Share

Bab 4 Tragedi

Setelah Rinjani membantu Arsha mengerjakan tugas, mereka bersiap mengikuti kelas berikutnya yang akan dimulai sebentar lagi.

“Sha, aku nitip buku sama bilangin ke dosen, ya. Pengin ke toilet,” ujar Rinjani dengan terburu-buru.

Sampai di depan pintu, dia buru-buru masuk. Akan tetapi, kemudian dia diam mematung karena ada dua laki-laki yang sedang mencuci wajahnya. Perlahan, Rinjani berjalan mundur saat sadar kalau dia salah masuk toilet.

“Au—” Rinjani menutup mulutnya yang hendak berteriak, dia terkejut karena kepalanya membentur dada bidang milik seseorang di belakangnya.

Tubuh Rinjani kaku dan wajahnya memerah karena malu. Gadis itu hanya bisa diam menunduk. Hingga sepasang tangan memegang lengannya dan memaksa dia berbalik badan.

“Buka matamu. Bukankah tadi kamu sudah mengintip mereka?” ujar orang itu sambil menunjuk dua laki-laki yang berada di dalam, dengan dagunya.

Rinjani kesal, dia merasa terhina dengan ucapan pria di hadapannya. Wajahnya yang tadi merona karena malu, sekarang merah padam karena marah. Akan tetapi, dia masih waras untuk tidak memaki dan berteriak.

Rinjani melepas paksa kedua tangan pria itu, lalu mendorongnya dengan kasar. Pria itu kesal, tetapi dia justru tersenyum saat mengingat wajah memerah milik gadis tadi.

Pria berperawakan tinggi yang memiliki rambut hitam tersebut kembali ke kelasnya saat sudah menyelesaikan urusannya di toilet. Senyuman masih terpatri di wajahnya.

Varen sangat keheranan melihat tingkah temannya yang baru kembali dari toilet. Tidak biasanya pria itu tersenyum lebar, “Udah nggak waras, ya. Atau jangan-jangan kebentur tadi di toilet?” tanya Varen pada Agam yang sudah duduk di sampingnya.

“Aku habis melihat bidadari tadi,” bisik Agam masih sambil tersenyum.

“Di mana? Toilet?” tanya Varen dengan nada mengejek seraya memincingkan matanya.

“Iya,” jawab Agam sambil terus tersenyum, membayangkan wajah gadis yang dijumpainya tadi.

Varen menyentuh dahi Agam saat mendengar jawaban pria itu. Seketika bulu kuduk Varen meremang. Dia juga berkidik sambil menatap horor kepada temannya. “Jauh-jauh sana! Aku nggak mau ketularan stres.”

“Enak saja! Aku masih waras, ya,” protes Agam.

“Okay, artinya kamu frustasi gara-gara kelamaan jomblo. Udah sih, tembak aja salah satu penggemar kamu. Aku jamin langsung diterima.”

Bukan pujian, melainkan sebuah tonyoran yang Agam berikan kepada Varen. Teman Agam satu ini memang sangat tidak waras. Tetapi tanpa kehadirannya, mungkin akan sangat membosankan.

“Serius Gam, kamu senyum-senyum kenapa?” bisik Varen.

“Nanti aku ceritakan. Sekarang fokus dulu sama kuliah.”

***

Di lain kelas, Arsha masih terus saja mendesak Rinjani untuk bercerita, karena saat kembali dari toilet wajahnya sangat merah. Selain itu, Rinjani hanya diam saja bahkan responya lambat seperti orang yang habis melihat hantu.

Arsha terus saja mengganggu Rinjani yang sedang berusaha fokus pada penjelasan dosen. Gadis itu masih berkali-kali menghela napas dalam yang justru membuat Arsha semakin penasaran.

“Rin, ayolah, ceritakan padaku. Aku tidak bisa berkonsentrasi pada ppelajaran karena penasaran,” keluh Arsha yang kesekian kalinya.

“Diamlah, Sha! Nanti akan aku ceritakan saat kelas selesai.”

Kelas sudah berakhir, Rinjani sedang membereskan buku-buku yang tadi digunakan. Sementara Arsha tidak henti-hentinya mengoceh dan meminta sahabatnya agar cepat.

“Sha, bisa diem nggak, sih. Malu tahu dilihatin orang,” protes Rinjani yang merasa risih karena menjadi pusat perhatian.

“Ya udah cepetan jalannya, aku udah nggak sabar sampai kantin.”

Rinjani hanya bisa pasrah ditarik oleh Arsha, dia berusaha mengimbangi langkah cepat sahabatnya agar tidak terjatuh.

Sesuai janji, Rinjani akan menceritakan kejadian memalukan tadi, saat istirahat. Di sinilah mereka sekarang, di kantin fakultas dengan duduk saling berhadapan. Bahkan Arsha sudah menopang dagu dengan kedua tangannya dan memasang wajah yang sangat menyebalkan. Dia sudah tidak sabar untuk mendengar cerita dari sahabatnya.

Setelah berkali-kali menghela napas dan berusaha meyakinkan dirinya untuk membuka aib di depan sahabatnya, akhirnya Rinjani menceritakan semuanya. Tidak semua sebenarnya, karena gadis itu tidak menceritakan bagian pentingnya. Bagian di mana kedua netranya bertemu pandang dengan netra laki-laki tadi.

Setelah mendengar cerita dari Rinjani, Arsha tidak bisa menahan tawanya. Hal itu mengundang perhatian banyak orang, termasuk seorang pria yang sedang duduk di  salah satu meja dekat tembok.

Pria tersebut menyunggingkan senyum misterius. Ide-ide jahil sudah memenuhi otaknya. Tanpa berucap, dia bangkit dari duduknya dan menghampiri meja Rinjani.

“Hai, kita berjumpa kembali,” sapa Agam kepada rinjani, saat sudah berada di dekat mejanya.

Rinjani yang belum menyadari kehadiran Agam terkejut ketika suara barinton yang dia kenal masuk ke telinganya. Dengan ragu Rinajni menoleh, dan seketika dia membelalakkan matanya karena terkejut.

Hal tersebut justru membuat Agam terkekeh, “Kamu lucu sekali. Siapa namamu?”

“Rinjani.” Suara itu bukan berasal dari gadis di hadapan Agam, melainkan gadis yang duduk semeja dengan Rinjani.

Agam menoleh sambil mengerutkan alisnya. “Namanya, Rinjani. Lebih baik pergi sana, jangan jadikan sahabatku targetmu, dia terlalu baik untukmu.”

“Oh, begitu. Baiklah, aku akan duduk di sini.” Tanpa mendengarkan protes dari Arsha, Agam sudah mendaratkan bokongnya di kursi samping Rinjani.

“Pergilah! Jangan macam-macam pada sahabatku!” gertak Arsha sambil berdiri dari duduknya.

“Hei, tanang. Dia sahabatmu, artinya sahabatku juga. Bukan begitu, Rinjani?”

“Aku tidak sudi menjadi sahabatmu. Ayo, Arsha, kita pergi dari sini.”

Agam membiarkan Rinjani dan Arsha pergi begitu saja. Dia masih tersenyum sambil membayangkan wajah Rinjani yang memerah saat melihatnya.

“Luar biasa! Baru kali ini ada yang lolos dari pesonamu, Gam.” Tiba-tiba saja Varen datang sambil bertepuk tangan mengejak temannya yang diabaikan perempuan.

“Menarik,” gumam Agam tak acuh dengan ocehan Veren.

“Wah, bener-bener udah gila. Habis dicuekin cewek malah senyum-senyum.”

“Udah, deh. Diem! Lihat aja Rinjani pasti bisa aku dapatkan.”

Lain halnya dengan Agam yang sedang merasa tertantang, Rinjani justru merasa malu dan kesal. Wajah memerah dan bibirnya yang cemberut membuat siapa saja yang berpapasan menunduk karena takut menjadi pelampiasan. Hampir seluruh teman kampusnya tahu, jika marahnya Rinjani sangat menyebalkan.

Berbeda dengan yang lainnya, Arsha justru tidak henti-hentinya tertawa. Dia bahkan tidak segan untuk mengejek Rinjani, dan membuatnya semakin kesal.

“Udah, dong, ngambeknya. Makin jelek tahu,” bujuk Arsha.

Rinjani sedang duduk di taman kampus dengan wajah lusuh. Arsha sudah berkali-kali membujuk Rinjani agar berhenti mengabaikannya, namun tidak membuahkan hasil.

“Hei, Rin! Mau ke mana?” Rinjani tiba-tiba saja bangkit dari duduknya dan berjalan begitu saja, meninggalkan Arsha. “Tungguin, dong. Mau ke mana, sih?”

Mulut masih tertutup rapat, pendengarannya seolah tuli, Rinjani tidak menjawab pertanyaan Arsha satu pun. Kakinya terus melangkah menuju gedung kampus. Dia terus saja berjalan sampai di depan sebuah pintu kayu berwarna cokelat tua. Tangannya terangkat hendak mengetuk, namun sebelum itu sudah ada seseorang yang membuka pintu dari dalam.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status