“Mas Arya ada di dalam mbak, sedang menata barang yang baru saja masuk,” jelas wanita itu, “mau saya panggilkan atau mbak mau masuk sendiri?” tanyanya.
Tanpa berpikir panjang Ressa memintanya untuk memanggilkan Arya, “minta tolong panggilkan dia ke sini saja ya mbak, saya tunggu di sini.”
“Baik mbak, saya panggilkan dulu,” ujar wanita itu.
Setelah wanita itu melangkah masuk, Ressa menarik tangan Vera agar ikut duduk di kursi tunggu, “duduk di sini saja Ve!”
“Ramah banget ya karyawan ayahmu,” ujar Vera yang sedari tadi hanya diam mematung memperhatikan percakapan Ressa.
Beberapa saat kemudian, Arya mendekati Ressa. Keringat di tubuh lelaki si hadapan Ressa membasahi kaos hitamnya. Ia tak bisa menyembunyikan rasa lelahnya. Wajah tampannya tak luput dari peluh tanda kerja kerasnya.
Arya diam mematung di samping kursi tempat gadisnya duduk. Ia masih agak sedikit terkejut dengan kedatangan Ressa. Ia takut Ressa akan marah padanya karena tidak menghadiri wisuda kekasihnya bahkan tidak menghubunginya beberapa hari ini. Tapi mau tidak mau ia harus yang menyapa kekasihnya dulu.
“Ressa,” panggil Arya dengan nada .
Ressa menepuk kursi di sebelahnya dan menarik tangan Arya agar duduk, “sini duduk dulu jangan berdiri, Mas!”Arya pun duduk di samping Ressa, “Ressa, aku minta maaf enggak bisa menghadiri wisudamu, juga tidak bisa mengabarimu beberapa hari ini,” ujar Arya.
“It's ok no problem,” jawab Ressa.
“Aku sempet takut kamu bakalan marah-marah loh Ress,” ucap Arya, “oh iya, selamat wisuda ya Ressa ku sayang.”
“Makasih, mas, oh iya, aku ke sini mau nanya, ibumu apa kabar?” tanya Ressa serius.
“Ibu sih semalam sudah agak mendingan, tapi masih belum diperbolehkan pulang sama dokter,” jawab Arya sedih.
“Ibu dirawat di rumah sakit mana mas?”
“Di rumah sakit Kasih Medika Ress, ruang anggrek enam.”
“Setelah ini aku jenguk ibumu ya, Mas.”
“Mau bareng aku nanti sore gak?”“Biar aku sendiri saja, soalnya lusa sudah harus balik ke kos, aku sudah mulai masuk kerja.”
“Secepat itu?”
“Iya, huhu, padahal aku masih kangen banget sama kamu Mas.”
Arya hanya berani mengusap kepala Ressa. Padahal ingin sekali memeluk gadis manis di hadapannya ini.
“Mas, aku sama Vera balik duluan ya, takut ntar tiba-tiba ada orang kepercayaan ayah yang dateng. Kamu kerjanya hati-hati, semangat!” ujar Ressa menggenggam tangan kekar yang sedari tadi dipegangnya.
Vera menatap pada sejoli itu, “Serius kita balik? Kamu enggak kangen-kangenan dulu gitu? Pelukan? Ciuman? Atau kalau malu, aku keluar dulu deh.”
Ressa melototi Vera, “Heh, apaan sih.”
Vera hanya nyengir saja tak merasa salah ucap.“Ressa, kamu hati-hati ya berangkatnya, yang semangat di sana,” ucap Arya sambil mengepalkan tangan simbol semangat.
“Siap, Mas!”
Ressa segera bangkit dari kursi, diikuti Vera dan Arya. Mereka bertiga berjalan keluar gudang. Arya mengantar sampai di tempat parkir.
Vera berjalan memutar untuk masuk di mobil bagian kiri. Sedangkan Ressa tak langsung masuk ke mobil, tetapi malah berbincang dengan Arya. Seperti tak ingin berpisah, Arya terus saja memegangi tangan Ressa dan memainkan jemari gadisnya.
Vera yang menyaksikan adegan mesra sahabatnya itu memilih untuk cuek dan tidak mengganggunya.
Entah apa yang mereka bicarakan, mereka sangat dekat. Sebagai tanda perpisahan, Ressa menghambur di pelukan Arya. Mata Vera merasa sepet menyaksikan keduanya. Setelah melepas pelukan, Ressa membuka pintu mobil dan masuk ke dalamnya. Ia membuka jendela dan berpamitan sekali lagi.
“Bye Mas Arya!”
Dengan pelan mobil meninggalkan area parkir.
“Ehm Ehm, yang habis peyuk peyuk an uuuuuh, co cwiiit,” ujar Vera dengan vokal yang dipleset-plesetkan.
Ressa senyum-senyum sendiri menanggapi ujaran Vera.
“Keringetnya nempel ga?” tanya Vera mulai ngaco.
Ressa membelalakkan matanya seolah tak terima, “heh, kamu harus tau ya, keringetnya mas Arya itu ga bauu, malahan wangi, enggak tau deh dia pake apaan.”
Vera tertawa lebar. “Hahaha, ah masa sih?”
“Dih, enggak percaya ya sudah,” jawab Ressa yang berakting cemberut.
“Aduh aduh, anak manis jangan cemberut dong, iya iya keringetnya mas Arya wangi,” ujar Vera sambil tertawa meledek Ressa.
“Eh, eh, kok kita belok? Mau ke mana emang?” tanya Vera yang bingung kenapa arah jalan mobilnya tidak lurus saja, yang mana itu jalan pulang ke rumahnya dan juga rumah Ressa.
Ressa tetap membelokkan mobilnya, “anterin aku ke pasar ya, mau beli buah-buahan buat jenguk ibunya mas Arya, sekalian anterin aku ke rumah sakit ya please.”
“Oh, oke baiklah. Tapi aku enggak bisa nganterin kamu ke rumah sakit jenguk ibunya si Arya,” jawab Vera.
“Heh, kenapa enggak bisa?” tanya Ressa.
“Biasa, freelancer.”
“Oh iya ya, semoga sukses ya kerjaannya.”
“Amin, doa baik balik ke kamu.”
Ressa melambatkan mobilnya hingga akhirnya berhenti di wilayah bertanda parkir. Keduanya turun dari mobil dan membeli beberapa buah.
Ketika Ressa sedang memilih beberapa buah-buahan, seseorang menepuk pundaknya. Secara spontan dia menoleh. Ternyata ibu Nani, ibunya Winda.
“Nak Ressa, beli buah?” tanya bu Nani pada Ressa.
Sepertinya bu Nani hanya berbasa-basi, sebab sudah jelas mereka bertemu di kios buah dan Ressa sedang memilih beberapa buah, jadi sudah dipastikan jawabannya pasti iya.
“Eh, Bu Nani, iya Bu,” jawab Ressa ramah,
“Ibu sendirian?” tanyanya.
“Enggak. Ibu dianterin sama anak ibu,” jawab bu Nani sambil memperkenalkan anaknya, “Gilang namanya, ini kakaknya Winda.”
“Oh,” ucap Ressa singkat sambil menyapa Gilang dengan menganggukkan kepala.
“Mari Nak Ressa, ibu duluan,” pamit bu Nani.
“iya Bu, hati-hati di jalan,” jawab Ressa.
Selepas mereka pergi, Vera yang sedari tadi hanya menonton saja, selanjutnya ia malah kepo.
“Ress, Ress, yang tadi itu siapa? Ganteng banget ih,” ujar Vera.
“Gilang, kakaknya Winda, kamu naksir? Inget Adit woi!” seru Ressa dengan kesal.
“Kok kamu marah? Jangan-jangan malah kamu yang naksir ya sama Gilang?” ledek Vera.
“Mana mungkin, aku cuma ngingetin kamu biar kamu setia, kayak aku dong, setia banget sama mas Arya,” kilah Ressa.
“Hah, iya deh si yang paling setia, hahaha,” jawab Vera.
“Udah udah lah, ni udah jadi parcelnya, mau pulang gak?” tanya Ressa mengalihkan pembicaraan.
“Eh, udah jadi? Iya oke, anterin aku pulang, oke Ressa cantik.”
“Dih, apaan sih ini bocah.”
Ressa pun berlalu terlebih dahulu, disusul Vera yang mengekor di belakang Ressa.
--Setelah mengantarkan Vera pulang, Ressa langsung menancapkan gas ke arah rumah sakit. Di sana ada kak Tania yang sedang menunggui ibunya.
“Eh, Bu, ada Ressa datang,” bisik kak Tania pada ibunya.
Ibunya menoleh ke arah Ressa. Ressa mencium tangan ibu Kalimah tanda hormat pada orang tua. Apalagi beliau adalah calon ibu mertuanya.
“Ibu bagaimana keadaannya sekarang? Maafin Ressa ya Bu, baru bisa jenguk ibu,” ujar Ressa membuka pembicaraan.
“Ibu sudah jauh lebih baik, wong sudah lama dirawatnya,” jawab Tania ketus.
“Tania...!” Seru ibunya.
Erik.Ternyata laki-laki yang baru saja mengaburkan pandangan Ressa tentang laki-laki manis yang dengan tiba-tiba mengajaknya menikah kini menelepon dirinya. Deg.“Haruskah diangkat?” Gumam Ressa memutar ponselnya dengan jari-jari lentiknya sembari menimbang-nimbang keputusannya.Jika boleh jujur, sebenarnya Ressa merasa malas jika harus memencet tombol terima di teleponnya. Tetapi jika teleponnya tidak diangkat, pasti dikira cemburu karena kejadian siang tadi yang sangat mencengangkan dan di luar dugaannya. Karena alasan itulah Ressa akhirnya mengangkatnya.“Halo,” sapa Ressa mendahului.“Halo Ress, aku sudah ada di depan. Bisakah kamu turun ke bawah menemuiku?”Mendengar Erik sudah berada di depan rumahnya, Ressa langsung terbangun dari posisi telentangnya.“Hah? Serius?”“Iya, Ressa.”“Oke, tunggu sebentar.”Ressa berpikir mungkin saja Erik mau menjelaskan soal tadi. Jika ia menghindar, bukankah Erik akan semakin yakin jika Ressa benar-benar telah jatuh cinta padanya dan memiliki s
Sepulang bekerja dan beberapa kali bertemu dengan klien yang berbeda-beda sikapnya, Ressa merasa sangat lelah dan letih. Berhubungan dengan banyak orang itu sungguh melelahkan. Tidak seperti yang dibayangkan sebelumnya tentang bekerja kantoran.“Akhirnya bisa masuk kamarku. Pegel banget rasanya,” gumam Ressa.Seluruh tubuhnya terasa pegal. Begitu juga dengan kakinya yang seharian menggunakan high hills terasa sangat letih.“Mana minyak urutnya ya?” tanyanya pada diri sendiri, “oh, iya itu dia.”Diliriknya minyak urut yang berdiri tegak di samping lampu tidur. di dalam benaknya, tubuhnya jelas akan terasa hangat jika mengaplikasikan minyak itu ke tubuh yang otot-ototnya mengencang. Ressa berjalan menuju nakas di samping ranjangnya. Tapi tiba-tiba langkahnya berhenti. Ia pikir akan sia-sia karena beberapa menit lagi akan mandi. Akhirnya ia urungkan niat itu.“Nanti saja lah setelah mandi,” gumamnya.Matanya menangkap ranjangnya. Ia merasa ranjang miliknya terlihat sangat adem. Sejurus k
“Gimana? Sudah siap?” tanya Erik pada Ressa yang melangkah keluar rumah.“Sudah sih, tapi ….” Ressa terlihat ragu-ragu untuk melanjutkan kalimatnya.Seolah tahu apa yang dirasakan Ressa, Erik mencobaa meyakinkan Ressa, “jangan ragu, aku akan selalu ada di smapingmu. Lagi pula ini pesta ulang tahun kecil yang diadakan di rumah sendiri, jadi aku pikir kamu tidak perlu merasa khawatir yang berlebihan.”Erik langsung menggandeng tangan Ressa dan masuk ke mobil. Masih ada waktu lima belas menit dari dimulainya pesta. Ressa nurut saja ikut ke mobil, pikirnya, ini hanya pesta ulang tahun orang tua. Tapi kemudian pikirannya kembali berontak.“Pasti di sana banyak juga ibu-ibu yang seumuran dan keluarga besarnya. Jika mereka tahu dirinya datang bersama Erik, apa yang akan ada di pikiran mereka semua?” pikirnya.“Ress, kamu mikirin apa? Kok bengong?” tanya Erik sembari tetap terus menyetir.“Rik, kenapa kamu bawa aku sejauh ini, sih? Kamu tahu kan aku bahkan belum pernah menerima cintamu?” tany
Sehari setelah mendatangi pesta pernikahan Vera dan Adit, Ressa sudah mulai bekerja di kantor ayahnya. Kali ini, ia langsung mendapatkan tugas untuk meeting bersama Erik. Entah ini suatu kebetulan, atau tuan Sanjaya sengaja untuk mendekatkan mereka berdua. Atau bahkan ini merupakan tanda bahwa keduanya berjodoh? “Kamu mau langsung pulang?” tanya Erik setelah seluruh staff meninggalkan tempat meeting dan menyisakan dirinya serta Ressa yang sedang mengemasi berkas-berkasnya. Ressa mengangguk, “iya Rik.” “Setelah ini ada acara lagi nggak?” tanya Erik yang terlihat sangat antusias. Ressa menggelengkan kepalanya beberapa kali, “tidak ada sih, memangnya kenapa?” Pandangannya beralih dari berkas-berkasnya ke wajah laki-laki yang tanpa henti mengejarnya meski Ressa tidak pernah mengatakan kata iya pada ungkapan cinta Erik. “Ikut aku!” “Kemana?” “Sudah, ikut saja, yuk!” Erik menggandeng tangan Ressa keluar dari ruang meeting yang kebetulan berada di kantornya sendiri. Ressa berusaha me
Tiga Tahun Kemudian“Hei, Ar, kamu kesini sama siapa?” tanya Dika yang menggandeng wanita cantik disampingnya.Arya terlihat seorang diri berdiri sembari menatap pelaminan megah yang di sana berdiri sahabatnya, Adit, dan seorang wanita yang baru saja pagi tadi sah menjadi istrinya, Vera. Ya, hari ini adalah hari pernikahan Vera dan Adit.Otaknya tiba-tiba saja berjalan-jalan. Khayalan demi khayalan melintas bolak-balik di dalam kepalanya. Seandainya dan seandainya, terus saja mengisi otak Arya hingga rasanya hampir meledak. Untung saja ia sanggup mengendalikannya.“Eh, kamu Dik, aku sama satu keluarga. Ternyata diundang semua. Jadi deh rame-rame,” jawab Arya cengengesan.“Kamu nggak makan dulu?” tanya Dika pada Arya sembari menunjuk meja prasmanan dan stand-stand makanan tradisional yang berjejer rapi siap melayani para tamu undangan, “atau jajan gitu?”“Eh, nanti saja. Masih lama juga pestanya. Kamu kalau duluan nggak apa-apa. Kasian itu Winda,” jawabnya santia bergurau.Sejak pertik
“Gilang, stop!” teraik Bu Nani.Bagaimanapun juga, ia tidak ingin putranya melakukan kesalahan terus menerus. Ia tidak ingin Gilang mengucapkan kata cerai dalam keadaan marah.“Berhenti mengatakan apapun. Tolong ini permintaan ibumu,” lirik bu Nani.“Satu kata cerai yang keluar dari bibirmu, adalah dihitung talak satu. Seharusnya kamu tahu itu Gilang,” jelas Pak Budiman.“Pikirkanlah anak kalian. Kalian bisa memperbaiki semuanya. Gilang, perlakuakn Siska dengan baik. Kamu sendiri yang telah memilih Siska. Jadikan dia istrimu yang kamu cintai seperti kamu mencintainya dulu. Perceraian adalah hal yang sangat dibenci Tuhan,” ujar Bu Nani mencoba menyadarkan anaknya.Gilang masih diam bergeming. Ia memikirkan perkataan ibunya.“Aku udah nggak tahan dengan sikap Mas Gilang yang acuh tak acuh denganku dan anaknya sendiri, Bu. Aku yang menyerah,” aku Siska dengan deraian air mata.“Siska, ibu mengerti bagaimana sakitnya kamu. Tapi, pikirkanlah tentang anak kalian.”Bu Nani masih saja mencoba