Share

Pertemuan III

“Baik sekali Tuhan kepadaku. Ia mempertemukan aku kembali dengan Januar dalam wujud yang lebih muda,” suara serak Ali kembali mengisi perbincangan.

Zahir dan Binar serentak menoleh ke arah Ali. Manik mata mereka menemukan Ali yang sudut punggungnya mulai mengecil. Barangkali usia sudah menambahkan beban di sana hingga tubuh lelaki itu sedikit demi sedikit membungkuk setiap harinya.

Berbeda dari perbincangan sebelumnya, Ali saat ini terlihat lebih penuh emosi. Semilir angin jelang malam semakin membuat suasana sore itu menjadi sendu. Ali menatap Zahir dalam dan nanar. Berbeda dengan bibir keriputnya yang tersenyum lebar.

“Aku merasa sangat yakin aku dan Januar saling melemparkan candaan. Ternyata sekarang cuma tinggal aku.”

Zahir hanya menunduk. Bukan cuma dirinya yang kehilangan. Pria di depannya ini pasti tidak kalah kehilangan atas kepergian Januar. Sebab Ali dan Januar sudah bersama tidak kurang dari 30 tahun. Zahir tersenyum getir. Menenangkan hatinya yang kembali merindukan sang Ayah.

"Tapi mulai sekarang kita jadi impas, kan? Kamu bisa memanggil aku Ayah dan aku bisa melihat lagi sahabatku melalui kamu."

"Tentu saja tidak. Saya mendapatkan bonus seorang saudara yang cantik," kata Zahir berusaha kembali memunculkan kegembiraan.

"Kamu yakin mau menganggap gadisku ini saudara? Bukan yang lain?" goda Ali.

"Tentu saja... ma–maksudnya...," Zahir kebingungan sekaligus salah tingkah.

"Hahaha.... Kalaupun kalian berakhir bukan sebagai saudara aku akan tetap bahagia," Ali mengacungkan tangannya ke arah Zahir kemudian Binar.

"Ayah sudah!" seru Binar.

Binar menghela napas panjang, senyuman tidak bisa ia sembunyikan. Matanya sesekali melirik ke arah Zahir lalu ingatannya terbang ke belasan tahun lalu ketika gadis itu belum mengenal bagaimana rumitnya hidup. Bibirnya semakin melengkung seiring senyuman yang juga semakin besar.

'Kamu sudah menjadi laki-laki yang humoris tapi tidak pandai menyembunyikan merah wajah karena malu. Tidak pernah berubah sejak sebelas tahun lalu.'

"Ah! Mau Ayah beri tahu bagaimana kekonyolan kami jauh sebelum kalian lahir?" Ali membetulkan posisi duduknya menjadi lebih tegap—meskipun tidak sempurna.

Mata sedih Ali kembali menggebu, seirama dengan mulut keriputnya yang mulai mengulas kembali satu demi satu memorinya bersama Januar. Binar dan Zahir saling menatap sekilas, kemudian bersepakat untuk menyambut cerita-cerita Ali dengan antusias. Agar kalimat kerinduannya kepada Januar yang pedih milik Ali bisa tertawar dan berubah menjadi kisah menarik yang berharga untuk diceritakan.

“Dulu Januar tidak setinggi kamu. Ah, bahkan aku tiga senti lebih tinggi darinya,” ucap lelaki tua itu sambil memandangi Zahir dan Binar bergantian.

Zahir mengangguk membenarkan perkataan Ali. Sementara Binar terus melekatkan pandangannya pada mata Ali tanpa bergeming sedikitpun.

"Dulu umur kami sudah menginjak pertengahan 20-an tapi Januar masih yakin kalau dia bisa bertambah tinggi dan mengalahkan aku. Sampai-sampai hampir setiap hari dia berolahraga tapi tetap satu senti pun tidak bertambah!" ujar Ali dengan antusias.

Langit tiba-tiba saja sudah menjadi gelap dan air minum dalam cangkir Ali tidak lagi mengepul. Senja hari itu habis begitu saja bersama dengan dongeng Ali tentang kisah masa mudanya yang tidak terlupakan bersama Januar. Dua sahabat yang sudah bertemu sejak masih dalam kandungan dan terpaksa berpisah karena satu di antara mereka harus terlebih dulu pulang menemui Sang Agung.

"Aku dan Januar bagaikan satu jiwa yang berpisah menjadi dua sosok yang berbeda. Agaknya sedikit berlebihan aku berkata demikian, tapi begitulah kami semasa hidup. Ada kesepakatan bahwa apa yang aku miliki adalah miliknya juga, pun sebaliknya. Makanya sekarang kamu juga jadi anak milikku.”

Betul sekali, kata Zahir dalam hati. Pemilihan kata dan cara mereka merangkai kalimat juga mirip—nyaris identik. Sangat tepat kalau Zahir juga memanggil lelaki itu dengan panggilan yang sama dengan Januar.

"Seperti kembar identik yang perawakannya tidak identik, begitu kan?" jelas Zahir.

"Nyaris. Kami cuma sampai 'nyaris identik' saja untungnya. Dan ada satu yang tidak bisa kami miliki bersama...," Ali menggantungkan kalimatnya.

Baik Zahir maupun Binar mengernyitkan dahi. Menerka-nerka apa kira-kira hal yang tidak mereka miliki bersama? Betulkah masih ada yang tidak mereka bagi?

"..., ibu kalian. Kami juga sepakat untuk tidak saling meminjamkan ibu-ibu kalian kepada satu sama lain hahaha...."

Ah, tentu saja mereka tidak akan melakukan hal itu. Zahir dan Binar merasa sudah ditipu oleh ayah mereka.

"Bagaimana ya, mungkin butuh tiga hari tiga malam cuma untuk menyelesaikan cerita tentang aku dan Ayahmu. Hem...," Ali mengelus lehernya.

Lelaki paruh baya itu meraih cangkir berisi teh yang sudah hampir dingin untuk kemudian ia teguk beberapa kali untuk mengairi tenggorokannya yang agak lelah setelah bercerita. Tangan kirinya mengisyaratkan kepada Zahir untuk menikmati air minum yang disediakan untuknya juga.

"Teh hangatnya saya beri perasan jeruk. Sesuai permintaan tadi," kata Binar kepada Zahir.

Tangan Zahir menggenggam segelas teh jeruk sementara matanya memandang Binar. Ia kemudian mengangguk canggung. Zahir mendekatkan ujung gelas ke bibirnya. Sebelum betul-betul sampai, aroma teh yang dominan disertai wangi jeruk menyerang indera penciumannya. Tangannya berhenti. Zahir sudah menikmati minuman itu bahkan sebelum sempat mencicipi.

Di seberang meja Binar terus menatap Zahir yang tidak langsung menyesap tehnya. Bibir Binar bergerak gelisah, berharap agar idenya untuk membuat racikan dari teh dan jeruk bukanlah ide yang buruk. Semoga lelaki itu menyukai rasanya.

Zahir kembali menggerakkan tangannya setelah puas menikmati aroma teh dan jeruk di hidungnya. Ia menyesap hingga setengah lebih isi gelas masuk ke tubuhnya. Aroma tadi memang tidak menipu. Zahir menyukai minuman yang Binar buatkan untuknya.

"Wah! Putraku pasti sudah menahan haus dari tadi. Padahal kamu bisa minum duluan tanpa harus menunggu aku," kata Ali setelah melihat isi gelas Zahir yang sekarang sudah benar-benar hampir kosong.

Zahir berhenti meneguk teh jeruknya sebelum gelasnya kosong kemudian berkata sambil meletakkan kembali gelas di atas meja, "Minumannya sangat enak jadi tanpa sadar tahu-tahu sudah hampir habis saya minum."

Ali, Binar, dan Zahir kompak tertawa.

"Ayo kita masuk sebelum kaki kita digigit nyamuk," kata Ali yang masih menggenggam cangkir di tangan kanannya.

Keringat mereka sudah hilang dan kaki mereka juga sudah kembali bertenaga setelah menghabiskan sekitar setengah jam beristirahat di teras. Ali terlebih dulu berdiri kemudian berjalan memasuki rumah dilanjutkan dengan Binar di belakangnya. Gadis itu menoleh ke belakang untuk mengajak Zahir turut masuk dengan cara menganggukkan kepala.

"Karena hari ini ada tamu spesial jadi kita harus rayakan dengan makan malam di atap." Ali berjalan sambil sesekali menengok ke belakang.

Zahir mengikuti Ali dan Binar di belakang mereka dengan gelas di tangannya. Tepat setelah melewati ambang pintu Zahir nyaris terjerat tali sepatunya sendiri yang tanpa ia sadari rupanya sudah terlepas dari tadi. Lelaki itu lalu membungkuk dan meletakkan gelas di lantai.

Beberapa koin turun mengikuti arah gravitasi dan membentur permukaan lantai. Suara ramai tiba-tiba saja terdengar karena hampir semua kepingan uang koin Zahir terjun dari kantong bajunya ke lantai rumah Ali. Suara itu sontak membuat Ali dan Binar menengok.

"Duh...," keluh Zahir.

Ia buru-buru berjongkok dan mengumpulkan lagi belasan koin berwarna emas dan perak yang sudah berserakan di lantai. Yang tadinya ia akan gunakan untuk 'membungkam' pengamen malah berkhianat dan 'membungkam' pemiliknya. Kepalang malu hingga tidak bisa berkata apa-apa. Zahir tidak mau mengulang kesalahan. Ia memasukkan seluruh uang receh yang baru ia pungut dari lantai ke dalam tas....

Zahir baru sadar kalau ia lupa membawa tas ranselnya masuk. Ia menggaruk pelipisnya yang tiba-tiba saja gatal dan kembali mengumpulkan seluruh koin yang sudah nyaris memenuhi satu genggam tangannya.

Binar mati-matian menahan tawa hingga matanya ia pejamkan rapat-rapat dan bibirnya ia lipat ke dalam mulut. Ia menggesek-gesekkan punggung telunjuknya ke hidung. Saat matanya kembali terbuka ia masih saja mendapati situasi lucu yang Zahir sedang lakukan. Lelaki itu menoleh ke kanan lalu ke kiri dan menghela napas sangat panjang tanpa menegakkan kepala.

Sementara itu Ali sudah tertawa sejak suara hantaman koin di atas lantai pertama kali sampai di telinganya. Ia menggeleng kecil kemudian melanjutkan perjalanannya menuju ke salah satu ruangan yang ada di dalam rumahnya.

"Ada-ada saja kamu ini," kata Ali.

Zahir tersenyum kecut merenungi kebodohannya. Ia beranjak dan segera melangkah kembali ke teras untuk mengambil ranselnya. Kaki Zahir sudah menendang gelas yang ia taruh di lantai tadi jika saja Binar tidak dengan cekatan berlari dan meraih gelas dengan sedikit air di dalamnya itu.

Zahir terkejut. Ia juga hampir melayangkan kakinya ke tubuh Binar tanpa disengaja. Pemuda itu refleks menjauhkan tubuhnya sepanjang satu langkah. Dua dari segenggam uang koin Zahir kembali terjatuh karena gerakan barusan.

"Hati-hati," kata Binar lirih untuk meredam tawanya yang masih terus mendesak mau keluar.

Selain gelas Binar juga mengambil dua keping uang Zahir yang jatuh lagi. Zahir buru-buru membungkuk namun Binar sudah terlebih dulu berdiri dan menyodorkan tangannya ke arah Zahir. Binar meletakkan uang yang baru saja ia ambil ke dalam genggaman Zahir. Sementara gelasnya tidak Binar berikan karena tahu kalau Zahir akan kesulitan membawanya. Zahir mengangguk canggung sementara itu Binar tersenyum tertahan.

"Terima kasih," kata Zahir.

Mata Zahir dan Binar bertemu. Tidak seperti dalam cerita fiksi yang akan membiarkan dua pasang mata bertemu selama beberapa saat untuk saling menukar kekaguman atau perasaan-perasaan lainnya, mereka sama-sama langsung mengelak.

Bertukar perasaan dan segala emosi di dalam hati tidak melulu lewat mata yang saling berpandangan tanpa henti. Bisa jadi mereka melalui isyarat lainnya seperti gerakan-gerakan tubuh yang canggung, ekspresi yang ditahan, atau suara yang menyangkut di tenggorokan dan tidak mampu keluar dengan utuh. Seperti Zahir dan Binar.

Sebuah pertemuan yang terjadi antara terencana dan tidak direncanakan; sejak terang, remang, hingga gelap yang diterangi; dari kaki sampai hati.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status