Setelah Rinjani membantu Arsha mengerjakan tugas, mereka bersiap mengikuti kelas berikutnya yang akan dimulai sebentar lagi.
“Sha, aku nitip buku sama bilangin ke dosen, ya. Pengin ke toilet,” ujar Rinjani dengan terburu-buru.
Sampai di depan pintu, dia buru-buru masuk. Akan tetapi, kemudian dia diam mematung karena ada dua laki-laki yang sedang mencuci wajahnya. Perlahan, Rinjani berjalan mundur saat sadar kalau dia salah masuk toilet.
“Au—” Rinjani menutup mulutnya yang hendak berteriak, dia terkejut karena kepalanya membentur dada bidang milik seseorang di belakangnya.
Tubuh Rinjani kaku dan wajahnya memerah karena malu. Gadis itu hanya bisa diam menunduk. Hingga sepasang tangan memegang lengannya dan memaksa dia berbalik badan.
“Buka matamu. Bukankah tadi kamu sudah mengintip mereka?” ujar orang itu sambil menunjuk dua laki-laki yang berada di dalam, dengan dagunya.
Rinjani kesal, dia merasa terhina dengan ucapan pria di hadapannya. Wajahnya yang tadi merona karena malu, sekarang merah padam karena marah. Akan tetapi, dia masih waras untuk tidak memaki dan berteriak.
Rinjani melepas paksa kedua tangan pria itu, lalu mendorongnya dengan kasar. Pria itu kesal, tetapi dia justru tersenyum saat mengingat wajah memerah milik gadis tadi.
Pria berperawakan tinggi yang memiliki rambut hitam tersebut kembali ke kelasnya saat sudah menyelesaikan urusannya di toilet. Senyuman masih terpatri di wajahnya.
Varen sangat keheranan melihat tingkah temannya yang baru kembali dari toilet. Tidak biasanya pria itu tersenyum lebar, “Udah nggak waras, ya. Atau jangan-jangan kebentur tadi di toilet?” tanya Varen pada Agam yang sudah duduk di sampingnya.
“Aku habis melihat bidadari tadi,” bisik Agam masih sambil tersenyum.
“Di mana? Toilet?” tanya Varen dengan nada mengejek seraya memincingkan matanya.
“Iya,” jawab Agam sambil terus tersenyum, membayangkan wajah gadis yang dijumpainya tadi.
Varen menyentuh dahi Agam saat mendengar jawaban pria itu. Seketika bulu kuduk Varen meremang. Dia juga berkidik sambil menatap horor kepada temannya. “Jauh-jauh sana! Aku nggak mau ketularan stres.”
“Enak saja! Aku masih waras, ya,” protes Agam.
“Okay, artinya kamu frustasi gara-gara kelamaan jomblo. Udah sih, tembak aja salah satu penggemar kamu. Aku jamin langsung diterima.”
Bukan pujian, melainkan sebuah tonyoran yang Agam berikan kepada Varen. Teman Agam satu ini memang sangat tidak waras. Tetapi tanpa kehadirannya, mungkin akan sangat membosankan.
“Serius Gam, kamu senyum-senyum kenapa?” bisik Varen.
“Nanti aku ceritakan. Sekarang fokus dulu sama kuliah.”
***
Di lain kelas, Arsha masih terus saja mendesak Rinjani untuk bercerita, karena saat kembali dari toilet wajahnya sangat merah. Selain itu, Rinjani hanya diam saja bahkan responya lambat seperti orang yang habis melihat hantu.
Arsha terus saja mengganggu Rinjani yang sedang berusaha fokus pada penjelasan dosen. Gadis itu masih berkali-kali menghela napas dalam yang justru membuat Arsha semakin penasaran.
“Rin, ayolah, ceritakan padaku. Aku tidak bisa berkonsentrasi pada ppelajaran karena penasaran,” keluh Arsha yang kesekian kalinya.
“Diamlah, Sha! Nanti akan aku ceritakan saat kelas selesai.”
Kelas sudah berakhir, Rinjani sedang membereskan buku-buku yang tadi digunakan. Sementara Arsha tidak henti-hentinya mengoceh dan meminta sahabatnya agar cepat.
“Sha, bisa diem nggak, sih. Malu tahu dilihatin orang,” protes Rinjani yang merasa risih karena menjadi pusat perhatian.
“Ya udah cepetan jalannya, aku udah nggak sabar sampai kantin.”
Rinjani hanya bisa pasrah ditarik oleh Arsha, dia berusaha mengimbangi langkah cepat sahabatnya agar tidak terjatuh.
Sesuai janji, Rinjani akan menceritakan kejadian memalukan tadi, saat istirahat. Di sinilah mereka sekarang, di kantin fakultas dengan duduk saling berhadapan. Bahkan Arsha sudah menopang dagu dengan kedua tangannya dan memasang wajah yang sangat menyebalkan. Dia sudah tidak sabar untuk mendengar cerita dari sahabatnya.
Setelah berkali-kali menghela napas dan berusaha meyakinkan dirinya untuk membuka aib di depan sahabatnya, akhirnya Rinjani menceritakan semuanya. Tidak semua sebenarnya, karena gadis itu tidak menceritakan bagian pentingnya. Bagian di mana kedua netranya bertemu pandang dengan netra laki-laki tadi.
Setelah mendengar cerita dari Rinjani, Arsha tidak bisa menahan tawanya. Hal itu mengundang perhatian banyak orang, termasuk seorang pria yang sedang duduk di salah satu meja dekat tembok.
Pria tersebut menyunggingkan senyum misterius. Ide-ide jahil sudah memenuhi otaknya. Tanpa berucap, dia bangkit dari duduknya dan menghampiri meja Rinjani.
“Hai, kita berjumpa kembali,” sapa Agam kepada rinjani, saat sudah berada di dekat mejanya.
Rinjani yang belum menyadari kehadiran Agam terkejut ketika suara barinton yang dia kenal masuk ke telinganya. Dengan ragu Rinajni menoleh, dan seketika dia membelalakkan matanya karena terkejut.
Hal tersebut justru membuat Agam terkekeh, “Kamu lucu sekali. Siapa namamu?”
“Rinjani.” Suara itu bukan berasal dari gadis di hadapan Agam, melainkan gadis yang duduk semeja dengan Rinjani.
Agam menoleh sambil mengerutkan alisnya. “Namanya, Rinjani. Lebih baik pergi sana, jangan jadikan sahabatku targetmu, dia terlalu baik untukmu.”
“Oh, begitu. Baiklah, aku akan duduk di sini.” Tanpa mendengarkan protes dari Arsha, Agam sudah mendaratkan bokongnya di kursi samping Rinjani.
“Pergilah! Jangan macam-macam pada sahabatku!” gertak Arsha sambil berdiri dari duduknya.
“Hei, tanang. Dia sahabatmu, artinya sahabatku juga. Bukan begitu, Rinjani?”
“Aku tidak sudi menjadi sahabatmu. Ayo, Arsha, kita pergi dari sini.”
Agam membiarkan Rinjani dan Arsha pergi begitu saja. Dia masih tersenyum sambil membayangkan wajah Rinjani yang memerah saat melihatnya.
“Luar biasa! Baru kali ini ada yang lolos dari pesonamu, Gam.” Tiba-tiba saja Varen datang sambil bertepuk tangan mengejak temannya yang diabaikan perempuan.
“Menarik,” gumam Agam tak acuh dengan ocehan Veren.
“Wah, bener-bener udah gila. Habis dicuekin cewek malah senyum-senyum.”
“Udah, deh. Diem! Lihat aja Rinjani pasti bisa aku dapatkan.”
Lain halnya dengan Agam yang sedang merasa tertantang, Rinjani justru merasa malu dan kesal. Wajah memerah dan bibirnya yang cemberut membuat siapa saja yang berpapasan menunduk karena takut menjadi pelampiasan. Hampir seluruh teman kampusnya tahu, jika marahnya Rinjani sangat menyebalkan.
Berbeda dengan yang lainnya, Arsha justru tidak henti-hentinya tertawa. Dia bahkan tidak segan untuk mengejek Rinjani, dan membuatnya semakin kesal.
“Udah, dong, ngambeknya. Makin jelek tahu,” bujuk Arsha.
Rinjani sedang duduk di taman kampus dengan wajah lusuh. Arsha sudah berkali-kali membujuk Rinjani agar berhenti mengabaikannya, namun tidak membuahkan hasil.
“Hei, Rin! Mau ke mana?” Rinjani tiba-tiba saja bangkit dari duduknya dan berjalan begitu saja, meninggalkan Arsha. “Tungguin, dong. Mau ke mana, sih?”
Mulut masih tertutup rapat, pendengarannya seolah tuli, Rinjani tidak menjawab pertanyaan Arsha satu pun. Kakinya terus melangkah menuju gedung kampus. Dia terus saja berjalan sampai di depan sebuah pintu kayu berwarna cokelat tua. Tangannya terangkat hendak mengetuk, namun sebelum itu sudah ada seseorang yang membuka pintu dari dalam.
“Wah, sepertinya kita jodoh, ya. Baru saja bertemu di kantin, sekadang bertemu lagi di perpustakaan.” Perasaan Rinjani semakin tidak karuan. Dia mengabaikan orang di depannya dan masuk begitu saja. Terdegar jika Arsha mengejek Agam saat melihat Rinjani mengabaikannya. “Kasian sekali Kakak Sepupuku yang jelek ini,” sindir Arsha seraya menyusul Rinjani masuk. Tangan sawo matang itu menari-nari, menyusuri buku-buku yang berjajar rapi di rak. Tadinya Rinjani berniat untuk tidak jadi masuk ke perpustakaan, jika saja dia tidak ingat bahwa buku yang akan dia pinjam, dibutuhkan hari ini. Buku tebal bersampul kuning tua sudah berada di tangan Rinjani, dia hendak ke meja penjaga untuk mencatat pinjamannya, sebelum Arsha menghentikan langkah gadis itu. “Rin, bukannya kamu sudah pinjam buku Pengantar Bisnis, ya?” “Ketinggalan.” “Ya ampun ….” “Sha, nanti temenin makan es krim, ya. Mau perbaikan mood.” “Kalau toko es krim mah
Mata gadis itu terus saja menatap ke luar jendela. Dia merasa tidak nyaman berada satu mobil dengan Agam. Rinjani sedikit menyesal Karena tidak memaksa Arsha untuk ikut dengannya. Agam tidak jauh berbeda, baru kali ini dia merasa gugup saat berdua dengan seorang gadis. Mungkin karena Rinjani berbeda dari gadis-gadis yang biasa mengejarnya. Jika biasanya Agam akan rishi karena ocehan mereka, kali ini lelaki itu justru harus mencari topik pembicaraan. Dahi pria itu berkerut dan jarinya tidak mau diam, terus saja mengetuk-etuk setir mobil. Agam sedang mencari cara agar suanana tidak terus membosankan. “Rin, rumahmu di mana?” Agam membuka suara untuk memecah keheningan. Rinjani tidak menoleh, sepertinya pemandangan di luar mobil memang lebih menarik dibanding pria di dekatnya. “Jalan aja, nanti kalau udah deket aku kasih tau.” Agam menghela napas lelah, dia tidak tahu cara agar Rinjani mau banyak berbicara. Padahal saat beberapa hari ini Aga
Keesokan harinya Rinjani bangun lebih pagi. Tidak seperti biasanya, tadi malam gadis itu tidur lebih awal dan sangat lelap. Mungkin karena tubuhnya lelah atau mungkin traumanya perlahan mulai terobati. Jam menunjukkan pukul tujuh pagi, itu artinya Rinjani masih memliki waktu satu jam sebelum kelas pertamanya dimulai. Gadis itu sudah siap berangkat ke kampus dia tidak mau berlari-lari karena takut tertinggal kelas, seperti tempo hari. Setelah mengambil sarapannya serta berpamitan dengan kedua orang tuanya, Rinjani bergegas ke garasi rumahnya. Rinjani membuka pintu dan di sambut langit pagi yang terlihat biru cerah membuat suasana hati Rinjani semakin bersemangat. Seolah-olah alam semesta sedang memberi tahu Rinjani, bahwa akan ada awal yang istimewa untuk hari ini. Namun, hal itu hanya bertahan sebentar. Saat Rinjani menilik garasi, dia baru ingat kalau mobilnya belum dikembalikan. “Oh, sial! Bagaimana mungkin aku lupa. Minta dijemput Ars
“Ya Tuhan, jauhkan aku dari manusia-manusia bucin, ini,” sindir Arsha dengan nada yang sengaja dibuat-buat. Mata Rinjani memincing, menyorot tajam kepada Arsha, seolah-olah laser mematikan terpancar dari sana. Tangan Arsha trangkat mengacungkan symbol peace tanda damai kepada sahabatnya yang marah. Gadis itu tidak mau jika terkena amukan Rinjani yang sangat mengerikan,layaknya singa betina yang melindungi anaknya. Rinjani mengalihkan tatapannya kepada Agam. Sorot tidak suka terlihat jelas di sana, menutup rasa terbiasa yang sebenarnya sudah hadir. “Mending kamu pergi dari sini. Aku muak melihatmu terus-menerus,” usir Rinjani sambil terus memperlihatkan raut tidak suka. Bukannya tersinggung, bibir pria itu justru tertarik ke atas menciptakan sebuah senyuman yang mengerikan. Agam merasa semakin tertantanng untuk bisa meluluhkan hati Rinjani dan mendapatkan cintanya. “Nggak usah gitu, Sayang …. Nanti ujungnya cinta …,” god
“Mulai, deh. Udah sana Mama keluar aja. Rin mau mandi, pengin berendam juga,” usir Rinjani yang sudah paham dengan sifat sang ibu yang suka menggoda. Bukannya langsung pergi, Hanna justru semakin gencar menggoda Rinjani. “Aduh senangnya, Anak Mama udah mulai peka lagi. Nanti malam sekalian kenalan sama anak Tante Eisha, ya.” Mata Rinjani terbuka lebar, bibirnya maju mengerucut menandakan jika gadis itu sudah kesal. “Udah, deh, Ma. Kalau gitu terus mending Rin nggak usah ikut sekalian.” “Oke-oke, Mama keluar sekarang …. Mandi yang bersih biar wangi dan nggak malu-maluin!” teriak Hanna dari balik pintu membuat Rinjani sangat kesal tetapi justru berakhir tertawa mendapati tingkah aneh sang ibu. Mata bulat itu melihat ke arah pintu, lalu sebuah senyuman terukir di wajah gadis itu. Rinjani sangat bersyukur memiliki keluarga yang selalu ada untuknya. Terutama sosok ibu yang selalu bisa memahami suasana hatinya, serta tahu bagaimana cara membuat dia kembali
Rinjani dan kedua orang tuanya sudah berada di rumah. Acara makan malam sudah selesai, dan kesepakatan kerjasama untuk membuka cabang toko perhiasan sudah ditandatangani. Sejak kembali dari acara makan malam tadi, Rinjani terus memasang wajah tanpa senyum. Hanna yang menyadari perubahan putrinya hanya bisa menghela napas. Karena mau memancing bembicaraan untuk membuat Rinjani tertawa juga bukan saat yang tepat. “Lihat itu putrimu! Bagaimana dia bisa punya kekasih kalau terus saja bersikap dingin begitu,” keluh Hanna kepada suaminya sambil memerhatikan Rinjani yang langsung ke kamarnya Tama memeluk sang istri dari samping seraya berkata, “Sudah, biarkan saja. Nanti kalau sudah waktunya juga pasti punya. Lebih baik kita istirahat, ini sudah malam.” Sementara itu, Rinjani yang sudah berada di kamar memilih untuk mandi sebelum tidur. Hati dan logikanya sedang berperang, dan gadis itu butuh penyegaran. Setelah selesai mandi, di naik ke ranjang dan
“Agam!” Varen menepuk pundak Agam dan membuatnya tersadar dari lamunan. Tanpa memerdulikan Varen, Agam pergi begitu saja. Yang ada di pikiran pria itu saat ini hanyalah Rinjani. Dia begitu mengkhawatirkan keadaan gadis itu. Langkahnya terlihat sangat buru-buru dan sorot di mata pria itu menyiratkan kegelisahan. Agam langsung melajukan mobilnya meninggalkan parkiran kampus dengan kecepatan tinggi. “Kamu kenapa, Rin … kamu kenapa?” gumam Agam sambil berusaha untuk tetap fokus menyetir. *** “Permisi, Tante, Om. Bagaimana keadaan Rinjani?” tanya Agam dengan napas terputus-putus begitu dia sampai di depan ruangan di mana Rinjani sedang diperiksa. “Dia masih di dalam, dokter masih memeriksanya,” jawab Tama masih sambil menenangkan sang istri. Agam memilih duduk di kursi tunggu tak jauh dari kedua orang tua Rinjani. Kedua tangan pria itu ditautkan dan kakinya terus bergerak tanda bahwa Agam sedang gelisah. Beberapa saat kemudi
Saat Agam sedang sendirian di kamar, sambil terus memegangi pipinya yang memerah akibat tamparan Rinjani, dia teringat sesuatu. Ucapan Hanna setelah makan malam kala itu terus berputar di otaknya. “Agam, Tante tau kamu anak baik. Tante cuma mau bepesan sama kamu …. Jika kamu sudah berhasil meluluhkan hati Rinjani, jangan pernah kecewakan dia, apalagi meninggalkannya. Rin sebenarnya berhati lembut, hanya saja … trauma itu masih belum sembuh.” “Trauma?” Dahi Agam berkerut, dia sedikit tidak percaya jika dugaannya kala itu memang benar adanya. “Trauma apa, Tan?” “Malam semakin larut. Tante pamit pulang, ya. Sebaiknya kamu juga ke parkiran sekarang, Tante yakin ibumu juga sudah menunggu.” Agam semakin penasaran dengan trauma yang dimiliki Rinjani. Terlebih saat Hanna berusaha mengalihkan topik pembicaraan. Pria itu yakin, ini bukan trauma biasa. Dengan terpaksa, Agam mengiyakan ucapan Hanna. Dia yakin,