Hoek!“Te? Kamu kenapa?” Mendengar suara Dante dari kamar mandi, Cintara langsung bangkit duduk dengan cepat lalu melangkah menuju ke kamar mandi. “Te, are you okay?” tanya Cintara sembari mengetuk pintu.Pintu kamar mandi lantas terbuka. “Hei, aku bangunin kamu, ya?” Dante menggandeng tangan Cintara lalu mengajaknya duduk di tepi ranjang.“Kamu kenapa? Kamu sakit, ya?”“Nggak kok, Ta. Aku cuma ngerasa mual aja tadi.”“Jangan-jangan masuk angin.” Cintara menyentuh kening Dante. “Kamu yakin mau berangkat ke kantor sekarang?” tanya Cintara.Tiga hari sudah berlalu setelah kejadian penusukan waktu itu dan Dante sudah diperbolehkan untuk pulang.Pria itu menerbitkan senyuman tipis lalu mengangguk. “Nggak sih, Ta. Tadi habis muntah, tapi sekarang udah enakan, kok.” “Kamu yakin?” Dante hanya mengangguk. “Kenapa nggak bangunin aku, sih? Aku jadi nggak sempat nyiapin apa-apa buat kamu, kan?” gerutu Cintara. “Seriusan deh, Te, kenapa aku jadi mageran gini, ya?”“Nggak apa-apa, Ta. Lagian kamu
“Kata Kevin kalian habis dari Bogor tadi siang. Katanya kamu lagi ngidam asinan Bogor. Beneran?”Cintara mengerutkan keningnya sembari menoleh ke arah Dante yang sejak tadi fokus mengemudi lalu Dante terkekeh. Mereka sedang dalam perjalanan menuju ke Leanders Hospitals sore itu. “Kevin bilang sama kamu, ya?” Dante mendecak. “Padahal aku udah minta ke dia buat nggak ember.”“Iya. Dia bilang katanya diganggu sama kamu. Jadi beneran kamu lagi ngidam, ya?”“Ya gitu, Ta. Tadi aku emang dari Bogor sama Kevin. Entah kenapa pas sampai kantor aku pengen banget makan asinan Bogor. Dan karena Kevin juga ada janji klien ke sana, makanya sekalian deh, aku barengan sama Kevin.”“Astaga, Te. Kok bisa, sih? Apa ini ada hubungannya sama kamu yang muntah-muntah tadi pagi?”Dante mengedikkan bahu. “Mungkin. Kata Clara emang ada kejadian yang aku alami sekarang ini, Ta.” Dante meraih tangan Cintara ke dalam genggamannya. “Namanya kehamilan simpatik. Tadinya aku nggak percaya, terus akhirnya aku cari di
Dante dan Cintara tiba di rumah Kinnas saat waktu sudah menunjuk angka enam petang. Mereka disambut dengan senyum hangat dari Kinnas yang tampak penasaran dengan keadaan Cintara setelah pulang dari rumah sakit.“Ta? Mas?” Kinnas mengayunkan langkahnya menghampiri mereka lalu berhambur memeluk keduanya secara bergantian. “Mama minta maaf ya, Mas, Ta, maaf karena udah minta kalian buat datang. Tadi gimana kata Dokter Inggit?”“Nggak apa-apa, Ma.” Cintara menarik diri. “Kata dokter janinnya berkembang dengan baik.”Kinnas tampak berbinar senang. Pun begitu dengan Cintara yang tersenyum bahagia karenanya.Kinnas menggamit lengan Cintara lalu ketiganya melangkah melewati pintu. “Kamu nggak ngerasa mual atau gimana, Ta?”“Nggak, Ma. Entah harus bersyukur atau sebaliknya.” Cintara tersenyum. “Yang ngerasa mual malah Dante.”“Oh ya…? Kalian duduk dulu, ya? Biar Mama buatin teh kalian dulu.”Keduanya berjalan melewati pintu depan lalu melangkah menuju ruang tamu. Di sana sudah ada Tante Sheila
Dante dan Cintara melangkah keluar dari pesawat, merasa lega karena mereka telah mendarat dengan sempurna di Bandara Internasional Ngurah Rai, Bali. Benar saja, mereka akhirnya memutuskan untuk pergi ke Bali dalam rangka menuruti keinginan Dante yang terdengar impulsif. “Ini beneran kalian mau terbang ke Bali mendadak gini?” tanya Mama Kinnas saat sebelum mereka berangkat ke bandara siang tadi. “Cintara lagi hamil lho, Mas!” katanya. “Jangan capek-capek selama di sana ya, Ta. Mas Dante juga jangan sampai ngebiarin Cintara kecapekan. Iya, tahu Mas Dante yang ngerasa mual dan muntah, tapi kan anaknya di dalam perut Cintara. Jadi Cintara yang seharusnya nggak boleh capek-capek!” omel Mama Kinnas lagi. Setelah mengambil kopernya, keduanya melangkah melewati pintu kedatangan. Hal pertama yang mereka rasakan adalah hembusan angin tropis dengan langit cerah yang menghiasi. “Ini beneran kamu udah sewa mobil?” tanya Cintara saat keduanya melangkah meninggalkan pintu kedatangan. “Iya, Ta.
Setelah berkendara selama satu jam lamanya, akhirnya mereka tiba di kawasan Ubud. Langit sudah terlihat menggelap bersamaan dengan kabut yang mulai turun saat mereka tiba di villa.Setelah melakukan check in, Dante dan Cintara mengayunkan langkahnya menuju ke kamar. Cintara berjalan di depan dengan wajahnya yang antusias, sementara Dante menarik koper di belakangnya.Mereka akan menginap di Ubud selama dua hari, dan dua hari berikutnya mereka akan menginap di kawasan Seminyak.“Wah…” Cintara mengayunkan langkahnya masuk ke dalam villa, tatapannya memendar ke sekitar lalu melangkah mendekati balkon. Begitu pintu dibuka pemandangan pohon-pohon hijau yang menjulang tinggi menjadi pemandangan yang pertama kali dilihat Cintara. “Ini kamu nemu di mana, sih? Kok bisa kepikiran buat staycation di villa begini.”“Suka, nggak?” Dante melangkah menghampiri Cintara setelah menaruh koper. Tangannya lantas terulur, melingkar di pinggang istrinya dan mendekapnya dari belakang.“Nyaman dan tenang ban
CINTARA menggeliat di atas tempat tidurnya. Samar-samar udara dingin yang menyelinap masuk melalui jendela membuat perempuan itu terpaksa membuka matanya yang masih terasa lengket. Merasakan sekujur tubuhnya terasa remuk redam. Bahkan untuk sekadar bergerak saja, rasanya begitu sulit.Entah sampai pukul berapa akhirnya semalam mereka memutuskan untuk menghentikan kegilaan mereka. Jangan tanyakan apakah keduanya masih mengingat perkataan Inggit. Nyatanya Dante selalu punya cara untuk menunjukkan sebesar apa rasa cintanya kepada Cintara. Pun dengan Cintara yang tampak sengaja menggodanya hingga akhirnya Dante menyerah.Katanya, “Apa ini efek hormon?” desah Dante semalam. “Kamu atraktif sekali malam ini,” bisiknya sembari menggoyangkan pinggulnya.Perempuan itu mengulas senyum kecil. Bayangan bagaimana pria itu menatapnya dengan penuh cinta dan mendamba kembali membayang di kepalanya.Cintara menjulurkan tangannya ke samping, dirabanya tempat tidur di sebelahnya yang seharusnya ada suami
Dante berdiri gelisah di depan ruang IGD, langkahnya terus mondar-mandir tak menentu. Hatinya dipenuhi kecemasan akan keadaan Cintara yang sedang dirawat di dalam.Tak lama kemudian, pintu ruangan terbuka dan seorang dokter keluar dengan senyum tipis di wajahnya. Melangkah menghampiri Dante yang terlihat khawatir.“Dok, bagaimana kondisi istri dan janinnya? Dia baik-baik saja, kan?” tembak Dante tanpa basa-basi.“Bapak yang tenang, ya? Kondisi istri dan janinnya baik-baik saja. Benturan di bagian pinggulnya tidak mempengaruhi keadaan janinnya. Hanya saja, saya sarankan untuk pasien beristirahat total. Bu Cintara pasti syok sekali dengan keadaan yang menimpanya tadi. Jadi saya berharap, Anda bisa menenangkannya.”Dante merasakan lega luar biasa saat mendengar kabar baik tersebut. “Terima kasih, Dok. Sekarang boleh saya menemui istri saya?”“Boleh. Silakan. Kalau begitu saya permisi dulu.”Sepeninggal dokter itu, Dante segera melangkah menuju kamar tempat Cintara dirawat. Ketika pintu k
“Capek, ya?” tanya Dante saat keduanya sedang dalam perjalanan meninggalkan bandara.Mereka baru saja mendarat sempurna di Jakarta saat waktu sudah menunjuk angka dua siang. Beruntungnya Dante meninggalkan mobilnya di bandara, sehingga ia tidak perlu repot-repot mengendarai kendaraan umum.“Lumayan.” Cintara menyandarkan kepalanya di lengan Dante lalu mengulas senyuman kecil. “Kamu jadi mau ketemu sama Papa habis ini?” tanya Cintara.“Jadi, Ta. Nanti aku tinggal sebentar nggak apa-apa, kan?” tanya Dante sembari mengusap pipi Cintara yang terlihat sudah mulai chubby. “Ta…”“Mm? Kenapa?”“Gimana kalau untuk sementara waktu kita tinggal di rumah Mama aja?” tanya Dante tanpa memalingkan wajahnya dari depan.“Kenapa nggak di apartemen aja?” tanya Cintara.Dante menghela napas pendek. Ia menoleh sembari menggenggam tangan Cintara. “Setelah kejadian kemarin, aku nggak mau ambil resiko, Ta. Kamu tahu kan aku nggak bisa ninggalin kerjaan lama-lama, dan aku juga nggak bisa tenang kalau ninggali