Karena rasa penasaran terlanjur menguasai, Anya nekat pergi ke kantor pusat yang lokasinya tidak jauh dari gudang. Namun, ternyata Revan juga tidak ada di ruangannya. Bahkan sekretaris baru pengganti Dinda mengatakan Revan belum sampai di kantor.
“Kamu di mana, Mas?” tanya Anya pada Revan lewat sambungan telepon. Ketika sampai di depan pintu lift untuk turun. Namun, menunda masuk karena ingin fokus menelepon. “Aku masih di kantor, Sayang. Aku pulang jam makan siang nanti, ya,” jawab Revan yang diiringi dengan napas yang memburu. Anya menghela napas dalam. Penasarannya sudah terjawab, tetapi bukan lega, malah terasa menyakitkan. “Mas Revan lagi ngapain? Kok napasnya ngos-ngosan gitu?” tanya Anya berusaha untuk terdengar tenang. “Hmmm …. ini aku lagi … lagi naik tangga, Sayang. Iya, naik tangga,” jawab Revan yang terdengar sambil mengatur napas. “Lift-nya lagi ada masalah, jadi terpaksa naik tangga.” “Sayang, ma–af ya. Aku tu–tuhup dulu. Tanngung nih, bentar lagi sam–” Tanpa menunggu Revan menuntaskan bicaranya, Anya menutup panggilan. “Sampai di mana, Mas? Sampai di nirwana?” tanya Anya dengan suara lirih menatap layar ponsel yang hitam. Ia tersenyum miris. Kemudian menekan tombol untuk membuka pintu lift yang Revan katakan bermasalah. Kenyataanya, Anya sekarang masuk ke sana dan beroperasi dengan lancar membawanya turun ke lantai dasar. Namun, Anya tiba-tiba berhenti melangkah. Mendadak ia merasakan kepala seperti berputar dalam beberapa detik. Ia memejam sambil sedikit menggeleng, mengusir rasa pusing yang tiba-tiba menyerang. Anya melanjutkan langkah. Rasa pusingnya berangsur berkurang, meski tidak sepenuhnya hilang. “Kamu selesai jam berapa, Ham?” Anya mengirim pesan pada Ilham setelah duduk di dalam taksi online orderannya. Ia memutuskan untuk menunda pulang. Ia yakin Revan tidak akan repot-repot mencarinya. Karena ia sudah bisa menebak pria itu sedang sibuk apa. Rasa pusingnya juga masih bisa ditahan. Ia menarik napas yang terasa berat. Sesal mulai menggerogoti, karena ternyata telah memberikan kepercayaan pada orang yang salah. “Setengah jam lagi, Mbak. Kenapa?“ Setelah beberapa menit, akhirnya Ilham membalas. “Aku tunggu di Kaferia dekat kampus kamu ya,” tulis Anya dalam balasannya. Anya memasukkan ponsel ke dalam tasnya. Sebenarnya Ilham sudah mengirimkan satu video yang dijanjikan. Entah video apa, ia belum sempat mengunduh dan menontonnya. Anya memilih menyandarkan kepalanya pada sandaran jok penumpang hingga ia sampai di tempat yang ia tuju. Saat Anya melangkah masuk, ternyata Ilham sudah menunggu. Pemuda itu melambaikan tangan begitu melihat Anya berhenti di pintu. Anya melangkah pelan menuju meja tempat Ilham berada. Bahkan Ilham sudah memesankan makanan dan minuman untuk wanita itu. “Kamu masih ingat aja makanan kesukaan aku, Ham.” Anya mengulas senyum, menatap pada satu porsi bihun goreng seafood yang masih hangat dan segelas es jeruk peras. “Tapi aku gak yakin bakal bisa ngabisin ini, Ham. Mendadak perutku gak enak banget,” keluh Anya merasa tidak enak. Bukannya menjawab, pemuda itu malah menatap Anya lekat-lekat. Ia kemudian berkata, “Mbak Anya, gak apa-apa? Kok kelihatan pucat.” Anya menggeleng. “Gak apa, cuma sedikit pusing aja sama .…” Mendadak Anya terduduk mencengkeram kusri di dekatnya, sementara satu tangan lagi mencengkeram perutnya. Seakan mendapatkan serangan mendadak dari dalam sana. Refleks Ilham bangkit, mendorong kuat kursinya ke belakang dan dengan gerakan cepat mendekat pada Anya yang meringis, seakan menahan sakit. “Gak ta–hu, Ham. Tiba-tiba sa–kit ba–nget,” jawab Anya dengan kalimat terbata-bata. Ia merasakan nyeri hebat di perut bagian bawah. Seakan ada sesuatu yang menarik dari dalam. Kekuatannya mendadak hilang, seakan kaki lupa bagaimana caranya berdiri. Ilham mencengkeram kedua lengan Anya, membantu wanita itu agar tetap berdiri. “Mbak, hati-hati!” ucap pria berambut setengah ikal itu dengan cemas. Beberapa pengunjung kafe sempat menoleh untuk melihat apa yang terjadi. Detik berikutnya …. “Aaaaww!!!” Anya menjerit kesakitan. Ia merasakan seperti ada yang menari keluar pada sesuatu di dalam perutnya. Beberapa saat kemudian, tubuhnya terkulai tak sadarkan diri. Beruntung Ilham mampu menahannya, sehingga tubuh Anya tidak terkulai di lantai. Tanpa berpikiran panjang, Ilham mengangkat tubuh saudara sepupunya itu. Ia yang sejak tadi tak dapat menyembunyikan rasa cemas, makin cemas saat merasakan cairan hangat dari bagian belakang pangkal paha milik Anya. Seketika, gamis krem yang Anya pakai berubah warna menjadi merah yang juga menodai tangan pemuda itu. Jelas itu Ilham tangkap sebagai sinyal bahaya—dan membuatnya tidak menunda lagi untuk membawa Anya segera ke rumah sakit terdekat.Anya sedikit mengerutkan dahi melihat ekspresi kekecewaan yang ditunjukkan Ilham. Kepalanya saat ini terlalu berat untuk memikirkan tentang video apa yang Ilham kirim. “Nanti aja, Ham. Aku capek,” keluh Anya pelan. Ia benar-benar lelah. Wanita itu menghela napas dalam. Mencoba mengusir sesak yang menjalar memenuhi rongga paru. Ia lelah. Lelah dengan dirinya sendiri. Selama ini ia pikir akan bahagia setelah menikah dengan Revan. Karena pria itu selalu bersikap bijak, tenang dan berwibawa. Setidaknya itu yang Anya lihat. Apa lagi Revan adalah orang kepercayaan Prayoga semasa hidup. Tak tanggung-tanggung Prayoga menunjuk Revan sebagai orang kepercayaan dalam waktu tidak sampai lima tahun. Keahlian dan kepribadian yang ditunjukkan oleh Revan membuat Prayoga percaya sepenuhnya. Setelah kepergian ayahnya, Anya sempat menggantikan sang ayah karena dorongan Revan. Revan yang menjadi orang yang paling dekat dengan Anya setelah kepergian sang ayah. Pria itu tidak pernah terlihat bers
Sesampai di parkiran rumah sakit, Ilham bergegas keluar dari mobil sambil membopong saudara sepupunya yang tak sadarkan diri. Petugas kesehatan yang standby menyambut dengan mendorong brankar ke arah Ilham dan segera membawa Anya ke ruang IGD. “Pasien mengalami pendarahan hebat. Tindakan kuretase harus segera dilakukan, kami butuh persetujuan keluarga sekarang,” ucap salah seorang petugas nakes menghampiri Ilham yang hanya diperbolehkan menunggu di luar. “Lakukan yang terbaik,” sahut Ilham cepat tanpa mampu menyembunyikan rasa cemasnya. “Anda … keluarganya?”Ilham sempat mengangguk, bergeming sesaat, lalu menelan ludah menyembunyikan gelisah ketika sang perawat terlihat tak yaki. “Saya–saya suaminya.” Ilham merekatkan rahangnya. Seharusnya pria berstatus suami Anya yang berada di sini. Namun, pria itu sama sekali tidak merespons ketika Ilham menghubunginya beberapa kali.Perawat itu mengangguk, kemudian memberi intruksi pada Ilham untuk mengikutinya. ***HIngga gelap menyapa alam
Karena rasa penasaran terlanjur menguasai, Anya nekat pergi ke kantor pusat yang lokasinya tidak jauh dari gudang. Namun, ternyata Revan juga tidak ada di ruangannya. Bahkan sekretaris baru pengganti Dinda mengatakan Revan belum sampai di kantor.“Kamu di mana, Mas?” tanya Anya pada Revan lewat sambungan telepon. Ketika sampai di depan pintu lift untuk turun. Namun, menunda masuk karena ingin fokus menelepon.“Aku masih di kantor, Sayang. Aku pulang jam makan siang nanti, ya,” jawab Revan yang diiringi dengan napas yang memburu.Anya menghela napas dalam. Penasarannya sudah terjawab, tetapi bukan lega, malah terasa menyakitkan. “Mas Revan lagi ngapain? Kok napasnya ngos-ngosan gitu?” tanya Anya berusaha untuk terdengar tenang. “Hmmm …. ini aku lagi … lagi naik tangga, Sayang. Iya, naik tangga,” jawab Revan yang terdengar sambil mengatur napas. “Lift-nya lagi ada masalah, jadi terpaksa naik tangga.”“Sayang, ma–af ya. Aku tu–tuhup dulu. Tanngung nih, bentar lagi sam–” Tanpa menunggu
Wanita yang sepuluh tahun lebih tua dari Anya itu menarik senyum. “Kita sesama perempuan, Sayang. Tante juga pernah hamil. Jadi, itu bukan hal sulit.”Anya mengulas senyum juga. Lebih tepatnya ia memaksa diri untuk membalasnya. Wanita di depannya itu biasanya hanya datang ketika ada maunya saja. Lantas, mau apa dia sekarang?“Tapi, Tante, aku gak suka minum susu.”“Kamu harus coba. Ini susunya yang rasa buah mangga buah kesukaan kamu, loh.” Wanita itu menyodorkan kembali gelas yang ia ambil dari nampan yang dibawa oleh ART.Anya menatap gelas itu dengan ragu. Ia berpikir untuk beberapa detik.Sementara wanita yang bernama Laras Wangi itu masih memamerkan senyum yang begitu manis, sembari mengangguk dan memejamkan mata untuk menyuntikkan keyakinan pada anak sambungnya itu.Setelah beberapa saat, Anya meraih gelas itu dan mencicipinya setengah teguk saja untuk mengeja rasa di lidahnya. Setelah beberapa saat merasakan tidak ada masalah, Anya pun kembali meneguknya, hingga menyisakan beb
SEBELAS JAM YANG LALU, DI SEBUAH PERUMAHAN ELIT DUA LANTAI.“Dia hamil, Queen. Dia belum kasih tahu secara langsung, sih, tapi aku nemu tespek positif di laci.” Lirih, suara seorang pria mengandung penuh penyesalan.“Kamu bodoh!” umpat seorang wanita malam itu. Matanya menatap tajam dan tegas pada pria di hadapannya. “Kok bisa sih kamu sampe kecolongan gini?” tanya wanita itu dengan nada kesal. “Sory, Queen. Aku kelepasan. Lagian kamu sendiri yang minta nikahin dia, terus berlaku seolah jadi suami beneran.”“Iya, tapi gak harus buat dia hamil juga.” Wanita itu mendengkus kesal. Dia kemudian bersedekap, berdiri sambil menatap dengan sedikit memicingkan mata. Lalu mengeluarkan kalimat tuduhan yang bernada kecurigaan.“Jangan-jangan kamu sengaja, menghamili dia terus berencana menyingkirkanku?”Si pria yang tadi duduk di tepi ranjang, kini berdiri menatap wanita yang hanya mengenakan tanktop yang dipadukan dengan rok mini. Pria itu memegang kedua bahunya. “Sama sekali enggak, Queen.
“Kamu mau bunga juga, Sayang?” tanya Revan. Mungkin berusaha mengalihkan pembicaraan.Anya menggeleng. Tanpa mengalihkan tatapan dari sang suami “Memberiku bunga bukan kebiasaanmu setelah kita nikah, Mas. Itu biasa kamu lakukan sebelum kita nikah, ‘kan?” tanya Anya masih dengan sikap tenang.“Maaf, Sayang. Mungkin aku terlalu sibuk, sampai lupa kasih perhatian lebih sama kamu. Ya udah, besok aku beliin, ya.” Revan menarik garis lengkung di bibirnya. Satu tangannya terangkat menggapai pipi wanita di hadapannya.“Tapi bukan bunga yang aku mau sekarang. Aku cuma butuh kejujuran. Jadi, kamu jawab dengan jujur, kamu beli bunga untuk siapa?” tanya Anya dengan nada penuh tuntutan dan ketegasan.“Buat pemasok barang di toko kita, Sayang.” Revan menjawab kemudian.Anya mengerutkan kening. “Iya, itu adalah salah satu strategi kita untuk bikin mereka merasa dihargai. Biar kerjasama tetap jalan dan harga barang jadi lebih bersahabat,” jelas Revan sambil menatap lembut.“Terus, kenapa cuma satu