Arya tak menjawab pertanyaan ibunya. Namun sebagai orang tua yang sudah banyak makan asam garam kehidupan, ibunya paham apa yang terjadi.
“Menunggu balasan Ressa?” tanya Bu Kalimah.
Arya masih malas bersuara. Ia hanya mengisyaratkan jawaban iya dengan mengangguk. Mungkin dia sedang tidak mood.
“Nak, mungkin Ressa sedang membereskan barang-barangnya karena besok Ressa berangkat ke kota,” ujar ibunya.
“Iya, Bu, tadi Ressa pun berkata demikian ke Arya.”
“Besok kamu temani Ressa saja, mumpung kamu libur kerjanya.”
“Besok kan Ibu pulang ke rumah, nanti siapa yang mengurus?”
“Ada kakakmu, Tania, nanti ibu yang bicara padanya.”
“Arya tidak tega meninggalkan Ibu.”
“Ibu sudah baikan Nak.”
“Nanti Arya pikirkan.”
Sungguh kacau sekali perasaan Arya kali ini. Bagaimana mungkin ia membiarkan ibunya sendirian? Pastinya kak Tania akan mengomel sepanjang hari sepanjang malam jika kelelahan menjaga ibu dan anak-anaknya serta suaminya yang belakangan sering jalan bareng janda samping rumah.
Aargh... Sebenarnya tidak apa-apa jika tidak mengantar Ressa, pasti dia sudah sama sopirnya. Tapi ia tidak mau kehilangan kesempatan mengantar kekasihnya itu.
Dret dret...
Ponsel Arya berbunyi. Ia segera mengambilnya dari saku. Ia sangat berharap itu pesan dari Ressa.Klik. Benar saja, pesan itu dari Ressa. Dengan terburu-buru Arya segera membuka pesannya.
Dear Mas Arya,
Jangan risau jangan galau, Kabarku baik-baik saja.Tak terasa bibir Arya menyunggingkan senyum setelah membaca balasan Ressa. Tak mau kekasihnya menunggu balasan terlalu lama, ia segera membalas pesan Ressa.
Sayangku sedang apa? Sudah makan atau belum?
Klik. Begitu pesan terkirim, langsung ceklis dua. Sayang sedang mengetik. Begitu keterangan di bawah nama kontaknya.
Sudah makan, dan ini lagi nutup koper, sudah selesai beres2 barang buat besok.
Arya membaca pesan secepat kilat. Ia segera membalas, menawarkan diri untuk menemani Ressa berangkat ke kota.
Besok berangkat jam berapa? Mau aku temenin?
Rupanya Ressa pun sedang stand by dengan ponselnya. Terlihat dari kecepatan membalasnya.
Pengen. Tapi kan kamu harus jagain ibu. Lagi pula aku sama sopir.
Arya sedikit berpikir. Jangan sampai salah mengartikan kode-kode tersirat dari jawaban Ressa.
Jadi kalau begitu, ia mau ditemani atau tidak? Aargh... Kenapa pening sekali. Kenapa cewek suka sekali pake kode-kode yang membuat para cowok harus berpikir keras.
Besok Ibu pulang, dan Ibu sudah mengizinkanku untuk menemani kamu ke kota.
Akhirnya kalimat itu yang ditulis Arya.
Semenit, dua menit, tiga menit. Ressa tak kunjung membalas. Arya yakin banget Ressa sedang berpikir mau dibalas apa.
Pasti kekasihnya itu ingin dipaksa ditemani. Iya pasti itu. Setidaknya begitu keyakinan Arya. Sampai akhirnya dia memilih mengirim pesan kembali.
Mau ya, aku temeni, ya ya ya. seperti biasa. Bagaimana?
Klik. Semoga dia mau. Begitu harapan Arya.
Sungguh rumit sekali perihal mengambil keputusan. Padahal ini hal yang remeh. Apalagi keputusan-keputusan di depan. Semoga semesta senantiasa merestui.
Yakin? Gak enak aku sama ibu kamu Mas.
Ada nada keraguan di dalam pesan Ressa. Tugas Arya adalah meyakinkannya. Karena itu ia terus saja menawarkan diri menemaninya.
Kamu besok berangkat jam berapa?
Tanya Arya langsung tanpa membahas ketidakenakan hati Ressa pada ibu.
Mungkin sekitar jam sebelas.
Arya kegirangan membaca balasan Ressa.
Fixed, aku ikut. Ibu pulang jam 9 pagi setelah dokter visit. Besok aku ke rumahmu ya.
Dret... Satu pesan diterima. Dari Ressa.
Oke ditunggu.Arya kegirangan mendapatkan sebuah kepastian. Ia segera mengemasi barang bawaan dari rumahnya agar besok pagi sudah tinggal dibawa pulang kembali.
“Bu, setelah nganter ibu pulang ke rumah, Arya besok izin nganterin Ressa ya Bu,” izin Arya pada ibunya.
“Iya Nak, kamu hati-hati selalu ya, nanti pulangnya jangan terlalu malam,” jawab ibu Kalimah memberi pesan pada Arya.
Arya mengangguk, “baik, Bu.”
“Ar, coba kamu telepon kak Tania, di mana dia, sudah perjalanan kesini apa belum, kamu kan sudah harus membuka warungmu,” perintah bu Kalimah.
“Iya, Bu,” jawab Arya, ia mencari kontak kak Tania dan meneleponnya.
“Kak Tania ditelepon tidak diangkat, Bu, mungkin lagi di perjalanan,” ujar Arya, “lah, itu kak Tania, Bu, sudah kesini,” sambungnya.
Ternyata kak Tania sudah masuk ke ruangan. Masuk akal jika ia tidak mengangkat telepon adiknya itu.
“Maaf Ibu, Tania agak lama kesininya, habis marahin bang Doni sama tetangga baru kita yang janda, Bu, enak saja mereka bermesra-mesraan padahal dilihat anak-anak,” ujar kak Tania dengan raut muka kesal. “Tania mau nyari laki-laki lain saja lah, Bu,” lanjut kak Tania.
“Hus, enggak boleh ngomong kaya gitu Tan, do’ain saja semoga Doni segera taubat,” ucap bu Kalimah menenangkan Tania.
“Kak Tania, Arya pamit kerja dulu ya, Kak, jaga ibu baik-baik, jangan bikin ibu kepikiran,” pesan Arya pada kakaknya. Ia tidak ingin mendengar drama baru rumah tangga kakaknya.
“Oh, oke,” jawab Tania.
Tumben sekali dia tidak nyolot waktu diberi pesan. Biasanya dia akan mencak-mencak dulu. Hahaha. Setidaknya ini hal baik bagi Arya. Sebenarnya kak Tania sangat sayang pada adiknya. Ia selalu mendukung usaha adiknya. Hanya saja ia merasa iri dan tidak mau kalah saing dengan Ressa yang notabene kekasih adiknya.
Arya keluar dari ruang perawatan dan menuju parkiran motor. Ia segera melajukan motornya menuju warung kopi yang jadi usaha barunya.
Sesampainya di warung, di sana sudah ada Dika, Mahardika Prasetya, teman Arya yang membantu usaha Arya selama ini.
“Ar, lama banget kamu, lagi rame ini,” ujar Dika.
“Sorry, Bro, nunggu kak Tania dateng gantiin jagain ibu dulu,” jawab Arya sambil nyengir.
“Gas, gas, gas, langsung, nih, catatan pesanan pelanggan,” seru Dika.
“Siap, Bro,” ucap Arya sambil tangannya sikap hormat.
--Pukul 9 pagi, dokter baru saja mengunjungi pasien. Setelah mengecek seluruh keadaan ibu Kalimah, dokter menyatakan jika ibu Kalimah diperbolehkan pulang dengan berbagai catatan pesan yang harus dijalankan pendamping pasien.
Setelah diizinkan pulang dari rumah sakit, Arya segera mengurus administrasi yang diperlukan. Tidak ada biaya sama sekali selama opname di rumah sakit. Bersyukur ibu Kalimah terdaftar sebagai penerima kartu jaminan kesehatan dari pemerintah.
Meski demikian, berkas administrasi untuk keluar dari rumah sakit lumayan ribet dan memakan banyak waktu apalagi untuk pasien penerima kartu jaminan kesehatan. Hingga Arya khawatir tidak bisa tepat waktu sampai di rumah Ressa. Tiba-tiba saja Arya merasa pesimis dan takut tidak bisa mengantar Ressa.
Kenapa berkasnya banyak sekali? Kenapa ribet banget gini? Apa waktunya cukup sampai Ressa berangkat?
Ada begitu banyak pertanyaan di benak Arya. Namun pada akhirnya, ia bisa merasa lega karena ternyata masih punya waktu setengah jam dari waktu janjiannya dengan Ressa.Pukul 10.00, Arya memesan ojek online ke rumah Ressa. Seperempat jam kemudian ia sampai di rumah Ressa.Setelah memberi uang cash pada driver, Arya berjalan mendekati gerbang rumah Ressa. Di sana ada satpam yang menjaganya.“Siang, Pak, saya mau bertemu Ressa,” ujar Arya.Satpam itu segera membukakan gerbang untuk Arya.“Silakan, Mas, Non Ressa nya masih di dalam rumah, lagi siap-siap mau berangkat ke kota.“Terima kasih,” ucap Arya sambil melangkah menuju pintu rumah Ressa.Buset, jalan dari gerbang ke pintu rumah aja lumayan ya buat olahraga raga. Batin Arya.Pintu rumah Ressa terbuka. Arya segera memencet bel rumah yang berada di sebelah kanan pintu. Tidak mungkin ia teriak salam ata
Ressa bangun dan menarik tangan Arya. Dengan gontai Arya mengikuti Ressa untuk ikut rebahan di kasur dengan setengah badannya berada di lantai.Kepala mereka saling bertaut. Arya sibuk memainkan game online di ponselnya, sedangkan Ressa sibuk klak-klik remote TV mengubah channel berkali-kali untuk mencari tontonan yang menarik versi dirinya.Makanan tak kunjung datang, Arya membetulkan posisi tidurnya menjadi sejajar dengan Ressa. Dan mengubah posisi kepalanya menjadi miring, kali ini Ressa juga ikut miring yang membuat wajah mereka berhadapan.Beberapa detik mereka berpandangan, tubuhnya saling berhadapan. Nafas mereka menjadi tak teratur. Degup jantung masing-masing menjadi sangat cepat. Tangan Arya menyentuh pipi Ressa, dan mendongakkan dagu Ressa hingga bibir mereka saling bertaut. Satu kecup dua kecup, akhirnya dilumatlah bibir ranum Ressa oleh Arya.Tok tok tok.Tiba-tiba pintu kontrakan diketuk seseorang. Arya d
Sejak mengantar Ressa berangkat ke kontrakannya, Arya tidak pernah ke sana lagi. Dia masih sibuk bekerja di gudang milik ayahnya Ressa, dan mengelola bisnis warung kopi yang kini sudah memiliki bangunan tersendiri. Mereka hanya berkomunikasi lewat pesan tulisan, pesan suara maupun panggilan video.Ressa pun tak merengek minta dijenguk atau diajak jalan-jalan seperti anak kecil yang minta dibelikan es krim. Ia fokus pada kariernya, fokus pada pekerjaannya.Hingga dua bulan berlalu, tiba saatnya libur Natal dan tahun baru. Hari ini Ressa akan pulang. Arya yang dikabari merasa sangat senang. Mereka berdua memendam rindu yang terlalu dalam.Sudah ada banyak adegan yang tertulis dalam angan. Pulang, liburan, jalan bersama Arya, dilamar, dan tentu saja menetapkan tanggal pernikahan. Sempurna.Bukankah itu sangat membahagiakan?--Malam ini Ressa telah sampai di rumahnya. Saat makan malam, ia berniat bicara pada ayahnya pe
Sesampainya Ressa di rumah Vera, ia mengetuk pintu rumah sahabatnya itu. Sekali, dua kali, tak ada tanda-tanda orang membukakan pintu. Ia duduk di kursi teras depan sambil memainkan ponselnya. Ia biasa menunggu sang empunya rumah pulang. Lagi pula, Vera sudah membalas pesannya dan bersedia menampungnya sampai sore hari.Benar saja, beberapa menit kemudian terlihat Ressa yang mengendarai motor memasuki halaman rumahnya dan memarkirkan motornya di garasi. Ia menenteng map plastik yang berisi kertas-kertas entah apa, mungkin saja kertas skripsi. Ya, Vera masuk kuliah satu tahun di bawah Ressa, sehingga saat ini Vera sedang disibukkan menyelesaikan tugas akhir tersebut.“Sudah lama Res? Maaf ya membuatmu menunggu,” ucap Vera sambil melepas helmnya. Ia merasa tak enak hati membiarkan temannya duduk menunggu.“Iya, kamu lama banget sih, pasti sama doi kan,” jawab Ressa sambil menekuk muka.Vera yang paham malah te
Tok tok tok.Pintu rumah Vera diketuk seseorang, Berapa dan Ressa mengalihkan pandangan ke arah pintu. Sebenarnya percuma juga mereka memandang pintu. Sudah jelas tidak akan terlihat siapa yang datang sebab pintu terkunci dan korden tertutup rapat.Vera bangkit dari duduknya setelah meletakkan dan menutup stoples keripik singkong. Sambil mengunyah sisa-sisa keripik di mulutnya, ia berjalan ke arah pintu dan membukakan pintu. Benar dugaannya, Arya yang bertamu ke rumahnya.“Ve, Ressa di sini?” tanya Arya langsung tanpa basa basi.“Iya, silakan masuk dulu Ar!” ajak Vera pada Arya.Arya berjalan mengikuti Vera. Langkah mereka terhenti di depan televisi. Vera mempersilakan Arya untuk duduk.Arya memilih duduk di samping Ressa dengan kursi yang berbeda. Ia menyandarkan tubuhnya ke sandaran sofa. Sedangkan Vera memilih pergi ke dapur untuk mengambilkan segelas minum untuk Arya sekaligus mem
Tuan Sanjaya tampak menjentikkan abu rokoknya di asbak, “Ibu beneran ingin tahu alasan Ayah menolak keras hubungan mereka berdua?”Nyonya Mira mengangguk dua kali dengan cepat. Ia sangat penasaran.Tuan Sanjaya membetulkan posisi duduknya, “Bu, Ibu tahu? Arya Permana itu adalah anak dari Sukardi dan Kalimah,”Nyonya Mira tampak berpikir sejenak, “Sukardi yang dulu kerja bareng Ayah?” tanyanya.Tuan Sanjaya mengangguk sambil menyesap batang rokoknya yang hampir habis. Nyonya Mira masih belum yakin.“Dia akhirnya menikahi Kalimah? Bagaimana kabar Gayatri?” tanya nyonya Mira.“Entah. Kabar terakhir yang Ayah tahu Gayatri kembali ke rumah orang tuanya. Sukardi mengambil alih perusahaan Ayah Kalimah, tapi karena gila judi, aset perusahaan habis dan akhirnya gulung tikar. Itu kenapa anak-anaknya berpendidikan rendah dan ikut kerja di gudang kita. Selebihnya Ayah tidak mau
“Please, Mas, antar aku ke rumah Vera saja ya,” ujar Ressa kembali mengatupkan kedua telapak tangannya meminta diantar ke rumah Vera, sahabatnya.“Kenapa gak langsung pulang saja? Nanti kelamaan,” tanya Arya yang masih keberatan dengan permintaan kekasihnya. Baginya, mengantar sampai ke rumah adalah suatu bentuk tanggung jawab.“Aku belum siap menunjukkan hubungan kita ke ayah, ke Vera dulu ya, nanti kalau sudah waktunya kita bisa leluasa pergi antar jemput di rumah,” pinta Ressa masih dengan tatapan memohonnya.Arya akhirnya menyerah. Ia tak punya daya untuk satu hal ini, terpaksa ia mengikuti saran Ressa meskipun dalam hati kecilnya selalu menolak jika harus antar jemput di rumah Vera. Dengan gontai lelaki itu mengangguk, ia memakai helm dan menstater motornya.Ceklek ceklek ceklek. Ressa berkali-kali mencoba mengunci helmnya tapi usahanya tidak juga membuahkan hasil. Sia-sia. Ia terus mencoba
“Aw,” pekik Ressa.Ia membuka matanya. Melihat sekitar. Pemandangannya mirip kamarnya. Siapa yang sudah menggotongnya ke kamar? Di mana Arya?Tok tok tokTiba-tiba pintu kamar diketuk, sekali, dua kali, ia tak mendengarnya. Ketukan itu semakin kencang.Sayup-sayup terdengar suara dari luar, “Ressa, sayang, Nak, ditunggu ayah di luar.”Itu suara ibu Ressa, Ressa mengucek matanya. Ia melihat pakaian yang dikenakannya. Bukan gaun pengantin.Jadi tadi itu mimpi? Batin Ressa.Ia tak tahu harus sedih atau senang. Sedih karena pernikahannya dengan lelaki pilihannya hanya sebuah mimpi, atau harus senang karena insiden terjatuh saat pernikahan ternyata hanyalah sebuah mimpi.Kepalanya terasa berat karena tidur singkatnya di sore hari. Ressa membuka pintu kamarnya, “ada apa Bu?”“Kamu tidur? Sore hari jangan tidur!” larang ibu Ressa.&