Share

Bab 3 Hari Bersama Mama

Dengan napas yang belum teratur, gadis itu mengetuk pintu dengan rasa takut. Tidak ada sahutan dari dalam, Rinjani pun memberanikan diri untuk membuka pintu. Ternyata, ruang kelasnya kosong. Rinjani mengabil ponsel yang sedari tadi terus bergetar.

“Halo, Sha­­. Kamu di mana?”

“Ya ampun, akhirnya diangkat juga. Buruan ke kantin, Bu Maya batalin kelas.”

Rasa kesal menguasai Rinjani. Gerutuan terus saja terucap dari mulut gadis itu. “Udah dibelain lari-lari sampai hampir jatuh. Ternyata libur? Ya Tuhan, ini lebih sakit daripada diputusin doi.”

Sesampainya di kantin, Rinjani langsung duduk di depan Arsha dan meletakkan buku-bukunya dengan kasar.

“Sumpah, ya. Kesel banget. Bisa-bisanya batalin kelas mendadak. Kamu juga, Sha, kok nggak ngabarin, sih.”

“Enak aja, aku udah berusaha buat hubungin kamu berkali-kali nggak diangkat. Salah siapa coba?”

“Nggak tau deh, kesel,” gerutu Anjani.

Arsha menepuk-nepuk pundak Rinjani, “Pesen makan sana! Aku yang bayar.”

“Pesenin, aku malas gerak.”

“Dasar! Dikasih hati minta daging setulang-tulangnya.”

“Pesenin,” ucap Rinjani dengan nada memelas.

“Iya, iya.”

“Bakso tanpa mie, terus minumnya jus lemon, ya,” ujar Rinjani sambil tersenyum yang justru terlihat sangat menyebalkan.

Sepuluh menit kemudian, Arsha datang dengan memegang baki berisi dua mangkok dan dua gelas minuman. “Silakan dinikmati, Tuan Putri.”

“Tentu, terima kasih. Kamu baik sekali,” jawab Rinjani lalu tertawa.

“Seneng banget nyiksa teman sendiri.”

“Bukannya tadi kamu yang nawarin, dah makan.”

Rinjani menikmati makannya sambil sesekali mengajak Arsha berbicara. Hal itu membuatnya semakin kesal. Karena gadis berambut prang tersebut sangat tidak suka berbicara saat makan.

Setelah Rinjani dan Arsha selesai makan, mereka berjalan beriringan menuju ruang kelas untuk mengikuti mata kuliah berikutnya. Beruntung, hari ini hanya ada dua mata kuliah.

“Rin, setelah kelas, temenin aku ketemu sepupu, ya,” bisik Arsha.

“Maaf, aku udah janji mau temenin mama ke butik.”

“Mau ngapain ke butik?”

“Nyuci piring. Ya beli baju lah.”

“Rinjani, Arsha, kalau mau ngbrol jangan di kelas saya!” gertak Bu Susi yang merasa diabaikan.

“Maaf, Bu,” cicit Rinjani sambil tersenyum.

***

“Rin pulang …, Ma? Mama di mana?” teriak Rinjani begitu memasuki rumah.

“Mama di ruang tengah!” sahut wanita paruh baya yang tdak kalah keras dengan teriakan Rinjani.

Rinjani bergegas menutup pintu lalu berjalan cepat ke ruang tengah yang biasa menjadi tempat kumpul keluarga. Dilihatnya sang ibu sedang duduk ditemani satu toples keripik.

“Mamaku Sayang, jadi ke butik, ‘kan?” tanya Rinjani sambil memeluk ibunya dari belakang.

“Iya, jadi. Kamu bebersih dulu sana, terus makan.” Hanna menjawab tanpa mengalihkan pandangan dari layar besar di hadapannya yang sedang menayangkan serial drama kesukaan ibu-ibu.

“Siap, Mama Cantik.”

“Kok Mama curiga, ya,” ujar Hanna sambil menatap putrinya penuh selidik.

“Ih, nggak baik nuduh, apalagi sama anak sendiri. Udah, ya, Rin mau ke kamar dulu. Mau mandi, lengket,” ucap Rinjani seraya mengibas-ngibaskan tangannya.

”Rin, Rin. Udah ketebak, pasti ada maunya,” gumam Hanna.

Rinjani berjalan sambil besenandung ria. Dia bergegas masuk ke kamar mandi dan memulai ritual mandinya. Dia sudah tidak sabar menemani ibunya ke butik dan berniat menguras dompet sang ibu.

Setelah selesai mandi dan memakai pelembab wajah, dia segera turun karena perutnya sudah berbunyi, minta diisi. 

Rinjani sengaja mengambil sepiring makan dan segelas minum, lalu membawanya ke ruang tengah. Dia ingin makan sambil menonton dan Rinjani juga merasa tidak selera jika harus makan sendirian.

“Mama udah makan?” tanya Rinjani seraya duduk di dekat sang ibu.

“Udah tadi. Kok kamu makannya dikit banget.”

“Sengaja, Ma. Rin berniat beli jajan nanti,” jawab Rinjani tidak terlalu jelas karena mulutnya berisi makanan

“Dasar, ada-ada aja kamu.”

***

Rinjani dan Hanna sudah berada di dalam mobil menuju ke bukit. Hanna sedang fokus dengan kaca dan lipstik. Sedangkan Rinjani fokus menyetir.

“Ma, kita butik Tante Santi, ‘kan?”

“Iya, dong. Sekalian minta harga spesial.”

Santi adalah adik dari Hanna. Dia pemilik Butik Klasik Modern. Sebuah butik yang menyediakan baju-baju kekinian dengan sentuhan batik khas tradisional.

Kurang lebih dua puluh menit, mereka sampai di butik. Setelah memarkirkan mobil, mereka masuk. Hanna dan Rinjani memang biasa rutin memanjakan mata dengan berburu baju di butik milik Santi.

“Hai Tante,” sapa Rinjani sambil memeluk Santi.

“Hai, Keponakan tante yang cantik. Gimana kabarnya, Sayang?”

“Baik, Tante gimana?”

“Tante juga baik. Ayo masuk, ada banyak model terbaru yang sesuai selera kamu.”

“Gitu, ya. Aku dilupain,” protes Hanna yang merasa diabaikan.

“Aduh, ada yang ngambek tu. Udah tinggalin aja. Ayo, Rin.”

Mereka bertiga berkeliling melihat model-model terbaru di butik. Bahkan tangan Hanna dan Rinjani sudah memegang beberapa baju yang mereka suka.

“Ma, pulang yuk. Toko es krim bentar lagi buka, aku mau mampir sana,” ucap Rinjani seraya melihat jam yang melingkar di tangan.

“Ya udah, kita ke kasir dulu.”

Setelah mereka membayar semua baju yang diambil dan berpamitan pada Santi, Rinjani dan Hanna menuju parkiran.

“Kamu mau beli es krim di mana?” tanya Hanna saat sudah duduk di dalam mobil.

“Di pertigaan sebelum masuk kawasan perumahan, Ma.”

“Loh, setau mama di sana nggak ada toko.”

“Emang bukan toko, Ma. Dia pedagang keliling, tapi biasa mangkal di sana dari jam lima sampai setengah enak sore. Tapi, ini tuh es krimnya beda dari yang lain.”

“Iya deh iya, nanti beli aja yang banyak.”

***

Seperti biasa, setiap malam Rinjani sangat kesulitan untuk tidur dan berakhir begadang semalaman.

“Sial! Aku kesiangan lagi!” maki Rinjani saat bangun tidur dan melihat sudah pukul tujuh.

Mengingat bahwa dia telah berjanji akan datang lebih awal untuk membantu Arsha mengerjakan tugas, Rinjani segera bergegas untuk bersiap.

Sesampainya di kampus dia segera memarkirkan mobilnya. Lalu Rinjani keluar dengan tergesa-gesa dan langsung berjalan cepat menuju kantin Fakultas Ekonomi.

Rinjani sedikit menyesal menggunakan tas kecil yang tidak bisa menampung semua bukunya. Sehingga kedua tangannya penuh memegang buku dan juga bekal yang belum sempat dimakan. Beruntung koridor masih sangat sepi. Jadi, Rinjani bisa lebih leluasa untuk berjalan cepat tanpa takut bertabrakan.

Dalam hati, Rinjani merutuki jarak dari parkiran menuju kantin yang cukup jauh. Bisa dipastikan jika Arsha sedang duduk sendirian di kantin sambil terus mengirim pesan kepada Rinjani. Terbukti dengan ponselnya yang berkali-kali bergetar di saku celana.

Sesampainya di kantin, Rinjani melihat Arsha tengah duduk di dekat jendela kaca sambil terus memandangi ponselnya. Bahkan dia tidak sadar jika Rinjani sudah berada di dekatnya.

“Maaf telat. Aku kesiangan,” ucap Rinjani dengan napas yang masih terengah-engah.

Rinjani langsung duduk di kursi yang ada di depan Arsha. Lalu tanpa merasa berdosa, dia mengambil segelas es jeruk yang bisa dipastikan milik Arsha.

“Mana tugasnya?” tanya Rinjani langsung ke intinya.

“Ya ampun, Rin. Untung kita temenan udah lama, ya. Kamu kok ngeselin banget sih!” gerutu Arsha sambil menampilkan senyum yang dibuat-buat.

“Kurang baik apa, sih. Aku udah bela-belain bawa bekal sampai sini, nih,” ucap Rinjani sambil menujuk-nunjuk kotak bekalnya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status