“Mari, Pak, ke sebelah sini,” ujar sang suster membuat Rinjani menghembuskan napas lega.
Mereka berjalan menyusuri lorong berikutnya, hingga berhenti di depan sebuah ruangan. “Pak, Bu, Kak, tunggu di sini dulu, ya. Dokter masih di dalam. Saya permisi.”
“Terima kasih, Sus,” ucap Tama yang dijawab anggukan oleh sang suster.
Beberapa menit kemudian, seorang dokter keluar bersama dua orang suster di belakngnya.
“Bagaimana keadaan Dava, Dok?” tanya Rinjani tidak sabaran.
“Kamu Rinjani? Sedari tadi pasien terus menyebut nama kamu, coba kamu masuk siapa tahu itu bisa membuat dia siuman.”
Rinjani langsung masuk ke ruang tersebut. Dilihatnya seorang pria yang sangat dia cintai tengah terbaring lemah di ranjang. Bibir pucatnya sesekali terbuka menggumamkann nama Rinjani.
Perlahan Rinjani mendekat dan duduk di kursi dekat ranjang. Tangannya terulur menyentuh kepala Dava dan menyusuri setiap inci dari wajah pucat tersebut.
“Dava, bangun. Mana janji kamu? Kamu bilang mau kasih kejutan di hari ulang tahun aku. Aku nggak mau kejutan kaya gini. Aku nggak mau, Dav …, bangun ….”
Air mata terus saja mengalir membasahi wajah Rinjani, dia merasa sangat takut. Dia takut kehilangan cintanya. Keadaan Dava membuat pikiran buruk memenuhi kepala Rinjani.
Perutnya diperban, tangan kanan dan kaki kirinya patah. Serta banyak luka goresan di lengan dan kaki. Beruntung Dava menggunakan pelindung kepala, jadi kepalanya aman.
Hanna menangis dalam pelukan Tama. Keduanya berdiri di dekat pintu menatap putri mereka yang terlihat sangat rapuh. Mereka tahu betapa besar rasa cinta yang dimiliki Rinjani untuk Dava. Akan tetapi, keduanya juga tidak bisa berbuat banyak, bahkan untuk menenangkan putrinya saja tidak sanggup.
“Rin ….” gumam Dava sangat pelan.
Rinjani dan kedua orang tuanya terkejut dan merasa lega saat melihat Dava sudah siuman. Senyuman terukir di wajah sembap Rinjani.
“Jangan menangis ….” Dava berucap dengan susah payah hingga suara yang keluar pun sangat pelan.
Rinjani hanya bisa melebarkan senyumnya lalu menghapus air matanya. Dava benar, aku nggak boleh nangis. Aku harus bisa menjadi kekuatannya untuk sembuh.
“Makasih, ya. Aku sayang kamu,” ucap Rinjani sambil tersenyum.
“Aku tau. Aku juga saya- Akh ….” Ucapan Dava terputus, dia berteriak kesakitan sambil memegangi dadanya.
Rinjani sangat panik melihat pria yang dicintainya berteriak keras. Pikirannya sangat kalut, Rinjani hanya bisa berteriak-teriak memanggil dokter. Riasan ulang tahun di wajahnya semakin hancur tak berbentuk.
Tangan yang sedari tadi digenggam Rinjani meremas keras seolah menyalurkan rasa sakit yang dideritanya. Sorot mata sayu pria di depannya membuat hati Rinjani semakin gelisah.
Rinjani tidak henti-hentinya menangis. Dia sangat sedih melihat penderitaan yang dialami Dava. Dia tidak mau kehilangan Dava, tetapi juga tidak sanggup melihatnya menderita.
Rin, sakit. Biarkan aku pergi. Mata Dava menatap sendu tepat di mata Rinjani seoalah berkata demikian.
Rinjani semakin kalut, dia hanya bisa menggeleng seraya memegang erat tangan Dava. Gadis itu sangat ketakutan, dan dokter tidak kunjung sampai.
Rinjani benar-benar bingung, dia tidak ingin Dava pergi. Tetapi hatinya juga sakit melihat keadaannya sekarang. Dengan berat hati, akhirnya Rinjani mengangguk sambil tersenyum paksa.
Tepat di saat Rinjani mengangguk, Dava tersenyum lalu menghembuskan napas terakhirnya. Jiwanya telah pergi meninggalkan seonggok raga yang sudah tak berdaya.
Rinjani sangat terkejut. Dia tidak menyangka bahwa Dava benar-benar pergi meninggalkannya. Orang yang dia cintai pergi, untuk selamanya.
“Nggak. Ini nggak mungkin. Dava …!” Jeritan dan tangis histeris menggema di ruangan dengan aroma obat tersebut. “Dav! Bangun! Dava … bangun, jangan tinggalkan aku. Dava!”
***
Rinjani terbangun dengan keadaan tubuh basah kuyup dengan keringat. Matanya juga sembab karena menangis. Dia hanya bisa duduk terdiam di tempat tidur. Bayang-bayang senyum terahir Dava kembali terngiang di pikiran gadis itu. Tangisan pilu kembali terdengar, memecah keheningan malam.
Gadis itu memegang dadanya yang terasa sesak. Luka yang tak terlihat masih terasa begitu perih seolah kembali disayat-sayat. Rasa kehilangan yang mendalam masih Rinjani rasakan. Dia belum rela ditinggalkan sang kekasih untuk selama-lamanya.
Jam masih menunjukan pukul tiga pagi dan Rinjani sanksi akan bisa kembali tidur. Tetapi dia tidak mau membuat kedua orang tuanya khawatir jika jatuh sakit. Jadi, Rinjani kembali berbaring dan memaksa matanya terpejam meski banjir air mata. Gadis itu terus menangis sampai tidak sadar kapan dia jatuh tertidur.
***
Pagi harinya, Rinjani terbangun karena kucing kesayanganya naik ke atas tubuhnya. Kucing gembul berwana putih yang menemaninya selama ini memaksa Rinjani membuka matanya.
“Cici, kenapa kamu membangukanku,” gumam Rinjani sambil menyingkirkan kucing gemuk itu ke sisinya yang kosong.
Cici terus saja mengeong membangunkan sang majikan yang masih betah memejamkan mata. Rinjani yang masih mengantuk berusaha mengabaikan suara kucingnya. Namun, semakin Cici diabaikan justru bertambah gencar melakukan aksinya. Hingga akhirnya Rinjani mengubur dirinya di dalam selimut.
Mata gadis itu hambir kembali terpejam, hingga suara merdu sang ibunda mengejutkannya. Hanna yang sudah tidak tahan menunggu anaknya, naik ke lantai dua dan menggedor-gedor pintu kamar Rinjani.
“Rinjani, mau sampai kapan kamu tidur?”
Bukannya menyahut, Rinjani justru menenggelamkan kepalanya di bawah bantal. Berharap itu bisa menghalang suara ibunya untuk masuk ke telinga.
Namun sepertinya sang ibunda tidak mau kalah. Dia memasuki kamar Rinjani yang ternyata lupa tidak dikunci. Wanita paruh baya tersebut segera masuk. Dia menggelengkan kepala ketika melihat kelakuan putrinya yang masih membungkus seluruh tubuhnya dengan selimut.
“Bagun!” Hanna menarik selimut yang menutupi tubuh anaknya. “Hei! Apa tidak malu anak gadis bangunya siang.”
“Oh, ayolah, Ma. Rin baru tidur sebentar,” gumam Rinjani sambil menarik kembali selimutnya.
“Bangun, bukannya hari kamu ada kelas pagi?”
Mendengar penuturan sang ibu, Rinjani langsung membuka matanya lebar-lebar. Dia lupa jika hari ini kelas pagi. Secepat mungkin dia menuruni ranjang dan langsung berlari menuju kamar mandi. Hanna berkali-kali mengelus dada melihat kelakuan putrinya. Dia tidak habis pikir, entah sifat siapa yang ditiru Rinjani.
***
Kurang lebih sepuluh menit, Rinjani sudah selesai bersiap. Dia bergegas keluar kamar dengan setumpuk buku di tangannya dan tas kecil di punggungnya.
“Ma, Pa. Rin berangkat, ya,” pamit Rinjani kepada kedua orang tuanya yang sedang sarapan.
“Iya, hati-hati di jalan, ini sarapannya. Roti isi kesukaan kamu. Jangan lupa dimakan, ya,” ucap Hanna sambil memberikan kotak makan berwarna biru muda.
Hanna adalah sosok ibu yang sangat penyayang dan bisa dijadikan teman curhat yang baik. Rinjani sangat beruntung memiliki sosok ibu seperti Hanna. Bukan hanya itu, Tama juga sosok ayah yang humoris meski terkadang dia akan bersikap tegas jika Rinjani melakukan kesalahan.
Rinjani melihat jam tangan kecil yang melingkar indah di pergelangan tangan, ternyata sudah menunjukan pukul tujuh lebih lima belas menit. Langkah kaki gadis itu dipercepat menuju garasi mobil di samping rumah.
Mobil mengkilap berwarna merah sudah menunggu sang pemiliknya. Rinjani segera masuk ke mobil dan keluar dari pekarangan rumah, dibantu oleh salah satu pekerja di rumahnya.
Orang tuanya adalah seorang pedagang sukses. Toko perhiasan milik Tama sudah memiliki banyak cabang. Tetapi, hal itu tidak membuat Rinjani bebas berfoya-foya. Orang tuanya selalu mengajarkan dia untuk berhemat. Setiap awal bulan, Tama akan memberikan uang jajan untuk satu bulan penuh. Apabila sudah habis sebelum waktunya, maka tidak akan ada tambahan lagi. Bukannya terlalu perhitungan, hal itu dilakukan demi kebaikan Rinjani.
Rinjani mengendarai mobilnya dengan kecepatan cukup tinggi. Beruntung sekali jalan menuju kampusnya tidak terlalu padat. Meski begitu, rutukan kesal sesekali keluar dari mulutnya. Dia lupa bahwa ada kelas pagi bersama dosen killer.
Jarak anatara rumah dan kampus bisa dibilang dekat. Tetapi sekarang sudah pukul tujuh lebih dua puluh menit, dan kelas dimulai pukul setengah delapan. Rinjani tidak suka terlambat. Dia juga salah satu mahasiswa teladan di kampusnya.
Rinjani mengambil Fakultas Ekonomi jurusan Pembangunan di salah satu universitas negeri yang berada di Semarang.
Selama perjalanan, Rinjani tidak bisa menikmati pemandangan seperti biasanya. Dia sudah sangat terlambat. Ponselnya juga berkali-kali bergetar. Dia yakin bahwa temannya, Arsha sedang berusaha menghubungi.
Tepat pukul tujuh tiga puluh, rinjani sampai di parkiran kampus. Dengan tangan memegang buku, dia berlari secepat mungkin. Bayang-bayang wajah galak Bu Maya memenuhi kepala Rinjani.
Dengan napas yang belum teratur, gadis itu mengetuk pintu dengan rasa takut. Tidak ada sahutan dari dalam, Rinjani pun memberanikan diri untuk membuka pintu. Ternyata, ruang kelasnya kosong. Rinjani mengabil ponsel yang sedari tadi terus bergetar. “Halo, Sha. Kamu di mana?” “Ya ampun, akhirnya diangkat juga. Buruan ke kantin, Bu Maya batalin kelas.” Rasa kesal menguasai Rinjani. Gerutuan terus saja terucap dari mulut gadis itu. “Udah dibelain lari-lari sampai hampir jatuh. Ternyata libur? Ya Tuhan, ini lebih sakit daripada diputusin doi.” Sesampainya di kantin, Rinjani langsung duduk di depan Arsha dan meletakkan buku-bukunya dengan kasar. “Sumpah, ya. Kesel banget. Bisa-bisanya batalin kelas mendadak. Kamu juga, Sha, kok nggak ngabarin, sih.” “Enak aja, aku udah berusaha buat hubungin kamu berkali-kali nggak diangkat. Salah siapa coba?” “Nggak tau deh, kesel,” gerutu Anjani. Arsha menepuk-nepuk pundak Rinja
Setelah Rinjani membantu Arsha mengerjakan tugas, mereka bersiap mengikuti kelas berikutnya yang akan dimulai sebentar lagi. “Sha, aku nitip buku sama bilangin ke dosen, ya. Pengin ke toilet,” ujar Rinjani dengan terburu-buru. Sampai di depan pintu, dia buru-buru masuk. Akan tetapi, kemudian dia diam mematung karena ada dua laki-laki yang sedang mencuci wajahnya. Perlahan, Rinjani berjalan mundur saat sadar kalau dia salah masuk toilet. “Au—” Rinjani menutup mulutnya yang hendak berteriak, dia terkejut karena kepalanya membentur dada bidang milik seseorang di belakangnya. Tubuh Rinjani kaku dan wajahnya memerah karena malu. Gadis itu hanya bisa diam menunduk. Hingga sepasang tangan memegang lengannya dan memaksa dia berbalik badan. “Buka matamu. Bukankah tadi kamu sudah mengintip mereka?” ujar orang itu sambil menunjuk dua laki-laki yang berada di dalam, dengan dagunya. Rinjani kesal, dia merasa terhina dengan ucapan pria di hadapannya
“Wah, sepertinya kita jodoh, ya. Baru saja bertemu di kantin, sekadang bertemu lagi di perpustakaan.” Perasaan Rinjani semakin tidak karuan. Dia mengabaikan orang di depannya dan masuk begitu saja. Terdegar jika Arsha mengejek Agam saat melihat Rinjani mengabaikannya. “Kasian sekali Kakak Sepupuku yang jelek ini,” sindir Arsha seraya menyusul Rinjani masuk. Tangan sawo matang itu menari-nari, menyusuri buku-buku yang berjajar rapi di rak. Tadinya Rinjani berniat untuk tidak jadi masuk ke perpustakaan, jika saja dia tidak ingat bahwa buku yang akan dia pinjam, dibutuhkan hari ini. Buku tebal bersampul kuning tua sudah berada di tangan Rinjani, dia hendak ke meja penjaga untuk mencatat pinjamannya, sebelum Arsha menghentikan langkah gadis itu. “Rin, bukannya kamu sudah pinjam buku Pengantar Bisnis, ya?” “Ketinggalan.” “Ya ampun ….” “Sha, nanti temenin makan es krim, ya. Mau perbaikan mood.” “Kalau toko es krim mah
Mata gadis itu terus saja menatap ke luar jendela. Dia merasa tidak nyaman berada satu mobil dengan Agam. Rinjani sedikit menyesal Karena tidak memaksa Arsha untuk ikut dengannya. Agam tidak jauh berbeda, baru kali ini dia merasa gugup saat berdua dengan seorang gadis. Mungkin karena Rinjani berbeda dari gadis-gadis yang biasa mengejarnya. Jika biasanya Agam akan rishi karena ocehan mereka, kali ini lelaki itu justru harus mencari topik pembicaraan. Dahi pria itu berkerut dan jarinya tidak mau diam, terus saja mengetuk-etuk setir mobil. Agam sedang mencari cara agar suanana tidak terus membosankan. “Rin, rumahmu di mana?” Agam membuka suara untuk memecah keheningan. Rinjani tidak menoleh, sepertinya pemandangan di luar mobil memang lebih menarik dibanding pria di dekatnya. “Jalan aja, nanti kalau udah deket aku kasih tau.” Agam menghela napas lelah, dia tidak tahu cara agar Rinjani mau banyak berbicara. Padahal saat beberapa hari ini Aga
Keesokan harinya Rinjani bangun lebih pagi. Tidak seperti biasanya, tadi malam gadis itu tidur lebih awal dan sangat lelap. Mungkin karena tubuhnya lelah atau mungkin traumanya perlahan mulai terobati. Jam menunjukkan pukul tujuh pagi, itu artinya Rinjani masih memliki waktu satu jam sebelum kelas pertamanya dimulai. Gadis itu sudah siap berangkat ke kampus dia tidak mau berlari-lari karena takut tertinggal kelas, seperti tempo hari. Setelah mengambil sarapannya serta berpamitan dengan kedua orang tuanya, Rinjani bergegas ke garasi rumahnya. Rinjani membuka pintu dan di sambut langit pagi yang terlihat biru cerah membuat suasana hati Rinjani semakin bersemangat. Seolah-olah alam semesta sedang memberi tahu Rinjani, bahwa akan ada awal yang istimewa untuk hari ini. Namun, hal itu hanya bertahan sebentar. Saat Rinjani menilik garasi, dia baru ingat kalau mobilnya belum dikembalikan. “Oh, sial! Bagaimana mungkin aku lupa. Minta dijemput Ars
“Ya Tuhan, jauhkan aku dari manusia-manusia bucin, ini,” sindir Arsha dengan nada yang sengaja dibuat-buat. Mata Rinjani memincing, menyorot tajam kepada Arsha, seolah-olah laser mematikan terpancar dari sana. Tangan Arsha trangkat mengacungkan symbol peace tanda damai kepada sahabatnya yang marah. Gadis itu tidak mau jika terkena amukan Rinjani yang sangat mengerikan,layaknya singa betina yang melindungi anaknya. Rinjani mengalihkan tatapannya kepada Agam. Sorot tidak suka terlihat jelas di sana, menutup rasa terbiasa yang sebenarnya sudah hadir. “Mending kamu pergi dari sini. Aku muak melihatmu terus-menerus,” usir Rinjani sambil terus memperlihatkan raut tidak suka. Bukannya tersinggung, bibir pria itu justru tertarik ke atas menciptakan sebuah senyuman yang mengerikan. Agam merasa semakin tertantanng untuk bisa meluluhkan hati Rinjani dan mendapatkan cintanya. “Nggak usah gitu, Sayang …. Nanti ujungnya cinta …,” god
“Mulai, deh. Udah sana Mama keluar aja. Rin mau mandi, pengin berendam juga,” usir Rinjani yang sudah paham dengan sifat sang ibu yang suka menggoda. Bukannya langsung pergi, Hanna justru semakin gencar menggoda Rinjani. “Aduh senangnya, Anak Mama udah mulai peka lagi. Nanti malam sekalian kenalan sama anak Tante Eisha, ya.” Mata Rinjani terbuka lebar, bibirnya maju mengerucut menandakan jika gadis itu sudah kesal. “Udah, deh, Ma. Kalau gitu terus mending Rin nggak usah ikut sekalian.” “Oke-oke, Mama keluar sekarang …. Mandi yang bersih biar wangi dan nggak malu-maluin!” teriak Hanna dari balik pintu membuat Rinjani sangat kesal tetapi justru berakhir tertawa mendapati tingkah aneh sang ibu. Mata bulat itu melihat ke arah pintu, lalu sebuah senyuman terukir di wajah gadis itu. Rinjani sangat bersyukur memiliki keluarga yang selalu ada untuknya. Terutama sosok ibu yang selalu bisa memahami suasana hatinya, serta tahu bagaimana cara membuat dia kembali
Rinjani dan kedua orang tuanya sudah berada di rumah. Acara makan malam sudah selesai, dan kesepakatan kerjasama untuk membuka cabang toko perhiasan sudah ditandatangani. Sejak kembali dari acara makan malam tadi, Rinjani terus memasang wajah tanpa senyum. Hanna yang menyadari perubahan putrinya hanya bisa menghela napas. Karena mau memancing bembicaraan untuk membuat Rinjani tertawa juga bukan saat yang tepat. “Lihat itu putrimu! Bagaimana dia bisa punya kekasih kalau terus saja bersikap dingin begitu,” keluh Hanna kepada suaminya sambil memerhatikan Rinjani yang langsung ke kamarnya Tama memeluk sang istri dari samping seraya berkata, “Sudah, biarkan saja. Nanti kalau sudah waktunya juga pasti punya. Lebih baik kita istirahat, ini sudah malam.” Sementara itu, Rinjani yang sudah berada di kamar memilih untuk mandi sebelum tidur. Hati dan logikanya sedang berperang, dan gadis itu butuh penyegaran. Setelah selesai mandi, di naik ke ranjang dan