Share

Terbangun di Ranjang Presdir Duda
Terbangun di Ranjang Presdir Duda
Penulis: Naraya Mahika

Menggoda Tuan Penggoda

“Puluhan juta yang keluar untuk biaya pernikahan, tidak sebanding dengan rasa sakit yang aku terima.”

Rencana pernikahannya kandas dan menjadi berantakan begitu saja. Harapannya untuk memakai gaun pengantin lagi-lagi tertunda.

Harusnya, saat ini Jenar mengambil cuti bekerja untuk menikah serta berbulan madu yang manis, bukan menghabiskan malam dengan menangis.

“Sialan,” makinya dengan geram serta menangis tersedu-sedu sambil memegang dada lalu meneguk alkohol ditangannya dengan terburu-buru hingga tersedak.

Sama seperti malam-malam sebelumnya, Jenar duduk seorang diri, memeluk gelas berisikan alkohol lalu mengamati tiap lelaki yang datang ke klub sambil menghela napas panjang.

Dia sibuk mencari validasi mengapa selalu dicampakan oleh lelaki yang dirinya cintai.

Apakah dia kurang menggoda? Apakah dia terlihat tidak menarik? Apa dirinya terlihat seperti karung semen?

Selama beberapa hari kebelakang, Jenar sudah menggoda beberapa pria di klub namun tak ada satupun yang tertarik kepada dirinya.

Sampai kali ini, disela-sela tegukan dan tuangan alkohol ke dalam gelas khusus, Jenar memicingkan mata saat mendapati incarannya.

Itu dia, seorang lelaki yang duduk seorang diri dengan wajah yang terlihat lelah.

***

“Panggil aku Nona Penggoda," seloroh Jenar tiba-tiba dengan pipi merona merah alami sambil menyodorkan tangannya ke hadapan Mada.

Mada yang sedang mabuk menyipitkan mata, berusaha memfokuskan pandang ketika samar bayangan panda dan sapi seliweran di matanya lalu mengerjap cepat karena kebingungan.

"Kamu ini apa? Kamu seperti blasteran sapi yang memiliki susu," lirihnya meneguk saliva saat melihat sepasang susu yang menggantung dengan belahan cukup tinggi.

"Kantung susu yang ... besar," tutup Mada.

"Aku bisa menggodamu sampai kamu bertekuk lutut di hadapanku,” balas Jenar percaya diri tanpa mengindahkan pertanyaan Mada.

“Aku tidak memanggil wanita panggilan, jadi, pergilah,” lugas si lelaki lalu melempar pandang ke arah berlainan sambil meneguk kembali alkoholnya.

“Apa aku terlihat menarik?” 

Jenar menggoyangkan tubuhnya yang terlihat sintal, berlekuk padat ditambah dua bukit yang menyembul, mirip ayam kate.

“Tidak,” dusta Mada yang kepalanya sudah pening dan melihat tubuh Jenar, pikirannya mulai tidak beres.

Entah siapa yang harus disalahkan. Liukan Jenar atau justru alkohol.

“Apa kamu menyukai penampilanku?”

Mada membasahi bibir, menoleh dan meneguk kembali alkohol dari gelas yang berada di tangan, menikmati pancaran lampu klub yang remang-remang sebelum mendecak-decakan lidah.

"Jelas tidak. Jadi, berhenti menggodaku,” tegasnya hingga Jenar yang terhuyung mendadak berhenti dan tiba-tiba menampilkan raut menyedihkan.

"Aku tidak menggoda siapa-siapa."

"Orang mabuk memang sulit dipegang ucapannya," seloroh si lelaki hingga Jenar yang mabuk berat lantas terbahak-bahak lalu mengempaskan diri di sofa yang di duduki oleh Mada.

“Kamu juga mabuk. Artinya, kamu berbohong. Kamu menyukaiku! Itu sudah pasti.”

“Mustahil.”

“Sekarang sudah menyukaiku?” tanya Jenar dengan berdeguk serta tubuh yang berayun-ayun.

"Kamu memang gila, menjauh dariku!"

Mada bergerak menjauh, tetapi Jenar terus saja menempel padanya.

Dia ingin berdiri lalu meminta untuk pindah sofa ketika Jenar justru menarik kencang celana yang dikenakan olehnya hingga Mada kembali jatuh.

Shit!” berang Mada sejurus kemudian, namun ketika Jenar terus menjamahnya, Mada seolah tersihir dan justru menantikan selihai apa jemari itu saat menyentuhnya.

“Kenapa semua lelaki meninggalkan diriku, termasuk kamu?” tanya Jenar dengan mendayu-dayu.

“Kita tidak saling mengenal, jadi bukan masalah jika aku pergi darimu,” balas Mada tidak habis pikir.

“Oh,” balas Jenar dengan tiba-tiba duduk tegak sambil memuntir rambut dan menjulurkan jemari berhiaskan warna merah muda.

“Kalau begitu, kenalkan. Aku Nona Penggoda.”

Mada melirik ke arah Jenar, menatap tampilannya yang terlihat sensual terlebih dengan pakaian yang dikenakan sebelum merasa bahwa tubuhnya gerah karena tensi yang tiba-tiba meningkat.

“Apa kamu benar-benar bukan wanita panggilan?”

“Memang ada wanita panggilan yang cantik sepertiku?” seloroh Jenar sebelum tangannya merambat pada tubuh Mada, menyentuhnya lembut, berputar-putar pada area dada.

“Kamu pasti kesepian,” bujuk rayunya dengan membuka kancing teratas dari kemeja yang dikenakan oleh Mada.

Mereka bersitatap untuk beberapa saat saat Jenar dengan semangat menggerayangi Mada.

Dia ingin laki-laki jatuh pada pesonanya, dia mau membalaskan rasa sakit hati di dasar hati, dia mau diakui bahwa dirinya dapat menggoda lelaki dan seharusnya, lelaki tak semudah itu berpaling darinya.

“Tidak,"

Mada berdusta.

Dia kesepian dan kedatangannya ke sini memang ingin mencari wanita untuk menemaninya di atas ranjang.

Mada hendak menghangatkan gairahnya yang lama terpendam karena dia sudah lama tidak disentuh serta dimanjakan oleh gunungan hasrat.

Siapa sangka dirinya justru dihampiri oleh perempuan yang menyodorkan tubuhnya begitu saja padanya dan mampu membuat libidonya naik dengan pesat.

Jenar menangkup wajah Mada, membawanya mendekat ke arah bibir dan ketika dia hendak mencium si lelaki, Jenar menjauhkan kepalanya hingga Mada mengerang tanpa sadar.

“Namaku Nona Penggoda, kamu ingin aku goda atau tidak?” tanyanya dengan melompat naik ke atas paha Mada lalu melingkarkan tangan dibelakang leher si lelaki.

Limpahan alkohol disekujur tubuh mereka berdua menjadi saksi betapa agresifnya Mada mencumbu Jenar, mengungkung perempuan itu di atas sofa sampai terengah-engah bukan kepalang.

***

“Kamu bilang, kamu bisa membuatku bertekuk lutut. Nyatanya, semalam, kamu yang merintih dan berlutut di depanku.”

Mada melipat kedua tangan di depan dada pada keesokan paginya, rambutnya masih meneteskan air.

Handuk melingkar rendah ditepian pinggang, menunjukan sedikit bulu kasar yang nampak keriting.

Pandangannya tertuju pada seorang perempuan yang baru keluar dari kamar mandi dengan berpakaian rapi dan jalannya sedikit mengangkang.

"Dan aku sangat menyukai posemu saat berlutut dengan mata sayu itu."

"Benarkah?"

"Sangat," balas Mada dengan menyeringai, merasakan kedut pada area yang seharusnya netral.

“Dan siapa namamu, Nona Penggoda?”

“Arabelle,” jawab Jenar penuh kesungguhan sehingga Mada bersiul pelan lalu melemparkan id card yang langsung ditangkap oleh si perempuan.

“Jenar Suksma Arawinda, karyawan baru di Lawana Corp."

Jenar berkilah lalu gelengkan kepala. "Bukan."

“Nona Penggoda ternyata memiliki banyak nama samaran,” sindirnya dengan memperhatikan Jenar yang mencoba untuk kabur lalu berupaya menghentikannya.

Dengan langkah lebar, Mada bergerak lalu mencekal pergelangan tangan Jenar sampai perempuan itu mengangkat pandang.

Jenar ingin berontak sebelum sudut matanya melihat benda gemerlap yang terasa dingin pada salah satu jemari Mada.

Cincin kawin.

“Apakah sakit?”

“A—apa?” tanyanya karena tubuhnya membeku, terperangah minta ampun.

Jenar mengangkat wajah, melupakan cincin yang membuat jantungnya bertalu-talu bertanya di mana istri si pria.

“Semalam, apakah sakit?” ulang Mada dengan perlahan mengendurkan cekalan tangannya dari Jenar dan bergerak mundur.

Saat Mada bergerak mundur, bayangan samar dibalik handuk putih itu tercetak jelas hingga Jenar meneguk ludah lalu mengatupkan bibirnya, bertanya-tanya apakah dia sempat ….

Ah, tidak mungkin. Itu besar sekali.

“Tidak,” kata Jenar kendati sampai detik ini tubuhnya linu. Entah berapa kali dia dibolak balik semalaman oleh Mada, dia tidak ingat karena mabuk.

“Artinya kamu memang wanita panggilan.”

“Hei! Dasar sok tahu,” balas Jenar dengan mata membola.

“Pergilah,” kata Mada dengan bergerak menjauh lalu mendekat ke salah satu meja.

Dia mengambil buah anggur yang ada di dalam mangkuk lalu mengunyahnya dengan gerak sensual hingga Jenar terus terbayang-bayang dibenak.

“Kamu tahu namaku,” cicit Jenar hingga Mada menganggukan kepala lalu jemarinya mengetuk tepian meja, kembali membiaskan warna cincin yang dikenakan.

“Jadi, siapa namamu?”

“Nona Penggoda, aku akan merasa tersakiti jika kamu tidak mengenalku.”

“Tap—”

“Bukankah seharusnya kamu tahu identitas pria yang digoda hmm?” pancing Mada dengan melemparkan sebuah anggur yang diterima oleh Jenar.

Dia mengarahkan Jenar pada pintu keluar, setibanya Jenar di ambang pintu utama tempat tinggal si pria, Mada kembali memanggilnya hingga Jenar menoleh.

Tatap Jenar tidak lagi tertuju kepada wajah si pria ataupun handuk yang menyembunyikan kedahsyatan dibaliknya, melainkan jemari yang menyugar rambut.

“Pastikan kamu mengenalku saat kita bertemu lagi,” pungkas Mada sebelum menutup pintu rapat-rapat, meninggalkan Jenar yang termangu.

Ini kacau, dia tidur dengan lelaki beristri.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status