Natya termenung di tempatnya. Ia menatap layar laptop dengan pandangan kosong, dan sempat membaca ulang email yang didapatnya. Bahkan gadis berusia 26 tahun itu tidak sadar bahwa mulutnya menganga sedari tadi.
“Nat? Halo? Kenapa?”
Suara Nita di seberang telepon berhasil menyadarkan Natya pada realita. Seketika Natya menjatuhkan diri di atas tempat tidurnya dengan pandangan memelas. “Meti gue, Nit.”
“Kenapa, sih?”
“Daksa. Cowok Vinder yang harusnya gue temui tapi salah orang itu … ternyata dia penulis Sashaka yang sejak tiga bulan lalu vakum.” pikiran Natya kini menerawang pada kejadian di depan lift kantornya. Ketika ia menyadari wajah pria dengan jas tersampir yang tampak tidak asing. “Ternyata itu Daksa. Pantesan gue ngerasa nggak asing. Jadi dia tadi sore ketemu seseorang di kantor gue …”
“Apa maksudnya, Nat? Gue masih nggak paham.” Nita bertanya dengan nada tidak sabaran.
“Bu Retno nyuruh gue buat nyari penulis itu dan ngebujuk dia supaya memperbarui kontrak dan nulis lagi. Ternyata penulis itu Daksa. Si cowok Vinder yang digantiin temennya.”
“Lo yakin? Nama Daksa ‘kan banyak.”
Natya terdiam setelah mendengar pertanyaan Nita yang masuk akal. Tapi berapa persen kemungkinan seseorang memiliki nama yang sama persis dan bisa diketahui oleh Natya di hari yang sama? Pun dua-duanya berkaitan dengannya.
“Gue yakin. Gue yakin mereka Daksa yang sama.” Natya kembali mendudukan diri di atas tempat tidurnya, dan memangku laptop dengan perasaan yakin. “Gue nggak boleh ketemu dia lagi.”
“APA? Kenapa?” Nita memekik dari seberang telepon.
“Kalau sampai Daksa tahu gue cewek Vinder yang ditemui temennya, mana mungkin dia bisa nganggep gue bekerja dengan profesional setelah ketemu dia lagi?”
“Pikiran lo kejauhan. Kenapa juga dia nganggep lo kayak gitu?”
“Firasat. Terlebih, kayak kisah-kisah di novel yang nyeritain si cowok bakal berlaku seenaknya setelah ketemu cewek yang udah terlibat masalah sama temennya. Apalagi cewek itu nyebut temennya penipu, dan bilang kalau yang dia cari itu si cowok ini, bukan temennya.” Natya menghela napas panjang. “Daksa bisa mikir gue nemuin dia bukan sebagai editor, tapi sebagai cewek ganjen yang ngejar-ngejar dia dengan dalih seorang editor.”
Terdengar suara helaan napas kasar dari seberang telepon. “Natya, lo itu kebanyakan makan kisah-kisah dalem novel! Coba realistis sedikit!”
“Gue tahu … tapi kemungkinan kayak gitu nggak bisa dikesampingkan juga, ‘kan?”
“Gimana lo bisa tahu hasilnya kalau nyoba aja belum?” dari seberang telepon, suara Nita sudah terdengar seperti seseorang yang menahan amarah.
“Nggak tahu, ah! Pokoknya gue bakal nawar dulu ke bu Retno.”
“Ya, ya, ya. Coba aja kalau bisa.”
***
Keesokan harinya, Natya hanya berdiri di depan pintu ruangan bu Retno selama sepuluh menit. Tangannya terangkat untuk mengetuk pintu, namun lagi-lagi ia turunkan. Entah sudah berapa kali helaan napas ia keluarkan.
Baru saja Natya memantapkan dirinya untuk masuk ke dalam ruangan itu, pintu di depannya tiba-tiba terbuka membuat dirinya terlonjak kaget.
“Natya? Baru saja saya hendak memanggil kamu.”
“A-anu … saya juga mau bicara, Bu.”
Bu Retno tersenyum hingga kerutan di bawah matanya semakin terlihat. “Masuk.”
Natya mengangguk singkat dan melangkahkan kaki ke dalam ruangan yang disebutnya sebagai ruangan beraura hitam. Sampai di dalam, bu Retno mempersilakannya untuk duduk.
“Ada apa kamu mau menemui saya?”
“Ah itu … tentang penulis Sashaka …”
“Ah iya! Kamu sudah dapat email dari saya, ‘kan? Hari ini juga kamu harus temui dia dan buat dia menandatangani kontrak lagi bersama kita. Kamu tahu ‘kan kalau karya beliau selalu best seller dan menarik keuntungan besar untuk kita?”
“Saya tahu, Bu. Tapi sebelumnya saya minta maaf karena sepertinya saya tidak bisa menemui beliau.”
Bu Retno terdiam beberapa saat setelah mendengar kalimat penolakan Natya. Wanita paruh baya itu membetulkan letak kacamatanya. “Natya, kalau kamu berhasil membuat penulis Sashaka menandatangani kontrak, saya akan berikan bonus sembilan puluh persen dari gaji kamu.”
“Eh?” Natya berhasil dikejutkan. “Se-sembilan puluh persen dari gaji saya?”
“Betul. Itu kalau kamu berhasil membuatnya menandatangani kontrak. Dan kalau karya penulis Sashaka selanjutnya bisa mendapatkan posisi best seller lagi, maka kamu akan mendapat kenaikan gaji.”
Natya menelan ludahnya setelah mendengar penawaran bu Retno yang menggiurkan. Masalah finansial memang selalu membuat Natya lemah karena tidak bisa menolak. Apalagi jika harus melihat kondisi keluarganya saat ini yang semakin terbelit hutang.
“Apakah saya boleh meminta syarat dan ketentuan ini secara resmi? Saya perlu bukti nyata atas ucapan Ibu barusan.” wajah Natya terlihat berbinar namun tetap hati-hati.
Bu Retno memberikan senyum penuh arti. “Saya sangat mengenal kamu. Tentu saja saya sudah membuat persyaratan ini.” bu Retno menyodorkan selembar kertas yang diambil dari dalam map berwarna cokelat. “Setelah kamu tanda tangan di sini, kamu bisa langsung menemui penulis Sashaka.”
Natya menerima kertas itu, dan membacanya secara saksama. Semakin jauh Natya membaca surat perjanjian itu, mata Natya semakin membulat sempurna. Bukan karena poin-poin hak dan kewajiban yang telah ia ketahui, melainkan kalimat pernyataan setelahnya.
‘Demikian surat perjanjian ini dibuat sebagai bukti ketersediaan Editor terpilih menjadi Editor pribadi yang akan mengawasi Penulis secara langsung. Editor terpilih akan mendapatkan hak sesuai dalam poin pertama yang sudah disebutkan di atas, setelah melaksanakan kewajiban sesuai dalam poin kedua yang sudah disebutkan di atas. Jika salah satu kewajiban dalam poin kedua tidak terpenuhi, maka persyaratan ini akan dibatalkan.
Dengan menandatangani syarat dan ketentuan ini, maka Editor terpilih dianggap telah setuju. Dan jika dalam pelaksanaannya Editor terpilih menyebabkan kerugian bagi Perusahaan, maka Editor terpilih akan bertanggung jawab secara penuh.’
“E-editor pribadi?” mata Natya beralih pada bu Retno. “Maksudnya bagaimana ya, Bu?”
“Maksudnya adalah saya memberikan kamu kesempatan emas untuk menjadi editor pribadi penulis Sashaka jika kamu berhasil membujuknya untuk menandatangani kontrak. Karena itu, sebagai editor dalam tim sekaligus editor pribadi, kamu berhak mendapatkan kenaikan gaji dan bonus sembilan puluh persen. Bagaimana? Tawaran yang menarik, bukan?”
Natya membeku di tempatnya. Lidahnya seketika menjadi kelu. Perasaannya diselimuti syukur dan khawatir secara bersamaan. Ia memang senang mendapat tawaran yang sangat bagus itu. Namun jika melihat siapa penulis yang akan dipandu olehnya, seketika rasa ragu mulai menghampiri.
“Kenapa wajah kamu terlihat tidak senang?”
Natya terlonjak. “Ah, bukan begitu, Bu. Saya hanya merasa takjub dengan tawaran yang diberikan. Saya juga berterima kasih sekali. Tapi bu, saya—”
“Satu bulan.” Bu Retno memotong kalimat Natya.
“Ya?”
“Satu bulan saya berikan kesempatan untuk kamu membujuk penulis Sashaka. Tidak ada penawaran lagi. Atau kesempatan ini saya berikan pada orang lain.”
Natya menahan napas selama beberapa detik. “Saya bersedia!”
Bu Retno tersenyum. Sementara Natya menandatangani persyaratan dengan perasaan antara yakin dan tidak.
Natya berdiri di depan sebuah rumah bergaya Eropa klasik di daerah Pondok Indah, Jakarta Selatan. Sejak turun dari ojek online, Natya tidak bisa mengendalikan ekspresinya yang nampak seperti orang udik baru pertama kali melihat kemewahan duniawi. Mulutnya bahkan sejak tadi terus mengaga dan hampir mengeluarkan liur saking lamanya terbuka. Tangan kanan Natya menggenggam secarik kertas yang telah kusut karena diremas olehnya, dan tangan kirinya mencengkeram erat tas selempang yang tersampir di pundak.“Wah … sekarang gue tahu kenapa dia mau berhenti jadi penulis.” Natya bergumam pada angin yang menerpa wajahnya. “Sadar, Nat! Lo dateng ke sini bukan buat kagum sama istana di depan sana, tapi buat ngebujuk dia nulis lagi … dan akhirnya lo bakal naik gaji!” Natya menepuk pipinya beberapa kali. Sorotan matanya berubah menjadi kobaran api semangat.Dengan tekad bulat, Natya melangkah mendekat pada pagar rumah yang sangat tinggi b
“Teman kencan buta.”“APA?!”Natya bisa melihat dengan jelas raut wajah terkejut dan tidak percaya milik Adira Prawara. Jangan tanya bagaimana ekspresi Natya sekarang, karena gadis berusia 26 tahun itu juga tak kalah terkejut mendengar penuturan pria di hadapannya.Sebelum pria bernama Daksa Shaka itu datang, Natya diminta untuk menunggu di ruang tamu sambil disuguhi minuman dan camilan. Lalu dua menit kemudian seorang gadis dengan gaya berpakaian Korean look—hoodie crop top, dan rok mini, menghampiri Natya dengan senyum selebar tiga jari. Gadis itu memperkenalkan diri sebagai adik perempuan Daksa, sekaligus anak bungsu di keluarga Prawara yang bernama Adira. Kemudian setelahnya Adira mulai mengagumi wajah Natya dan juga penampilannya. Begitulah, sampai akhirnya Daksa datang.“Yang dibilang Mas Shaka itu benar, Mba?” Adira beralih pada Natya. Kali ini wajahnya lebih serius dari sebelumnya.“A
Natya kembali berjalan mendekat pada pos satpam gerbang rumah Daksa. Bahkan sepertinya dia lupa telah memesan ojek online, karena terlihat sangat percaya diri untuk kembali masuk ke dalam rumah itu.“Permisi, Pak. Apa saya boleh masuk lagi? Saya lupa berbicara beberapa hal dengan Daksa.” Natya berucap sambil memasang senyum semanis mungkin.Pak satpam yang berjaga itu menatapnya cukup lama. Lalu tanpa berkata apapun, satpam itu mengangkat gagang telepon—seperti saat awal Natya datang—dan bicara dengan seseorang di seberang telepon. “Bisa tolong tanya ke ‘den Skaha, Bu? Ini, Non Natya mau bertemu lagi. Ya, katanya ada yang masih mau disampaikan. Oh?” satpam yang sedang menelepon itu melirik ke arah Natya, lalu menatapnya dengan pandangan yang sulit diartikan. “Begitu. Ya wis. Ya. Tak tutup teleponnya.”“G-gimana, Pak?”“Mohon maaf, Non. Den Shaka menolak bert
Usai pulang kerja, Beno menghampiri Natya yang baru tiba di lobi kantornya dan langsung mengajak wanita itu untuk makan bersama. Natya yang sebelumnya pernah menolak makan bersama dengan Beno, kini tidak bisa menolak lagi tawaran lelaki itu. Alhasil, kini Natya berada di dalam mobil Beno menuju sebuah restoran yang dipilih oleh lelaki itu. Dalam hati Natya memanjatkan doa agar besok tidak muncul gosip di kantornya. Karena kalau sampai dirinya tertangkap makan berdua dengan Beno oleh teman sekantornya, bisa-bisa berita itu sampai ke telinga Indah dan Natya akan mendapat tatapan tidak suka selama seminggu atau bahkan sebulan dari Indah. Tiba di tempat tujuan, Natya turun dari mobil Beno. Wanita itu sedikit mendongak untuk melihat papan nama restoran yang tidak asing baginya, Dhatri Resto, adalah sebuah restoran bergaya klasik tradisional. Restoran itu adalah tempat di mana dirinya dan Eros bertemu pertama kalinya karena kesalahpahaman. “Ayok masuk.” Nat
Natya membuka mata, dan hal pertama yang dilihatnya adalah plafon berwarna cokelat yang terbuat dari kayu. Suasana ruangan yang klasik dan nampak tidak asing meski ia baru pertama kali berada di sana. Dugaannya terjawab ketika wajah Daksa muncul dari balik pintu ruangan di sisi sebelah kanannya.“Nat?”Natya menoleh ke arah datangnya panggilan itu. Di sebelah kirinya, Natya bisa melihat Beno yang memberikan pandangan khawatir sekaligus lega dari matanya.“Ehm … hai?”“Udah sadar?” sapaan Daksa terdengar lebih santai dari sebelumnya.Sebelumnya?Natya langsung mendudukan diri begitu mengingat kejadian terakhir sebelum dirinya kehilangan kesadaran. “G-gue di mana?”“Kamu masih di restoran saya. Ini ruang istirahat staff.” Daksa yang menjawab.“Ma-maaf. Tadi itu …”“Gue anter lo balik ya, Nat.” Beno langsung berdiri, memotong kalimat yang akan diucapkan oleh Natya.Daksa hanya memperhatikan Natya dan Beno sambil bersandar pada dinding dan memangku kedua tangannya di dada.“Sebentar, Ben.”
“Saya … saya cuma kagum pada Anda!” “Eh?” sekarang giliran Daksa yang terdiam. “Ma-maksud saya …” Tok … tok … tok …. Suara ketukan di pintu menginterupsi kalimat Natya. Salah satu pegawai menampakkan setengah badanya dari celah pintu yang sedikit dibuka. “Permisi.” Natya dan Daksa menoleh serempak. “Ada apa, Zal?” Daksa bertanya. “Maaf kalau saya mengganggu pembicaraan,” jeda Rizal. “Tapi Bang Daksa diminta balik lagi ke dapur karena pelanggan semakin banyak. Ditambah ada satu pelanggan yang komplain soal rasa makanan dan mau ketemu dengan pemelik restoran.” Diam-diam Natya menghela napas lega. Sementara Daksa mengangguk setelah mendengar kalimat Rizal, dan beralih menoleh pada Natya. Mendapat tatapan cukup tajam dari Daksa, membuat Natya kembali menelan ludah. “Kita bicara lain kali. Sebaiknya kamu pulang dan periksa ke rumah sakit.” Daksa mengucapkan kalimat itu dengan wajah serius yang hanya bisa diangguki oleh Natya. Setelah itu mereka keluar dari ruang istirahat. Daksa k
“Eros?!” Pria dengan rambut ikal yang berdiri di hadapan Natya itu menggaruk tengkuknya. Senyum kaku dan tatapan ke segala arah memudahkan Natya menebak bahwa pria itu sedang salah tingkah. “Ehm … hai?” Natya mengedip dua kali sebelum menanggapi sapaan Eros. “Hai.” Natya melihat penampilan Eros dari bawah hingga ujung kepalanya. “Kebetulan ketemu di sini.” Eros masih terlihat canggung ketika mengucapkan kalimat itu. “Iya. Anda seorang Dokter ternyata.” Eros tertawa kecil. “Iya.” lalu pria itu berdeham. “Ehm … karena kebetulan ketemu di sini, bisa kita bicara sebentar?” “Soal apa, ya?” Natya memiringkan kepalanya. “Soal kencan waktu itu. Maaf, saya enggak bermaksud buat nipu kamu dan bikin suasana jadi enggak nyaman.” Eros menunduk setelah mengucapkan kalimat itu. “Oh soal itu. Sebenarnya saya sudah memaafkan Anda …” Eros mengangkat kepalanya. “Tapi?” “Tapi karena kebetulan kita ketemu di sini, dan saya tahu kalau Anda adalah sahabat dari Daksa Shaka … jadi apa boleh saya min
"Wes, kalem, bro." Eros mengangkat kedua tangannya.Daksa berdeham. Tidak menyadari bahwa suaranya mendadak berubah seperti orang yang mengintimidasi. "Maksud gue, ada perlu apa dia sampai ngehubungi lo?"Eros bersiap membidik, satu senyuman penuh arti ia lemparkan pada Daksa. "Mungkin akhirnya dia sadar kalau gue adalah lelaki mempesona yang enggak bisa ditolak."Tak!"Sial." Eros memaki pada bola yang gagal dimasukan, kemudian mundur untuk memberikan ruang untuk giliran Daksa.Sementara pria yang lebih muda dari Eros itu tertawa pelan. Daksa maju dua langkah, memegang stiknya kuat-kuat. Tubuhnya ia hadapkan pada Eros, membuat pria yang memiliki makna nama sebagai Dewa cinta itu mengangkat alisnya heran."Kenapa tatapan lo bisa berubah-ubah gini sih?" Eros menyuarakan rasa penasarannya.Daksa lagi-lagi hanya tertawa. "Bro, lo tahu enggak kenapa di dalam permainan biliar bola 15, yang kita mainin sekarang ini, ada aturan yang menggolongkan bola mana yang harus kita masukin? Ada yang da