Beranda / Romansa / Terbangun di Ranjang Presdir Duda / Hadiah untuk Nona Sekretaris

Share

Hadiah untuk Nona Sekretaris

Penulis: Naraya Mahika
last update Terakhir Diperbarui: 2024-02-12 12:50:01

"Selamat siang, Mbak Jenar. Di bawah ada paket baru datang untuk Pak Mada, ukurannya cukup besar. Ingin diambil sekarang atau kurirnya aku suruh untuk ke atas saja ya, Mbak?"

Jenar terdiam sejenak sebelum mengusap tengkuk, kenapa jika ada kiriman untuk Mada, dia tidak tahu sama sekali?

"Tolong katakan kepada kurirnya untuk menunggu.”

Dua minggu sudah Jenar resmi menjadi sekretaris Mada dan tugas utamanya adalah menyediakan segudang hal untuk si lelaki serta memastikan bahwa hari-hari si pria berjalan lancar.

Jenar harus terbiasa untuk membuatkan kopi dengan takaran satu pertujuh sendok kopi di pagi hari sampai mengurus menu makan siang serta memberikan laporan cuaca kepada presdir penggoda satu ini.

"Bagaimana, Mbak Jenar?"

“Tunggu, jangan langsung di suruh ke atas," sergah Jenar karena dia tahu bahwa Mada tidak suka ada orang asing tanpa izin yang menyeruak masuk ke lantainya tanpa izin.

"Sudah aku sampaikan ke kurirnya, Mbak Jenar."

Meski sempat tertekan dengan ritme kerja Mada yang cepat dan perfeksionis, nyatanya Jenar mulai terbiasa.

"Omong-omong, aku boleh tahu siapa pengirim paket tersebut?" tanya Jenar beberapa saat kemudian.

Dia sibuk mengecek terlebih dahulu apakah ada agenda delivery untuk hari ini lalu mengernyit karena seharusnya tidak ada pengiriman apapun sampai siang ini.

Jika pun Mada memesan barang, Jenar pasti tahu karena Mada yang selalu menyuruhnya melakukan segala hal atas nama si pria karena Mada ingin terima beres.

"Dari salah satu rumah butik, Mbak."

"Kiriman baju?" tebak Jenar dengan memijat kening.

"Bisa jadi. Jadi, bagaimana baiknya, Mbak Jenar?" tanya pihak seberang dengan sedikit menekan Jenar yang memutar bola mata lalu mencoba untuk tenang.

‘Tumben’, batin Jenar karena merasa aneh bahwa Mada memesan baju dari salah satu butik dan diantar ke alamat kantor pula.

"Tunggu, aku akan melakukan konfirmasi terlebih dahulu dengan Pak Mada," ucap Jenar dengan melepaskan gagang telepon dari telinganya.

Jenar harus memastikan semua aman sebelum sampai di tangan Mada sehingga dia putuskan untuk memutar kursi lalu sedikit menunduk untuk mengintip Mada yang sedang berada di ruangannya.

Pria itu nampak sedang menghubungi seseorang, terlihat dari gesturnya yang berjalan mondar mandir.

“Begini saja, nanti aku yang akan mengambil paket itu ke bawah,” usul Jenar dengan kembali memegang gagang telepon.

“Baik.”

Tok. Tok. Tok.

Setelah mengetuk sebanyak tiga kali, Jenar melangkah masuk ke ruangan Mada, bertepatan dengan si pria yang juga mematikan sambungan telepon.

"Ada hal yang tidak kamu mengerti?" tanya Mada tanpa berbasa basi sambil mendaratkan tatap kepada Jenar yang kini mendekatinya.

"Apa Pak Mada habis memesan barang?"

"Tidak," balas Mada dengan mengetik sesuatu sebelum memasukan ponsel ke dalam kantung celana dan berjalan mendekat ke arah Jenar sebelum mengelus bahunya sebanyak dua kali.

"Ah, apakah ada kurir dari butik yang datang?" ralatnya dengan menjentikan jemari lalu memberikan kode kepada Jenar untuk mengambilnya.

"Kalau begitu, bawa barangnya kemari," titahnya.

***

Jenar kembali ke dalam ruangan Mada dengan menggotong kotak yang berukuran cukup besar tersebut lalu menaruhnya di salah satu meja sedangkan Mada menatapnya penuh kepuasan, dia duduk dengan menyilangkan kaki.

“Perlu bantuan?” tanya Mada jenaka ketika Jenar sudah menaruh kotak itu.

“Wah, sangat membantu,” sindir si perempuan pada Mada yang menggelengkan kepala karena sibuk menahan tawa.

“Aku hanya ingin berbasa basi denganmu,” balas si lelaki kepada Jenar yang tengah meregangkan tangannya ketika terasa pegal.

“Tidak perlu bersikap sinis seperti itu, Jenar,” imbuhnya hingga Jenar merasakan cubitan di dasar hati, sadar bahwa dia tidak seharusnya sekasar itu saat menjawab Mada.

“Pak Mada, jika sudah selesai semua, aku akan kembali ke meja depan dan—"

"Buka," kata Mada saat Jenar hendak undur diri hingga matanya terbuka lebar.

Jenar spontan menggelengkan kepala, dia tidak setuju dengan gagasan yang diberikan oleh Mada.

“Ah, tidak, Pak Mada. Kotak ini bukan milikku, ini milik Pak Mada,” jelasnya sungkan.

“Jenar …” panggil Mada dengan memajukan duduk lalu menarik keliman celana yang berada di atas paha sebelum mengusap-usap kainnya dengan pelan.

“Asal kamu tahu, aku membelikannya khusus untukmu.”

“AKU?” tunjuk Jenar pada dirinya sendiri dengan raut tidak percaya sedangkan Mada terlihat sangat percaya diri.

“Tentu,” ucap Mada. “Siapa lagi sekretarisku selain kamu?”

Dia kembali menyandarkan tubuh dan sibuk menggosok kedua tangan, berupaya menyembunyikan cincin kawin yang tersemat dari Jenar.

Mada selalu seperti ini ketika berbicara dengan Jenar.

Laki-laki parlente ini seperti ingin menunjukan sekaligus menyembunyikan keberadaan cincin di jemarinya dan setiap kali Jenar mencoba mengumpulkan keberanian diri untuk bertanya, Mada selalu memiliki cara yang handal untuk mengalihkan pembicaraan.

“Selama dua minggu menjadi sekretarisku, aku harus mengakui bahwa pekerjaanmu sangat tertata.”

“Terima kasih banyak, Pak Mada. Aku anggap itu sebagai pujian,” kata Jenar dengan sopan sedangkan Mada yang menyilangkan kaki sibuk mengetuk jemarinya di lengan sofa yang ditempati sedangkan Jenar berdiri tegak meski sesekali matanya tertuju kepada kotak hitam besar itu.

“Aku tidak perlu ucapan terima kasih darimu, aku hanya ingin kamu menemaniku,” lugas Mada kepada Jenar yang terlihat gengsi serta malu-malu kucing.

Dia melirik ke arah kotak tersebut dengan ragu-ragu lalu menelan saliva, pada satu sisi ingin mendebat Mada, pada sisi yang lain Jenar kadung penasaran akan isi kotak tersebut.

“J—jadi aku boleh membukanya?” tanyanya berbasa basi berusaha menunjukan sopan santun.

“Duduklah dan buka. Itu adalah milikmu, kamu bisa membawanya pulang.”

Maka, Jenar duduk di depan Mada seperti apa yang diperintahkan oleh si pria.

Tangannya terulur untuk membuka pita di atas kotak tersebut lalu mengangkat tutupnya pelan-pelan.

Matanya terlihat begitu berbinar sementara Mada mengulum senyum melihat gestur Jenar.

Sraak.

“Pak, ini—”

Jenar membelalakan mata ketika mendengar permintaan dari Mada.

Dihadapannya, terdapat sebuah kotak hitam terbuka lebar dengab susunan bunga mawar merah serta selapis pakaian mahal yang dibungkus semacam kertas yang mengeluarkan semerbak aroma mawar.

“Kalau kamu masih bertanya itu untuk apa, jawaban yang jelas adalah untuk dipakai dan bukan di makan,” balas Mada dengan asal sambil memperhatikan dengan saksama raut Jenar yang tercengang.

“Kelopak bunga mawarnya juga jangan kamu jadikan ramuan untuk membuatku menyukaimu,” ledek Mada dengan alis terangkat tinggi.

Jemari Jenar membelai kertas penutup lalu membukanya dengan gemetar, dia tahu dengan sangat bahwa rumah butik ini memiliki harga busana yang sangat mahal.

“Acaranya besok malam, ini adalah undangan pribadi dari lembaga charity jadi tidak dikirimkan ke kamu."

Mada menyampaikan rencananya kepada Jenar yang masih berkeringat dingin ketika jemarinya menyentuh permukaan gaun berwarna merah yang dia tebak pasti akan terlihat sangat seksi jika dikenakan.

“Temanya pesta topeng,” tukas Mada lagi dengan berdiri lalu kembali ke mejanya sebelum menarik keluar suatu kotak yang lebih kecil serta menaruhnya tepat di depan Jenar.

Jenar berhenti mengagumi gaun tersebut dan jadi penasaran ketika Mada membuka kotak yang lebih kecil lalu memberikan isinya yang berukuran lebih kecil kepada Jenar.

"Kamu harus mengenakan ini."

Jenar menunduk, tangannya menerima uluran topeng yang diberi oleh Mada dan terdapat bantalan di area dalam sehingga tidak akan menimbulkan sakit serta bekas di permukaan kulit.

"Sama sepertiku yang juga mengenakan topeng, hanya berbeda warna saja."

“A—aku harus ikut dengan Pak Mada?” gugupnya.

Jenar berhenti mengagumi detail dari topeng mewah tersebut lalu meletakannya sebelum menatap Mada.

Entah mengapa suara Jenar berubah menjadi sebuah bisikan padahal kondisinya di ruangan ini hanya ada mereka berdua.

“Tentu,” balas Mada dengan memajukan posisi duduknya lalu menyentuh dagu Jenar penuh kelembutan.

"Untuk apa aku menyediakan semua ini jika kamu tidak ikut?"

Mada berusaha mengukur reaksi dari Jenar sebelum berucap pelan namun mampu untuk membuat Jenar keheranan hingga bulu kuduknya terasa meremang.

"Benar juga," kata Jenar dengan mata yang bolak balik memandang gaun serta topeng.

Dia tertantang karena penasaran dengan acara yang disebutkan oleh Mada, sekaligus merasakan gigilan dingin karena takut.

“Jenar, namun kali ini kita datang bukan sebagai presdir dan sekretaris.”

“Lalu?” balasnya dengan keheranan dan tertawa hambar. "Tapi 'kan pada dasarnya kita merupakan—"

“Kamu harus menggunakan identitas lain yang sudah disiapkan. Bersedia?”

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Terbangun di Ranjang Presdir Duda   Satu Buket Bunga Besar

    "Sebenarnya apa yang dicari oleh orang itu?" "Aku tidak tahu," jawab yang lainnya dengan suara lirih sambil melirik jam lalu diam-diam menguap lebar sebelum mengamati Mada melalui sudut mata. "Ini sudah larut, seharusnya kita sudah tutup," bisiknya dengan nada yang sudah tidak sabar. Kakinya bergoyang-goyang dan berulang kali berdecak seraya menyumpah serapah dan terus menggaruk kepala. "Tolong katakan kepada calon pembeli itu bahwa kita sudah close order." Dengan tidak sabar, dia mengatakannya dengan sedikit mendesak yang langsung di sangkal oleh rekan kerjanya. "Hush!" tukas yang lain dengan mata merebak terbuka. "Menolak calon pembeli itu tidak baik, bisa berimbas buruk kepada bisnis," balas teman bicaranya yang nampak kikuk sambil terus memandang ke arah calon pembeli tersebut. "Lama sekali," gerutunya pelan agar tidak terdengar oleh Mada. Lantas, dia menoleh untuk menatap rekannya dan berucap serius, "Maksudku ... jika saja dia meminta saran kepada kita berdua, kita pasti

  • Terbangun di Ranjang Presdir Duda   Lelaki Berteman Luka

    "Aku seharusnya tidak berada di sini, bukan?" Dia duduk dengan kedua lutut yang tertekuk sambil menyesap cairan berwarna putih kekuningan dari gelas berleher tinggi sebelum menaruhnya kembali kemudian membuka pembungkus sebuah bola cokelat dari brand Godiva. "Ck!" ucapnya seraya mendecak-decakan lidah ketika rasa manis dari cairan tersebut kembali membasahi bibir serta kerongkongan. "Kamu ingin mencobanya? Oh ayolah, percaya padaku. Aku tidak akan membeli alkohol yang memiliki cita rasa buruk," ucapnya memberikan penawaran kemudian menggeleng ketika tidak mendapatkan jawaban yang diinginkan. "No? Fine, you're lost, not mine," tutur si pria dengan menghabiskan isi dari dalam gelas itu hanya dalam satu teguk sebelum tertunduk. Gelasnya jatuh, kepalanya terasa berdenyut dan tangannya sibuk menepuk-nepuk sisi kiri keningnya. Mada menyipitkan mata, keringat sebesar bulir jagung mulai menuruni kening sampai membuatnya menghela napas berulang kali dan dengan sibuk mendecak-decakan lidah

  • Terbangun di Ranjang Presdir Duda   Mencium Penuh Nafsu

    "Je, jangan menyelundupkan kekasihmu ke sini, oke?!" "Aku tidak hanya menyelundupkannya melainkan akan tidur dengannya lalu membuat suara-suara animalistik sampai kamu terganggu," balasnya sarkastik dengan memejamkan mata karena tengah pusing dengan beban kerja yang terus berdatangan. "Mungkin kamu akan mendengar aahh dan uhh dan eeehh dan yes," tambah Jenar memanas-manasi Catherine yang tidak memiliki kekasih. "Hei!" Catherine berkacak pinggang lalu berdecak sebal sambil mengetuk jemarinya di daun pintu. "Jadi, jangan membuatku melakukan yang tidak-tidak di rumah ini, mengerti?" tanya si adik yang kakinya sedang terkilir dengan retoris kemudian mendecak-decakan lidah. "Omong-omong, semakin bertambah usiamu, sikapmu menjadi sangat menyebalkan, Cath." "Itu adalah tujuan mengapa seorang Kakak diciptakan. Tidak lain dan tidak bukan untuk membuat adiknya kesal." "You pissed me off, asshole," cebik si adik sambil memijat sisi kepala seraya memutar kembali kursi yang semula di duduki

  • Terbangun di Ranjang Presdir Duda   Laki-Laki Parlente Mencurigakan

    "Je, ada apa?"Jenar menoleh ke arah sang Kakak yang baru saja kembali dengan semangkuk mie instan berkuah penuh sayur seperti pesanannya beberapa saat yang lalu."Mada menyuruhku agar mengambil jatah cuti untuk dua hari," terangnya setelah mematikan ponsel."And by the way, thank you chef."Diiringi sebuah senyum lebar, Jenar meraih mangkuk yang masih mengepulkan asap itu dan menaruhnya di atas meja yang melintang di atas paha.Catherine mendecakan lidah sebelum menggeleng pelan dan memutuskan untuk duduk di sebelah Jenar yang tengah menyeruput kuah mie instan tersebut."Hati-hati, kamu bisa tersedak."Jenar tidak memberikan jawaban yang pasti kepada Catherine, dia memilih untuk membuat tanda 'oke' dengan jemarinya sedangkan mulutnya tidak henti bergerak seperti sebuah vacuum cleaner."Dua hari?""Yup," angguknya ditengah seruput mie instan sebelum menambahkan. "Kamis dan Jum'at aku akan bekerja di rumah.""Artinya kamu akan berada di rumah sepanjang akhir pekan," lirih Catherine yan

  • Terbangun di Ranjang Presdir Duda   Will You Be My Wife?

    "Harum," tuturnya setelah menghidu aroma buket bunga.Ada yang tidak biasa dari penampilan lelaki berusia 28 tahun itu. Dia terlihat gugup, rasa percaya dirinya perlahan menguap di udara begitu saja. "Oh Tuhan, apakah ini pertanda bahwa apa yang akan aku jalani ini adalah suatu hal yang benar?" Tubuhnya belum terlihat terlalu kekar, ukuran pakaiannya mungkin saja masih S. Tanda penuaan di sudut mata serta kening yang berkerut-kerut masih belum muncul ke permukaan. Wajahnya terlihat sangat segar berseri-seri, rahangnya sangat tajam seperti bilah pisau yang dipakai oleh juru masak di restoran terkemuka. Hanya seorang pemuda yang tengah jatuh cinta dan memantapkan hati untuk menikahi pujaan hati. Entah kapan mereka akan menikah, dia tidak tahu. karena masa depan adalah sebuah misteri, tetapi satu hal yang dirinya mengerti, secepat mungkin dirinya ingin meminang sang dara. "Bi, will you marry me? Ah, tidak. Terlalu klise, seperti seorang lelaki yang kehabisan kosa kata." Dirinya b

  • Terbangun di Ranjang Presdir Duda   Hei, Penculik Tampan!

    “Aku sedang tidak ingin pulang. Bisakah kamu menculik diriku?” “Tidak ada penculik yang terang-terangan mengatakan bahwa dirinya akan melakukan penculikan,” balasnya disertai seringai, tidak habis pikir dengan apa yang berada dalam benak Jenar. "Lagipula, apa urgensinya dan kenapa tiba-tiba kamu mengatakan hal tersebut, hum? Apa kamu tengah mabuk?" “Memangnya ada korban penculikan yang minta diculik?” balas Jenar sebelum sibuk menyunggingkan senyuman. "Dan kamu benar, aku mabuk. Dimabuk oleh cintamu." "Dasar," cibir Mada yang telinganya perlahan memerah namun berusaha keras dia tutupi karena disanjung oleh sang dara tercinta. Lengan Jenar senantiasa mengalung dibelakang leher Mada setelah berjam-jam kemudian keduanya memutuskan untuk keluar dari ruang kerja si pria setelah Lawana Corporation berangsur-angsur sepi. “Mada Lawana, ayolah, culik diriku,” rajuk Jenar untuk kali kesekian hingga Mada yang tengah menggendongnya kemudian bersandar di dalam lift hanya tertawa dengan hamba

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status