Share

Bab 6 Pulang Bersama

Mata gadis itu terus saja menatap ke luar jendela. Dia merasa tidak nyaman berada satu mobil dengan Agam. Rinjani sedikit menyesal Karena tidak memaksa Arsha untuk ikut dengannya. 

Agam tidak jauh berbeda, baru kali ini dia merasa gugup saat berdua dengan seorang gadis. Mungkin karena Rinjani berbeda dari gadis-gadis yang biasa mengejarnya. Jika biasanya Agam akan rishi karena ocehan mereka, kali ini lelaki itu justru harus mencari topik pembicaraan.

Dahi pria itu berkerut dan jarinya tidak mau diam, terus saja mengetuk-etuk setir mobil. Agam sedang mencari cara agar suanana tidak terus membosankan.

“Rin, rumahmu di mana?” Agam membuka suara untuk memecah keheningan.

Rinjani tidak menoleh, sepertinya pemandangan di luar mobil memang lebih menarik dibanding pria di dekatnya. “Jalan aja, nanti kalau udah deket aku kasih tau.”

Agam menghela napas lelah, dia tidak tahu cara agar Rinjani mau banyak berbicara. Padahal saat beberapa hari ini Agam mengamati gadis itu, dia terlihat sebagai tipe perempuan yang cerewet saat bersama dengan sahabatnya. Namun saat bersama dirinya, Rinjani seolah sedang puasa bicara.

Nggak papa Agam, ini permulaan, harus lebih sabar, batin Agam memberi semangat dirinya sendiri.

Mobil terus berjalan dengan kecepatan sedang dan sesekali berhenti ketika ada lampu merah. Rinajni masih tetap diam dan Agam pun hanya fokus mengendarai mobil. Tiba-tiba suara dering ponsel berbunyi memecah keheningan.

Rinjani mengambil ponselnya yang ada di dalam tas. Dia mengira ponselnya yang berbunyi tetapi ternyata bukan. Entah bagaimana nada dering ponsel Agam bisa sama dengan nada dering ponsel Rinjani.

“Rin, bisa tolong lihat siapa yang menghubungiku, aku sedang mengendarai tidak baik jika memegang ponsel. Ambil saja ponselnya di tas bagian depan.”

Agam melirik Rinjani yang tidak menjawab, terlihat gadis itu mulai membuka tas milik Agam untuk melakukan apa yang diminta.

“Dari Bunda,” ucap Rinjani sambil menunjukkan layar ponsel kepada Agam.

Pria itu hanya melihatnya sekilas. “ Tolong kamu angkat, ya, siapa tau penting.”

“Tap—”

“Tolong ….” Agam memelankan suaranya hingga seperti orang yang sedang memohon, hingga akhirnya Rinjani pasrah dan mengangkat panggilan masuk itu.

Jari kuning langsat milik Rinjani menggeser ikon di layar,  lalu terdengar nada hubung. “Halo, tante, selamat siang.”

Halo, ini siapa, ya? Terdengar suara meneduhkan seorang wanita paruh baya di seberang sana.

“Saya Rinjani, temannya Agam. Dia sedang mengendarai mobil jadi minta tolong saya untuk mengangkat panggilan dari tante.”

Oh, begitu. Tolong sampaikan ke anak tante buat ke butik dulu ambil pesanan baju.

“Kenapa bukan petugas butik aja, Bund?” sahut Agam saat mendengar perkataan ibunya.

Bunda ‘kan punya anak lagi di jalan. Jadi, biar kamu punya alasan buat pulang, mending bunda suruh.

“Kebiasaan, deh,” gerutu Agam, sedangkan Rinjani yang membantu memegang ponsel ingin tertawa mendengar interaksi ibu dan anak itu.

Ya sudah, bunda tutup, ya. Anak orang jangan buat mainan, loh.

Mata pria itu menyipit dan wajahnya ditekuk. Ibunya selalu saja mengatakan hal itu setiap Agam ketahuan sedang bersama perempuan.

Setelah sambungan terputus, Rinjani segera meletakkan kembali ponsel Agam ke tempat semula. “Kenapa nggak dari awal kamu yang ngomong?”

Alisnya menukik, pria itu melirik bingung pada gadis di sampingnya. “Tadi yang langsung nyerocos siapa? Aku dah siap mau ngomong tadi, eh, udah keduluan.”

Rinjani memalingkan wajahnya, dia sadar apa yang dikatakan Agam memang benar. Harusnya tadi aku diem aja.

“Ada yang malu-malu, nih. Tadi nggak sabaran pengin bicara sama calon mamer, sekarang malah malu.”

“Diem! Nggak usah banyak omong. Itu di depan belok kanan, masuk kawasan perumahan, cari rumah nomor tujuh.” Rinjani menyahut dengan nada kesal untuk menutupi rasa malunya.

Sudut bibir pria itu terangkat menciptakan senyuman jahil andalaannya. Agam merasa senang karena sudah tahu bagaimana agar Rinjani banyak bicara.

Mobil berhenti di halaman rumah bercat putuh yang cukup besar. Saat mesin dimatikan, Rinjani bergegas membuka pintu mobil tetapi tidak bisa.

“Mau ke mana, huh?” ucap Agam yang sedang bersandar pada kursi kemudi seraya melihat Rinjani sambil tersenyum penuh kemenangan.

“Nggak usah bercanda deh, buka pintunya!”

Agam justru mendekatkan wajahnya dan membuat Rinjani membelalakkan mata karena terkejut. “Akan aku buka, tapi ada syaratnya.” 

Rinjani masih dalam posisinya yang kembali bersandar pada kursi karena refleks saat Agam mendekatkan wajahnya. Tidak ada suara yang keluar dari mulut gadis itu padahal hatinya menjerit histeris ingin memaki-maki pria di hadapannya.

Beberapa saat kemudian, entah mendapat kekuatan dari mana, Rinjani berhasil menggerakkan tangannya untuk mendorong Agam.

“Kok ditampar, sih,” gerutu Agam sambil mengelus-elus bekas tamparan Rinjani.

“Salah sendiri, aneh. Udah buruan buka kuncinya.”

 “Akan aku buka, tapi dengan syarat besok kamu berangkat denganku—”

“Aku ti—”

“Oke, selamat beristirahat, Sayangku,” ucap Agam sambil mengacak-acak rambut Rinjani.

Terdengar bunyi kunci terbuka, Rinjani bergegas keluar dari mobil yang sudah menyiksanya. Gadis itu lari dan segera menutup kembali pintu rumahnya rapat-rapat.

Gadis itu masih bersandar di balik pintu, napasnya tidak beraturan. Tangannya berada di dada berharap jantungnya menjadi lebih tenang. Rinjani terus saja menggeleng sambil berusaha mengatur napasnya.

“Rin?”

“Bunda, ngagetin aja, ih!” gerutu Rinjani.

“Kamu aneh, sih. Pulang sekolah diem-diem, nggak salam atau teriak kaya biasanya. Udah gitu malah nyender di pintu sambil geleng-geleng. Bunda ‘kan jadi takut lihatnya.”

“Udah, ah. Rin mau ke kamar dulu.” Rinjani bergegas ke kamar meninggalkan sang ibu yang menatapnya aneh.

Rinjani langsung mengunci pintu kamarnya kemudian membanting tubuhnya ke ranjang. Batinnya maih bergemuruh saat mengingat kejadian di mobil, di mana Agam seolah-olah akan menciumnya.

“Rin, Rin. Sadar!” gumam Rinjani sambil memukul-mukul kepalanya. “Bisa-bisanya ketemu makhluk kaya Agam. Ya Tuhan, aku punya salah apa?”

Rinjani terus saja menggerutu. Dia seolah tidak mengenal dirinya sendiri. Logikanya tidak nyaman dan selalu menolak untuk berdekatan dengan Agam, tetapi hantinya berkata lain.

Gadis itu menggeleng berulang kali. “Nggak mungkin. Nggak mungkin semudah itu kamu jatuh hati, ‘kan, Rin?” tanya Rinjani pada dirinya sendiri. “Pokoknya aku harus jauh-jauh dari manusia aneh itu.”

Rinjani bangkit dari tidurya menuju kamar mandi. Gadis itu berniat berendam air dingin untuk membuang emosi negative pada dirinya.

Sabun beraroma manga yang terasa manis saat menyeruak di indra penciuman dituang pada bathtub. Lilin aroma terapi juga dinyalakan membuat ruang kamar mandi itu penuh aroma yang menenangkan.

Kurang lebih satu jam, Rinjani mulai meara kulitnya menggerut karena kedinginan. Gadis itu memutuskan untuk menyudahi berendamnya.

Rinjani turun menuju dapur untuk membantu ibunya memasak karena hari sudah sore. Dilihatnya seorang wanita paruh baya yang mencepol rambutnya dan mengenakan clekem sedang berkutat dengan wajan.

Rinjani mendekat dan menyapanya, “Hai, Ma. Masak apa sore ini?”

“Hai anak gadis mama, tumben jam segini udah turun. Biasanya juga tunggu mama selesai masak.” Hanna menjeda ucapannya sejenak untuk meniriskan ayam yang sudah matang. “Berhubung kamu sudah di sini, kamu lanjutkan goring ayamnya, ya. Mama mau buat sop.”

“Siap, Ma.”

Rinjani menikmati kegiatannya membantu sang ibu memasak. Ibunya pernah berkata, secantik apapun perempuan kalau tidak bisa memasak, suami akan mudah bosan. Jadi, sejak saat itu Rinjani mulai belajar memasak yang lama-kelamaan menjadi hobinya.

Gadis itu tersenyum bangga saat makanan sudah tersaji di meja makan. “Ma, Rin ke kamar dulu, ya, mau bebersih.”

“Iya, makasih udah dibantu, Sayang,” ucap Hanna sambil tersenyum tulus pada putrinya.

***

Acara makan malam berlangsung hangat. Setelah makan selesai, tidak lagsung meninggalkan meja makan melainkan bercerita apa yang dilalui masing-masing anggota keluarga Rinjani.

Ayah Rinjani bercerita bahwa baru saja bertemu dengan istri dari almarhum temannya, yang ternyata pelanggan setia di salah satu cabang toko emas miliknya. “Kalau tidak salah, namanya … Eisha.”

“Nama almarhum temanmu, Sebastian?” tanya Hanna kepada suaminya—Tama.

Tama menatap sang istri dengan sorot mata bingung. “Kok tau?”

“Eisha itu juga sahabatku.”

“Wah kebetulan sekali, kita diundang makan bersama sekalian mau bahas kerjasama cabang baru toko emas papa.”

Rinjani masih setia menyimak pembicaraan kedua orang tuanya. Dia tidak berniat menyahut atau memotong pembicaraan mereka. Entah kenapa baying-bayang wajah Agam kembali berseliweran di otaknya. Sampai-sampai saat sang ibu bertanya, Rinjani tidak mendengarnya.

“Rin, gimana?” tanya Hanna sambil menepuk pundak Rinjani yang membuat gadis itu terjengkit kaget.

“Eh, gimana apa, Ma?”

“Kamu ini ngalamunin apa, sih?” tanya Hanna heran pada sikap aneh rinjani.

Rinjani merasa tidak enak karena telah mengabaikan sang ibu. “Maaf, Ma. Tadi Mama tanya apa?”

“Mama tanya, besok malam kamu nggak ada acara ‘kan? Kamu ikut mama sama papa buat makan malam di luar. Mau, ya?”

“Iya, Ma, Pa. Rin ikut aja.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status