Share

8. Tawaran Dalam Perangkap

“Teman kencan buta.”

“APA?!”

Natya bisa melihat dengan jelas raut wajah terkejut dan tidak percaya milik Adira Prawara. Jangan tanya bagaimana ekspresi Natya sekarang, karena gadis berusia 26 tahun itu juga tak kalah terkejut mendengar penuturan pria di hadapannya.

Sebelum pria bernama Daksa Shaka itu datang, Natya diminta untuk menunggu di ruang tamu sambil disuguhi minuman dan camilan. Lalu dua menit kemudian seorang gadis dengan gaya berpakaian Korean look—hoodie crop top, dan rok mini, menghampiri Natya dengan senyum selebar tiga jari. Gadis itu memperkenalkan diri sebagai adik perempuan Daksa, sekaligus anak bungsu di keluarga Prawara yang bernama Adira. Kemudian setelahnya Adira mulai mengagumi wajah Natya dan juga penampilannya. Begitulah, sampai akhirnya Daksa datang.

“Yang dibilang Mas Shaka itu benar, Mba?” Adira beralih pada Natya. Kali ini wajahnya lebih serius dari sebelumnya.

“A-ah … itu …” Natya melirik pada Daksa yang sekarang sedang tersenyum ke arahnya. “Kita enggak sempat ketemu sebelumnya.” kalimat Natya terdengar sangat kikuk bahkan di telinganya sendiri.

“Oh ya? Tapi kayaknya saya pernah lihat kamu.” Daksa mendekat, kemudian duduk di sofa yang berhadapan dengan Natya dan Adira.

“Itu karena …” Natya menjeda kalimatnya, dia melirik pada Adira yang masih memperhatikan interaksi mereka, kemudian kembali menatap Daksa. “Sebelumnya, apa boleh kita bicara empat mata?”

“Kalau gitu kita bicara di ruangan saya.” Daksa sudah bangkit berdiri dan bersiap pergi.

“Maasss!” Adira merajuk.

“Adira, jangan merengek di depan orang lain. Mas dan Mba Natya harus bicara, anak kecil enggak boleh tahu.”

“Aku bukan anak kecil!” Adira menyanggah.

Daksa tidak menghiraukan perkataan Adira, dan langsung berjalan begitu saja. Natya mengikuti langkahnya hingga mereka tiba di depan pintu berwarna putih tulang dengan ukiran klasik.

“Silakan masuk.”

“A-ah, iya … terima kasih.”

Kemudian mereka masuk ke dalam ruangan itu, yang ternyata adalah ruang kerja. Natya bisa melihat tampilan ruang kerja yang nyaman karena lebih mirip seperti ruang bersantai ditambah dengan perpustakaan pribadi. Setiap design furnitur yang ada di dalamnya itu terlihat sangat klasik dan elegan. Natya menebak kalau keluarga mereka menyukai interior bergaya eropa.

“Silakan duduk.”

Natya duduk setelah mendapat persetujuan tuan rumah.

“Sebelumnya saya minta maaf sudah membuat kamu datang jauh-jauh ke sini. Eros memang terlihat kekanak-kanakan tapi sebenarnya dia pria dewasa. Saya akan mengganti kerugian yang kamu alami karena sudah ditipu oleh teman saya.”

“Eh?” Natya terkejut sekaligus bingung mendengar perkataan Daksa. “Ganti rugi?”

“Iya. Apa itu bukan tujuan kamu datang ke sini?”

Natya dengan cepat menggeleng. “Itu bukan tujuan saya!” menyadari nada bicaranya yang terdengar kurang sopan, Natya buru-buru melanjutkan. “Maaf. Sebelumnya saya akan memperkenalkan diri terlebih dulu. Nama saya Natya Lavani, saya editor di perusahaan Langit Pustaka.” Natya berkata seraya menyodorkan kartu nama.

“Langit Pustaka perusahaan penerbitan?” Daksa bertanya setelah membaca kartu nama milik Natya.

“Benar. Saya editor yang ditugaskan oleh perusahaan untuk menemui Penulis Sashaka. Saya sangat merasa terhormat bisa bertemu langsung dengan Anda, Pak.” Natya menampilkan senyum profesional miliknya.

Raut wajah Daksa terlihat terkejut beberapa saat. Kemudian pria itu tertawa pelan. “Wah … takdir macam apa ini?” Daksa terlihat menyamankan posisi di single sofa yang didudukinya.

“Ini hanya kebetulan saja, Pak.” Natya mempertahankan senyumnya.

Kemudian seorang pelayan di rumah itu datang mengantarkan minuman untuk mereka. Natya berucap terima kasih dan segera menyeruput minuman yang disuguhi setelah Daksa mempersilakan.

Pria bernama Daksa itu memperhatikan wajah Natya dengan saksama, sedangkan Natya hanya menatap tanpa ada perubahan ekspresi. Natya bisa melihat dengan jelas raut wajah Daksa yang berubah menjadi lebih serius.

“Kalau memang kamu datang untuk itu, kenapa bawa-bawa Eros?”

“Ah itu …” Natya melirik ke sembarang arah, merasa tidak enak. “Saya merasa Penulis Sashaka mungkin akan menolak bertemu kalau saya langsung memperkenalkan diri sebagai editor di Langit Pustaka.”

Daksa mengangguk-angguk. “Rupaya kamu sadar hal itu.” jeda sesaat. “Kalau tahu saya akan menolak, kenapa masih datang ke sini? Toh kamu akan dapat jawaban yang sama.”

Natya menahan napas beberapa detik saat mendengar nada sinis dari pria di hadapannya. Dia diam-diam membuang napas pelan, sambil mempertahankan senyum profesionalnya. “Semua hal layak untuk dicoba. Dan saya juga harus menemui Anda karena beberapa alasan.”

“Alasan?”

Natya mengangguk mantap. “Mungkin Kepala Redaksi saya sudah bertemu dan meminta kepada Anda untuk memutuskan setelah Anda bertemu dengan saya. Itu karena saya adalah kunci yang bisa menjadi alasan Anda menulis lagi, Pak.”

Daksa terlihat menahan tawa. “Kunci? Kamu?” setelah berkata seperti itu, Daksa tidak bisa menahan tawanya lagi. “Apa kamu tahu alasan saya berhenti menulis?”

“Tentu saja saya tidak tahu, Pak. Karena itu saya datang untuk menjadi pendengar Anda. Kalau Anda menandatangani kontrak baru yang saya bawa ini …” Natya menyerahkan amplop cokelat ke hadapan Daksa. “Anda akan menjadi penulis di bawah bimbingan saya secara langsung. Yang artinya, saya akan menjadi editor pribadi Anda.” senyum Natya masih setia di wajahnya.

Daksa membuka amplop cokelat yang diserahkan oleh Natya, mengambil beberapa kertas yang ada di dalamnya, kemudian membacanya dalam diam. Selama proses itu Natya mengatur detak jantungnya sendiri yang mendadak tidak karuan.

‘Ayo, Shaka. Kamu harus tanda tangan supaya saya naik gaji!’ Natya memanjatkan doa dalam hati.

Setelah beberapa saat, Daksa kembali memasukan lembar kertas ke dalam amplop cokelat. “Mohon maaf, Editor Natya. Tapi keputusan saya untuk berhenti menulis sudah bulat. Saya sudah mengatakan alasannya dengan jelas kepada Kepala Redaksi di kantor Anda. Saya juga sudah mengatakan bahwa mengirim Anda untuk menemui saya adalah hal yang sia-sia.”

“Tapi, Pak—”

“Dan jangan panggil saya dengan sapaan itu. Usia saya dan kamu hanya terpaut 2 tahun, Natya.” Daksa memotong kalimat Natya. “Anda boleh keluar jika sudah selesai.”

Natya hanya bisa membuka mulut tanpa mengucapkan satu kata pun. Detak jantungnya semakin cepat, darah di tubuhnya seakan menumpuk di dada dan kepalanya. Wajahnya kini mungkin sudah memerah karena kesal. Tapi Natya hanya bisa memberikan senyum tipis untuk yang terakhir kali sebelum meninggalkan ruang kerja Daksa.

***

Setelah berhasil keluar dari kediaman Daksa, Natya menghela napas panjang. Gadis berusia 26 tahun itu memijat kepalanya yang menadadak pening seketika.

“Ah sial. Gagal naik gaji,” gumam Natya pada angin.

“Sikapnya itu …” Natya mereka ulang pertemuannya dengan Daksa di dalam kepala. “Wah, luar biasa.”

Masih dengan perasaan kesal, Natya memesan ojek online pada aplikasi, dan duduk di pinggir trotoar samping pagar utama kediaman Daksa. Ia mengacak-acak rambut cokelat terangnya sambil menghela napas berkali-kali.

“Gimana bisa yang tadinya diakui sebagai teman kencan butanya diusir setelah tahu ternyata gue datang sebagai editor? Hah! Sifatnya itu bener-bener … nyebelin.”

Natya kembali terdiam, menatap jalanan sepi di depannya—kawasan elit memang jarang dilalui oleh kendaraan umum. Menyadari itu membuat rasa kesal di hatinya menyusut.

“Kalau emang dia berhenti jadi penulis karena punya uang banyak, setidaknya dia harus bisa lihat dari sudut pandang gue sebagai editor yang lagi kesulitan! Hah, mana tadi segala sok-sokan bilang mau ganti rugi segala!”

Beberapa detik kemudian, Natya menyadari kalimatnya sendiri, seketika ia bangkit berdiri. “ITU DIA!” raut wajahnya berubah cerah. “Ganti rugi itu bisa gue gunain buat minta dia tanda tangan kontrak! Wah … cerdas sekali Natya Lavani!”

Natya tersenyum puas. “Lihat aja, Daksa, Shaka, atau siapapun nama lo! Gue bakal bikin lo menandatangani kontrak ini!”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status