Ibu Kalimah mencoba mencegah kak Tania agar tak berkata lebih lagi. Kak Tania yang ditegur segera beringsut ke pojokan sambil terus bermain ponsel.
“Ibu sudah agak mendingan Nak,” jawab ibu Kalimah, “kamu sendiri, bagaimana kabarnya?”
“Ressa baik, Bu,” jawab Ressa, “ini ada sedikit buah buat ibu, dimakan ya, Bu.”
“Enggak usah repot-repot gini Nak, makasih ya,” ucap bu Kalimah.
Ressa tersenyum manis, “Ressa sama sekali enggak repot kok Bu.”
“Kamu sudah ketemu Arya? Dia kelihatan sedih karena enggak bisa datang ke acara wisudamu, maafin ibu ya Nak,” ujar bu Kalimah.
“Ibu tidak perlu minta maaf, ibu tidak salah. Ressa sudah ketemu mas Arya Bu tadi, buat nanya ibu dirawat di mana,” jawab Ressa lembut, “Ressa do’ain semoga ibu cepat sembuh ya, Bu,” lanjutnya.
“Amin, makasih Nak Ressa,” ujar bu Kalimah.
Kak Tania yang diam-diam mendengarkan pembicaraan ibu dan Ressa, dia jadi penasaran dengan cerita Ressa. Rasa penasarannya mendorong untuk bertanya dan menggali informasi, “Ress, kamu udah wisuda? Terus udah daftar kerja?” tanya kak Tania yang kepo.
Kali ini ibu Kalimah tidak mencegah kak Tania bertanya, ia berharap anaknya tidak menyakiti Ressa.
“Lusa Ressa sudah mulai kerja Kak, do’ain lancar ya Kak,” jawab Tania ramah.
“Halah paling juga kerja di perusahaan ayahmu kan?” ledek kak Tania mulai nyinyir.
Ibu Kalimah ingin menyetop pembicaraan mereka, tapi Ressa keburu menjawabnya, “enggak Kak, Ressa dapat panggilan di perusahaan tempat Ressa magang dulu.”
“Halah, perusahaan kecil begitu,” ucap kak Tania.
Kali ini ibu Kalimah segera menghentikan ucapan kak Tania.
“Tania..., jangan bicara seperti itu!” Bu Kalimah mulai memperingati kak Tania.
Pandangan bu Kalimah beralih ke arah Ressa, “Nak, jangan dimasukkan ke hati ya omongan kak Tania.”Senyumnya masih saja indah, nada bicaranya masih saja lembut, tak ada sedikit pun kemarahan tergambar di wajah gadis cantik calon menantu bu Kalimah ini.
“Iya, Bu.” Jawab Ressa, “Bu, Ressa pamit pulang ya, Bu, hari sudah mulai sore,” pamitnya.
“Oh, iya, kamu hati-hati di jalan ya Nak,” pesan bu Kalimah pada Ressa.
“Iya, Bu,” jawab Ressa.
Ressa mencium tangan bu Kalimah dan juga kak Tania. Setelah Ressa membalikkan tubuhnya dan melangkah pergi, diam-diam kak Tania memperhatikan style fashion Ressa. Ia penasaran di mana Ressa membelinya? Kenapa terlihat anggun sekali. Sial, uang dari bang Doni hanya cukup untuk makan sehari-hari. Mana bisa membeli baju-baju yang fashionable seperti milik Ressa?
--Sesampainya di rumah, tak didapati orang rumah kecuali asisten rumah tangga. Mungkin ayah dan ibunya masih di kantor, atau masih ada urusan di luar, entahlah. Ressa tak ambil pusing dengan itu. Ia segera naik ke lantai atas dan masuk ke kamarnya. Ressa bergegas membersihkan diri setelah seharian di luar.
Setelah selesai membersihkan diri, Ressa segera menyiapkan barang-barang yang akan dibawa esok hari. Ia mengambil selembar kertas dan membuat daftar barang bawaan. Tak lupa ia menceklis setiap barang yang sudah masuk ke koper.
Saat sedang fokus memeriksa setiap daftar, ia dikejutkan ketukan pintu kamarnya. Terpaksa Ressa menghentikan aktivitasnya, dan segera membukakan pintu. Rupanya Ibunya yang mengetuk.
“Ressa, yuk turun, sudah waktunya makan malam,” ajak nyonya Mira.“Iya Bu,” jawab Ressa.
Ressa mengekori ibunya menuruni anak tangga.
Di meja makan, di sana hanya ada ayahnya, tuan Sanjaya. Rasanya rumah ini terlalu besar untuk ditinggali tiga orang. Apalagi Ressa empat tahun belakangan lebih sering tinggal di kos dibandingkan tinggal di rumah sendiri dengan alasan tempat kosnya lebih dekat dengan kampus.
Dua kakak Ressa masing-masing sudah berkeluarga dan memiliki rumah sendiri. Ressa yang anak bungsu diharapkan kedua orang tuanya bisa tinggal bersama pasangannya nanti di rumah itu. Tapi bagaimanapun keputusan ada di tangan Ressa dan pasangannya kelak.
“Ayaah,” sapa Ressa sambil menarik kursi makan yang terletak di seberang kursi ibunya.
“Oh, kamu sudah pulang, gimana tadi cari baju kerjanya? Ada?” tanya tuan Sanjaya.
“Ya ada dong Yah, meskipun di pinggiran kota, tetep ada yang jual, hahaha,” jawab Ressa berkelakar.
Tuan Sanjaya dan nyonya Mira ikut tertawa mendengar jawaban anaknya.
“Yah, kenapa kita enggak pindah ke pusat kota saja sih, Yah,” celetuk Ressa sambil menyentong nasi.
Bukan tanpa alasan Ressa berkata demikian. Orang tua Ressa, tuan Sanjaya, yang terkenal sebagai tuan tanah di daerah pinggiran kota, memiliki beberapa tanah di pusat kota juga. Selain itu, ada pula rumah mewah di pusat kota. Rumah yang hanya ditempati ketika tuan Sanjaya dan nyonya Mira ada pekerjaan yang harus diselesaikan beberapa hari di pusat kota.
Tuan Sanjaya menjeda makannya sebentar, “Lah, kamu saja ada rumah di kota malah milih tinggal di kos.”
“Iya Nak, kamu tinggal di rumah saja jadi enggak perlu ngontrak,” nyonya Mira menimpali obrolan ayah dan anak.
“Gitu ya, Bu?” Ressa tampak sedang berpikir sambil mengunyah makanan.
“Kamu kenapa enggak mau tinggal di rumah sendiri?” tanya nyonya Mira penasaran.
“Soalnya di sana rumahnya besar, sepi, sendirian, paling cuma ada bibi sama paman kepercayaan ayah dan ibu doang.”
“Alasan klasik, bilang saja biar bisa bebas jalan-jalan haha hihi sama temen-temen kamu kan?” tebak tuan Sanjaya.
Ressa tidak menyangkal dugaan ayahnya, justru ia malah tertawa, “hahaha, Ayah tahu saja.”
“Besok mau dianterin sama sopir? Nanti biar pak sopirnya pulang naik taksi,” tanya bu Mira menawarkan opsi agar anaknya tidak kelelahan menyetir.
“Betul kata ibumu Ress,” ujar tuan Sanjaya menimpali.
Ressa tampak berpikir sesaat menimbang tawaran ibunya, sebelum akhirnya menyetujuinya, “boleh juga deh saran Ibu, Ressa setuju.”
“Nah, gitu kan ayah juga merasa lega kamu ada yang nganterin. Ya walaupun bukan ayah yang nganterin,”
“Ih, ayah, Ressa sudah dewasa masa mau dianterin ayah ibu, kaya anak SD saja,” kilah Ressa.
“Sudah, sudah, makannya dihabiskan dulu semua,” ucap nyonya Mira.
--Sementara itu, di rumah sakit, petang ini Arya menemani ibunya menggantikan kak Tania yang sedang pulang sebentar untuk istirahat. Biasanya kak Tania akan kembali ke rumah sakit setelah memandikan anak-anaknya dan menyuapinya.
Arya sendiri tidak bisa full menjaga ibunya karena ada bisnis usaha warung kopi yang harus dijalankannya di malam hari.
Ressa, gadis yang dikencaninya sejak dua tahun lalu bahkan belum tahu tentang usaha baru Arya. Ada alasan sendiri mengapa Arya menutupinya. Hanya Arya yang tahu.
Arya merogoh saku celananya, ia mengambil ponsel miliknya yang baru saja ia ambil dari tukang servis dekat rumahnya. Ia mencoba memencet tombol power untuk menghidupkan ponselnya. Ia segera mengirim pesan pada gadisnya.
Dear Ressa sayang,
Maaf, baru bisa menghubungimu sekarang, Kamu apa kabar?Klik, pesan terkirim. Sayangnya pesan yang dikirimkan Arya hanya ceklis dua abu, tanda pesan terkirim namun belum dibaca oleh sang empunya.
Arya mencoba melihat tanda last seen pada kontak Ressa. Sekitar satu jam yang lalu terakhir Ressa online.
Lama belum ada balasan, Arya bolak-balik memasukkan kembali ponselnya ke sakunya. Raut mukanya menggambarkan perasaan yang tidak jelas.
Ibunya yang sedari tadi memperhatikan tingkah Arya pun penasaran.
“Kenapa mukanya ditekuk begitu?” tanya bu Kalimah.
Arya tak menjawab pertanyaan ibunya. Namun sebagai orang tua yang sudah banyak makan asam garam kehidupan, ibunya paham apa yang terjadi.“Menunggu balasan Ressa?” tanya Bu Kalimah.Arya masih malas bersuara. Ia hanya mengisyaratkan jawaban iya dengan mengangguk. Mungkin dia sedang tidak mood.“Nak, mungkin Ressa sedang membereskan barang-barangnya karena besok Ressa berangkat ke kota,” ujar ibunya.“Iya, Bu, tadi Ressa pun berkata demikian ke Arya.”“Besok kamu temani Ressa saja, mumpung kamu libur kerjanya.”“Besok kan Ibu pulang ke rumah, nanti siapa yang mengurus?”“Ada kakakmu, Tania, nanti ibu yang bicara padanya.”“Arya tidak tega meninggalkan Ibu.”“Ibu sudah baikan Nak.”“Nanti Arya pikirkan.”Sungguh kacau sekali perasaan Arya kali ini. Bagaimana mungkin ia membiarkan
Ada begitu banyak pertanyaan di benak Arya. Namun pada akhirnya, ia bisa merasa lega karena ternyata masih punya waktu setengah jam dari waktu janjiannya dengan Ressa.Pukul 10.00, Arya memesan ojek online ke rumah Ressa. Seperempat jam kemudian ia sampai di rumah Ressa.Setelah memberi uang cash pada driver, Arya berjalan mendekati gerbang rumah Ressa. Di sana ada satpam yang menjaganya.“Siang, Pak, saya mau bertemu Ressa,” ujar Arya.Satpam itu segera membukakan gerbang untuk Arya.“Silakan, Mas, Non Ressa nya masih di dalam rumah, lagi siap-siap mau berangkat ke kota.“Terima kasih,” ucap Arya sambil melangkah menuju pintu rumah Ressa.Buset, jalan dari gerbang ke pintu rumah aja lumayan ya buat olahraga raga. Batin Arya.Pintu rumah Ressa terbuka. Arya segera memencet bel rumah yang berada di sebelah kanan pintu. Tidak mungkin ia teriak salam ata
Ressa bangun dan menarik tangan Arya. Dengan gontai Arya mengikuti Ressa untuk ikut rebahan di kasur dengan setengah badannya berada di lantai.Kepala mereka saling bertaut. Arya sibuk memainkan game online di ponselnya, sedangkan Ressa sibuk klak-klik remote TV mengubah channel berkali-kali untuk mencari tontonan yang menarik versi dirinya.Makanan tak kunjung datang, Arya membetulkan posisi tidurnya menjadi sejajar dengan Ressa. Dan mengubah posisi kepalanya menjadi miring, kali ini Ressa juga ikut miring yang membuat wajah mereka berhadapan.Beberapa detik mereka berpandangan, tubuhnya saling berhadapan. Nafas mereka menjadi tak teratur. Degup jantung masing-masing menjadi sangat cepat. Tangan Arya menyentuh pipi Ressa, dan mendongakkan dagu Ressa hingga bibir mereka saling bertaut. Satu kecup dua kecup, akhirnya dilumatlah bibir ranum Ressa oleh Arya.Tok tok tok.Tiba-tiba pintu kontrakan diketuk seseorang. Arya d
Sejak mengantar Ressa berangkat ke kontrakannya, Arya tidak pernah ke sana lagi. Dia masih sibuk bekerja di gudang milik ayahnya Ressa, dan mengelola bisnis warung kopi yang kini sudah memiliki bangunan tersendiri. Mereka hanya berkomunikasi lewat pesan tulisan, pesan suara maupun panggilan video.Ressa pun tak merengek minta dijenguk atau diajak jalan-jalan seperti anak kecil yang minta dibelikan es krim. Ia fokus pada kariernya, fokus pada pekerjaannya.Hingga dua bulan berlalu, tiba saatnya libur Natal dan tahun baru. Hari ini Ressa akan pulang. Arya yang dikabari merasa sangat senang. Mereka berdua memendam rindu yang terlalu dalam.Sudah ada banyak adegan yang tertulis dalam angan. Pulang, liburan, jalan bersama Arya, dilamar, dan tentu saja menetapkan tanggal pernikahan. Sempurna.Bukankah itu sangat membahagiakan?--Malam ini Ressa telah sampai di rumahnya. Saat makan malam, ia berniat bicara pada ayahnya pe
Sesampainya Ressa di rumah Vera, ia mengetuk pintu rumah sahabatnya itu. Sekali, dua kali, tak ada tanda-tanda orang membukakan pintu. Ia duduk di kursi teras depan sambil memainkan ponselnya. Ia biasa menunggu sang empunya rumah pulang. Lagi pula, Vera sudah membalas pesannya dan bersedia menampungnya sampai sore hari.Benar saja, beberapa menit kemudian terlihat Ressa yang mengendarai motor memasuki halaman rumahnya dan memarkirkan motornya di garasi. Ia menenteng map plastik yang berisi kertas-kertas entah apa, mungkin saja kertas skripsi. Ya, Vera masuk kuliah satu tahun di bawah Ressa, sehingga saat ini Vera sedang disibukkan menyelesaikan tugas akhir tersebut.“Sudah lama Res? Maaf ya membuatmu menunggu,” ucap Vera sambil melepas helmnya. Ia merasa tak enak hati membiarkan temannya duduk menunggu.“Iya, kamu lama banget sih, pasti sama doi kan,” jawab Ressa sambil menekuk muka.Vera yang paham malah te
Tok tok tok.Pintu rumah Vera diketuk seseorang, Berapa dan Ressa mengalihkan pandangan ke arah pintu. Sebenarnya percuma juga mereka memandang pintu. Sudah jelas tidak akan terlihat siapa yang datang sebab pintu terkunci dan korden tertutup rapat.Vera bangkit dari duduknya setelah meletakkan dan menutup stoples keripik singkong. Sambil mengunyah sisa-sisa keripik di mulutnya, ia berjalan ke arah pintu dan membukakan pintu. Benar dugaannya, Arya yang bertamu ke rumahnya.“Ve, Ressa di sini?” tanya Arya langsung tanpa basa basi.“Iya, silakan masuk dulu Ar!” ajak Vera pada Arya.Arya berjalan mengikuti Vera. Langkah mereka terhenti di depan televisi. Vera mempersilakan Arya untuk duduk.Arya memilih duduk di samping Ressa dengan kursi yang berbeda. Ia menyandarkan tubuhnya ke sandaran sofa. Sedangkan Vera memilih pergi ke dapur untuk mengambilkan segelas minum untuk Arya sekaligus mem
Tuan Sanjaya tampak menjentikkan abu rokoknya di asbak, “Ibu beneran ingin tahu alasan Ayah menolak keras hubungan mereka berdua?”Nyonya Mira mengangguk dua kali dengan cepat. Ia sangat penasaran.Tuan Sanjaya membetulkan posisi duduknya, “Bu, Ibu tahu? Arya Permana itu adalah anak dari Sukardi dan Kalimah,”Nyonya Mira tampak berpikir sejenak, “Sukardi yang dulu kerja bareng Ayah?” tanyanya.Tuan Sanjaya mengangguk sambil menyesap batang rokoknya yang hampir habis. Nyonya Mira masih belum yakin.“Dia akhirnya menikahi Kalimah? Bagaimana kabar Gayatri?” tanya nyonya Mira.“Entah. Kabar terakhir yang Ayah tahu Gayatri kembali ke rumah orang tuanya. Sukardi mengambil alih perusahaan Ayah Kalimah, tapi karena gila judi, aset perusahaan habis dan akhirnya gulung tikar. Itu kenapa anak-anaknya berpendidikan rendah dan ikut kerja di gudang kita. Selebihnya Ayah tidak mau
“Please, Mas, antar aku ke rumah Vera saja ya,” ujar Ressa kembali mengatupkan kedua telapak tangannya meminta diantar ke rumah Vera, sahabatnya.“Kenapa gak langsung pulang saja? Nanti kelamaan,” tanya Arya yang masih keberatan dengan permintaan kekasihnya. Baginya, mengantar sampai ke rumah adalah suatu bentuk tanggung jawab.“Aku belum siap menunjukkan hubungan kita ke ayah, ke Vera dulu ya, nanti kalau sudah waktunya kita bisa leluasa pergi antar jemput di rumah,” pinta Ressa masih dengan tatapan memohonnya.Arya akhirnya menyerah. Ia tak punya daya untuk satu hal ini, terpaksa ia mengikuti saran Ressa meskipun dalam hati kecilnya selalu menolak jika harus antar jemput di rumah Vera. Dengan gontai lelaki itu mengangguk, ia memakai helm dan menstater motornya.Ceklek ceklek ceklek. Ressa berkali-kali mencoba mengunci helmnya tapi usahanya tidak juga membuahkan hasil. Sia-sia. Ia terus mencoba