LOGINWanita yang sepuluh tahun lebih tua dari Anya itu menarik senyum.
“Kita sesama perempuan, Sayang. Tante juga pernah hamil. Jadi, itu bukan hal sulit.” Anya mengulas senyum juga. Lebih tepatnya ia memaksa diri untuk membalasnya. Wanita di depannya itu biasanya hanya datang ketika ada maunya saja. Lantas, mau apa dia sekarang? “Tapi, Tante, aku gak suka minum susu.” “Kamu harus coba. Ini susunya yang rasa buah mangga buah kesukaan kamu, loh.” Wanita itu menyodorkan kembali gelas yang ia ambil dari nampan yang dibawa oleh ART. Anya menatap gelas itu dengan ragu. Ia berpikir untuk beberapa detik. Sementara wanita yang bernama Laras Wangi itu masih memamerkan senyum yang begitu manis, sembari mengangguk dan memejamkan mata untuk menyuntikkan keyakinan pada anak sambungnya itu. Setelah beberapa saat, Anya meraih gelas itu dan mencicipinya setengah teguk saja untuk mengeja rasa di lidahnya. Setelah beberapa saat merasakan tidak ada masalah, Anya pun kembali meneguknya, hingga menyisakan beberapa cc saja. Laras Wangi mengulas senyum lagi melihat Anya nyaris menghabiskan isi gelas. “Nah, gitu, dong,” ucapnya senang. “Sekarang kamu istirahat dan jangan terlalu banyak beraktifitas, awal kehamilan itu sangat rentan. Jadi, harus hari-hati,” ucap Laras lagi sambil menuntun anak sambungnya itu untuk masuk ke dalah kamar. Anya hanya menurut. Merebahkan diri menuruti intruksi Laras. Setelah Laras pergi dan menutup pintu, Anya bangkit dan mulai bersiap. Pagi ini ia ingin membuktikan ucapan Ilham. Waktu setengah jam cukup bagi Anya untuk bersiap-siap pergi keluar. Anya harus mengenda-endap untuk pergi keluar dari rumahnya sendiri. Ia tidak ingin Laras atau penghuni rumah yang lain tahu jika ia sedang keluar rumah. Anya memesan taksi online untuk mengantarnya ke tujuan. Bukan ia tidak memiliki sopir yang selalu siap sedia atau pun bisa mengemudi mobil sendiri, tetapi lagi-lagi karena ia tidak ingin kepergiannya kali ini diketahui oleh siapa pun. Anya sudah sampai di gudang penyimpanan stok barang penjualan toko milik keluarganya. Bisnis keluarga yang dirintis oleh kakek Anya, berkembang pesat setelah almarhum Prayoga mengelolanya. Yang dulu hanya toko sembako dan hanya dimulai dari satu pintu ruko. Kini sudah berkembang menjadi supermarket dan memiliki beberapa cabang. Dalam satu tahun terakhir, setelah menikah Anya mempercayakan pada Revan, suaminya. “Pak Revan?” Bukan mendapat jawaban saat bertemu dengan Pak Daud sebagai kepala gudang, Anya justru mendapat pertanyaan. “Iya, Pak Daud. Saya mau ketemu suami saya.” Anya menjelaskan. “Maksud Bu Anya, Pak Revan datang ke sini?” tanya Pak Daud lagi. “Iya, Pak. Bukannya suami saya di sini sejak tadi malam? Tadi malam ada barang masuk, ‘kan?” tanya Anya meyakinkan. Mendengar pertanyaan Anya, Pak Daud terlihat makin bingung. Dia kemudian mengangguk. “Iya, malam tadi memang ada barang masuk. Tapi … Tidak ada Pak Revan kemari. Eeenggg … Eh, Jal.” Pak Daud melambai pada salah seorang pegawai laki-laki yang tengah memeriksa barang di gudang sambil memegang tablet di tangannya. Pemuda itu menoleh, kemudian berjalan mendekat ke arah sang bos. “Malam tadi ada Pak Revan ke sini? Atau kamu lihat beliau di sekitar gudang?” Pemuda itu mengerutkan dahi, lalu menggeleng pelan. “Pak Revan bahkan sudah lama gak ke gudang setahu saya, Pak.” Pak Daud mengangguk. “Betul, Buk. Pak Revan sudah lama sekali tidak berkunjung ke sini. Beliau terakhir ke sini sekitar ….” Pak Daud tampak memejamkan mata sejenak, seperti menggapai selembar ingata. “Empat bulan yang lalu. Ya, empat bulan yang lalu,” lanjut Pak Daud yakin. Kalimat penuh keyakinan itu seperti mencubit hati Anya kuat-kuat dan kecil sekali. Sehingga nyerinya lebih terasa. Selama ini Revan selalu pamit ke gudang saat malam-malam. Berbanding terbalik dengan penjelasan kepala dan pegawai gudang. Lantas, ke mana perginya Revan selama ini? Setelah mendapatkan jawaban, Anya meninggalkan tempat itu. Sambil menunggu taksi online pesanannya datang, ia menghubungi seseorang. Anya masih ingin menyangkal kebenaran jika selama ini Revan membohonginya. Ia mencoba menghubungi kantor pusat. Barangkali Revan semalam bukan ke gudang, melainkan ke kantor. Meskipun sedikit mustahil, karena kantor hanya buka sampai jam lima sore. Ia menelepon karyawan wanita yang selama ini menjadi sekretaris Revan. Jawaban sang sekretaris justru mengejutkan. “Maaf, Buk, tapi saya sudah tidak bekerja lagi di Prayoga tbk, Buk.”Ilham berbalik perlahan. Ia duduk di tepi ranjang, meraih tangan Anya yang dingin dan basah oleh air mata. “Maafin aku, Sayang,” bisiknya, suaranya serak. “Maafin Ibu.” Anya menggeleng, mengangkat wajahnya yang sembap. “Enggak apa-apa,” jawabnya lirih, “kita berdua tahu, cepat atau lambat ini akan terjadi. Aku yang harus minta maaf karena menjadi jurang antara kamu dan ibumu. Kamu tahu, Ham, aku ga mau ini.” Ilham menggeleng. Mengeratkan genggamannya. Malam itu, mereka tidak banyak bicara lagi. Kata-kata terasa tidak ada gunanya. Mereka hanya duduk dalam diam, saling menggenggam tangan, sementara putra mereka—yang Ilham beri nama Arjuna Ilham Pratama, tertidur lelap di boks bayinya. Malaikat mungil itu menjadi satu-satunya sumber kedamaian di tengah badai yang baru saja menerpa dunia kecil mereka. *** Enam Bulan Kemudian. Kehidupan tidak berhenti. Ia terus berjalan, menyeret mereka menjauh dari malam yang penuh luka itu. Ilham dan Anya membangun kembali dunia mereka, kepingan de
“Ibu …?” seru Ilham lirih.Kehadirannya terasa seperti embusan angin dingin dari kutub utara yang menyelinap masuk melalui celah pintu. Suhu ruangan yang tadinya hangat dan penuh kelegaan, seketika terasa turun beberapa derajat. Ilham, yang sedang duduk, langsung berdiri. Gerakannya kaku, tubuhnya secara naluriah membentuk sebuah perisai di antara ibunya dan ranjang tempat Anya tertidur.Elia melangkah masuk, sepatunya yang bersol karet tidak menimbulkan suara di lantai vinil, tetapi setiap langkahnya terasa seperti dentuman di hati Ilham. Ia menutup pintu di belakangnya dengan pelan, menciptakan sebuah ruang kedap suara yang mengisolasi mereka dari dunia luar.Matanya tidak menatap Ilham.Tatapan itu lurus, tajam seperti pecahan kaca, mengarah langsung ke sosok wanita yang terbaring lemah di atas ranjang.“Jadi … dia masih belum meninggalkanmu? Dia menginggkari janjinya?” Suara wanita itu datar. Tidak ada amarah yang meledak-ledak, tidak ada isak tangis. Hanya sebuah pernyataan ding
Setiap detik penantian di lampu merah terasa seperti siksaan, setiap mobil lambat di depannya adalah rintangan yang ingin ia tabrak. Arkan, merasakan urgensi yang membakar di udara, memacu mobil menembus batas kecepatan yang aman. Perjalanan yang biasanya mereka tempuh selama tiga jam, kini hanya satu setengah jam. Arkan memang selalu bisa diandalkan di saat-saat begini.Begitu mobil berhenti di lobi Instalasi Gawat Darurat, Ilham tidak menunggu pintu dibuka sepenuhnya. Ia melompat keluar, berlari masuk ke dalam gedung berbau disinfektan itu seperti badai. Penampilannya kacau; kemeja batiknya kusut, rambutnya acak-acakan, dan matanya liar dipenuhi kepanikan.Ia langsung menemukan Ririn. Wanita itu berdiri mondar-mandir dengan cemas di depan sebuah pintu ganda bertuliskan ‘RUANG BERSALIN’. Wajahnya pucat dan matanya sembap karena tangis.“Mbak!” panggil Ilham, napasnya terengah. “Gimana Mbak Anya?”Ririn tersentak, lalu berlari kecil menghampirinya. “Mas Ilham!” pekiknya tertahan. “Ma
“Dan saat ini, istriku sedang berjuang dan bertaruh nyawa untuk melahirkan keturunanku.”Kalimat itu jatuh seperti sebilah kapak, membelah keheningan khidmat di ruang tamu itu menjadi dua. Untuk sesaat, tidak ada yang bergerak. Suasana di ruangan itu seakan membeku.Lalu, kekacauan itu meledak.Keheningan pecah oleh suara kursi yang digeser kasar di atas lantai keramik. Gumaman syok terdengar seperti sengatan lebah dari berbagai penjuru, menyebar cepat dari satu sudut ke sudut lain.Ayah Anisa, Pak Bramantyo, seorang pria terpandang di desa itu, berdiri dengan wajah merah padam. Urat di lehernya menonjol, tangannya terkepal di sisi tubuh hingga buku-buku jarinya memutih. Jelas, ia merasa dipermalukan. Dan, rasa malu itu dengan cepat menjelma menjadi sebuah api amarah yang membara.“Jadi … jadi selama ini kami semua ditipu?” suaranya menggelegar, sarat dengan getar amarah yang tertahan. Ia menunjuk Ilham dengan jari telunjuk yang gemetar. “Kamu! Beraninya kamu mempermainkan putri saya!
[Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan .…]Panik mulai merayap di hatinya seperti sulur tanaman beracun. Ia mencobanya lagi. Dan lagi. Hasilnya sama.“Ilham, kamu di mana?” bisiknya pada keheningan kamar.Gelombang rasa sakit yang ke sekian kali datang menerjang, jauh lebih kuat dari sebelumnya. Ia menggigit bibirnya untuk menahan jeritan. Sesuatu yang hangat dan basah tiba-tiba mengalir di antara kedua kakinya, membasahi daster yang ia kenakan dan seprai di bawahnya.Matanya membelalak ngeri. Itu air ketuban. Selama hamil, Anya sudah banyak membaca artikel-artikel yang membahas tentang kehamilan dan persalinan.Ia tidak boleh panik. Ia harus tenang. Demi bayinya. Dengan sisa tenaga yang ia miliki, ia mencari kontak lain di ponselnya. Satu-satunya orang yang bisa ia andalkan untuk membantunya sekarang. Ririn.Ia menekan tombol panggil. Jemarinya terasa kaku dan tidak bertenaga. Ia bahkan tidak punya kekuatan untuk berteriak memanggil ART-nya itu yang m
Pertanyaan yang berkali-kali menyentuh pikiran Anya. Terkadang datang membawa rasa takut pada kehilangan. Mungkin akan lebih baik jika ia tak tahu apa-apa dan melupakan semua. Namun, makin hari sikap Ilham makin aneh dan makin pendiam. Anya memilih untuk tidak pernah menanyakannya secara langsung. Selain tidak siap jika firasatnya menjadi kenyataan, ia masih menunggu Ilham untuk mengatakannya sendiri tanpa paksaan atau pertanyaan. Sehingga pertanyaan itu terus menjadi penghuni tetap di kepalanya, hingga pagi ini berubah menjadi keheningan yang dingin saat sarapan. Wanita itu hanya menatap Ilham sedikit lebih lama saat Ilham menerima telepon dari ibunya. Momen itu seolah menjadi jarak tipis yang kini ada di antara mereka saat berpelukan.Waktu tidak menunggu jawaban dari pertanyaan yang terus bercokol. Bulan-bulan berlalu dalam kabut kecurigaan yang samar. Perut Anya semakin membesar, gerakannya semakin terbatas. Atas permintaan Ilham—dan juga karena kelelahannya sendiri—ia akhirn







