Dengan napas yang belum teratur, gadis itu mengetuk pintu dengan rasa takut. Tidak ada sahutan dari dalam, Rinjani pun memberanikan diri untuk membuka pintu. Ternyata, ruang kelasnya kosong. Rinjani mengabil ponsel yang sedari tadi terus bergetar.
“Halo, Sha. Kamu di mana?”
“Ya ampun, akhirnya diangkat juga. Buruan ke kantin, Bu Maya batalin kelas.”
Rasa kesal menguasai Rinjani. Gerutuan terus saja terucap dari mulut gadis itu. “Udah dibelain lari-lari sampai hampir jatuh. Ternyata libur? Ya Tuhan, ini lebih sakit daripada diputusin doi.”
Sesampainya di kantin, Rinjani langsung duduk di depan Arsha dan meletakkan buku-bukunya dengan kasar.
“Sumpah, ya. Kesel banget. Bisa-bisanya batalin kelas mendadak. Kamu juga, Sha, kok nggak ngabarin, sih.”
“Enak aja, aku udah berusaha buat hubungin kamu berkali-kali nggak diangkat. Salah siapa coba?”
“Nggak tau deh, kesel,” gerutu Anjani.
Arsha menepuk-nepuk pundak Rinjani, “Pesen makan sana! Aku yang bayar.”
“Pesenin, aku malas gerak.”
“Dasar! Dikasih hati minta daging setulang-tulangnya.”
“Pesenin,” ucap Rinjani dengan nada memelas.
“Iya, iya.”
“Bakso tanpa mie, terus minumnya jus lemon, ya,” ujar Rinjani sambil tersenyum yang justru terlihat sangat menyebalkan.
Sepuluh menit kemudian, Arsha datang dengan memegang baki berisi dua mangkok dan dua gelas minuman. “Silakan dinikmati, Tuan Putri.”
“Tentu, terima kasih. Kamu baik sekali,” jawab Rinjani lalu tertawa.
“Seneng banget nyiksa teman sendiri.”
“Bukannya tadi kamu yang nawarin, dah makan.”
Rinjani menikmati makannya sambil sesekali mengajak Arsha berbicara. Hal itu membuatnya semakin kesal. Karena gadis berambut prang tersebut sangat tidak suka berbicara saat makan.
Setelah Rinjani dan Arsha selesai makan, mereka berjalan beriringan menuju ruang kelas untuk mengikuti mata kuliah berikutnya. Beruntung, hari ini hanya ada dua mata kuliah.
“Rin, setelah kelas, temenin aku ketemu sepupu, ya,” bisik Arsha.
“Maaf, aku udah janji mau temenin mama ke butik.”
“Mau ngapain ke butik?”
“Nyuci piring. Ya beli baju lah.”
“Rinjani, Arsha, kalau mau ngbrol jangan di kelas saya!” gertak Bu Susi yang merasa diabaikan.
“Maaf, Bu,” cicit Rinjani sambil tersenyum.
***
“Rin pulang …, Ma? Mama di mana?” teriak Rinjani begitu memasuki rumah.
“Mama di ruang tengah!” sahut wanita paruh baya yang tdak kalah keras dengan teriakan Rinjani.
Rinjani bergegas menutup pintu lalu berjalan cepat ke ruang tengah yang biasa menjadi tempat kumpul keluarga. Dilihatnya sang ibu sedang duduk ditemani satu toples keripik.
“Mamaku Sayang, jadi ke butik, ‘kan?” tanya Rinjani sambil memeluk ibunya dari belakang.
“Iya, jadi. Kamu bebersih dulu sana, terus makan.” Hanna menjawab tanpa mengalihkan pandangan dari layar besar di hadapannya yang sedang menayangkan serial drama kesukaan ibu-ibu.
“Siap, Mama Cantik.”
“Kok Mama curiga, ya,” ujar Hanna sambil menatap putrinya penuh selidik.
“Ih, nggak baik nuduh, apalagi sama anak sendiri. Udah, ya, Rin mau ke kamar dulu. Mau mandi, lengket,” ucap Rinjani seraya mengibas-ngibaskan tangannya.
”Rin, Rin. Udah ketebak, pasti ada maunya,” gumam Hanna.
Rinjani berjalan sambil besenandung ria. Dia bergegas masuk ke kamar mandi dan memulai ritual mandinya. Dia sudah tidak sabar menemani ibunya ke butik dan berniat menguras dompet sang ibu.
Setelah selesai mandi dan memakai pelembab wajah, dia segera turun karena perutnya sudah berbunyi, minta diisi.
Rinjani sengaja mengambil sepiring makan dan segelas minum, lalu membawanya ke ruang tengah. Dia ingin makan sambil menonton dan Rinjani juga merasa tidak selera jika harus makan sendirian.
“Mama udah makan?” tanya Rinjani seraya duduk di dekat sang ibu.
“Udah tadi. Kok kamu makannya dikit banget.”
“Sengaja, Ma. Rin berniat beli jajan nanti,” jawab Rinjani tidak terlalu jelas karena mulutnya berisi makanan
“Dasar, ada-ada aja kamu.”
***
Rinjani dan Hanna sudah berada di dalam mobil menuju ke bukit. Hanna sedang fokus dengan kaca dan lipstik. Sedangkan Rinjani fokus menyetir.
“Ma, kita butik Tante Santi, ‘kan?”
“Iya, dong. Sekalian minta harga spesial.”
Santi adalah adik dari Hanna. Dia pemilik Butik Klasik Modern. Sebuah butik yang menyediakan baju-baju kekinian dengan sentuhan batik khas tradisional.
Kurang lebih dua puluh menit, mereka sampai di butik. Setelah memarkirkan mobil, mereka masuk. Hanna dan Rinjani memang biasa rutin memanjakan mata dengan berburu baju di butik milik Santi.
“Hai Tante,” sapa Rinjani sambil memeluk Santi.
“Hai, Keponakan tante yang cantik. Gimana kabarnya, Sayang?”
“Baik, Tante gimana?”
“Tante juga baik. Ayo masuk, ada banyak model terbaru yang sesuai selera kamu.”
“Gitu, ya. Aku dilupain,” protes Hanna yang merasa diabaikan.
“Aduh, ada yang ngambek tu. Udah tinggalin aja. Ayo, Rin.”
Mereka bertiga berkeliling melihat model-model terbaru di butik. Bahkan tangan Hanna dan Rinjani sudah memegang beberapa baju yang mereka suka.
“Ma, pulang yuk. Toko es krim bentar lagi buka, aku mau mampir sana,” ucap Rinjani seraya melihat jam yang melingkar di tangan.
“Ya udah, kita ke kasir dulu.”
Setelah mereka membayar semua baju yang diambil dan berpamitan pada Santi, Rinjani dan Hanna menuju parkiran.
“Kamu mau beli es krim di mana?” tanya Hanna saat sudah duduk di dalam mobil.
“Di pertigaan sebelum masuk kawasan perumahan, Ma.”
“Loh, setau mama di sana nggak ada toko.”
“Emang bukan toko, Ma. Dia pedagang keliling, tapi biasa mangkal di sana dari jam lima sampai setengah enak sore. Tapi, ini tuh es krimnya beda dari yang lain.”
“Iya deh iya, nanti beli aja yang banyak.”
***
Seperti biasa, setiap malam Rinjani sangat kesulitan untuk tidur dan berakhir begadang semalaman.
“Sial! Aku kesiangan lagi!” maki Rinjani saat bangun tidur dan melihat sudah pukul tujuh.
Mengingat bahwa dia telah berjanji akan datang lebih awal untuk membantu Arsha mengerjakan tugas, Rinjani segera bergegas untuk bersiap.
Sesampainya di kampus dia segera memarkirkan mobilnya. Lalu Rinjani keluar dengan tergesa-gesa dan langsung berjalan cepat menuju kantin Fakultas Ekonomi.
Rinjani sedikit menyesal menggunakan tas kecil yang tidak bisa menampung semua bukunya. Sehingga kedua tangannya penuh memegang buku dan juga bekal yang belum sempat dimakan. Beruntung koridor masih sangat sepi. Jadi, Rinjani bisa lebih leluasa untuk berjalan cepat tanpa takut bertabrakan.
Dalam hati, Rinjani merutuki jarak dari parkiran menuju kantin yang cukup jauh. Bisa dipastikan jika Arsha sedang duduk sendirian di kantin sambil terus mengirim pesan kepada Rinjani. Terbukti dengan ponselnya yang berkali-kali bergetar di saku celana.
Sesampainya di kantin, Rinjani melihat Arsha tengah duduk di dekat jendela kaca sambil terus memandangi ponselnya. Bahkan dia tidak sadar jika Rinjani sudah berada di dekatnya.
“Maaf telat. Aku kesiangan,” ucap Rinjani dengan napas yang masih terengah-engah.
Rinjani langsung duduk di kursi yang ada di depan Arsha. Lalu tanpa merasa berdosa, dia mengambil segelas es jeruk yang bisa dipastikan milik Arsha.
“Mana tugasnya?” tanya Rinjani langsung ke intinya.
“Ya ampun, Rin. Untung kita temenan udah lama, ya. Kamu kok ngeselin banget sih!” gerutu Arsha sambil menampilkan senyum yang dibuat-buat.
“Kurang baik apa, sih. Aku udah bela-belain bawa bekal sampai sini, nih,” ucap Rinjani sambil menujuk-nunjuk kotak bekalnya.
Setelah Rinjani membantu Arsha mengerjakan tugas, mereka bersiap mengikuti kelas berikutnya yang akan dimulai sebentar lagi. “Sha, aku nitip buku sama bilangin ke dosen, ya. Pengin ke toilet,” ujar Rinjani dengan terburu-buru. Sampai di depan pintu, dia buru-buru masuk. Akan tetapi, kemudian dia diam mematung karena ada dua laki-laki yang sedang mencuci wajahnya. Perlahan, Rinjani berjalan mundur saat sadar kalau dia salah masuk toilet. “Au—” Rinjani menutup mulutnya yang hendak berteriak, dia terkejut karena kepalanya membentur dada bidang milik seseorang di belakangnya. Tubuh Rinjani kaku dan wajahnya memerah karena malu. Gadis itu hanya bisa diam menunduk. Hingga sepasang tangan memegang lengannya dan memaksa dia berbalik badan. “Buka matamu. Bukankah tadi kamu sudah mengintip mereka?” ujar orang itu sambil menunjuk dua laki-laki yang berada di dalam, dengan dagunya. Rinjani kesal, dia merasa terhina dengan ucapan pria di hadapannya
“Wah, sepertinya kita jodoh, ya. Baru saja bertemu di kantin, sekadang bertemu lagi di perpustakaan.” Perasaan Rinjani semakin tidak karuan. Dia mengabaikan orang di depannya dan masuk begitu saja. Terdegar jika Arsha mengejek Agam saat melihat Rinjani mengabaikannya. “Kasian sekali Kakak Sepupuku yang jelek ini,” sindir Arsha seraya menyusul Rinjani masuk. Tangan sawo matang itu menari-nari, menyusuri buku-buku yang berjajar rapi di rak. Tadinya Rinjani berniat untuk tidak jadi masuk ke perpustakaan, jika saja dia tidak ingat bahwa buku yang akan dia pinjam, dibutuhkan hari ini. Buku tebal bersampul kuning tua sudah berada di tangan Rinjani, dia hendak ke meja penjaga untuk mencatat pinjamannya, sebelum Arsha menghentikan langkah gadis itu. “Rin, bukannya kamu sudah pinjam buku Pengantar Bisnis, ya?” “Ketinggalan.” “Ya ampun ….” “Sha, nanti temenin makan es krim, ya. Mau perbaikan mood.” “Kalau toko es krim mah
Mata gadis itu terus saja menatap ke luar jendela. Dia merasa tidak nyaman berada satu mobil dengan Agam. Rinjani sedikit menyesal Karena tidak memaksa Arsha untuk ikut dengannya. Agam tidak jauh berbeda, baru kali ini dia merasa gugup saat berdua dengan seorang gadis. Mungkin karena Rinjani berbeda dari gadis-gadis yang biasa mengejarnya. Jika biasanya Agam akan rishi karena ocehan mereka, kali ini lelaki itu justru harus mencari topik pembicaraan. Dahi pria itu berkerut dan jarinya tidak mau diam, terus saja mengetuk-etuk setir mobil. Agam sedang mencari cara agar suanana tidak terus membosankan. “Rin, rumahmu di mana?” Agam membuka suara untuk memecah keheningan. Rinjani tidak menoleh, sepertinya pemandangan di luar mobil memang lebih menarik dibanding pria di dekatnya. “Jalan aja, nanti kalau udah deket aku kasih tau.” Agam menghela napas lelah, dia tidak tahu cara agar Rinjani mau banyak berbicara. Padahal saat beberapa hari ini Aga
Keesokan harinya Rinjani bangun lebih pagi. Tidak seperti biasanya, tadi malam gadis itu tidur lebih awal dan sangat lelap. Mungkin karena tubuhnya lelah atau mungkin traumanya perlahan mulai terobati. Jam menunjukkan pukul tujuh pagi, itu artinya Rinjani masih memliki waktu satu jam sebelum kelas pertamanya dimulai. Gadis itu sudah siap berangkat ke kampus dia tidak mau berlari-lari karena takut tertinggal kelas, seperti tempo hari. Setelah mengambil sarapannya serta berpamitan dengan kedua orang tuanya, Rinjani bergegas ke garasi rumahnya. Rinjani membuka pintu dan di sambut langit pagi yang terlihat biru cerah membuat suasana hati Rinjani semakin bersemangat. Seolah-olah alam semesta sedang memberi tahu Rinjani, bahwa akan ada awal yang istimewa untuk hari ini. Namun, hal itu hanya bertahan sebentar. Saat Rinjani menilik garasi, dia baru ingat kalau mobilnya belum dikembalikan. “Oh, sial! Bagaimana mungkin aku lupa. Minta dijemput Ars
“Ya Tuhan, jauhkan aku dari manusia-manusia bucin, ini,” sindir Arsha dengan nada yang sengaja dibuat-buat. Mata Rinjani memincing, menyorot tajam kepada Arsha, seolah-olah laser mematikan terpancar dari sana. Tangan Arsha trangkat mengacungkan symbol peace tanda damai kepada sahabatnya yang marah. Gadis itu tidak mau jika terkena amukan Rinjani yang sangat mengerikan,layaknya singa betina yang melindungi anaknya. Rinjani mengalihkan tatapannya kepada Agam. Sorot tidak suka terlihat jelas di sana, menutup rasa terbiasa yang sebenarnya sudah hadir. “Mending kamu pergi dari sini. Aku muak melihatmu terus-menerus,” usir Rinjani sambil terus memperlihatkan raut tidak suka. Bukannya tersinggung, bibir pria itu justru tertarik ke atas menciptakan sebuah senyuman yang mengerikan. Agam merasa semakin tertantanng untuk bisa meluluhkan hati Rinjani dan mendapatkan cintanya. “Nggak usah gitu, Sayang …. Nanti ujungnya cinta …,” god
“Mulai, deh. Udah sana Mama keluar aja. Rin mau mandi, pengin berendam juga,” usir Rinjani yang sudah paham dengan sifat sang ibu yang suka menggoda. Bukannya langsung pergi, Hanna justru semakin gencar menggoda Rinjani. “Aduh senangnya, Anak Mama udah mulai peka lagi. Nanti malam sekalian kenalan sama anak Tante Eisha, ya.” Mata Rinjani terbuka lebar, bibirnya maju mengerucut menandakan jika gadis itu sudah kesal. “Udah, deh, Ma. Kalau gitu terus mending Rin nggak usah ikut sekalian.” “Oke-oke, Mama keluar sekarang …. Mandi yang bersih biar wangi dan nggak malu-maluin!” teriak Hanna dari balik pintu membuat Rinjani sangat kesal tetapi justru berakhir tertawa mendapati tingkah aneh sang ibu. Mata bulat itu melihat ke arah pintu, lalu sebuah senyuman terukir di wajah gadis itu. Rinjani sangat bersyukur memiliki keluarga yang selalu ada untuknya. Terutama sosok ibu yang selalu bisa memahami suasana hatinya, serta tahu bagaimana cara membuat dia kembali
Rinjani dan kedua orang tuanya sudah berada di rumah. Acara makan malam sudah selesai, dan kesepakatan kerjasama untuk membuka cabang toko perhiasan sudah ditandatangani. Sejak kembali dari acara makan malam tadi, Rinjani terus memasang wajah tanpa senyum. Hanna yang menyadari perubahan putrinya hanya bisa menghela napas. Karena mau memancing bembicaraan untuk membuat Rinjani tertawa juga bukan saat yang tepat. “Lihat itu putrimu! Bagaimana dia bisa punya kekasih kalau terus saja bersikap dingin begitu,” keluh Hanna kepada suaminya sambil memerhatikan Rinjani yang langsung ke kamarnya Tama memeluk sang istri dari samping seraya berkata, “Sudah, biarkan saja. Nanti kalau sudah waktunya juga pasti punya. Lebih baik kita istirahat, ini sudah malam.” Sementara itu, Rinjani yang sudah berada di kamar memilih untuk mandi sebelum tidur. Hati dan logikanya sedang berperang, dan gadis itu butuh penyegaran. Setelah selesai mandi, di naik ke ranjang dan
“Agam!” Varen menepuk pundak Agam dan membuatnya tersadar dari lamunan. Tanpa memerdulikan Varen, Agam pergi begitu saja. Yang ada di pikiran pria itu saat ini hanyalah Rinjani. Dia begitu mengkhawatirkan keadaan gadis itu. Langkahnya terlihat sangat buru-buru dan sorot di mata pria itu menyiratkan kegelisahan. Agam langsung melajukan mobilnya meninggalkan parkiran kampus dengan kecepatan tinggi. “Kamu kenapa, Rin … kamu kenapa?” gumam Agam sambil berusaha untuk tetap fokus menyetir. *** “Permisi, Tante, Om. Bagaimana keadaan Rinjani?” tanya Agam dengan napas terputus-putus begitu dia sampai di depan ruangan di mana Rinjani sedang diperiksa. “Dia masih di dalam, dokter masih memeriksanya,” jawab Tama masih sambil menenangkan sang istri. Agam memilih duduk di kursi tunggu tak jauh dari kedua orang tua Rinjani. Kedua tangan pria itu ditautkan dan kakinya terus bergerak tanda bahwa Agam sedang gelisah. Beberapa saat kemudi