Share

Bab 7

Author: Zahira
Daman mengerutkan kening dan terlihat serbasalah. "Adina, jangan ikut campur. Ayo kita pergi."

"Ayah, tolong selamatkan dia."

"Nggak!"

"Huh! Kalau kamu nggak mau, aku yang akan melakukannya," kata Adina. Kemudian, dia hendak langsung melompat ke laut untuk menyelamatkan pria itu.

"Hei!" Daman segera menariknya. "Iya, iya, biar aku saja yang selamatkan dia. Kamu tunggu saja di sini."

Daman memelototi putrinya, lalu mengambil pelampung, melompat ke laut, dan berenang menuju pria itu. Sesaat kemudian, dia menyeret pria itu ke dek kapal nelayan. Setelah mereka berdua memberikannya pertolongan pertama, pria itu akhirnya sadar kembali.

"Uhuk, uhuk!" Pria itu terbatuk hebat dan memuntahkan beberapa teguk air laut. Kemudian, matanya perlahan-lahan terbuka.

Adina duduk di dek dan menatapnya dengan mata terbelalak. Jantungnya berdebar kencang. Bagaimana mungkin ada pria setampan ini ada di dunia? Bahkan wajah yang pucat dan basah kuyup juga tidak mampu menyembunyikan ketampanan dan wibawanya.

"Gimana perasaanmu sekarang?" Adina mencoba mendekatinya, tetapi ayahnya menariknya menjauh.

"Ayah, kenapa kamu menarikku?"

"Kamu berdiri saja di belakang. Ada yang mau kutanyakan pada orang ini."

"Ayah!" protes Adina.

"Diam!" Daman meninggikan suaranya.

Adina mendengus dan berdiri patuh di belakang ayahnya.

Daman menatap pemuda itu dengan tajam. "Siapa kamu? Kenapa kamu bisa terombang-ambing di tengah laut?"

Pria itu melihat ke sekeliling dengan bingung. Kepalanya terasa luar biasa sakit.

"A ... aku nggak ingat ...." Suaranya terdengar serak dan lemah.

"Nggak ingat?" Daman menatapnya dengan waspada. "Kamu lagi sandiwara? Kuperingati kamu, kalau kamu berani punya niat jahat, aku nggak akan ampuni kamu."

"Ayah, dia baru sadar. Pikirannya pasti masih kacau. Bisa nggak kamu jangan galak begitu ke dia?"

Adina memelesat keluar dari belakang ayahnya seperti seekor ikan, lalu mengadang di depan pria itu.

"Sekarang, dia perlu istirahat. Kalau kamu masih ada pertanyaan lain, tanyakan saja lagi setelah dia cukup istirahat."

Melihat putrinya yang begitu tergila-gila pada pria itu, Daman langsung marah. "Dasar kamu ini! Kamu benar-benar .... Ya sudahlah. Pokoknya, aku akan lapor polisi begitu kita kembali, lalu serahkan dia ke kantor polisi. Aku nggak akan peduli sama hal lain."

Wajah Adina dipenuhi keengganan, tetapi dia tidak mengatakan apa-apa lagi.

Daman mengakhiri rencana memancing hari ini lebih awal, lalu memutar kembali kapal mereka ke Pulau Amo.

Adina mengeluarkan beberapa pakaian ganti untuk pria itu dan menuangkan secangkir teh hangat untuknya.

"Nih. Hati-hati, masih panas."

"Terima kasih," ucap pria itu sambil menerima tehnya.

Adina bertanya, "Kak, kamu benar-benar nggak ingat apa-apa?"

"Aku ...." Dia melihat ke sekeliling, seolah-olah mencoba mengingat sesuatu. Namun, dia malah sakit kepala lagi. Dia memegangi kepalanya dan mengerang kesakitan.

"Kamu baik-baik saja?" tanya Adina dengan gugup. "Kalau nggak ingat lagi, ya lupakan saja. Jangan dipaksa."

Melihat pemandangan ini, Daman hanya menggeleng berulang kali. Anak perempuan yang sudah besar memang tidak bisa dikekang lagi. Begitu melihat pria tampan, dia langsung bersikap seperti sudah kehilangan jiwanya. Sebagai seorang ayah, dia bahkan tidak pernah diperlakukan seperti itu.

Selama beberapa menit berikutnya, Adina menatap pria itu dan sepenuhnya terpesona. Tiba-tiba, sebuah ide terlintas di benaknya. Matanya langsung berbinar. Dia berdiri, lalu berlari ke arah ayahnya dan berbisik di telinganya. "Ayah, gimana kalau kita jangan lapor polisi?"

Daman pun terkejut. "Mana bisa begitu!"

"Kenapa nggak?" Adina mengangkat sebelah alisnya. "Bukannya kamu selalu bilang kita kekurangan orang yang bisa bantuin kita? Lihat saja otot-ototnya. Dia pasti adalah seorang pria yang kuat dan bisa bantu kerjaan kita."

Daman menoleh dan menatap pria itu. Setelah berpikir sejenak, dia akhirnya mengangguk setuju. "Baiklah kalau begitu."

"Baguslah!"

Adina begitu gembira hingga hampir melompat, tetapi mau tak mau harus menahannya karena masih berada di atas kapal.

Akhirnya, ayah dan anak itu membawa si pria pulang. Mereka menamainya Cakra dan memperlakukannya seperti keluarga. Sementara itu, Cakra juga perlahan-lahan terbiasa dengan kerasnya kehidupan di pulau itu.

Awalnya, Adina sedikit terintimidasi oleh kakak laki-laki yang pendiam dan matanya sesekali berkilat tajam. Namun, karena dia begitu tampan, Adina tak dapat menahan diri untuk tidak mendekat. Secara perlahan, rasa takutnya pun memudar.

Selain itu, Cakra juga jago dalam berkelahi. Sejak Cakra tinggal di rumah mereka, dia pun memberi pelajaran kepada semua orang yang menindas Adina dan Daman hingga tak seorang pun berani menindas keluarga mereka lagi.

Namun, Cakra hanya menganggap Adina sebagai adik dan tetap acuh tak acuh terhadap pernyataan cintanya. Namun, itu tidak masalah. Bagaimanapun juga, mereka akan bersama selamanya. Jadi, status mereka tidaklah penting.

Selama lebih dari tiga tahun ini, Adina menganggap Cakra sebagai calon suaminya. Setelah kematian ayahnya, dia bahkan menganggap Cakra sebagai sandaran hidupnya.

Sekarang, Adina malah diberi tahu bahwa nama asli Cakra adalah Christian Pradipta. Dia juga memiliki tunangan serta seorang putra, dan bukan lagi miliknya seorang. Semua ini terjadi begitu mendadak dan mengejutkan hingga dia benar-benar kewalahan.

"Adina, apa makanannya nggak sesuai seleramu?" tanya seseorang dari samping dengan lembut dan penuh perhatian.

Adina pun tersadar kembali. Melihat senyuman Finella yang terlihat layaknya nyonya rumah, rasa kesal tiba-tiba membuncah di hatinya. "Nggak."

"Emm. Kalau ada yang pengen kamu makan lain kali, beri tahu Bi Siti saja. Dia akan kasih tahu orang dapur ...."

"Nggak usah!" sela Adina dengan nada yang tidak bersahabat. "Aku nggak pilih makan. Lagian, cuma sarapan kok. Yang penting bisa kenyang. Aku dan Kakak nggak pernah pilih-pilih dalam hal seperti itu."

Finella pun tertegun, tetapi tidak mengatakan apa-apa dan hanya lanjut makan.

Christian tiba-tiba angkat bicara, "Adina, Nella juga cuma perhatian padamu. Kamu nggak seharusnya bersikap begitu."

Adina pun tersentak. Ini sudah yang kedua kalinya kakaknya memarahinya karena wanita ini. Dia merasa sangat dirugikan sehingga langsung berbicara tanpa pikir panjang.

"Apa yang salah dengan sikapku? Yang kubilang itu fakta. Aku memang nggak pilih-pilih makanan, apa aku harus dimarahi gara-gara itu?"

"Adina!" Nada suara Christian tiba-tiba menjadi dingin.

"Cukup, aku sudah kenyang," Adina meletakkan peralatan makannya dan berujar, "Kalian lanjut makan saja, aku nggak akan ganggu kalian lagi. Kalau nggak, aku akan dimarahi untuk yang ketiga kalinya."

Setelah itu, Adina pun berlari pergi.

Finella melirik Christian dari sudut matanya. Dia menemukan bahwa ekspresi Christian tetap terlihat datar dan dia hanya lanjut menyuapi putra dalam pangkuannya.

"Papa, apa Bibi Adina marah?"

"Nggak, dia cuma sudah kenyang."

Zeze mengangguk, lalu tersenyum sambil mengusap perutnya yang buncit. "Papa, aku juga sudah kenyang."

Christian menatap pengasuh di sebelahnya dan memberi isyarat agar dia membawa Zeze pergi.

Di dalam ruang makan, hanya tersisa Finella dan Christian.

Setelah kenyang, Finella meletakkan peralatan makannya dan berujar, "Chris, bisa nggak kamu ceritakan sedikit tentang Adina? Aku mau pahami dia supaya bisa mengurangi konflik waktu interaksi sama dia kelak."

Christian menjawab tanpa mendongak, "Nggak usah. Kamu nggak perlu pedulikan dia. Sifatnya memang begitu. Dia akan baik dengan sendirinya."

Finella pun merasa bingung. Ini sangat aneh. Kenapa Christian bersikap begitu dingin dan acuh tak acuh terhadap penyelamatnya?
Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Tenang, Bos, Aku Cuma Mau Hartamu   Bab 100

    Hera tidur sampai terbangun secara alami. Dia berbaring di tempat tidur cukup lama sebelum perlahan-lahan keluar dari balik selimut.Rambut panjang berwarna merah anggur Hera terlihat acak-acakan. Dia meregangkan badannya dan tali bahunya pun melorot di kulit mulusnya. Separuh bahunya yang seputih salju terpampang di luar. Bahunya dihiasi beberapa bekas ciuman yang terlihat mencolok di kulitnya yang putih.Semalam, Hera dan Robin bergulat hingga larut malam sebelum akhirnya berhenti. Anak muda memang berbeda. Selain berstamina tinggi, setelah diberi sedikit instruksi, mereka langsung paham, juga dapat mengembangkannya.Hera mengikat rambutnya, lalu keluar dari kamar tidur tanpa alas kaki dengan masih mengenakan gaun tidurnya. Begitu keluar, dia langsung mendengar bunyi dentingan spatula dan aroma samar telur goreng."Harum banget!"Mengikuti aroma itu, dia menemukan Robin sedang menggoreng telur dengan mengenakan celemek merah mudanya."Kak, kamu sudah bangun?" Robin menoleh dan tersen

  • Tenang, Bos, Aku Cuma Mau Hartamu   Bab 99

    Yunita menunduk dan tidak menyahut. Melihat tampangnya itu, Sarah juga tidak tega memarahinya lagi. Mereka berdua berjalan beriringan di trotoar yang dingin tanpa mengatakan apa-apa lagi.Kemudian, Sarah tiba-tiba teringat foto itu dan berkata, "Oh iya, ada sebuah hal yang nyaris kulupakan. Ada selembar foto yang jatuh keluar dari tas nenek sihir itu. Gadis di foto itu mirip banget sama Nyonya Finella!"Langkah Yunita terhenti sejenak. Dia langsung menoleh dan bertanya, "Apa katamu? Nyonya Finella?""Emm, gadis itu mirip banget seperti Nyonya Finella, terutama sepasang matanya yang begitu jernih dan berkilau."Tidak heran juga Sarah langsung mengenalinya. Finella memiliki wajah yang sangat mudah diingat."Coba ceritakan dengan lebih spesifik lagi." Yunita bertanya sambil mendekat, "Apa isi foto itu?"Sarah berpikir sejenak. "Foto itu terlihat cukup tua. Lingkungannya mirip desaku. Nggak, kayaknya bahkan lebih miskin dan terbelakang daripada desaku. Gadis itu baru berusia sekitar 17-18

  • Tenang, Bos, Aku Cuma Mau Hartamu   Bab 98

    Pelipis Yunita tidak berhenti berdenyut, tetapi dia tetap bersikeras berkata, "Terserah kamu mau percaya atau nggak. Aku akan anggap aku lagi sial, kalian nggak perlu ganti rugi. Sekarang, cepat tinggalkan tempat ini!"Sarah memanfaatkan pertengkaran itu dan menyelinap ke belakang, lalu mengambil tas Jenny yang diletakkan di atas meja kopi. Setelah itu, dia membuka tas itu dan menuang keluar isinya. Ada setumpuk barang gratis yang berhamburan keluar, termasuk syal Hermes itu."Ini syalnya!"Saat hendak mengambil syal itu, mata Sarah menangkap sebuah foto lama yang jatuh di atas meja. Itu adalah foto seorang gadis remaja yang berusia sekitar 18-19 tahun.Gadis itu terlihat sangat cantik, bagaikan bidadari yang turun ke dunia fana dan sama sekali tidak cocok dengan lingkungan kumuh di sekitarnya. Namun, kenapa gadis itu terlihat familier?Sebelum Sarah sempat bereaksi, Jenny sudah menerjang ke arahnya dan mendorongnya."Dasar anak nggak berpendidikan! Beraninya kamu geledah tasku! Aku ak

  • Tenang, Bos, Aku Cuma Mau Hartamu   Bab 97

    "Mikkel dan kamu sudah pacaran tujuh tahun, tapi kamu malah mau lapor polisi untuk menghancurkannya hanya karena uang sesedikit itu!" umpat Jenny.Sarah mengejek, "Cih! Kalau cuma sedikit, kenapa kamu nggak bayar? Sudah nggak bayar, kamu masih berani bersikap searogan ini!"Jenny memelototi Sarah dan berseru, "Apa urusannya itu denganmu? Kamu itu cuma orang luar! Memangnya kamu punya hak untuk ikut campur?"Sarah memutar bola matanya. "Dasar nenek sihir! Orang luar di sini itu kamu dan putramu!""Lagian ...." Sarah berhenti sejenak sebelum menambahkan, "Kamu itu juga pencuri!""Apanya yang pencuri? Apa yang kucuri?" Kerutan di wajah Jenny terlihat makin jelas lagi karena marah. "Jangan asal bicara! Dasar anak nggak berpendidikan!"Sarah juga sudah sepenuhnya marah karena dimaki. Dia meninggikan suaranya dan berseru, "Kamu sudah curi syal Hermes Yunita!""Omong kosong!" Jenny mengentakkan kaki dengan marah. Jarinya hampir menusuk hidung Sarah. "Memangnya aku begitu nggak ada kerjaan sam

  • Tenang, Bos, Aku Cuma Mau Hartamu   Bab 96

    Yunita berdiri dengan tangan terlipat di depan dada. "Ini apartemen sewaanku, kenapa aku nggak boleh kembali?"Jenny masih berujar dengan percaya diri, "Memangnya kenapa kalau ini apartemen sewaanmu? Berhubung kamu sudah pindah keluar, jangan harap kamu bisa kembali lagi."Yunita mencibir, "Boleh saja kalau mau aku pindah, tapi kalian harus kembalikan uang sewanya dulu kepadaku. Aku sudah bayar uang sewa enam bulan terakhir dan masih ada sisa tiga bulan. Totalnya 18 juta.""Selain itu, putramu masih berutang setengah biaya sewa sebelumnya, yaitu 9 juta. Mengenai tagihan listrik, air, dan yang lain, aku malas menghitungnya dengan kalian. Kalian bayar saja aku 27 juta."Sarah mengingatkannya, "Yunita, jangan lupa sama uang deposit.""Oh iya, aku hampir lupa. Karena aku sudah nggak tinggal di sini lagi, nggak seharusnya juga aku yang bayar uang depositnya. Jadi, kalian juga harus kembalikan uang deposit sebesar 20 juta itu. Totalnya jadi 47 juta."Yunita mengeluarkan ponselnya dan membuka

  • Tenang, Bos, Aku Cuma Mau Hartamu   Bab 95

    Gadis itu mengambil hot pot yang telah dibungkus dari tangan pemilik toko, lalu hendak pergi.Melihatnya hendak pergi, Mikkel buru-buru meraih bahunya. "Tunggu! Berhenti!"Gadis itu seketika berteriak ketakutan dan wajahnya terlihat panik. "Mau apa kamu?"Mikkel akhirnya melihat jelas wajah gadis itu. Dia sama sekali tidak mirip dengan Jayleen. Baru saja Mikkel hendak melepaskan gadis itu, kejadian ini kebetulan disaksikan oleh pacar si gadis yang sedang membeli teh susu di sebelah. Dia pun meletakkan teh susunya dan bergegas menghampiri pacarnya, lalu mendorong Mikkel."Apa-apaan kamu!"Mikkel yang lengah pun terdesak mundur beberapa langkah. Hal ini membuat banyak pejalan kaki berhenti untuk menyaksikan keributan. "Mikkel! Kamu baik-baik saja?" Jenny bergegas menghampiri Mikkel dan menopangnya.Mikkel mengusap bahunya yang sakit, lalu memelototi pria yang mendorongnya.Jenny memelototi pasangan itu. "Apa-apaan kalian? Kalau putraku terluka, aku pasti akan lapor polisi untuk tangkap

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status