Mas Wildan datang membawa dua mangkuk Soto Lamongan dalam nampan. Kuahnya mengeluarkan kepulan uap ke udara, menimbulkan aroma yang menggugah selera.
“Ini, Dik. Ayo makan! Ada koyanya kesukaanmu.”
Diangsurkannya salah satu mangkuk ke hadapanku. Tampaknya rasanya memang lezat. Tercium dari aroma gurihnya yang mengundang rasa lapar, sebuah kebutuhan jasmani yang harus dipenuhi. Jika tidak, bisa mengantarkan pada kematian.
“Mas, sejak tadi sore aku menghubungimu tapi HP mati melulu. Kamu kemana?” Aku ingin mengetes kejujurannya.
“Oh, HP-nya kehabisan baterai.”
“Terus, kamunya ke mana?”
“Keluar beli sabun sama cari makan.”
“Sama siapa?”
“Tar saja ngobrolnya, nanti keburu dingin sotonya. Ayo habiskan dulu!”
Aku sudah tak selera melanjutkan makan malam ini. Sebenarnya makanannya enak, hanya saja pikiranku lagi kacau. Benar kata orang, selera makan itu tergantung pikiran. Saat pikiran tenang, makan tempe penyet sambal terasi pun terasa nikmat.
Mas Wildan makan dengan lahapnya. Isi mangkuknya tandas tanpa menyisakan sebutir nasi pun.
“Sore sudah makan sekarang sudah lapar lagi ya, Mas?”
“Tadi makanannya enggak cocok di lidah, Dik.”
Pintar sekali kamu berkelit, Mas. Jelas saja kamu sudah lapar lagi. Bukankah menyalurkan hasrat kelelakianmu juga menguras banyak tenaga?
Kuulang lagi pertanyaan yang tadi belum dijawabnya, “Keluar sama siapa sore tadi, Mas?”
“Aku bayar Sotonya dulu.”
Dia menghindar terus. Aku sudah tidak tahan ingin membahas perempuan yang kencan dengannya. Kukirim foto di atas ranjang itu kepada Mas Wildan lewat aplikasi w******p. Kusertai keterangan berikut ini.
[Jawab saja kamu tadi sore keluar dengan perempuan ini, Mas. Enggak usah muter-muter kayak bianglala] Pesan kukirim.
Di depan kasir kulihat Mas Wildan membuka ponselnya. Pesan yang kukirim sudah centang dua warna biru, berarti sudah dibaca.
“Ayo kuantar pulang! Kamu belum bawa baju ganti, ‘kan?”
Benar. Saat aku datang ke sini memang tanpa persiapan. Lalu Mas Wildan mencoba meraih tanganku tapi kuhempaskan kasar.
“Siapa wanita itu?” Aku masih belum beranjak dari kursi kantin ini.
“Oke, nanti aku jelaskan. Bukan di sini!” jawab Mas Wildan sambil matanya melirik ke kanan dan ke kiri.
Aku paham situasinya memang tidak kondusif. Enggak mungkin juga aku bertengkar dengan suamiku di sini. Pertanyaan itu kucerca hanya untuk menekannya.
Mas Wildan kembali mencekal tanganku, “Ayo, Dik!”
“Lepasin! Aku bisa jalan sendiri,” jawabku ketus.
Kami pun bergerak menuju halaman parkir depan. Orang yang berpapasan dengan kami sebagian mengalihkan perhatiannya kepadaku. Apakah aroma perang dingin di antara aku dan Mas Wildan tercium orang sekitar? Benar-benar memalukan.
Sebiasa apapun aku berusaha bersikap, raut muka kesal di wajahku memang tak bisa kubuat-buat. Satu kelemahanku, enggak bisa acting. Andai ini bukan rumah sakit, pasti aku sudah teriak sekencang-kencangnya.
Taksi online yang dipesan Mas Wildan berjalan merayap menuju ke arah kami yang berdiri di teras gedung IGD. Di dalam taksi aku duduk mengambil jarak dengan Mas Wildan. Dia mencoba menggenggam tanganku, tetapi selalu kutolak.
Maaf Mas jika aku sekarang tak lagi jadi istri penurut. Aku manusia biasa. Tetap mengharapkan balasan kebaikan saat berbuat serupa. Pun aku bisa marah saat kesetiaanku tak kau balas dengan hal yang sama.
Lima belas menit kemudian kami sudah sampai di depan rumah yang dalam kondisi kosong. Anak pertamaku sudah diungsikan ke rumah Budenya. Setelah pintu gerbang dan ruang tamu dibuka, aku langsung menuju kamar. Kubanting pintu kamar sekeras-kerasnya.
Suara dentuman pintu sampai membuat dadaku sendiri menjingkat. Aku berteriak sekencang-kencangnya. Tubuh ini kujatuhkan di ranjang. Lalu kutekan pelipisku kuat-kuat.
Hanya orang yang setia yang merasa begitu terpukul saat dikhianati. Jika ada seseorang menyikapi pengkhianatan sebagai hal biasa, maka fix dia pun terbiasa melakukan perkara yang sama.
Itulah yang kurasakan saat ini. Syok. Aku pikir, kesetiaan akan dibalas hal yang sama. Namun kenyataannya tak selalu demikian.
Terdengar gagang pintu dibuka. Lalu Mas Wildan duduk membelakangiku.
“Siapa dia, Mas? Penyanyi ‘kah? Pelacur ‘kah? Kau temukan di mana wanita murahan seperti itu?”
“Jangan mudah menghakimi orang, Dik!” hardiknya.
“Hah!”
Aku merasa sangat muak mendengar pembelaannya terhadap perempuan itu.
“Lantas aku harus nyebut dia apa? Wanita salihah? Enggak ada wanita salihah yang mau tidur dengan laki orang!” Emosiku dibuat memuncak olehnya.
“Kamu memang selalu merasa benar, Dik. Orang lain yang selalu salah.”
“Jangan berbelit, Mas! Jelaskan saja siapa wanita itu?” Setengah teriak kuucapkan kalimat itu. Dia yang sudah jelas-jelas salah masih saja menyerangku.
“Dia juga istriku. Sama sepertimu.”
“Apa? Istri? Kapan kamu menikah?”
Kulontarkan pertanyaan itu dengan suara pelan, tetapi penuh tekanan. Mas Wildan hanya diam.
“Siapa yang nikahkan? Aku kok enggak dilibatkan? Enggak butuh surat nikah, apa?” Kembali semua pertanyaan itu kulontarkan dengan nada pelan penuh penekanan. Mas Wildan masih bergeming.
“Semudah itu kau permainkan pernikahan, Mas? Pengecut! Dan wanita itu mau saja kau bodohi? Atau mungkin dia sudah kegatalan? Hingga suami orang diembat juga?” Aku lalu tertawa seperti orang gila.
Akhirnya pertahananku jebol juga. Aku tertawa lalu menangis. Meraung menerima kenyataan pahit ini. Aku sudah sering mendengar Mas Wildan cerita kasus temannya main perempuan. Tidak kusangka kini giliran dia terperosok pada lubang yang sama. Hingga aku menyimpulkan semua pelaut itu brengsek.
Mas Wildan mendekat dan mencoba menarikku dalam pelukannya. Mungkin ia hendak menenangkanku yang terguncang.
“Jangan sentuh!” tolakku tegas sambil mengibaskan tangannya.
Segera kuseka air mata. Aku berdiri membuka lemari dan mengeluarkan beberapa potong baju yang akan kubawa ke rumah sakit.
Mas Wildan berdiri menyejajariku. “Dik, beri aku kesempatan. Aku akan berusaha adil. Aku janji tak akan ada yang berubah. Termasuk nafkah untukmu dan anak-anak akan tetap.”
“Oya? kalo gitu mana dompetmu?”
“Buat apa?”
“Sudah serahkan saja! Apa aku ambil paksa?”
Diserahkannya dompet dari saku celananya. Aku hendak mengambil ATM berisi gaji dari perusahaan kapal penumpang milik perusahaan swasta itu. Begitu dompet kubuka, langsung kudapati pandangan tak sedap. Ada foto Mas Wildan dan wanita itu terpasang di dalamnya.
“Gini katamu mau berbuat adil, Mas?” Kupampangkan foto itu ke hadapannya. “Bahkan dompetmu hanya ada foto dengannya.”
“Bukan aku yang naruh,” kilahnya.
Oh, jadi kelakuan wanita itu. Dia benar-benar ingin menguasai suamiku rupanya. Tak akan kubiarkan semudah itu. Selain ATM, kuambil juga foto di dompet itu.
“Buat apa fotonya juga diambil, Dik? Nanti cetak juga foto kita biar kupasang dua-duanya.”
Tak kuhiraukan seruan Mas Wildan. Kusobek-sobek kasar foto itu lalu kubuang di tempat sampah tertutup di dekat meja rias.
“Minggir!” ucapku kasar saat tubuhnya menghalangiku yang hendak keluar kamar. Mas Wildan terus mengekoriku.
“Dik, tolong dengarkan aku!”
Mas Wildan kembali mencekal tanganku kuat. Dia menarikku mendekat sehingga wajah kami hanya berjarak beberapa centi meter.
“Perlu kamu tahu, hadirnya Nely itu menyelamatkanku, Dik. Sejak ada dia aku sudah tak pernah on**i lagi,” bisiknya di telingaku.
Cih! Jadi nama wanita itu Nely. Aku membuang muka. Sudah kuduga Mas Wildan nekad menikahinya pasti urusan satu itu.
“Nely sanggup datang tiap kali kapal sandar. Dia tidak minta apa-apa dariku,” bela Mas Wildan saat melepaskan cekalan tangannya.
“Hah! Yang benar saja. Uang belanja enggak minta?” sahutku tak percaya. Mana ada perempuan dengan sukarela menyerahkan dirinya tanpa menuntut apa-apa.
“Eggak. Dia tak butuh itu. Bahkan semua pengeluaran saat bersamaku dia yang tanggung.”
Jujur mentalku langsung down mendengar penjelasan Mas Wildan barusan. Kupikir dengan ATM itu kuambil alih, akan mengakhiri petualangannya. Ternyata faktanya di luar yang kuduga.
Siapa sebenarnya kamu Nely? Seberapa tebal isi kantongmu? Sehingga sudi merogoh kocek demi suamiku. Aku harus cari cara untuk mengorek informasi tentangnya. Ibarat perang, aku harus paham betul kekuatan lawan jika ingin jadi pemenang.
.
.
[Bersambung]
Sebuah mobil jenis MPV berhenti tepat di rumah lantai dua dengan pagar warna putih. “Hati-hati ya Sayang, yang patuh sama Bapak Ibu Guru di sekolah,” pesan Alya kepada Rohim.“Iya, Bunda. Assalamu’alaikum.”Alya pun segera menjawab salamnya Rohim. Kemudian anak itu mencium pungung tangan Alya dan Alya balik mencium keningnya. Sejak Alya mengambil cuti melahirkan, Rohim diikutkan travel sekolah sebab Akmal sendiri tidak bisa dipastikan dapat mengantar jemput setiap pagi. Termasuk pada hari ini. Bakda Subuh Akmal bersama timnya harus pergi ke luar kota sebab ada agenda pembebasan lahan untuk proyek pembangunan perumahan baru.Saat Rohim hendak naik ke mobil, suara motor berhenti di depan rumah Alya. Menghalangi laju mobil yang akan berangkat.“Rohim!”Panggilan itu memalingkan Rohim juga Alya.“Mas Wildan!”
Lantunan kalimat tahlil terdengar menggema di rumah Pak Danu. Kali ini tidak ada kaitannya dengan ritual selamatan kematian. Pak Danu mendapat giliran tahlil dari rumah ke rumah. Acara rutin yang diadakan warga kampung. Di tengah acara, datang laki-laki bercelana hitam dan berbaju koko putih. Dia ikut duduk di teras dan mengikuti bacaan tahlil. Lima belas menit kemudian bacaan tahlil telah usai dilakukan. Suguhan lontong sayur mulai diedarkan kepada seluruh warga yang datang. Setelah selesai menyantap suguhan, mereka semua pamit dengan membawa berkat nasi dan kue. Kecuali laki-laki berbaju koko putih dan bercelana hitam itu tetap di tempat. Sosok itu lalu berdiri dan mendekati Pak Danu begitu semua anggota jemaah tahlil sudah angkat kaki.“Assalamu’alaik
“Yang … jangan tinggalin aku.” Nely setengah berteriak memanggil Wildan. Dia sedang berjuang mengapung agar tak tenggelam. Tangan dan kakinya bergerak tak tentu arah. Mulutnya megap-megap sebab air laut mulai masuk ke dalamnya.“Yang …” Panggilan itu terus terulang.Namun, sosok yang dipanggil sama sekali tak bergerak mendekat. Situasi ini sangat berbeda saat Nely terjatuh dari kapal karena selfie dulu. Nely kian frustasi. Satu-satunya harapan dia selamat adalah pertolongan laki-laki yang pernah tergila-gila padanya itu. Harapan tinggal harapan. Wildan hanya memejamkan mata dan menggerakkan kedua kakinya ke kiri dan ke kanan agar memperoleh keseimbangan. Saat ini yang ada dalam benaknya adalah ibunya yang meninggal lantaran ulah wanita yang kini berteriak meminta tolong kepadanya. Ada pergul
Di sebuah baby shop, terdapat pakaian bayi dan anak-anak yang lucu. Sebagian terlipat rapi dalam rak. Sebagian lain digantung. Hari ini Akmal sekeluarga jalan-jalan ke pusat perbelanjaan. Begitu melihat baju bayi terpampang di balik kaca, Alya spontan membelokkan kakinya.“Mas, ini bagus, enggak?” Alya mengambil satu baju motif bunga warna merah muda.Akmal hanya mengacungkan dua jempolnya. “Tapi itu baju anak cewek, Yang. Kita kan belum tahu jenis kelaminnya?” Tangan Akmal mengelus perut Alya perlahan.“Feeling-ku mengatakan anak kita perempuan, Mas.”“Aku pingin laki-laki,” sahut Akmal.“Kalo yang lahir cewek?”“Ya kita bikin lagi,” jawab Akmal sambil nyengir.“Sampai dapet baby boy?” Alya mempertegas maksud suaminya.
“Mau kemana, Bro? Dah rapi banget. Pake baju koko macam ustaz saja.” Joseph yang sedang tidur-tiduran keheranan melihat teman sekamarnya.“Aku rencananya tiap kapal sandar di Penang akan ke pondok Syaikh Saleh, Jo. Itu, orang yang nolong aku.”“Oh, baguslah. Oya, soal Nita. Gue minta maaf ya, Bro,” ucap Joseph sambil menepuk-nepuk punggung lelaki yang saat ini mengenakan peci warna putih. Benda yang sudah lama tersimpan di dalam lemari.“Malam itu sebenarnya gue lihat Nita yang lepasin baju lo. Dia minta bantuan gue tuk dapetin lo. Makanya gue disuruh cerita yang baik-baik tentang Nita,” jelas Joseph.“Aku sudah lupain semunanya kok, Jo. Dah, enggak usah dibahas. Aku berangkat dulu, ya. Mau, ikut?” tawar Wildan serius. Barangkali saja temannya itu ikut tobat.“Thanks, Bro! Tar deh kalo gue dah tobat,” sahutny
“Pak, aku mau nyari Nely.” Perempuan yang sudah mempunyai lima cucu itu hanya membolak-balik tempe goreng yang sudah tercampur bumbu pecel.“Mau nyari ke mana toh, Buk’e?”“Aku tak ke rumah Wildan iku, Pak. Mestinya Nely di sana.”“Lah emange ngerti rumahnya?”“Ngerti, Pak. Dulu ‘kan pas Nely jatuh dari sepeda terus keguguran, aku dampingin dia pulang ke rumah Wildan,” ucap Bu Danu yang sudah tak kuat menanggung rindu.“Oalah, Buk, Buk. Nanti malah bikin masalah.”“Ora, Pak. Atiku enggak tenang iki,” kilah Bu Danu sambil mencak-mencak. “Assalamu’alaikum!” Perempuan berwajah ayu mengucapkan salam di pintu pagar. Pak Danu dan istrinya yang sedang menikmati