Share

Bab 2: Nely Namanya

Mas Wildan datang membawa dua mangkuk Soto Lamongan dalam nampan. Kuahnya mengeluarkan kepulan uap ke udara, menimbulkan aroma yang menggugah selera.

“Ini, Dik. Ayo makan! Ada koyanya kesukaanmu.”

Diangsurkannya salah satu mangkuk ke hadapanku. Tampaknya rasanya memang lezat. Tercium dari aroma gurihnya yang mengundang rasa lapar, sebuah kebutuhan jasmani yang harus dipenuhi. Jika tidak, bisa mengantarkan pada kematian.

“Mas, sejak tadi sore aku menghubungimu tapi HP mati melulu. Kamu kemana?” Aku ingin mengetes kejujurannya.

“Oh, HP-nya kehabisan baterai.”

“Terus, kamunya ke mana?”

“Keluar beli sabun sama cari makan.”

“Sama siapa?”

“Tar saja ngobrolnya, nanti keburu dingin sotonya. Ayo habiskan dulu!”

Aku sudah tak selera melanjutkan makan malam ini. Sebenarnya makanannya enak, hanya saja pikiranku lagi kacau. Benar kata orang, selera makan itu tergantung pikiran. Saat pikiran tenang, makan tempe penyet sambal terasi pun terasa nikmat.

Mas Wildan makan dengan lahapnya. Isi mangkuknya tandas tanpa menyisakan sebutir nasi pun.

“Sore sudah makan sekarang sudah lapar lagi ya, Mas?”

“Tadi makanannya enggak cocok di lidah, Dik.”

Pintar sekali kamu berkelit, Mas. Jelas saja kamu sudah lapar lagi. Bukankah menyalurkan hasrat kelelakianmu juga menguras banyak tenaga?

Kuulang lagi pertanyaan yang tadi belum dijawabnya, “Keluar sama siapa sore tadi, Mas?”

“Aku bayar Sotonya dulu.”

Dia menghindar terus. Aku sudah tidak tahan ingin membahas perempuan yang kencan dengannya. Kukirim foto di atas ranjang itu kepada Mas Wildan lewat aplikasi w******p. Kusertai keterangan berikut ini.

[Jawab saja kamu tadi sore keluar dengan perempuan ini, Mas. Enggak usah muter-muter kayak bianglala] Pesan kukirim.

Di depan kasir kulihat Mas Wildan membuka ponselnya. Pesan yang kukirim sudah centang dua warna biru, berarti sudah dibaca.

“Ayo kuantar pulang! Kamu belum bawa baju ganti, ‘kan?”

Benar. Saat aku datang ke sini memang tanpa persiapan. Lalu Mas Wildan mencoba meraih tanganku tapi kuhempaskan kasar.

“Siapa wanita itu?” Aku masih belum beranjak dari kursi kantin ini.

“Oke, nanti aku jelaskan. Bukan di sini!” jawab Mas Wildan sambil matanya melirik ke kanan dan ke kiri.

Aku paham situasinya memang tidak kondusif. Enggak mungkin juga aku bertengkar dengan suamiku di sini. Pertanyaan itu kucerca hanya untuk menekannya.

Mas Wildan kembali mencekal tanganku, “Ayo, Dik!”

“Lepasin! Aku bisa jalan sendiri,” jawabku ketus.

Kami pun bergerak menuju halaman parkir depan. Orang yang berpapasan dengan kami sebagian mengalihkan perhatiannya kepadaku. Apakah aroma perang dingin di antara aku dan Mas Wildan tercium orang sekitar? Benar-benar memalukan.

Sebiasa apapun aku berusaha bersikap, raut muka kesal di wajahku memang tak bisa kubuat-buat. Satu kelemahanku, enggak bisa acting. Andai ini bukan rumah sakit, pasti aku sudah teriak sekencang-kencangnya.

Taksi online yang dipesan Mas Wildan berjalan merayap menuju ke arah kami yang berdiri di teras gedung IGD. Di dalam taksi aku duduk mengambil jarak dengan Mas Wildan. Dia mencoba menggenggam tanganku, tetapi selalu kutolak.

Maaf Mas jika aku sekarang tak lagi jadi istri penurut. Aku manusia biasa. Tetap mengharapkan balasan kebaikan saat berbuat serupa. Pun aku bisa marah saat kesetiaanku tak kau balas dengan hal yang sama.

Lima belas menit kemudian kami sudah sampai di depan rumah yang dalam kondisi kosong. Anak pertamaku sudah diungsikan ke rumah Budenya. Setelah pintu gerbang dan ruang tamu dibuka, aku langsung menuju kamar. Kubanting pintu kamar sekeras-kerasnya.

Suara dentuman pintu sampai membuat dadaku sendiri menjingkat. Aku berteriak sekencang-kencangnya. Tubuh ini kujatuhkan di ranjang. Lalu kutekan pelipisku kuat-kuat.

Hanya orang yang setia yang merasa begitu terpukul saat dikhianati. Jika ada seseorang menyikapi pengkhianatan sebagai hal biasa, maka fix dia pun terbiasa melakukan perkara yang sama.

Itulah yang kurasakan saat ini. Syok. Aku pikir, kesetiaan akan dibalas hal yang sama. Namun kenyataannya tak selalu demikian.

Terdengar gagang pintu dibuka. Lalu Mas Wildan duduk membelakangiku.

“Siapa dia, Mas? Penyanyi ‘kah? Pelacur ‘kah? Kau temukan di mana wanita murahan seperti itu?”

“Jangan mudah menghakimi orang, Dik!” hardiknya.

Hah!”

Aku merasa sangat muak mendengar pembelaannya terhadap perempuan itu.

“Lantas aku harus nyebut dia apa? Wanita salihah? Enggak ada wanita salihah yang mau tidur dengan laki orang!” Emosiku dibuat memuncak olehnya.

“Kamu memang selalu merasa benar, Dik. Orang lain yang selalu salah.”

“Jangan berbelit, Mas! Jelaskan saja siapa wanita itu?” Setengah teriak kuucapkan kalimat itu. Dia yang sudah jelas-jelas salah masih saja menyerangku.

“Dia juga istriku. Sama sepertimu.”

“Apa? Istri? Kapan kamu menikah?”

Kulontarkan pertanyaan itu dengan suara pelan, tetapi penuh tekanan. Mas Wildan hanya diam.

“Siapa yang nikahkan? Aku kok enggak dilibatkan? Enggak butuh surat nikah, apa?” Kembali semua pertanyaan itu kulontarkan dengan nada pelan penuh penekanan.  Mas Wildan masih bergeming.

“Semudah itu kau permainkan pernikahan, Mas? Pengecut! Dan wanita itu mau saja kau bodohi? Atau mungkin dia sudah kegatalan? Hingga suami orang diembat juga?” Aku lalu tertawa seperti orang gila.

Akhirnya pertahananku jebol juga. Aku tertawa lalu menangis. Meraung menerima kenyataan pahit ini. Aku sudah sering mendengar Mas Wildan cerita kasus temannya main perempuan. Tidak kusangka kini giliran dia terperosok pada lubang yang sama. Hingga aku menyimpulkan semua pelaut itu brengsek.

Mas Wildan mendekat dan mencoba menarikku dalam pelukannya. Mungkin ia hendak menenangkanku yang terguncang.

“Jangan sentuh!” tolakku tegas sambil mengibaskan tangannya.

Segera kuseka air mata. Aku berdiri membuka lemari dan mengeluarkan beberapa potong baju yang akan kubawa ke rumah sakit.

Mas Wildan berdiri menyejajariku. “Dik, beri aku kesempatan. Aku akan berusaha adil. Aku janji tak akan ada yang berubah. Termasuk nafkah untukmu dan anak-anak akan tetap.”

“Oya? kalo gitu mana dompetmu?”

“Buat apa?”

“Sudah serahkan saja! Apa aku ambil paksa?”

Diserahkannya dompet dari saku celananya. Aku hendak mengambil ATM berisi gaji dari perusahaan kapal penumpang milik perusahaan swasta itu. Begitu dompet kubuka, langsung kudapati pandangan tak sedap. Ada foto Mas Wildan dan wanita itu terpasang di dalamnya.

“Gini katamu mau berbuat adil, Mas?” Kupampangkan foto itu ke hadapannya. “Bahkan dompetmu hanya ada foto dengannya.”

“Bukan aku yang naruh,” kilahnya.

Oh, jadi kelakuan wanita itu. Dia benar-benar ingin menguasai suamiku rupanya. Tak akan kubiarkan semudah itu. Selain ATM, kuambil juga foto di dompet itu.

“Buat apa fotonya juga diambil, Dik? Nanti cetak juga foto kita biar kupasang dua-duanya.”

Tak kuhiraukan seruan Mas Wildan. Kusobek-sobek kasar foto itu lalu kubuang di tempat sampah tertutup di dekat meja rias.

“Minggir!” ucapku kasar saat tubuhnya menghalangiku yang hendak keluar kamar. Mas Wildan terus mengekoriku.

“Dik, tolong dengarkan aku!”

Mas Wildan kembali mencekal tanganku kuat. Dia menarikku mendekat sehingga wajah kami hanya berjarak beberapa centi meter.

“Perlu kamu tahu, hadirnya Nely itu menyelamatkanku, Dik. Sejak ada dia aku sudah tak pernah on**i lagi,” bisiknya di telingaku. 

Cih! Jadi nama wanita itu Nely. Aku membuang muka. Sudah kuduga Mas Wildan nekad menikahinya pasti urusan satu itu.

“Nely sanggup datang tiap kali kapal sandar. Dia tidak minta apa-apa dariku,” bela Mas Wildan saat melepaskan cekalan tangannya.

“Hah! Yang benar saja. Uang belanja enggak minta?” sahutku tak percaya. Mana ada perempuan dengan sukarela menyerahkan dirinya tanpa menuntut apa-apa.

“Eggak. Dia tak butuh itu. Bahkan semua pengeluaran saat bersamaku dia yang tanggung.”

Jujur mentalku langsung down mendengar penjelasan Mas Wildan barusan. Kupikir dengan ATM itu kuambil alih, akan mengakhiri petualangannya. Ternyata faktanya di luar yang kuduga.

Siapa sebenarnya kamu Nely? Seberapa tebal isi kantongmu? Sehingga sudi merogoh kocek demi suamiku. Aku harus cari cara untuk mengorek informasi tentangnya. Ibarat perang, aku harus paham betul kekuatan lawan jika ingin jadi pemenang.

.

.

[Bersambung]

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status