Share

Bab 7 Malu

Keesokan harinya Rinjani bangun lebih pagi. Tidak seperti biasanya, tadi malam gadis itu tidur lebih awal dan sangat lelap. Mungkin karena tubuhnya lelah atau mungkin traumanya perlahan mulai terobati.

Jam menunjukkan pukul tujuh pagi, itu artinya Rinjani masih memliki waktu satu jam sebelum kelas pertamanya dimulai. Gadis itu sudah siap berangkat ke kampus dia  tidak mau berlari-lari karena takut tertinggal kelas, seperti tempo hari.

Setelah mengambil sarapannya serta berpamitan dengan kedua orang tuanya, Rinjani bergegas ke garasi rumahnya.

Rinjani membuka pintu dan di sambut langit pagi yang terlihat biru cerah membuat suasana hati Rinjani semakin bersemangat. Seolah-olah alam semesta sedang memberi tahu Rinjani, bahwa akan ada awal yang istimewa untuk hari ini.

Namun, hal itu hanya bertahan sebentar. Saat Rinjani menilik garasi, dia baru ingat kalau mobilnya belum dikembalikan.

“Oh, sial! Bagaimana mungkin aku lupa. Minta dijemput Arsha juga nggak mungkin cukup waktunya. Huh, mending minta antar papa.”

Rinjani yang kebingungan hendak kembali masuk dan meminta sang ayah untuk mengantarnya. Namun, suara klakson membut gadis itu kembali berbalik badan.

Terlihat mobil hitam mengkilap berhenti tepat di halaman rumah Rinjani. Pintu mobil itu terbuka dan muncul seorang pria berkaos hitam turun.

Agam? Rinjani tidak percaya jika pria itu benar-benar menjemputnya.

“Pagi, Sayang. Aku tidak terlambat, ‘kan?” ucap Agam saat sudah berada di dekat Rinjani. “Mau berangkan sekarang?”

“Hah?” Entah mengapa, otak Rinjani seolah buntu. Dia bahkan tidak sadar jika Agam sudah menariknya masuk ke mobil. Setelah pintu mobil ditutup dari luar, Rinjani baru tersadar. Dia hendak turun, tetapi Agam yang sudah masuk bergegas mengunci pintunya.

“Mau ke mana? Kita ‘kan belum sampai kampus. Masa mau turun,” ucap Agam tanpa merasa bersalah.

“Ngapain sih, pakai acara jemput segala!” gerutu Rinjani.

“Aku ‘kan sudah bilang kemarin, pria harus menepati ucapannya.”

Rinjani diam membisu tidak bisa menyanggah ucpan Agam yang memang benar. Akhirnya gadis itu hanya bisa pasrah, kembali satu mobil dengan pria yang menurutnya aneh.

Beruntung, jalan raya tidak seramai biasanya membuat gadis itu bisa tenang menikmati suasana pagi. Kaca mobil sengaja diturunkan agar angin pagi bisa masuk. Rinjani terus saja melihat ke luar jendela, seolah tak peduli dengan keberadaan Agam.

Niat mau berangkat pagi biar romantis dan makin dekat, kenapa malah kaya supir gini. Wajah Agam ditekuk masam, kenyataan tidak sesuai ekspetasi membuatnya tidak bersemangat.

***

Sesampainya mereka di parkiran kampus, Agam segera keluar dari mobil dan membukakan pintu untuk Rinjani. Banyak pasang mata yang menatap mereka kagum, tetapi tidak sedikit pula yang tidak suka.

Saat Agam mengambil barang yang tertinggal di mobil, Rinjani berjalan lebih dulu menuju gedung fakultasnya, meninggalkan Agam begitu saja.

“Ya Tuhan, apa ini sebuah karma? Rasa-rasanya sulit sekali mendapatkan hati Rinjani. Jangankan hati, perhatiannya saja belum aku dapatkan.”

Agam memilih untuk tidak menyusul Rinjani. Pria itu mengambil arah yang berbeda menuju gedung fakultasnya.

Agam berjalan dengan malas dan tidak semangat ke ruang yang akan menjadi tempat pembelajaran pagi ini.

“Suntuk amat tuh muka!” ejek Varen saat melihat Agam memasang wajah masam seolah tidak ada gairah hidup.

“Berisik!” sahut Agam langsung duduk dan menenggelamkan wajahnya pada tas yang menjadi bantal.

“Apa semua ini karena gadis itu? Apa kamu akan menyerah begitu saja?” tanya Varen membuat AGam semakin kesal.

“Mana mungkin! Oh, ayolah, bantu aku …,” ucap Agam memelas.

Mata Varen terbuka lebar, dia menatap tidak percaya kepada Agam. Pria itu berkali-kali bergeleng.

“Bener-bener hebat, Rinjani. Seoarang Agam yang banyak penggemar bisa bertekuk lutut kurang dari satu bulan.”

“Diam saja kalau tidak mau membantu. Tidak usah mengejekku begitu.

***

Kelas pagi telah berakhir, Rinjani dan Arsha baru saja keluar kelas, berniat pergi ke kantin. Saat melewati koridor, ada seorang adik tingkat perempuan yang menghampirinya.

“Selamat pagi, Kak,” sapa gadis itu dengan sopan menghetikan langkah Rinjani yang hendak berbelok.

Rinjani menyunggingkan senyum kepada gadis yang dia yakin adalah adik tingkatnya. “Pagi juga ….” Rinjani menjeda ucapannya sejenak sambil mengingat-ingat apa dia mengenal gadis di hapadapnnya atau tidak. “Maaf, ada apa, ya?”

“Kakak … Kak Rinjani, ‘kan?” tanya gadis berkucir kuda itu.

“Iya, betu. Kenapa, ya?”

“Ini ada titipan dari seseorang, buat Kakak,” ucap gadis itu seraya mesnyerahka kotak panjang yang terbungkus kertas kado.

Rinjani menatap kea rah kotak yang disodorkan kepadanya dengan tatapan bingung dan kerutan di dahi. “Dari siapa?”

“Aku nggak tau, Kak. Ini ….”

Dengan terpaksa, Rinjani menerima kotak itu karena tidak ingin membuat adik tingkatnya merasa malu. “Terima kasih.”

Gadis berkaos merah itu menyunggingkan bibirnya saat melihat senyum Rinjani. Lalu setelahnya gadis itu berlenggang pergi. Menyisakan Rinjani yang tengah kebingungan sambil menatap kotak yang dipegang.

Siapa sih yang kasih beginian, kaya anak kecil aja.

Rinjani melanjutkan langkahnya yang sempat tertunda. Dia sebenarnya penasaran siapa yang sudah memberinya kado. Namun, dasarnya Rinjani memang cuek jadi dia tidak ambil pusing soal hah ini.

Sesampainya Rinjani di depan ruang yang akan menjadi tempat kelas pertamanya berlangsung, ternyata Arsha sudah menunggunya.

“Wah, pagi-pagi udah dapat hadiah miseri, nih,” ledek Arsha saat melihat kotak yang dipegang Rinjani.

“Berisik. Aku aja nggak tau siapa yang kasih ini,” ucap Rinjani sambil memutar-mutar kotak itu, berharap menemukan nama pengirim.

“Buka, coba. Aku penasaran pengin lihat isinya.”

Tangan Rinjani terulur memberikan buku yang sedari tadi dia pegang. Arsha yang paham dengan maksud sahabatnya segera menerima buku-buku tersebut.

Kertas kado bermotif pelangi itu mulai sobek akibat ulah tangan Rinjani. Sebuah kotak berwarna ungu mulai nampak. Rinjani menarik kotak tersebut, yang ternyata adalah sebatang cokelat dengan merk yang cukup terkenal.

“Aneh, kok dia tau cokelat kesukaanku?” gumam Rinjani yang masih bisa didengar oleh Arsha.

Gadis berambut gelombang yang terurai itu tersenyum menahan tawa. Ya jelas tau, orang itu cokelat dari Agam. Dan sebelum itu, dia udah tanya dulu ke sahabatmu ini, Rinjani.

“Kenapa senyum-senyum gitu?” hardik Rinjani.

Rinjani menatap penuh curiga kepada sahabatanya. Sorot mata gadis itu penuh selidik. Alisnya menukik dan jidat Rinjani berkerut, membuat Arsha gelagapan.

“Nggak kenapa-napa. Udah, yuk, ke kantin. Laper nih,” ujar Arsha mencoba mengalihkan topik pembicaraan.

Tanpa menjawab ucapan Arsha, Rinjani mengambil bukunya yang tadi dia titipkan kepada sahabatnya itu, lalu melangkah lebih dulu meninggalkan Arsha.

Arsha sempat melirik ke arah koridor kiri, di mana ada seorang pria yang sejak tadi mengawasi Rinjani. Gadis itu juga mengangguk kepada pria di balik pilar itu mengangguk sebelum menyusul sahabatnya.

Bibir pria itu tertarik ke atas menciptakan garis lengkung yang membuat gadis-gadis jatuh hati saat melihatnya. Agam merasa sangat senang karena Rinjani tidak membuang cokelat pemberiannya, meski dia yakin gadis itu belum mengetahui jika dia yang memberikannya.

***

Rinjani asik menikmati bakso yang dipesannya, sedangkan Arsha sibuk dengan nasi goreng. Hingga seorang pria datang mengganggu ketenangan mereka.

Ya Tuhan, kenapa harus ada cowok aneh ini. Rinjani melirik ke samping kirinya, di mana ada Agam yang sedang tersenyum aneh kepadanya.

“Ngapain sih kalian ke sini? Emang di fakultas kalian nggak ada kantin apa?” tanya Arsha yang merasa makannya terganggu.

“Tau tuh, si Agam,” sahut Varen disela-sela minumnya.

“Ya, dirimu ngapain ikut? Heh! Itu minumku!” hardik Arsha marah karena minumnya dihabiskan.

Dengan raut wajah tanpa dosa, Varen meletakkan gelas yang sudah kosong ke tempatnya semula. “Maaf, maaf. Ntar aku ganti, deh.”

“Harus. Pesenin sekarang, sana!” titah Arsha sambil mendorong Varen agar segera melaksan perintahnya.

Sementara Arsha dan Varen sibuk bertengkar, Agam justru asik memperhatikan Rinjani yang terus menikmati makannya, seolah-olah dia sendirian.

Senyum terus terukir di wajah Agam, membuat gadis-gadis di sana menatap iri kepada Rinjani. Bisik-bisik tidak mengenakkan terdengar sangat menjengkelkan di telinga gadis itu, dan membuatnya jengah.

“Ngapain sih? Kaya nggak punya kesibukan aja,” gerutu Rinjani tanpa melihat Agam.

“Aku kangen kamu, Sayang. Makanya aku ke sini,” ucap Agam sambil terus menatap Rinjani yang membuat gadis itu risih.  

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status