Rosaline mengawali hari ini dengan tak bersemangat setelah semalam ia sempat beradu mulut dengan Adhikari. Masalah yang menurutnya sepele ternyata malah membuat Adhikari semarah itu padanya.
“Rose, kenapa sih? Ada masalah?” tanya Dini.
Rosaline menggelengkan kepalanya untuk menjawab pertanyaan temannya itu.
“Terus kenapa dari tadi tuh makanan cuma kamu aduk-aduk aja? Kalau tuh makanan bisa ngomong dia pasti marah. Soalnya makanan itu pasti udah pusing dari tadi amu aduk puter-puter tanpa kamu makan,” ucap Dini.
“Adhi marah sama aku, Din,” sahut Rosaline lesu.
“Loh kenapa?”
“Gara-gara semalam.”
“Semalam kenapa?”
“Adhi marah gara-gara omongan teman-teman kita tadi malam. Katanya dia malu dengan dirinya sendiri yang nggak sepadan sama aku. Entahlah Din, aku malah pusing,” keluh Rosaline.
“Tapi iya sih kalau menurutku kalian emang bagaikan langit dan bumi. Kamu langitnya dia buminya. Kalian jauh banget. Ya menurutku kalau Adhi mau sepadan sama kamu seenggaknya Adhi harus pindah kerja. Dia harus cari kerjaan lain yang bisa membuat dia jadi lebih pantas kalau disandingkan sama kamu.”
“Itu dia, Din. Aku udah coba tawarin kerjaan lain yang lebih bagus dari pada kerjaannya yang sekarang tapi Adhi terus nolak. Aku juga udah bilang gitu tadi malam, tapi Adhi malah semakin marah.”
“Nanti coba kamu ngomong baik-baik lagi sama dia.”
“Sebenernya Mama sama Papa udah minta aku buat seriusin hubungan aku sama Adhi. Tapi mana mungkin bisa kalau Adhinya sendiri juga belum mapan. Itu juga yang membuat aku bujuk dia supaya mau pindah kerja ke kerjaan yang aku carikan. Kalau gajinya lumayan seenggaknya dia kan bisa nabung buat masa depan kita nanti, Din.”
“Iya juga ya. Ya udah kalau gitu nanti coba kamu omongin lagi sama dia,” sahut Dini.
“Iya.”
“Sekarang buruan dimakan, nanti keburu jam istirahatnya habis,” ucap Dini.
Rosaline menarik nafasnya dalam-dalam lalu menghembuskan perlahan, setelah itu barulah ia mulai menyuapkan makanannya.
***
Pulang dari kantor Rosaline sengaja mampir ke rumah Adhikari. Ia ingin meminta maaf dan membicarakan soal tawaran pekerjaan darinya itu.
“Permisi ....”
“Iya,” sahut suara seorang wanita dari dalam rumah. “Rosaline?”
“Hai, Kak Ivana.” Sapa Rosaline lalu memeluk wanita yang tampak sedang berbadan dua itu.
“Ayo masuk,” ajak Ivon setelah ia mengurai pelukannya.
Rosaline tersenyum manis pada Ivana. “Adhi di rumah kan, Kak?”
“Iya. Adhi ada di kamarnya. Kamu langsung naik gih sana. Lagi nggak ada orang di rumah, Mas Badrika belum pulang kerja. Mama sama Papa juga lagi pergi kondangan,” sahut Ivana.
“Aku tunggu di ruang tamu aja deh, Kak,” sahut Rosaline. Ia tak nyaman bila memasuki kamar pria, terlebih pria itu adalah pacarnya.
“Aku malas naik buat manggil Adhi. Kamu ke atas sendiri nggak pa-pa ya, hamil besar gini aku susah jalan,” sahut Ivana.
“Tapi Kak, apa nggak pa-pa kalau aku masuk ke kamarnya Adhi?” tanya Rosaline ragu.
“Ya nggak pa-pa dong, kamu kan pacarnya. Tunggu sebentar aku buatin minum dulu biar bisa kamu bawa ke atas sekalian. Tolong ya, Rose,” ucap Ivana seraya menatap Rosaline dengan pandangan memelasnya.
“Iya deh.” Rosaline mengiyakan permintaan Ivana karena ia juga tak tega jika harus meminta Ivana dengan perut besarnya naik turun tangga hanya untuk memanggil Adhi.
“Ya udah aku ke dapur bentar.” Ivana berjalan menuju dapur, sedangkan Rosaline duduk di ruang tengah.
“Ini Rose, minum kalian udah jadi.” Ivana berjalan dengan membawa satu nampan berisi dua gelas es jeruk dan satu piring kue.
“Makasih, Kak.” Rosaline menerima nampan itu.
“Sama-sama. Kalau ada butuh sesuatu kamu bilang ke aku di bawah ya.”
“Kamarnya yang mana, Kak?” tanya Rosaline karena meski ia kerap datang ke rumah ini tapi ia tak pernah masuk ke kamar Adhi.
“Kamar kedua.”
“Iya, aku naik dulu ya, Kak.”
Rosaline menaiki anak tangga dengan membawa nampan itu. Ia berjalan menuju kamar Adhi seperti yang Ivana arahkan padanya tadi.
Tok tok tok.
“Masuk!”
Setelah mendengar sahutan dari dalam kamar, Rosaline baru membuka pintunya tapi ia sedikit kewalahan membuka pintu karena dua tangannya yang memegang pinggiran nampan. Setelah membuka pintu ia melihat jika kekasihnya itu sedang berbaring di atas ranjang dengan bertelanjang dada dan hanya memakai celana pendek. Melihat pemandangan yang tak biasa itu membuat jantungnya berpacu lebih cepat dari biasanya. Bahkan saat ini ia sudah merasa kekurangan oksigen.
“Adhi.”
Merasa mengenal suara itu, Adhi langsung berjengkit kaget dengan langsung mendudukkan tubuhnya.”Rose?!”
Rosaline tersenyum canggung, ia meletakkan nampan yang ia bawa ke atas meja nakas. Setelah itu ia hanya berdiri di tempat karena tak tahu harus mendudukkan dirinya di mana.
“Adhi, kamu nggak mau pakai baju dulu gitu?” lirih Rosaline.
Adhi langsung berjengkit kaget. Ia sampai tak sadar bahwa saat ini ia hanya sedang memakai celana tanpa menggenakan baju.
“I—iya, aku pakai baju dulu.” Adhikari langsung berjalan menuju lemarinya dan mengambil sembarang pakaian dari dalam lemarinya.
“Kamu duduk dulu, Rose. Aku nggak tahu kalau kamu sampai datang ke kamar aku.” Adhi juga merasa cangung dengan kondisi mereka berdua sekarang ini.
“Kak Ivana yang nuruh aku naik ke kamar kamu.” Akhirnya Rosaline mendudukkan dirinya di pinggiran ranjang.
“Oh iya, kamu ada apa sampai datang ke sini?” tanya Adhi ramah. Berkat kegugupan dan kecanggungannya tadi hingga membuat ia lupa akan kemarahannya dengan Rosaline.
“Aku mau minta maaf sama kamu soal kejadian kamarin malam.”
Adhikari duduk di sebelah Rosaline.
“Aku udah maafin kamu.”
“Beneran?”
“Iya. Tadinya aku masih marah sama kamu, tapi melihat kamu yang udah bela-belain datang ke kamar aku sama bawa minum segala akhirnya aku maafin kamu,” ucap Adhikari.
“Makasih ya, Dhi.” Tanpa sadar Rosaline kini malah menggenggam tangan Adhikari. Merasa sikapnya berlebihan akhirnya ia kembali menarik tangannya. Tapi saat akan ia tarik ternyata tangan Adhikari kini malah gantian menggenggam tangannya.
“Harusnya kemarin aku nggak melampiaskan kemarahan aku sama kamu. Aku harusnya bersyukur karena punya pacar sebaik dan seperhatian kamu, Rose.” Adhi mengecup tangan Rosaline dengan penuh rasa sayang.
“Adhi, jangan kayak gini. Nanti takutnya ada yang lihat.” Rosaline buru-buru menarik tangannya dari genggaman tangan Adhikari.
“Kamu mau aku tutup pintunya?” tanya Adhikari.
“Jangan! Nanti dikiranya kita malah ngapa-ngapain lagi,” sahut Rosaline.
“Emangnya kita mau ngapain?” goda Adhikari seraya tersenyum.
“Apaan sih kamu!” Rosaline kembali menggunakan tangannya. Kali ini ia menggunakan tangnnya untuk mendorong tubuh Adhikari. Namun siapa sangka, Adhikari dengan cepat menangkap tangannya dan kembali membawa tangannya itu ke permukaan bibir Adhikari. Adhikari kembali mengecup punggung tangan Rosaline.
“Rose, aku sebenernya juga pengen ngrasain pacaran kayak orang-orang. Mesra-mesra sama pacar, romantis-romantisan, tapi kamunya yang selalu menghindar.”
“Adhi, jangan gini ah. Aku malu,” lirih Rosaline.
Adhi semakin mendekatkan tubuhnya ke arah Rosaline hingga kini wajah mereka hanya berjarak beberapa centi saja. Tapi Rosaline langsung berdiri menghindari Adhikari yang tampak ingin menciumnya.
“Aku ke sini juga mau ngomongin masalah kerjaan yang baru buat kamu,” ucap Rosaline dengan sedikit gugup. Ia sampai malu menatap wajah Adhikari hingga kini ia terpaksa berdiri membelakangi Adhikari.
“Iya ... terus?”
“Adhi,” lirih Rosaline tertahan karena sepasang lengan kokoh kini membelit tubuhnya dari arah belakang.
“Aku mau pastikan kalau kamu setuju sama tawaran itu.” Rosaline mencoba membenbaskan dirinya dari belitan tangan Adhikari.
“Tentu saja. Sekarang aku setuju,” bisik Adhikari di telinga Rosaline.
“Adhi, hentikan!” Seru Rosaline seraya kembali menggerakkan tubuhnya agar segera terbebas dari kekasihnya itu.
Adhi mendesah lelah, ia mengalah dengan melepaskan Rosaline begitu saja.
“Kalau gitu nanti aku bantu masukin lamaran kamu ya. Data diri kamu kirim aja ke email aku. Kalau gitu aku pulang dulu ya,” ucap Rosaline gugup.
“Kenapa buru-buru pulang? Kamu juga belum minum kan,” ucap Adhikari.
“Aku buru-buru soalnya kan harus segera ngirim lamaran kamu,” sahut Rosaline.
“Iya, setelah ini aku juga bakal nglamar kamu,” imbuh Adhikari seraya tersenyum pada Rosaline.
Mendengar itu tentu saja Rosaline juga ikut tersenyum. Dengan begitu artinya Adhikari tak hanya ingin bermain-main dengannya.
“Iya, aku tungu lamaran dari kamu,” sahut Rosaline seraya tersenyum.
“Aku ... aku pulang dulu,” pamit Rosaline.
“Aku antar kamu sampai depan.”
“Iya.”
Adhikari berjalan beriringan dengan Rosaline menuruni anak tangga.
“Rose,” sapa Ivana saat ia melihat Rosaline dan adik iparnya menuruni anak tangga.
“Kak Ivana, aku pulang dulu ya,” pamit Rosaline.
“Loh kok buru-buru?”
“Iya, Kak. Soalnya masih banyak yang harus aku kerjakan di rumah.”
“Ya udah, hati-hati,” ucap Ivana.
Rosaline mengangguk lalu kembali meneruskan langkahnya keluar rumah. Adhikari mengantar Rosaline sampai kekasihnya itu melajukan mobilnya meninggalkan pelataran rumahnya.
“Kak Ivan, kenapa pakai nyuruh Rose masuk ke kamar aku segala?” tanya Adhikari saat ia sudah masuk kembali ke rumah dan menemui kakak iparnya itu.
“Ya habisnya aku malas naik. Emang kenapa?” goda Ivana di akhir kalimatnya.
“Aku kan laki-laki normal, Kak. Ada perempuan cantik masuk ke kamarku apa nggak bikin pengen ngakuin yang enggak-enggak,” sahut Adhikari.
“Haahahaha ... terus tadi ngapain aja sama Rose?” tanya Ivana.
“Mana bisa ngapa-ngapain, orang aku pegang tangannya aja dia langsung balik ketakutan,” sahut Adhikari dengan nada frustasinya. Hal itu tentu saja malah membuat sang kakak ipar menjadi tertawa.
“Aku bilangin ke Mama Papa baru tahu rasa kamu pegang-pegang tangan perempuan di dalam kamar!” seru Ivana yang masih ingin terus melancarkan godaannya.
“Sana gih, biar dinikahin sekalian,” sahut Adhikari.
“Jadi ceritanya udah kebelet nih?!” Ivana semakin gencar menggoda adik iparnya itu.
“Kebelet sih udah, tapi keadaan sama duitnya yang belum bisa diajak kebelet,” dengus Adhikari. Ia lalu berjalan menuju ke kamarnya kembali.
***
Adhikari dan Rosaline sudah tak sabar menantikan kelahiran buah hati mereka yang kedua. Setelah di USG diketahui saat ini Rosaline sedang mengandung bayi perempuan. Kamar dan pernak-perniknya sudah mereka persiapkan setelah usia kandungannya lebih dari tujuh bulan.Seperti yang Rosaline alami saat kehamilan pertamanya dulu, kini dikehamilannya yang kedua ia juga mengalami morning sickness yang berlebihan sampai usia kandungannya empat bulan, setelah itu ia sudah kembali normal meski terkadang ia juga merasakan pusing dan mual.Di usia kehamilan Rosaline yang ke delapan bulan ini ia senang sekali jika perutnya diusap oleh sang suami. Tentu saja Adhikari tak menolak karena ini adalah hal yang baru baginya.Dulu Adhikari tak melihat perkembangan Abrisam saat masih ada dalam kandungan Rosaline, untuk itu di kehamilan kedua istrinya ini ia tak ingin jauh-jauh dari Rosaline. bahkan setiap harinya selambat mungkin ia akan pergi ke kantor lalu saat sore hari secep
Hari cepat sekali berlalu, tak terasa sudah empat bulan Rosaline kembali ke tanah air dan kembali menjalin hubungan dengan Adhikari. Sejak hari pertemuan Rosaline dan Adhikari kembali, rencana pernikahan sudah langsung dipersiapkan karena dari kedua belah pihak juga sudah sangat setuju dengan pernikahan Rosaline dan Adhikari terlebih sekarang sudah ada Abrisam di antara mereka.Adhikari ingin sekali cepat meresmikan hubungannya dengan Rosaline namun ia tak bisa egois karena ia tahu Rosaline pasti juga seperti wanita-wanita di luaran sana yang memimpikan menjadi seorang pengantin dan menikah secara sakral dan meriah dengan disaksikan oleh orangtua, keluarga, teman serta kerabat. Untuk itu ia harus bisa sedikit lebih bersabar dengan persiapan pernikahan yang tentunya sedikit memakan waktu.Hingga kini tibalah saat yang membahagiakan untuk semua orang terlebih untuk Adhikari dan Rosaline karena hari ini mereka telah melangsungkan pernikahan. Pesta digelar dengan begitu me
Adhikari mengantarkan Rosaline dan Abrisam pulang ke rumah. Sebenarnya Rosaline tak mengijinkannya mengantar sampai masuk ke rumah namun Adhikari tetap ngeyel dan tetap berjalan memasuki rumah orangtua Rosaline.“Silakan masuk, Mas.” Bik Lastri mempersilakan Adhikari duduk di ruang tamu.“Rosaline, kamu baru pulang? Kamu pulang sama siapa?” Mardina keluar menghampiri Rosaline untuk bertanya pada Rosaline.Rosaline tak menjawab pertanyaan mamanya yang kedua. “Abrisam sudah tidur, Ma. Aku akan menidurkan Abrisam dulu ke kamar.” Rosaline berjalan meninggalkan mamanya menuju kamarnya.Mardina melihat ke arah ruang tamu, ia terkejut mendapati Adhikari yang sudah duduk di sofa ruang tamu.“Kamu ada di sini?” tanya Mardina.“Iya, Ma.”&n
Adhikari mendapat pesan singkat dari Jasmine yang menyuruhnya untuk segera datang ke sebuah butik tanpa memberitahu alasannya. Hal itu tentu saja membuatnya panik sekaligus penasaran. Untuk itu ia segera menuju ke tempat yang Jasmine maksud.Adhikari memarkirkan mobilnya lalu dengan tergesa ia memasuki butik yang Jasmine maksud. Pandangannya menyusuri setiap sudut dalam butik itu untuk mencari keberadaan Jasmine tapi bukan Jasmine yang ia temukan, melainkan sesosok wanita yang begitu ia rindukan.“Rosaline,” gumam Adhikari. Harusnya ia langsung menghampiri sesosok wanita yang ia duga dan ia lihat seperti Rosaline tersebut. Tapi entah mengapa tubuhnya malah menegang kaku. Semua ini bagaikan mimpi untuknya hingga beberapa kali ia mengucek matanya dan mengedip-ngedipkan matanya.Wanita yang dilihat Adhikari masih terus fokus dengan balita yang ada di dalam gendongannya. Melihat balita itu, Adhikari semakin yakin kalau wanita yang ia lohat sekarang ini m
Benjamin dan Mardina berjalan beriringan seraya menarik koper mereka, sedangkan Rosaline menggendong Abrisam yang tengah tertidur. Mereka mengedarkan pandangan mereka ke seluruh penjuru arah untuk mencari keberadaan Jagat dan Jasmine yang menjemput mereka di bandara.“Pa, itu Jasmine sama Jagat,” ucap Mardina memberitahu.“Iya.”Mereka semua berjalan ke arah Jagat dan Jasmine berada.“Mama, Papa!” seru Jasmine memeluk Benjamin dan Mardina bergantian.“Kak Rose, akhirnya kamu pulang juga. Aku udah kangen banget sama Kakak.” Ucap Jasmine saat ia memeluk tubuh Rosaline.“Mari kita ke mobil, Pa, Ma, Rose,” ajak Jagat setelah ia juga melepas rind
Tak terasa sudah dua tahun Rosaline tinggal di Amerika tanpa pernah sekali pun ia menginjakkan kakinya kembali ke tanah kelahirannya. Ia sudah sangat bahagia hidup bersama dengan Abrisam, putranya, buah cintanya bersama pria yang dulu sangat dicintainya bahkan hingga sekarang.“Mamama.” Si kecil Abrisam berjalan tertatih menghampiri Rosaline yang sedang memainkan ponselnya.“Ada apa, Sayang?”“Mum ucu.” Ucap Abrisam seraya mengulurkan kedua tangannya kepada sang mama.“Mum ucu?” goda Rosaline yang tak kunjung meraih tangan putranya itu.“Mum ucuu ....” Abrisam sudah mulai merengek dan menelungkupkan tubuh gembulnya ke kaki jenjang Rosaline.Rosaline tersenyum lalu mengangkat putranya itu untuk ia dudukan di pangkuanny