“Ya Tuhan, jauhkan aku dari manusia-manusia bucin, ini,” sindir Arsha dengan nada yang sengaja dibuat-buat.
Mata Rinjani memincing, menyorot tajam kepada Arsha, seolah-olah laser mematikan terpancar dari sana.
Tangan Arsha trangkat mengacungkan symbol peace tanda damai kepada sahabatnya yang marah. Gadis itu tidak mau jika terkena amukan Rinjani yang sangat mengerikan,layaknya singa betina yang melindungi anaknya.
Rinjani mengalihkan tatapannya kepada Agam. Sorot tidak suka terlihat jelas di sana, menutup rasa terbiasa yang sebenarnya sudah hadir.
“Mending kamu pergi dari sini. Aku muak melihatmu terus-menerus,” usir Rinjani sambil terus memperlihatkan raut tidak suka.
Bukannya tersinggung, bibir pria itu justru tertarik ke atas menciptakan sebuah senyuman yang mengerikan. Agam merasa semakin tertantanng untuk bisa meluluhkan hati Rinjani dan mendapatkan cintanya.
“Nggak usah gitu, Sayang …. Nanti ujungnya cinta …,” goda Agam sambil terus menatap tepat di mata Rinjani.
“Hah? Cinta? Jangan mimpi!” bantah Rinjani seraya menghindari tatapan mata Agam.
Setelah berkata demikian, Rinjani bangkit dari duduknya hendak meninggalkan kantin. Gadis itu sadar, terlalu lama di sana tidak baik untuk pertahanan hatinya.
Namun, karena tidak berhati-hati, Rinjani tidak tahu jika tali sepatunya terlepas dan sengaja diinjak oleh Agam. Hal itu membuat Rinjani tidak dapat menjaga keseimbangan tubuhnya, dan berakhir jatuh di pelukan pria yang ingin dihindari oleh gadis itu.
Suasana kantin yang tadinya ramai, seketika menjadi hening. Puluhan pasang mata terbuka lebar, menatap tidak percaya kepada Agam dan Rinjani yang masih dalam posisi berpelukan. Waktu seolah terhenti beberapa saat dan membuat kedua insan itu lupa dengan sekitar. Keduanya larut dalam tatapan mata yang saling beradu.
Arsha yang tersadar lebih dulu, sengaja berdehem keras untuk mengagetkan sahabatnya agar segera memperbaiki posisinya.
Dengan wajah memerah antara malu, marah, dan kesal, Rinjani segera menyingkir dan melenggang pergi begitu saja.
Agam melihat Rinjani yang pergi dangan malu, ingin sekali tertawa, tetapi urung saat mengetahui banyaknya orang yang ada di sana. Ada sekitar dua puluhan mahasiswa yang menyaksikan kejadian tadi. Agam jadi merasa bersalah telah mempermalukan Rinjani.
Pria itu segera pergi menyusul Rinjani yang berlari ke area belakang kampus. Langkah kaki Agam mulai melambat saat melihat Rinjani sedang duduk di sebuah bangku taman sambil menangis sesenggukan.
Agam mendekat dan langsung duduk di dekat Rinjani yang memamlingkan wajah. Gadis itu menyembunyikan tangis dan berusaha menghilangkan jejak air mata di pipinya.
“Maaf … maaf, aku nggak bermaksud buat mempermalukanmu seperti tadi,” lirih Agam sambil menunduk.
“Bukan salahmu. Aku yang tidak berhati-hati,” sahut Rinjani dengan suara serak.
Keduanya terdiam, mereka sibuk dengan lamunan masing-masing. Agam bingung bagaimana cara memecah keheningan, sementara Rinjani merasa sedang gundah dengan hati dan logikanya.
“Agam, aku mau minta maaf karena sering berkata kasar padamu. Aku nggak bermaksud begitu. Semuanya kulakukan karena takut.”
Agam masih terus diam dan menyimak apa yang diucapkan Rinjani. Sebenarnya pria itu terkejut saat Rinjani berkata demikian.
“Bukan Cuma kamu, tapi semua pria yang mencoba mendekatiku selalu aku perlakukan begitu. Ya, aku memang begini. Jadi, maaf, sebaiknya kamu menjauh saja, sebelum hatimu terlalu berharap.” Setelah berkata begitu, Rinjani bangkit dan berlalu pergi begitu saja, meninggalkan Agam yang masih berusaha mencerna perkataan gadis itu.
Mata Agam terus menatap Rinjani yang semakin menjauh hingga menghilang di belokan. Sorot sayu nan sedih terpancar dari mata hitam itu. Akan tetapi, di dalam hatinya ada keinginan untuk mencari tahu apa yang sebenarnya gadis itu pernah alami.
“Ada apa denganmu? Aku ingin mencari tau lukamu dan menyembuhkannya, Rinjani,” gumam Agam sambil terus terbayang tatapan sendu Rinjani yang penuh luka.
***
Rinjani memilih untuk memesan taksi dan pulang lebih dulu. Meski sebenarnya masih ada satu mata kuliah yang bahkan sedang berlangsung, tetapi suasana gadis itu sedang buruk. Dia ingin cepat sampai di kamarnya, entah untuk tidur atau kembali menangis.
Dengan langkah pelan yang tak bertenaga, Rinjani menghampiri mobil taksi yang sudah menunggunya.
“Mbak Rinjani, ya?” tanya sang supir.
“Iya. Langsung saja, ya, Pak. Sesuai aplikasi,” jawab Rinjani sambil tersenyum palsu.
Sang supir yang mengerti bahwa suasana hati pelanggannya sedang tidak baik, langsung menjalankan tugasnya tanpa banyak bertanya.
Rinjani duduk di kursi penumpang, dekat jendela. Mata gadis it uterus menatap keluar mobil dengan sorot sendu. Entah mengapa, hati gadis itu terasa sakit. Matanya yang sudah memerah pun kembali meneteskan bulir air.
Saat mobil berhenti di lampu merah, sang supir memberikan sekotak tisu pada Rinjani. “Ini, Mbak.”
“Terima kasih,” lirih Rinjani sambil menerima tisu tersebut,
***
Sesampainya Rinjani di Rumah,ternyata tdak ada orang. Dia baru ingat jika sang ibu sedang berkunjung ke butik tentenya sekaligus mengambil pesanan untuk acara nanti malam.
Rinjani langsung masuk ke mar dan menguncinya dari dalam. Gadis itu melempar tasnya ke sofa, lalu mengambil sebuah bingkai foto yang dia sembunyikan.
Dibawanya foto itu dalam dekapannya menuju ranjang. Rinjani berbaring seraya mengamati dua insan berlainan jenis, yang sedang melakukan piknik di foto tersebut. Kebahagiaan tergambar jelas di sana.
Sudut bibir Rinjani terangkat menciptakan sebuah senyuman. Namun, hal itu hanya sebentar sebelum akhirnya gadis itu kembali menangis.
“Dava, aku takut. Agam begitu mirip denganmu dulu. Aku takut …,” gumam Rinjani di sela-sela tangisnya.
Dua insan dalam foto itu adalah Rinjani dan kekasihnya yang telah pergi, yaitu Dava.
Rinjani terus saja menangis sambil mendekap foto itu. Air mata seolah tak ada habisnya mengalir membasahi boneka beruang yang dia jadikan bantal.
Perlahan tangisan gadis itu mulai memelan dan tak terdengar lagi. Karena kelelahan, Rinjani jatuh tertidur sambil memeluk kenangan cinta pertamanya.
***
Suara ketukkan pintu membuat gadis itu menggeliat. Matanya yang terasa lengket mulai terbuka perlahan.
“Siapa?” tanya Rinjani dengan susah payah, karena tenggorokannya terasa kering.
“Ini mama. Buka pintunya, Sayang,” sahut wanita paruh baya itu dari balik pintu.
Rinjani bergegas bangkit dari tidurnya dan segera menyimpan kembali fotoya dengan Dava.
Gadis itu membuka membuka pintu dan membiarkan sang ibu masuk. “Ada apa, Ma?”
“Kamu yang ada apa? Tumben seharian di kamar. Tadi Arsha juga telpon mama, katanya kamu nggak ikut kelas kedua. Kamu kenapa? Sakit?” tanya Hanna bertubi-tubi penuh kekhawatiran.
“Rin nggak papa kok, Ma. Cuma nggak enak badan sama pusing, tapi udah mendingan setelah tidur,” jawab Rinjani tidak jujur.
Tangan Hanna terulur menyentuh dagu Rinjani, dan membuatnya tidak menunduk. Mata wanita paruh baya itu sangat jei meneliti raut putrinya yang sedang memasang senyum palsu.
“Kamu habis nangis lagi?” tanya Hanna sambil menatap tepat pada mata putrinya.
Rinjani mengelak agar dagunya terlepas dari tangan sang ibu. “Nggak kok, Ma. Rin ‘kan abis tidur.”
Hanna tahu benar jika putrinya berbohong. Namun, wanita itu tidak ingin membuat Rinjani kembali menangis, jadi dia mengalah dan berpura-pura percaya.
“Ya sudah, sekarang mandi sana biar segar. Oh iya, ini baju buat nanti malam. Kita berangkat jam tujuh, ya,” ucap Hanna sambil menyerahkan paper bag cokelat dengan gambar bunga bemotif batik yang merupakan logo dari butik milik tante Rinjani.
“Iya, Ma. Makasih …,” ucap Rinjani seraya tersenyum. “Oh iya, Ma … nanti Tante Eisha sama siapa aja?”
Bukannya menjawab, Hanna justru menatap putrinya dengan sorot jenaka. Senyum menggoda terukir di wajah wanita paruh baya itu.
“Eisha akan datang bersama putranya, karena dia yang akan membahas kerjasama dengan papa,” jawab Hanna dengan menekanka kata putra.
Seperti hari-hari biasa sejak satu bulan yang lalu, Agler selalu mengunjungi Rinjani yang berada di rumah perawatan khusus. Kejiwaan gadis itu sedikit terganggu dan akan mengamuk ketika mengingat bahwa Agam telah tiada. Mau tidak mau, Agler harus terus menerus berperan menjadi Agam sampai Rinjani benar-benar pulih. Seorang suster membuka pintu rumah rawat ketika Agler mengetuknya. “Silakan masuk, Tuan. Nona Rinjani baru saja meminum obat dan sedang berbaring.” “Terima kasih,” sahut Agler seraya melangkah masuk. “Hai, Rin Sayang,” sapa Agler seraya mengecup dahi gadis pucat yang tengah berbaring. “Agam, kamu sudah datang ....” seperti biasa, kalimat itulah yang Agler dengar sebulan terahir setiap mengunjungi Rinjani. Semakin hari, hati pria itu semakin teriris setiap mendengar Rinjani memangilnya Agam. Bohong jika tidak ada rasa yang perlahan tumbuh mengingat bagaimana perannya ketika di samping Rinjani. Agler semakin nyaman menjalankan perannya sebagai seorang kekasih. Tawa Rinj
Mata yang dua telah dua hari perlahan mulai terbuka. Tatapannya terlihat kosong sebelum kembali menangis.“Agam! Agam!” teriak Rinjani membangunkan Tama dan Hanna yang menunggui Rinjani di ruangan tersebut.Tama bergegas memluk Rinjani ketika putrinya berusaha melepas jarum infus di tangannya.“Rin Sayang, kamu tenang, ya. Agam sebentar lagi ke sini,” bisik Tama membuat gerakan berontak Rinjani terhenti.“Benar?” tanya Rinjani dengan tatapan berbinar.“Iya, Sayang. Nanti saat dia selesai dengan kuliahnya, dia akan ke sini,” ucap Tama seraya menangkup wajah putrinya.Hanna berlari keluar tidak tahan melihat keadaan putrinya. Wanita paruh baya itu terduduk di depan ruang rawat seraya menangis terisak.“Tante?” Arsha yang memang tidak ada jadwal kuliah hari ini berniat datang pagi untuk menggantikan orang tua Rinjani menemani gadis itu, justru menemukan Hanna tenga menangis di luar ruang rawat.Hanna bergegas menghapus air matanya. “Sha, Rinjani sudah sadar. Agam. Agler maksud tante. Dia
Tanpa dapat ditahan, air mata mengalir begitu saja dari kedua mata Rinjani. Tatapannya menyiratkan kesedihan dan rasa rindu menatap sosok pria yang berdiri di ujung anak tangga.Tanpa menunggu dipersilakan oleh sang tuan rumah, Rinjani bergegas berlari masuk ke dalam Villa tersebut. Tanpa permisi, gadis itu langsung berhampur memluk pria berkaos hitam yang terlihat seperti baru bangun tidur.“Agam, aku rindu,” ucap Rinjani ditengah isak tangisnya masih mendekap erat pria tersebut.Namun, ketika Rinjani sadar pria di depannya tidak membalas pelukannya, dia pun melepaskan dengan tida rela.Keduanya saling memandang dengan tatapan yang berbeda. Ada luka dan kekecewaan yang tergambar jelas di sorot mata Rinjani. Namun, lain halnya dengan pria di depannya yang menatap datar pada Rinjani.“Kau siapa?” tanya pria itu membuat Rinjani semakin menangis.Rinjani mencengkeram kedua lengan pria di depannya seraya berkata. “Agam, ini aku, Rinjani.”Terlihat pria itu sedikit tersentak sebelum ahirny
Arsha melangkahkan kainya memasuki ruangan di mana Rinjani tengah terbaring. Terlihat mata gadis itu masih tertutup karena obat penennag masih menguasai tubuhnya dan membuat kesadarannya hilang.“Sha, Tante titip Rinjani sebentar, ya. Tante mau ambil baju,” ucap Hanna ketika melihat Arsha memasuki ruangan tersebut.“Iya, Tante. Tante tenang aja, Arsha akan di sini jagain Rin.”Hanna bangkit dari duduknya, mengecup pucuk kepala Rinjani sebelum berjalan keluar dari ruang rawat tersebut.Ketika wanita itu hendak membuka pintu, terlihat daun pintu bergerak dan muncullah sosok laki-lai yang selama ini selalu menemani di sampingnya.“Pa, sudah selesai mengurus administrasi?” tanya Hanna.“Sudah, Ma. Mama mau ke mana?” tanya Tama yang melihat Hanna menjinjing tasnya dan kunci mobil milik mereka.“Mama mau ambil baju ganti buat Rin. Papa mau nitip sesuatu?”Tama mendekat mengambil kunci mobil di genggaman tangan istrinya. “Ayo, Papa yang antar. Papa nggak tenang kalau Mama pergi sendiri.”Akh
Tanpa mengangkat kepalanya, Pria tersebut memberikan sebuah kotak yang dibungkus dengan kertas kado dan pita merah sebagai hiasan.“Terima kasih.” Rinjani mengalihkan atensinya dari kotak tersebut. “Ini dari siapa, ya?”Tanpa menjawab pertanyaan Rinjani, pria bertopi itu bergegas pergi dari sana, meninggalkan gadis itu dengan penuh tanda tanya.“Eh? Mas! Ini dari siapa?” tanya Rinjani sekali lagi sedikit berteriak karena pria bertopi it uterus berjalan menjauh.“Rin? Ada apa?” tegur Arsha membuat Rinjani menoleh.Rinjani mengangkat kotak kado di tangannya. “Ada yang kasih kado, tapi orangnya pakai topi sama masker. Dan pas aku tanya ini dari siapa, dia malah pergi.”“Coba buka. Siapa tau ada nama pengirim di dalamnya,” ujar Arsha sambil melihat kotak kado itu dengan tatapan penasaran.“Masuk dulu aja. Kita buka di dalam, yuk,” ajak Rinjani sambil lebih
Air mata terus mengalir membasahi pipi gadis itu. Rinjani merasa kalut, bayang-bayang perginya Dava kini kembali memenuhi otaknya. Dan hal itu memicu ketakutan Rinjani tentang Agam.Dengan cepat, Rinjani mengambil ponselnya yang tergeletak di nakas. Dia mencari nomor Agam dan segera melakukan panggilan keluar.Beberapa kali Rinjani mencoba menghubungi Agam, tetapi tidak satu pun panggilannya dijawab. Hal itu membuat tangis Rinjani semakin menjadi.Rinjani memeluk lututnya sambil terus-menerus menghubungi Agam. Tanpa sadar, gadis itu bahkan telah menggigiti jarinya.Setelah puluhan kali mencoba dan tetap tidak ada jawaban, Rinjani baru teringat Arsha. Dia segera mencari kontak Arsha dan mengubunginya.Panggilan pertama terhubung, tetapi masih belum diangkat. Tulisan bordering tertera di layar ponsel Rinjani.Rinjani merasa kesal. “Angkat, Sha!”Panggilan Rinjani berhenti karena yang di seberang sana tidak menerima panggilan