“Agam, dokter sudah mengizinkan kamu pulang. Besok pagi kita akan pulang. Tapi, bunda minta satu hal ke kamu,” ujar Eisha dengan nada serius.
Agam yang tengah bermain ponsel menoleh. “Apa, Bund?”
“Jangan kasih tau Rinjani soal kepulanganmu. Dan kita juga nggak akan pulang ke rumah, tapi ke vila,” jelas Eisha tak mau menatap putranya, karena dia tidak akan sanggup melihat kekecewaan di mata Agam.
“Tapi kenapa?” Agam bertanya dengan nada sendu.
Eisha menggenggam tangan putranya seraya berkata, “Kamu tau, ‘kan, bagaimana kondisi mental Rinjani?”
“Justru itu, Bunda. Agam nggak mau sampai Rinjani sakit. Apalagi gara-gara Agam.”
Eisha menghela napas lelah. “Dengarkan bunda. Kita h
Dengan menggandeng Rinjani, Arsha membawa sahabatnya itu menuju parkiran rumah sakit. Keduanya bergegas masuk ke dalam mobil dan Arsha segera melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang.“Sudah, Rin, jangan menangis. Agam baik-baik saja,” ujar Arsha berusaha menenangkan Rinjani.“Tapi kenapa dia nggak ngabarin aku, Sha? Apa aku setidak penting itu?”Ucapan Rinjani seolah menampar Arsha. Namun, mau bagaimana lagi. Semua yang Arsha dan Eisha lakukan adalah agar Rinjani tidak terlalu bergantung kepada Agam. Meski sayangnya itu semua berakhir sia-sia.Arsha berusaha untuk tetap fokus mengendarai, meski pikirannya berkecambuk. Melihat reaksi Rinjani yang begini membuat gadis itu semakin ketakutan. Arsha takut jika hal buruk terjadi pada Agam maka Rinjan
Dua hari telah berlalu begitu cepat. Setiap harinya, Rinjani akan mengunjungi Agam setelah selesai kampus. Seperti malam ini, gadis itu baru sampai rumah.“Habis temenin Agam lagi, Rin?” tanya Tama saat Rinjani tengah menutup pintu.“Iya, Pa. Rin ke kamar dulu, ya, Pa. Mau mandi.” Tanpa menunggu jawaban Tama, gadis itu segera berlalu ke kamar.Badannya terasa sangat lelah. Dan pikiran buruk semakin hari semakin menguasai otaknya. Arsha dan Eisha semakin mencurigakan dan Agam yang bersikap seolah tidak ada apa-apa, membuat kepala Rinjani semakin berdenyut nyeri.“Argh! Sebenarnya apa yang kalian rahasiakan dariku!”Rinjani hilang kendali saat sampai di kamar. Dia melempar tasnya begitu saja
Sementara itu, di kamar lain, Rinjani sedang bergerak gelisah dengan mata terpejam. Bulir-bulir keringat sudah membasahi tubuhnya. Dan bibir pucatnya terus saja bergumam. “Nggak! Dava, jangan bawa Agam. Nggak!” Rinjani masih berusaha mengatur napasnya yang memburu. Sesekali tangannya juga mengusap keringat yang membanjiri pelipis. Mata gadis itu terpejam berusaha meredam rasa pusing yang tiba-tiba saja menjalar. Rinjani masih tidak bisa memahami maksud dari mimpinya barusan. Di mana dia sedang berada di sebuah tempat sunyi yang sangat asing. “Halo! Ada orang di sini? Bisa tolong bantu aku?” teriak Rinjani sambil melihat ke sekeliling. Terlihat sekeliling Rinjani
“Ayo, Gam, aku antar ke kelas,” ujar Arsha setelah perdebatan kecil mereka selesai.Agam hanya mengangguk mengiyakan. Karena dia paham, jika tidak akan bisa menolak sepupunya itu.“Sha,” panggil Agam sedikit ragu. “Mm, nanti setelah mengantarku, kembalilah ke kelasmu. Aku yakin Rinjani salah paham. Aku tidak bisa menjelaskannya, jadi tolong bantu aku, ya ….”“Udah tenang aja, nggak usah terlalu dipikirkan. Aku yakin nanti Rinjani akan mengerti.” Semoga saja, dia tidak marah padaku.Arsha dan Agam berjalan beriringan menuju ke kelas pria itu. Sebenarnya, Agam sangat ingin menghampiri Rinjani. Tidak dipungkiri jika dia benar-benar merindukan gadis itu.
Mobil yang dikendarain oleh Rinjani berhenti membelok dan berhenti di depan sebuah kedai. Itu adalah kedai es krim yang biasa Rinjani datangi bersama Arsha.Varen tetap berada di dalam mobil. Pria itu memilih untuk mengawasi Rinjani dari kejauhan.“Sampai kapan aku akan mengawasi gadis itu?” Varen termenung sambil terus menatap kedai di seberang jalan.Tangan Varen terulur mengambil beberaa camilan yang memang selalu ada di mobilnya. Setelah itu, dia mengambil laptop dan dan mulai menghidupkannya untuk menonton film.Hanya Varen yang bisa sesantai ini dalam misi pengawasan. jikaArsha tahu, bisa dipastikan ada benjolan di kepala pria itu akibat keganasan Arsha.Asik menikmati film yang diputar, Varen terlonjak kaget ketika mobil Rinjani berlalu di hadapannya.“Mau ke mana lagi sih? Bikin repot sumpah!” gerutu Varen sambil membereskan kekacauan di mobil dengan cepat dan menyusul Rinjani.Meski kesal, Varen tetap
Air mata terus mengalir membasahi pipi gadis itu. Rinjani merasa kalut, bayang-bayang perginya Dava kini kembali memenuhi otaknya. Dan hal itu memicu ketakutan Rinjani tentang Agam.Dengan cepat, Rinjani mengambil ponselnya yang tergeletak di nakas. Dia mencari nomor Agam dan segera melakukan panggilan keluar.Beberapa kali Rinjani mencoba menghubungi Agam, tetapi tidak satu pun panggilannya dijawab. Hal itu membuat tangis Rinjani semakin menjadi.Rinjani memeluk lututnya sambil terus-menerus menghubungi Agam. Tanpa sadar, gadis itu bahkan telah menggigiti jarinya.Setelah puluhan kali mencoba dan tetap tidak ada jawaban, Rinjani baru teringat Arsha. Dia segera mencari kontak Arsha dan mengubunginya.Panggilan pertama terhubung, tetapi masih belum diangkat. Tulisan bordering tertera di layar ponsel Rinjani.Rinjani merasa kesal. “Angkat, Sha!”Panggilan Rinjani berhenti karena yang di seberang sana tidak menerima panggilan
Tanpa mengangkat kepalanya, Pria tersebut memberikan sebuah kotak yang dibungkus dengan kertas kado dan pita merah sebagai hiasan.“Terima kasih.” Rinjani mengalihkan atensinya dari kotak tersebut. “Ini dari siapa, ya?”Tanpa menjawab pertanyaan Rinjani, pria bertopi itu bergegas pergi dari sana, meninggalkan gadis itu dengan penuh tanda tanya.“Eh? Mas! Ini dari siapa?” tanya Rinjani sekali lagi sedikit berteriak karena pria bertopi it uterus berjalan menjauh.“Rin? Ada apa?” tegur Arsha membuat Rinjani menoleh.Rinjani mengangkat kotak kado di tangannya. “Ada yang kasih kado, tapi orangnya pakai topi sama masker. Dan pas aku tanya ini dari siapa, dia malah pergi.”“Coba buka. Siapa tau ada nama pengirim di dalamnya,” ujar Arsha sambil melihat kotak kado itu dengan tatapan penasaran.“Masuk dulu aja. Kita buka di dalam, yuk,” ajak Rinjani sambil lebih
Arsha melangkahkan kainya memasuki ruangan di mana Rinjani tengah terbaring. Terlihat mata gadis itu masih tertutup karena obat penennag masih menguasai tubuhnya dan membuat kesadarannya hilang.“Sha, Tante titip Rinjani sebentar, ya. Tante mau ambil baju,” ucap Hanna ketika melihat Arsha memasuki ruangan tersebut.“Iya, Tante. Tante tenang aja, Arsha akan di sini jagain Rin.”Hanna bangkit dari duduknya, mengecup pucuk kepala Rinjani sebelum berjalan keluar dari ruang rawat tersebut.Ketika wanita itu hendak membuka pintu, terlihat daun pintu bergerak dan muncullah sosok laki-lai yang selama ini selalu menemani di sampingnya.“Pa, sudah selesai mengurus administrasi?” tanya Hanna.“Sudah, Ma. Mama mau ke mana?” tanya Tama yang melihat Hanna menjinjing tasnya dan kunci mobil milik mereka.“Mama mau ambil baju ganti buat Rin. Papa mau nitip sesuatu?”Tama mendekat mengambil kunci mobil di genggaman tangan istrinya. “Ayo, Papa yang antar. Papa nggak tenang kalau Mama pergi sendiri.”Akh