Share

7. Teman Kencan Buta

Natya berdiri di depan sebuah rumah bergaya Eropa klasik di daerah Pondok Indah, Jakarta Selatan. Sejak turun dari ojek online, Natya tidak bisa mengendalikan ekspresinya yang nampak seperti orang udik baru pertama kali melihat kemewahan duniawi. Mulutnya bahkan sejak tadi terus mengaga dan hampir mengeluarkan liur saking lamanya terbuka. Tangan kanan Natya menggenggam secarik kertas yang telah kusut karena diremas olehnya, dan tangan kirinya mencengkeram erat tas selempang yang tersampir di pundak.

“Wah … sekarang gue tahu kenapa dia mau berhenti jadi penulis.” Natya bergumam pada angin yang menerpa wajahnya. “Sadar, Nat! Lo dateng ke sini bukan buat kagum sama istana di depan sana, tapi buat ngebujuk dia nulis lagi … dan akhirnya lo bakal naik gaji!” Natya menepuk pipinya beberapa kali. Sorotan matanya berubah menjadi kobaran api semangat.

Dengan tekad bulat, Natya melangkah mendekat pada pagar rumah yang sangat tinggi berwarna emas di depannya, dan menghampiri pos satpam yang terlihat.

“Permisi, Pak.” Natya menyapa dengan nada suara sesopan mungkin.

Satpam yang sedang duduk sambil membaca koran di dalam pos jaga akhirnya mendongak begitu mendengar suara Natya. “Eh? Ada yang bisa saya bantu, Non?”

Natya tersenyum sopan. “Saya mau tanya, Pak. Apa benar ini kediaman Daksa Shaka Prawara?” Natya bertanya sambil melirik secarik kertas di tangannya selagi menyebut nama panjang Daksa.

“Den Shaka? Ada apa Non cari ‘den Shaka?”

‘Jadi panggilannya Shaka?’ Natya bergumam. Buru-buru Natya kembali pada kesadarannya. “Ah, saya …” Natya menjeda kalimatnya.

‘Kalau gue bilang editor dari perusahaan penerbitan, apa Shaka mau ketemu sama gue?’ sekali lagi Natya bertanya pada dirinya.

“Saya temannya Shaka, Pak,” dusta Natya.

Satpam di hadapan Natya terdiam sesaat. “Teman dari mana, Non? SMP? SMA? Teman kuliah? Atau teman kerja?”

‘Ya ampun, mau ketemu anak konglomerat ternyata sesusah ini.’ Natya berusaha mempertahankan ekspresi ramahnya, seraya berucap. “Teman kerjanya, Pak.” lalu entah dari mana datangnya ide gila di kepala Natya, gadis itu kembali bicara. “Eros. Saya kenal Eros. Kita sama-sama teman Shaka, Pak.”

Raut wajah satpam di depan Natya berubah cerah. “Oalah benar temannya ‘den Shaka, toh.”

‘Iya, Pak. Harusnya Bapak percaya kata-kata saya. Kalau tahu nama Eros bakal berguna, udah saya sebut dari awal.’ Natya berkata dalam hati. Namun balasan yang ia berikan hanyalah senyum manis dan anggukan sopan.

“Saya telepon ke dalam dulu ya, Non. Untuk konfirmasi kalau temannya ‘den Shaka datang.”

Natya tidak punya pilihan selain mengangguk. Kemudian Satpam itu menekan tombol pada telepon dan berbicara kepada orang di seberang telepon begitu tersambung. “Bu, ada temannya ‘den Shaka. Iya. Temannya ‘den Eros juga. Betul. Eh? Den Shaka tidak di rumah?”

Natya langsung menajamkan indra pendengarannya begitu mendengar kalimat terakhir yang diucapkan pak satpam. Keringat dingin mulai menitik di dahi dan juga kepalan tangannya.

“Begitu, toh? Ya, wis. Iya, akan ditanyakan.” lalu satpam itu menjauhkan telepon dari mulutnya dan melihat pada Natya. “Nama Non siapa?”

“Eh?” butuh 2 detik untuk Natya menyadari pertanyaan pak satpam. “Natya. Saya Natya.”

Lalu satpam itu kembali bicara pada orang di seberang telepon. “Non Natya. Iya, perempuan. Ya, wis. Iya, akan disampaikan.” kemudian sambungan telepon ditutup.

“Gimana, Pak?” Natya bertanya hati-hati. Perasaannya sudah tidak menentu.

“Den Shaka sedang tidak di rumah, Non. Tapi ‘den Shaka akan datang ke sini. Non Natya mau tunggu di dalam saja?”

‘Kalau tunggu di dalem bisa-bisa gue kelihatan kayak upik abu banget. Mana firasat gue enggak enak. Tapi kalau tunggu di luar nanti kebohongan gue dicurigai, masa temennya Shaka nunggu di luar? Iya, kan?’ Natya berkonflik dengan batinnya sendiri, sambil sesekali melihat penampilannya yang terlihat biasa saja.

“Non Natya?”

“Eh, iya. Saya tunggu di dalam saja.”

“Baik, kalau begitu saya antar sampai pintu utama. Setelah itu ada asisten yang akan memandu Non Natya ke ruangan …. Non tahu, kan? Karena Non temannya ‘den Shaka.” sorot mata satpam yang terlihat berusia 40 tahunan itu tampak ragu beberapa detik.

“I-iya.”

Lalu tanpa banyak bicara lagi, satpam itu mengantar Natya hingga ke depan pintu utama sesuai yang dikatakannya. Natya berucap terima kasih seraya melangkah lebih dalam ketika pintu utama berwarna putih tulang yang menjulang tinggi itu terbuka.

Keterkejutan Natya tidak bisa dikendalikan lagi.

***

Di tempat lain, Daksa Shaka Prawara sedang merapikan alat-alat masak yang baru dibelinya untuk melengkapi suasana dapur apartemen yang baru ditempati. Saat sedang asyik dengan kegiatannya, ponselnya berdering menandakan telepon masuk. Dari nadanya yang berbeda, Daksa tidak perlu melihat siapa yang meneleponnya.

“Halo, Bu? Tumben telepon langsung?”

“Maaf, Den. Ada kondisi mendesak. Ah, sebenarnya bukan gawat juga, tapi …”

Daksa tersenyum kecil mendengar nada kikuk asisten rumah tangga yang bekerja di rumahnya. “Enggak apa-apa, Bu. Pelan-pelan aja, ada apa?”

“Ada yang cari ‘Den Shaka. Perempuan, namanya Natya. Katanya temannya ‘Den Shaka, kenal sama ‘den Eros juga.”

“Natya? Temannya Eros?”

“Iya, Den.”

Daksa terdiam beberapa saat. Ia memutar kepingan-kepingan memori di kepalanya. Berusaha mencari nama Natya di seluruh kejadian yang berkaitan dengan Eros. Lalu seakan ada lampu yang mencuat di atas kepalanya, raut wajah Daksa berubah. ‘Ah, cewek itu rupanya.’

“Kalau gitu saya ke rumah sekarang ya, Bu. Suruh dia untuk tunggu sampai saya datang.”

“Baik, Den.”

Usai mematikan sambungan telepon, Daksa buru-buru meninggalkan kegiatannya yang belum selesai. Pria berusia 28 tahun itu lantas menyambar kunci motor dan juga jaketnya di atas meja pantri, kemudian bergegas keluar dari apartemennya.

“Kenapa cewek itu sampai datang ke rumah? Apa dia mau nuntut ganti rugi karena udah ditipu sama Eros?” Daksa bergumam dalam perjalannya menuju parkiran. “Hah … lagi-lagi itu manusia satu suka banget bikin masalah. Kayaknya Eros bener-bener lupa sama umurnya sendiri.”

Sampai di parkiran, Daksa langsung mengenakan helm dan menaiki motornya. Dalam sekejap, pria itu sudah melajukan mesin motor Triumph Tiger Explorernya menuju rumah utama keluarga Prawara.

Hanya butuh 20 menit bagi Daksa untuk membelah kota Jakarta yang padat dengan motor kesayangannya. Saat ini dirinya telah tiba di kediaman utama keluarganya. Daksa memasukan motornya ke dalam garasi, kemudian melangkahkan kaki menuju ruang tamu.

Sebelum benar-benar sampai di ruang tamu, Daksa bisa mendengar gelak tawa yang pecah milik adik perempuannya. Daksa buru-buru berjalan mendekat.

“Jadi? Di mana eonni beli kardigan ini?”

Eonni?! Apa-apaan panggilan itu?” sergah Daksa begitu menampakkan diri di ruang tamu tempat suara gelak tawa itu berasal.

Kalimat tanyanya mendapat atensi dari dua perempuan berbeda usia yang sedang duduk bersebelahan di sofa berwarna coklat madu.

“Oppa!”

Mendengar sapaan itu membuat Daksa bergidik ngeri. “Adira, jangan mulai main drama di depan Mas,” ucap Daksa dengan nada tegas kepada gadis berusia 14 tahun yang sekarang wajahnya sudah cemberut.

Setelah itu mata Daksa beralih pada perempuan yang hanya diam menyaksikan interaksi antara dirinya dengan adik perempuannya. “Natya, betul?”

Daksa bisa melihat jelas ekspresi terkejut di wajah perempuan yang ia tebak sebagai Natya. Perempuan itu mengangguk beberapa kali. Mata Daksa mulai memperhatikan secara saksama gerak-gerik perempuan di depannya dari mulai cara berdiri, cara jari-jari tangannya saling bertautan, kemudian bahunya yang kaku, serta ekspresi cemas dan takut yang kentara di wajahnya.

“Kenapa Mas enggak pernah bilang punya teman yang cantik dan mulus kayak artis gini? Seriusan eonni ini cuma teman Mas?”

Daksa tersenyum kecil. “Bukan teman biasa.”

“Eeeeh? Terus apa dong?”

Raut wajah ceria dan penuh rasa ingin tahu milik Adira yang bisa dibaca oleh Daksa membuat senyum pria itu semakin lebar.

“Teman kencan buta.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status