Share

Sinyal Bahaya

Author: Nia Kannia
last update Last Updated: 2025-08-24 20:31:11

Karena rasa penasaran terlanjur menguasai, Anya nekat pergi ke kantor pusat yang lokasinya tidak jauh dari gudang. Namun, ternyata Revan juga tidak ada di ruangannya. Bahkan sekretaris baru pengganti Dinda mengatakan Revan belum sampai di kantor.

“Kamu di mana, Mas?” tanya Anya pada Revan lewat sambungan telepon. Ketika sampai di depan pintu lift untuk turun. Namun, menunda masuk karena ingin fokus menelepon.

“Aku masih di kantor, Sayang. Aku pulang jam makan siang nanti, ya,” jawab Revan yang diiringi dengan napas yang memburu.

Anya menghela napas dalam. Penasarannya sudah terjawab, tetapi bukan lega, malah terasa menyakitkan.

“Mas Revan lagi ngapain? Kok napasnya ngos-ngosan gitu?” tanya Anya berusaha untuk terdengar tenang.

“Hmmm …. ini aku lagi … lagi naik tangga, Sayang. Iya, naik tangga,” jawab Revan yang terdengar sambil mengatur napas. “Lift-nya lagi ada masalah, jadi terpaksa naik tangga.”

“Sayang, ma–af ya. Aku tu–tuhup dulu. Tanngung nih, bentar lagi sam–”

Tanpa menunggu Revan menuntaskan bicaranya, Anya menutup panggilan.

“Sampai di mana, Mas? Sampai di nirwana?” tanya Anya dengan suara lirih menatap layar ponsel yang hitam. Ia tersenyum miris.

Kemudian menekan tombol untuk membuka pintu lift yang Revan katakan bermasalah. Kenyataanya, Anya sekarang masuk ke sana dan beroperasi dengan lancar membawanya turun ke lantai dasar.

Namun, Anya tiba-tiba berhenti melangkah. Mendadak ia merasakan kepala seperti berputar dalam beberapa detik. Ia memejam sambil sedikit menggeleng, mengusir rasa pusing yang tiba-tiba menyerang.

Anya melanjutkan langkah. Rasa pusingnya berangsur berkurang, meski tidak sepenuhnya hilang.

“Kamu selesai jam berapa, Ham?” Anya mengirim pesan pada Ilham setelah duduk di dalam taksi online orderannya.

Ia memutuskan untuk menunda pulang. Ia yakin Revan tidak akan repot-repot mencarinya. Karena ia sudah bisa menebak pria itu sedang sibuk apa. Rasa pusingnya juga masih bisa ditahan.

Ia menarik napas yang terasa berat. Sesal mulai menggerogoti, karena ternyata telah memberikan kepercayaan pada orang yang salah.

“Setengah jam lagi, Mbak. Kenapa?“ Setelah beberapa menit, akhirnya Ilham membalas.

“Aku tunggu di Kaferia dekat kampus kamu ya,” tulis Anya dalam balasannya.

Anya memasukkan ponsel ke dalam tasnya. Sebenarnya Ilham sudah mengirimkan satu video yang dijanjikan. Entah video apa, ia belum sempat mengunduh dan menontonnya. Anya memilih menyandarkan kepalanya pada sandaran jok penumpang hingga ia sampai di tempat yang ia tuju.

Saat Anya melangkah masuk, ternyata Ilham sudah menunggu. Pemuda itu melambaikan tangan begitu melihat Anya berhenti di pintu.

Anya melangkah pelan menuju meja tempat Ilham berada. Bahkan Ilham sudah memesankan makanan dan minuman untuk wanita itu.

“Kamu masih ingat aja makanan kesukaan aku, Ham.” Anya mengulas senyum, menatap pada satu porsi bihun goreng seafood yang masih hangat dan segelas es jeruk peras.

“Tapi aku gak yakin bakal bisa ngabisin ini, Ham. Mendadak perutku gak enak banget,” keluh Anya merasa tidak enak.

Bukannya menjawab, pemuda itu malah menatap Anya lekat-lekat. Ia kemudian berkata, “Mbak Anya, gak apa-apa? Kok kelihatan pucat.”

Anya menggeleng. “Gak apa, cuma sedikit pusing aja sama .…” Mendadak Anya terduduk mencengkeram kusri di dekatnya, sementara satu tangan lagi mencengkeram perutnya. Seakan mendapatkan serangan mendadak dari dalam sana.

Refleks Ilham bangkit, mendorong kuat kursinya ke belakang dan dengan gerakan cepat mendekat pada Anya yang meringis, seakan menahan sakit.

“Gak ta–hu, Ham. Tiba-tiba sa–kit ba–nget,” jawab Anya dengan kalimat terbata-bata. Ia merasakan nyeri hebat di perut bagian bawah. Seakan ada sesuatu yang menarik dari dalam. Kekuatannya mendadak hilang, seakan kaki lupa bagaimana caranya berdiri.

Ilham mencengkeram kedua lengan Anya, membantu wanita itu agar tetap berdiri.

“Mbak, hati-hati!” ucap pria berambut setengah ikal itu dengan cemas. Beberapa pengunjung kafe sempat menoleh untuk melihat apa yang terjadi.

Detik berikutnya ….

“Aaaaww!!!” Anya menjerit kesakitan. Ia merasakan seperti ada yang menari keluar pada sesuatu di dalam perutnya.

Beberapa saat kemudian, tubuhnya terkulai tak sadarkan diri. Beruntung Ilham mampu menahannya, sehingga tubuh Anya tidak terkulai di lantai.

Tanpa berpikiran panjang, Ilham mengangkat tubuh saudara sepupunya itu. Ia yang sejak tadi tak dapat menyembunyikan rasa cemas, makin cemas saat merasakan cairan hangat dari bagian belakang pangkal paha milik Anya. Seketika, gamis krem yang Anya pakai berubah warna menjadi merah yang juga menodai tangan pemuda itu. Jelas itu Ilham tangkap sebagai sinyal bahaya—dan membuatnya tidak menunda lagi untuk membawa Anya segera ke rumah sakit terdekat.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Teman Tidur Suamiku    Panggilan

    “Maaf, Ham. Aku lagi datang bulan.”Mendengar dan meresapi kalimat lirih itu seketika membuat Ilham berhenti. Seketika gerak di tubuhnya membeku. Dengan ekspresi datar, ia menatap lurus wajah Anya yang hanya berjarak sejengkal. Ia bisa melihat getar samar di bulu mata istrinya yang terpejam, dan napasnya yang sedikit tertahan.Beberapa detik kemudian, topeng ekspresi datar di wajah Ilham retak. Ia menarik bibir ke samping, membentuk lengkung khas di wajahnya. Bukan senyum kecewa, melainkan lambang sebuah pemahaman yang tulus. Tak bisa memungkiri jika ia memang kecewa, tetapi sebisa mungkin ia menyembunyikannya dari Anya. “Gak masalah,” bisiknya, suaranya sengaja direndahkan agar terdengar menenangkan. “Aku masih bisa menunggu. Yang penting, akhirnya malam ini udah bisa tidur sambil peluk kamu, Mbak,” ucap Ilham akhirnya.“Maaf.” Anya bersuara lirih lagi, kali ini ia memberanikan diri membuka mata. Ada rasa bersalah yang kentara di sana, membuatnya terlihat rapuh.“Sshh. Udah kubilang

  • Teman Tidur Suamiku    Malam Pertama?

    Ilham buru-buru menoleh pada pria berkemeja hitam itu, menyadari Arkan masih mematung di sudut ruangan. Apa yang sudah ia dapat hari ini seolah sukses mengirimkan gelombang kebahagiaan murni yang membuatnya nyaris linglung.“Kenapa kamu masih di sini?” tanya Ilham kemudian. Suaranya sedikit parau. Dia berusaha keras mengusir linglung yang mendadak menyerang karena rasa bahagia yang begitu tak terkira, yang terasa meledak-ledak di dalam dada. “Kerjakan tugasmu!” tegasnya kemudian, memaksakan nada otoriter seorang bos. Dia melepaskan genggaman pada jemari Anya, lalu berdiri dan mendekati sang asisten.“Tugas selanjutnya apa, Bos?” tanya pria yang bernama Arkan itu, wajahnya datar tapi ada kilat jenaka di matanya.“Brengsek, lu!” Ilham mendesis, tetapi tak bisa menahan senyum tipis. “Jangan mendadak pikun, tugas utamamu apa di jam-jam seperti ini? Pastikan semua beres kalau gak mau potong gaji.” Ilham mendorong bahu Arkan agar segera pergi. Tak ingin membuat Anya makin tidak nyaman deng

  • Teman Tidur Suamiku    Gak Sendiri Lagi

    “Jadi ini calon pengantin wanitanya, Mas Ilham?”Suara Pak Penghulu yang berat dan penuh penasaran menyambar Anya seolah pisau tajam. Ia membeku di tengah ruang tamu kecil rumah kontrakan Ilham, tangan yang sedang menyusun gelas teh tiba-tiba menggoyangkan hingga setetes cairan panas menyentuh pelipisnya. Apa tadi? Calon pengantin? Ia menatap Ilham dengan mata membelalak, berharap itu sekadar lelucon kelam yang tak pernah ia duga dari pria yang biasanya pendiam itu.Seketika Anya merasa seperti ada yang menampar dan menyadarkannya jika ia memang tidak salah dengar. Terlebih ketika mendengar jawaban Ilham yang tegas, tanpa secercah ragu: “Betul, Pak. Dia … calon istri saya. Namanya Anya Prasasti Prayoga.” Detik berikutnya Ilham menoleh padanya, matanya yang biasanya lembut kini menyimpan semacam tekad yang membekukan. “Gimana, Mbak, udah siap, ‘kan?”Anya tercekat. Kalimat Ilham yang ditujukan padanya seolah berhasil menenggelamkan kosakata yang ada di kepala Anya. Ia ingin berteriak,

  • Teman Tidur Suamiku    Bawa Kejutan

    Anya masih bergeming, hanya hatinya yang terlalu ramai. Tanpa bisa dipungkiri, ia memang memiliki perasaan khusus untuk Ilham, entah sejak kapan. Namun, menikah dengan pria tanpa restu dari ibu pria itu bukanlah pilihan yang baik. Meski ia yakin, Ilham akan melakukan apa pun untuk membuatnya nyaman.Waktu berlalu pelan. Dari jendela, cahaya senja sudah berubah jingga tua. Suara azan magrib mulai menggema dari kejauhan.Anya menatap jam, lalu berdiri perlahan. “Aku mau salat dulu.” setidaknya ia bisa menghindar sebentar dengan alasan itu. Tentu saja hanya alasan, karena datang bulannya belum tuntas. Ilham menatapnya, lembut seperti biasa. “Tunggu, Mbak,” ucapnya mengurung langkah Anya. “Jawab dulu. Mau ya ... kita nikah?”Anya bergeming. Langkahnya terhenti di depan tangga. Ia menarik napas dalam, kemudian berkata, “Terserah kamu, deh, Ham,” jawab Anya pasrah dengan wajah tertunduk. Lagi pula, Ilham tidak mungkin mengajaknya menikah sekarang juga, bukan? “Aku mau salat dulu,” lanjut

  • Teman Tidur Suamiku    Dilema Hati Anya

    “Mbak, ayo nikah. Kalau kayak gini aku susah buat jagain Mbak Anya. Aku pengin kita gak punya batasan lagi.” Ilham memohon lagi, tetapi ia sudah kembali duduk di tempat asalnya karena Anya terlihat tidak nyaman ketika berlutut di depan wanita itu.Berharap kali ini wanita di hadapannya itu luluh. Memikirkan kebahagiaan mereka tanpa memikirkan yang lain dulu.Anya membuang pandang ke samping. “Aku gak bisa, Ham.” Tangannya kembali menyapu pipinya yang basah.Ilham menggenggam kosong kepalan tangannya. Andai bisa, ia ingin ikut menghapus air mata itu.“Kenapa? Aku tahu, Mbak. Mbak bohong kan bilang udah punya calon suami?” Ilham tersenyum miring. “Satu-satunya calon suami Mbak Anya itu aku,” lanjutnya lagi dengan nada canda, mencoba mencairkan suasana yang kaku. Meski sebenarnya ia sedang serius. Anya bergeming, tak ingin mengelak atau mengiakan. Candaan Ilham tak berpengaruh apa pun denganya. “Apa karena Ibu?” tanya Ilham lirih. Ia tabu, beberapa waktu terakhir ibunya sering menggang

  • Teman Tidur Suamiku    Percikan Trauma Masa Lalu

    Ilham merapatkan bibirnya. “Apa yang bisa membuatku membenci Mbak Anya? Selama beberapa hari ini aku udah berusaha untuk membencimu, Mbak. Mbak Anya mengusirku, bahkan perjuanganku selama ini gak kamu anggap, Mbak. Tapi kenapa aku gak bisa membencimu, Mbak?” tanya Ilham beruntun dengan nada putus asa. . Anya menghela napas dalam. Dadanya terasa sesak. Mungkin ini saatnya dia harus mengatakan yang sejujurnya. Segala risikonya harus ia tanggung. Meski itu dibenci Ilham selamanya.Anya menghela napas panjang. Sekuat tenaga ia berusaha mencari kosakata yang pas untuk mengungkap semua. Ia harus mengatakannya sekarang, tetapi tidak tahu mulai dari mana. Beberapa kali ia membuka mulut, seperti akan mengatakan sesuatu, tetapi selalu urung. Sementara itu, Ilham sengaja menunggu Sunshine-nya bersuara. Ia menatap lurus pada wanita itu yang seakan tak memiliki kemampuan untuk menyusun bahasa.Anya berdiri. “Ham, aku pulang aja, deh. Aku–”“Mbak, plis. Kali ini aja. Tolong kasih kesempatan untu

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status