Aku harus segera bicara sama seseorang agar beban jiwaku bisa lebih ringan. Di rumah sebenarnya masih ada Lek Titik, tetapi beliau bukan orang yang tepat untuk kumintai pendapat. Sebab solusinya selalu mengajakku ke paranormal. Bukannya aku tak percaya ada jin dan makhluk ghaib lainnya, tetapi hatiku tak nyaman saja jika harus datang kepada mereka.
Maka, saat jam istirahat kerja, kuputuskan menemui Ustazah Firoh di rumahnya. Kuceritakan informasi yang kudapat saat berkunjung ke rumah Nely. Juga janji Pak Danu yang tidak akan menerima Mas Wildan.
“Kalo faktanya sudah jelas begini, mau tidak mau Bu Alya harus menjelaskan kepada suami soal wali nikah itu. Ini bentuk kasih sayang antara suami dan istri. Saat istri salah suami menasihati. Pun sebaliknya,” nasihat Ustazah Firoh.
Akhirnya poin ini yang kutakutkan. Pembahasan masalah wali nikah ini sudah pernah kusinggung sebelumnya. Tahu sendiri Mas
Makasih sudah baca part ini. Ditunggu komentarnya ya.
“Al, aku tuh dukung apa pun keputusanmu asalkan kamu itu bahagia,” ujar Mila saat aku sudah balik ke meja. Belum juga jenak duduk. Mila lagi-lagi meyerangku dengan pernyataan retorisnya. “Kamu tadi pas cuci tangan lihat cermin enggak, Say?” “Kenapa kamu jadi serius sih, Mil? Aku yang jalani saja nyantai, kok.” “Sudahlah kamu jangan pura-pura ke aku. Fisikmu beda banget Al. Kapan hari pas jenguk Rheza itu pipimu masih kelihatan berisi, lihat sekarang! Kelihatan ompong, tahu enggak! Kamu berhak bahagia, Al.” “Kamu menyuruhku bercerai, Mil? Entah kamu percaya atau tidak, saat aku memikirkan perpisahan, tiba-tiba dadaku terasa sesak,” sahutku sambil mengeluarkan napas dari mulut. “Enggak lah, aku tentu berharap kalian kembali seperti dulu, tapi aku sangsi,” sahut Mila dengan nada lemas. “Say
Setelah semua tanggung jawab di kantor bisa dikondisikan, juga izin internal kepada atasan sudah dikantongi, akhirnya kuda besi ini mengantarkanku ke kota tempat tinggalnya Mila. Baru kali ini aku nekat ke luar kota menyetir sendiri. Biasanya lariku paling banter ke rumah ibu dan mertua yang masih sekabupaten. Berbekal bantuan aplikasi pencari lokasi, aku tidak mengalami kesulitan menemukan letak rumah Mila dari share lokasi yang dikirimnya. Ini untuk pertama kali aku bertandang ke rumahnya. Sebuah bangunan baru didirikan di atas lahan cukup luas sebab berada di lingkungan perkampungan. Bahkan dekat dengan kebun tebu. Owner property tetapi rumahnya tidak di kawasan perumahan elite. Rencananya kendaraanku akan ditinggal di rumah Mila. Sementara untuk ke kantor kelurahan kami akan memakai kendaraannya Mila karena akan dia
Tepat di penghujung senja, aku tiba di rumah. Pukul sepuluh malam nanti dijadwalkan kapal akan tiba. Aku terima saran Mila untuk menghubungi Bos Anton.[Assalamu’alaikum. Bos Anton, saya Alya istrinya Pak Wildan. Mohon maaf ke depannya mungkin saya akan sering mengganggu karena akan sering bertanya]Pesan masih centang satu. Berarti di kapal belum ada sinyal. Tak lupa kukirim pesan juga ke Mas Wildan.[Mas, jadi liburnya? Turun jam berapa …]Kutanyakan hal ini agar bisa mengontrol pergerakannya. Kira-kira dia sampai di rumahnya Nely jam berapa. Pesan ke Mas Wildan juga masih centang satu. Akhirnya, kuputuskan istirahat karena badan ini terasa begitu lelah meski jam di dinding belum genap menunjukkan pukul sembilan malam. Suara notifikasi pesan membangunkanku di tengah malam. Kulihat ponsel ada pesan dari Mas Wildan dan Bos Anton. Kubaca dulu pesan dari Mas Wildan
Astaga siapa lagi ini? Aku mendiamkan sosok yang tak mau memperkenalkan diri itu. Pikirku dia yang menelepon pasti dia yang butuh.“Maaf, Mbak Alya. Saya tidak mau memperkenalkan diri karena tidak mau terseret masalah Panjenengan, tapi sebagai sesama istri, saya ikut empati,” ujar perempuan yang masih misterius itu.Aku masih diam mendengarkan apa maunya.“Saya hanya mau menginformasikan, jika hari ini kami rencananya akan menindaklanjuti laporan Panjenengan. Sepertinya suami Panjenengan ada di rumahnya Mbak Nely sekarang.”Aku langsung membuang napas kasar. Pernyataannya barusan menormalkan degup jantungku yang berdetak lebih kencang. Ternyata dia pegawai kelurahan. “Ya Mbak, betul. Suami saya memang ada di sana sekarang. Pihak desa mau berbuat apa, Mbak?”&nb
Hampir TaklukMulai jam sepuluh malam hujan turun cukup deras. Aku tak peduli Mas Wildan jadi pulang atau tidak. Setelah mengirim pesan itu, ponsel ku-mode pesawat, sebab diri ini lelah berdebat.Tak tahan dengan efek dingin akibat air langit yang membasahi bumi, kukenakan sweater bahan rajut yang ketebalan dan kelembutannya mengantarkanku mengikuti lelapnya kedua anakku.Entah berapa lama netraku terpejam. Hingga pendengaranku menangkap bunyi tumbukan besi dari selot pintu pagar. Dentingnya cukup memecah kesunyian malam.“Dik, buka pintunya!”Suara tak asing itu memanggilku. Kamu kah itu, Mas?Jam di dinding menunjukkan pukul satu dini hari lebih sepuluh menit. Kerudung di cantolan baju kusambar. Dengan mata yang masih mengantuk, kubuka pintu dan pagar untuk Mas Wildan yang akhirnya memutuska
Selama perjalanan, kami merencanakan akan bertanya tanpa menyebutkan jika itu merupakan kasus yang kami alami. Agar Pak Kiai tidak merasa sungkan menyampaikan apa yang seharusnya beliau utarakan.Tak terasa mobil sudah memasuki area parkiran pondok pesantren. Lokasi pondok yang berada di tepi jalan raya tidak menyulitkan kami menemukannya.Aku turun dari mobil dan bertanya kepada salah satu santri yang lewat. Kemudian santri itu mengantarkan kami ke kediaman Pak Kiai. Tak lupa, kubawakan buah tangan yang sempat kubeli di kawasan wisata tadi.Santri putri bergamis hitam hilir-mudik membawa kitab. Akhirnya, kami sampai pada bangunan yang cukup asri. Sepertinya ini tempat tinggal Pak Kiai.Setelah melepas alas kaki, kami masuk ke ruang tamu yang di-setting lesehan. Ada rak buku yang cukup tinggi berfungsi sebagai sekat dengan ruangan di dalamnya. Santri yang mengantar kami mempers
Saat jarum jam dinding saling bertumbukan di angka sembilan kami baru sampai di rumah. Hari sudah gelap. Seharian beraktivitas di luar rumah menjadikan badanku terasa pegal semua.Anak-anak sudah tertidur di kamar sebelah. Mas Wildan masih mengunci pagar dan pintu. Setelah itu langkahnya terdengar akan masuk ke kamar. Tak lama kemudian, dia ikut merebahkan badan di sampingku.“Gimana, Dik?”“Apanya?”“Masalah kita. Ibu sudah bisa nerima Nely, tinggal keluargamu.”“Aku juga nggak bisa nerima dia, Mas.”“Loh kamu ‘kan sudah dengar sendiri penjelasan Kiai Abdullah tadi. Ada pendapat yang bolehin janda nikah tanpa wali. Apalagi yang kamu permasalahkan? Kemarin 'kan kamu menolak karena persoalan itu?”“Tapi kamu pindah mazhab sak enak’e ud
“Aku pingin dia merasa Kak Wildan itu nggak sebaik yang dia kira. Misalnya sudah ada perempuan lainnya yang dinikahi diam-diam juga.” Pembicaraan kami semakin seru. Sampai aku lupa mempersilakan tamuku untuk minum. Tak ada suguhan lain selain air mineral kemasan gelas. Kutawarkan Susi untuk minum terlebih dahulu. “Seru sepertinya. Tar aku bantu mikir gimana caranya,” sahutku merespon usulnya yang menurutku agak gila. “Sip, Mbak Alya. Kita tukar nomor HP saja biar nanti lebih mudah komunikasinya,” jawabnya setelah meneguk air mineral beberapa kali sedotan. Setelahnya kami saling menyimpan nomor ponsel. “Oya, Mbak. Ada yang mau saya tanyakan. Jujur aku syok dengan perubahan perilaku Mas Wildan. Selama ini dia itu baik-baik saja. Bahkan jika ada temannya yang main perempuan, dia menunjukkan sikap menentang, tapi sekarang gentian dia jadi lakonnya,” keluhku dengan nada kecewa. &n