit untuk meninggalkan Anya yang saat ini sudah dipindahkan ke ruang perawatan. Ia masih setia duduk di samping brankar tempat wanita berhijab itu masih terbaring lemas. “Maaf, ya, Ham. Aku terlalu ngerepotin kamu, ya?” tanya Anya dengan suara parau, juga tatapan lemah dan layu. Ilham menggeleng. “Enggak, Mbak. Aku gak merasa direpotin, kok.” Ilham tersenyum datar. “Terus, kenapa mukanya ditekuk gitu?” tanya Anya pelan. “Sampai kapan sih, Mbak, mempertahankan laki mokondo kayak si Revan itu?” tanya Ilham yang jelas terdengar kesal. Anya menghela napas pelan dalam. Mencoba mengusir kecewa karena untuk pertama kali ia menemukan sendiri bukti nyata tentang kebohongan suami. Selama ini ia hanya sebatas curiga dan tanpa menyelidiki—lalu kecurgiaan itu selalu hilang dengan alasan dan pembelaan yang diajukan oleh sang suami. Revan mengambil ponsel milik Anya di atas nakas lalu menekan tombol power untuk menyalakan layar yang terkunci. “Mbak lihat …? Ini jam berapa, udah jam delapan malam, Mbak. Gak ada satu pun panggilan atau notifikasi pulang. Atau jangan-jangan dia malah belum tahu kalau Mbak Anya enggak di rumah?” oceh Ilham panjang lebar. “Aku emang gak pamit, Ham. Kan aku ngikutin saran kamu untuk cek dia ke gudang,” ucap Anya menjawab omelan Ilham yang panjang lebar. “Terus, hasilnya?” Anya tersenyum kecut. “Kamu benar. Makanya aku butuh ketemu kamu hari ini. Tapi sebelum aku bilang apa-apa sama kamu … malah ….” Anya menggantung kalimatnya. Anya menatap ke arah perutnya. Pelupuk matanya kemudian mengembun. Perlahan tangannya meraba perut sendiri. Ilham melihat itu hanya bergeming. Seakan kehabisan kata-kata untuk mengatakan sesuatu yang menentramkan. Ingin rasanya ia menggenggam tangan yang seperti kesepian itu. Namun, ia urung. Seperti ada angin yang mengingatkan. Apa haknya. “Apa sebenarnya yang terjadi?” Kalimat tanya itu muncul begitu saja dari bibir Ilham. Anya menoleh. Matanya berkedip dengan cepat, sehingga embun yang tadi menggenang kini tumpah mengaliri pelipisnya. Wanita itu menyapu pelipis yang basah. “Jangan keluarin air mata buat laki-laki seperti itu, Mbak!” tegas Ilham. “Air matamu lebih berharga.” Anya menatap Ilham lemah. Bibirnya sedikit bergetar menahan sesuatu yang ingin merebak. “Aku gak nangis untuk dia, Ham. Tapi untuk dia baru saja pergi bahkan sebelum aku bisa melihatnya. Rasanya lebih sakit.” Lirih Anya mengeluh. Hidung bangirnya memerah dan kembang kempis menahan isak. Ilham membuang pandang, perih seketika ia rasakan melihat pemandangan menyedihkan itu di depan mata. Ia menghela napas, lalu kembali menatap pada Anya. “Mbak Anya gak tahu kalau lagi hamil?” “Tahu, Ham. Aku bahkan udah sempat periksa ke dokter. Dokter bilang gak ada masalah. Semua normal.” Anya menjawab lagi. “Seharusnya gak masalah aku bawa jalan sebentar.” Ilham mengerutkan dahi, wajah sedikit menegang. “Kenapa, Ham?” tanya Anya. “Aku curiga. Ini adalah kesengajaan.” “Maksud kamu?” “Mbak belum buka video yang aku kirim tadi pagi?” Anya menggeleng. “Ck!” Ilham berdecak lirih, ia kemudian menoleh ke pintu ruang perawatan. Seperti memastikan sesuatu dari sana. Ia sedikit mencondongkan tubuhnya kini. “Apa yang Mbak makan tadi pagi? Apa ada yang ada yang aneh?” ucap Ilham pelan, setengah berbisik. Anya mengerutkan kening. Mencoba mengingat-ingat. “Aku cuma sarapan roti selai buatanku sendiri, Ham. Tapi ….” Seketika wajah wanita itu berubah. Ilham bergeming. Seperti sedang menanti kepastian. “Aku minum susu hamil dari Tante Laras.” Bahu Ilham yang tadi tampak tegang, kini seperti lunglai. “Andai Mbak langsung buka video yang aku kirim,” ucap Ilham lemah. Sarat sekali akan kekecewaan.Anya sedikit mengerutkan dahi melihat ekspresi kekecewaan yang ditunjukkan Ilham. Kepalanya saat ini terlalu berat untuk memikirkan tentang video apa yang Ilham kirim. “Nanti aja, Ham. Aku capek,” keluh Anya pelan. Ia benar-benar lelah. Wanita itu menghela napas dalam. Mencoba mengusir sesak yang menjalar memenuhi rongga paru. Ia lelah. Lelah dengan dirinya sendiri. Selama ini ia pikir akan bahagia setelah menikah dengan Revan. Karena pria itu selalu bersikap bijak, tenang dan berwibawa. Setidaknya itu yang Anya lihat. Apa lagi Revan adalah orang kepercayaan Prayoga semasa hidup. Tak tanggung-tanggung Prayoga menunjuk Revan sebagai orang kepercayaan dalam waktu tidak sampai lima tahun. Keahlian dan kepribadian yang ditunjukkan oleh Revan membuat Prayoga percaya sepenuhnya. Setelah kepergian ayahnya, Anya sempat menggantikan sang ayah karena dorongan Revan. Revan yang menjadi orang yang paling dekat dengan Anya setelah kepergian sang ayah. Pria itu tidak pernah terlihat bers
Sesampai di parkiran rumah sakit, Ilham bergegas keluar dari mobil sambil membopong saudara sepupunya yang tak sadarkan diri. Petugas kesehatan yang standby menyambut dengan mendorong brankar ke arah Ilham dan segera membawa Anya ke ruang IGD. “Pasien mengalami pendarahan hebat. Tindakan kuretase harus segera dilakukan, kami butuh persetujuan keluarga sekarang,” ucap salah seorang petugas nakes menghampiri Ilham yang hanya diperbolehkan menunggu di luar. “Lakukan yang terbaik,” sahut Ilham cepat tanpa mampu menyembunyikan rasa cemasnya. “Anda … keluarganya?”Ilham sempat mengangguk, bergeming sesaat, lalu menelan ludah menyembunyikan gelisah ketika sang perawat terlihat tak yaki. “Saya–saya suaminya.” Ilham merekatkan rahangnya. Seharusnya pria berstatus suami Anya yang berada di sini. Namun, pria itu sama sekali tidak merespons ketika Ilham menghubunginya beberapa kali.Perawat itu mengangguk, kemudian memberi intruksi pada Ilham untuk mengikutinya. ***HIngga gelap menyapa alam
Karena rasa penasaran terlanjur menguasai, Anya nekat pergi ke kantor pusat yang lokasinya tidak jauh dari gudang. Namun, ternyata Revan juga tidak ada di ruangannya. Bahkan sekretaris baru pengganti Dinda mengatakan Revan belum sampai di kantor.“Kamu di mana, Mas?” tanya Anya pada Revan lewat sambungan telepon. Ketika sampai di depan pintu lift untuk turun. Namun, menunda masuk karena ingin fokus menelepon.“Aku masih di kantor, Sayang. Aku pulang jam makan siang nanti, ya,” jawab Revan yang diiringi dengan napas yang memburu.Anya menghela napas dalam. Penasarannya sudah terjawab, tetapi bukan lega, malah terasa menyakitkan. “Mas Revan lagi ngapain? Kok napasnya ngos-ngosan gitu?” tanya Anya berusaha untuk terdengar tenang. “Hmmm …. ini aku lagi … lagi naik tangga, Sayang. Iya, naik tangga,” jawab Revan yang terdengar sambil mengatur napas. “Lift-nya lagi ada masalah, jadi terpaksa naik tangga.”“Sayang, ma–af ya. Aku tu–tuhup dulu. Tanngung nih, bentar lagi sam–” Tanpa menunggu
Wanita yang sepuluh tahun lebih tua dari Anya itu menarik senyum. “Kita sesama perempuan, Sayang. Tante juga pernah hamil. Jadi, itu bukan hal sulit.”Anya mengulas senyum juga. Lebih tepatnya ia memaksa diri untuk membalasnya. Wanita di depannya itu biasanya hanya datang ketika ada maunya saja. Lantas, mau apa dia sekarang?“Tapi, Tante, aku gak suka minum susu.”“Kamu harus coba. Ini susunya yang rasa buah mangga buah kesukaan kamu, loh.” Wanita itu menyodorkan kembali gelas yang ia ambil dari nampan yang dibawa oleh ART.Anya menatap gelas itu dengan ragu. Ia berpikir untuk beberapa detik.Sementara wanita yang bernama Laras Wangi itu masih memamerkan senyum yang begitu manis, sembari mengangguk dan memejamkan mata untuk menyuntikkan keyakinan pada anak sambungnya itu.Setelah beberapa saat, Anya meraih gelas itu dan mencicipinya setengah teguk saja untuk mengeja rasa di lidahnya. Setelah beberapa saat merasakan tidak ada masalah, Anya pun kembali meneguknya, hingga menyisakan beb
SEBELAS JAM YANG LALU, DI SEBUAH PERUMAHAN ELIT DUA LANTAI.“Dia hamil, Queen. Dia belum kasih tahu secara langsung, sih, tapi aku nemu tespek positif di laci.” Lirih, suara seorang pria mengandung penuh penyesalan.“Kamu bodoh!” umpat seorang wanita malam itu. Matanya menatap tajam dan tegas pada pria di hadapannya. “Kok bisa sih kamu sampe kecolongan gini?” tanya wanita itu dengan nada kesal. “Sory, Queen. Aku kelepasan. Lagian kamu sendiri yang minta nikahin dia, terus berlaku seolah jadi suami beneran.”“Iya, tapi gak harus buat dia hamil juga.” Wanita itu mendengkus kesal. Dia kemudian bersedekap, berdiri sambil menatap dengan sedikit memicingkan mata. Lalu mengeluarkan kalimat tuduhan yang bernada kecurigaan.“Jangan-jangan kamu sengaja, menghamili dia terus berencana menyingkirkanku?”Si pria yang tadi duduk di tepi ranjang, kini berdiri menatap wanita yang hanya mengenakan tanktop yang dipadukan dengan rok mini. Pria itu memegang kedua bahunya. “Sama sekali enggak, Queen.
“Kamu mau bunga juga, Sayang?” tanya Revan. Mungkin berusaha mengalihkan pembicaraan.Anya menggeleng. Tanpa mengalihkan tatapan dari sang suami “Memberiku bunga bukan kebiasaanmu setelah kita nikah, Mas. Itu biasa kamu lakukan sebelum kita nikah, ‘kan?” tanya Anya masih dengan sikap tenang.“Maaf, Sayang. Mungkin aku terlalu sibuk, sampai lupa kasih perhatian lebih sama kamu. Ya udah, besok aku beliin, ya.” Revan menarik garis lengkung di bibirnya. Satu tangannya terangkat menggapai pipi wanita di hadapannya.“Tapi bukan bunga yang aku mau sekarang. Aku cuma butuh kejujuran. Jadi, kamu jawab dengan jujur, kamu beli bunga untuk siapa?” tanya Anya dengan nada penuh tuntutan dan ketegasan.“Buat pemasok barang di toko kita, Sayang.” Revan menjawab kemudian.Anya mengerutkan kening. “Iya, itu adalah salah satu strategi kita untuk bikin mereka merasa dihargai. Biar kerjasama tetap jalan dan harga barang jadi lebih bersahabat,” jelas Revan sambil menatap lembut.“Terus, kenapa cuma satu