“Teman kencan buta.”
“APA?!”
Natya bisa melihat dengan jelas raut wajah terkejut dan tidak percaya milik Adira Prawara. Jangan tanya bagaimana ekspresi Natya sekarang, karena gadis berusia 26 tahun itu juga tak kalah terkejut mendengar penuturan pria di hadapannya.
Sebelum pria bernama Daksa Shaka itu datang, Natya diminta untuk menunggu di ruang tamu sambil disuguhi minuman dan camilan. Lalu dua menit kemudian seorang gadis dengan gaya berpakaian Korean look—hoodie crop top, dan rok mini, menghampiri Natya dengan senyum selebar tiga jari. Gadis itu memperkenalkan diri sebagai adik perempuan Daksa, sekaligus anak bungsu di keluarga Prawara yang bernama Adira. Kemudian setelahnya Adira mulai mengagumi wajah Natya dan juga penampilannya. Begitulah, sampai akhirnya Daksa datang.
“Yang dibilang Mas Shaka itu benar, Mba?” Adira beralih pada Natya. Kali ini wajahnya lebih serius dari sebelumnya.
“A-ah … itu …” Natya melirik pada Daksa yang sekarang sedang tersenyum ke arahnya. “Kita enggak sempat ketemu sebelumnya.” kalimat Natya terdengar sangat kikuk bahkan di telinganya sendiri.
“Oh ya? Tapi kayaknya saya pernah lihat kamu.” Daksa mendekat, kemudian duduk di sofa yang berhadapan dengan Natya dan Adira.
“Itu karena …” Natya menjeda kalimatnya, dia melirik pada Adira yang masih memperhatikan interaksi mereka, kemudian kembali menatap Daksa. “Sebelumnya, apa boleh kita bicara empat mata?”
“Kalau gitu kita bicara di ruangan saya.” Daksa sudah bangkit berdiri dan bersiap pergi.
“Maasss!” Adira merajuk.
“Adira, jangan merengek di depan orang lain. Mas dan Mba Natya harus bicara, anak kecil enggak boleh tahu.”
“Aku bukan anak kecil!” Adira menyanggah.
Daksa tidak menghiraukan perkataan Adira, dan langsung berjalan begitu saja. Natya mengikuti langkahnya hingga mereka tiba di depan pintu berwarna putih tulang dengan ukiran klasik.
“Silakan masuk.”
“A-ah, iya … terima kasih.”
Kemudian mereka masuk ke dalam ruangan itu, yang ternyata adalah ruang kerja. Natya bisa melihat tampilan ruang kerja yang nyaman karena lebih mirip seperti ruang bersantai ditambah dengan perpustakaan pribadi. Setiap design furnitur yang ada di dalamnya itu terlihat sangat klasik dan elegan. Natya menebak kalau keluarga mereka menyukai interior bergaya eropa.
“Silakan duduk.”
Natya duduk setelah mendapat persetujuan tuan rumah.
“Sebelumnya saya minta maaf sudah membuat kamu datang jauh-jauh ke sini. Eros memang terlihat kekanak-kanakan tapi sebenarnya dia pria dewasa. Saya akan mengganti kerugian yang kamu alami karena sudah ditipu oleh teman saya.”
“Eh?” Natya terkejut sekaligus bingung mendengar perkataan Daksa. “Ganti rugi?”
“Iya. Apa itu bukan tujuan kamu datang ke sini?”
Natya dengan cepat menggeleng. “Itu bukan tujuan saya!” menyadari nada bicaranya yang terdengar kurang sopan, Natya buru-buru melanjutkan. “Maaf. Sebelumnya saya akan memperkenalkan diri terlebih dulu. Nama saya Natya Lavani, saya editor di perusahaan Langit Pustaka.” Natya berkata seraya menyodorkan kartu nama.
“Langit Pustaka perusahaan penerbitan?” Daksa bertanya setelah membaca kartu nama milik Natya.
“Benar. Saya editor yang ditugaskan oleh perusahaan untuk menemui Penulis Sashaka. Saya sangat merasa terhormat bisa bertemu langsung dengan Anda, Pak.” Natya menampilkan senyum profesional miliknya.
Raut wajah Daksa terlihat terkejut beberapa saat. Kemudian pria itu tertawa pelan. “Wah … takdir macam apa ini?” Daksa terlihat menyamankan posisi di single sofa yang didudukinya.
“Ini hanya kebetulan saja, Pak.” Natya mempertahankan senyumnya.
Kemudian seorang pelayan di rumah itu datang mengantarkan minuman untuk mereka. Natya berucap terima kasih dan segera menyeruput minuman yang disuguhi setelah Daksa mempersilakan.
Pria bernama Daksa itu memperhatikan wajah Natya dengan saksama, sedangkan Natya hanya menatap tanpa ada perubahan ekspresi. Natya bisa melihat dengan jelas raut wajah Daksa yang berubah menjadi lebih serius.
“Kalau memang kamu datang untuk itu, kenapa bawa-bawa Eros?”
“Ah itu …” Natya melirik ke sembarang arah, merasa tidak enak. “Saya merasa Penulis Sashaka mungkin akan menolak bertemu kalau saya langsung memperkenalkan diri sebagai editor di Langit Pustaka.”
Daksa mengangguk-angguk. “Rupaya kamu sadar hal itu.” jeda sesaat. “Kalau tahu saya akan menolak, kenapa masih datang ke sini? Toh kamu akan dapat jawaban yang sama.”
Natya menahan napas beberapa detik saat mendengar nada sinis dari pria di hadapannya. Dia diam-diam membuang napas pelan, sambil mempertahankan senyum profesionalnya. “Semua hal layak untuk dicoba. Dan saya juga harus menemui Anda karena beberapa alasan.”
“Alasan?”
Natya mengangguk mantap. “Mungkin Kepala Redaksi saya sudah bertemu dan meminta kepada Anda untuk memutuskan setelah Anda bertemu dengan saya. Itu karena saya adalah kunci yang bisa menjadi alasan Anda menulis lagi, Pak.”
Daksa terlihat menahan tawa. “Kunci? Kamu?” setelah berkata seperti itu, Daksa tidak bisa menahan tawanya lagi. “Apa kamu tahu alasan saya berhenti menulis?”
“Tentu saja saya tidak tahu, Pak. Karena itu saya datang untuk menjadi pendengar Anda. Kalau Anda menandatangani kontrak baru yang saya bawa ini …” Natya menyerahkan amplop cokelat ke hadapan Daksa. “Anda akan menjadi penulis di bawah bimbingan saya secara langsung. Yang artinya, saya akan menjadi editor pribadi Anda.” senyum Natya masih setia di wajahnya.
Daksa membuka amplop cokelat yang diserahkan oleh Natya, mengambil beberapa kertas yang ada di dalamnya, kemudian membacanya dalam diam. Selama proses itu Natya mengatur detak jantungnya sendiri yang mendadak tidak karuan.
‘Ayo, Shaka. Kamu harus tanda tangan supaya saya naik gaji!’ Natya memanjatkan doa dalam hati.
Setelah beberapa saat, Daksa kembali memasukan lembar kertas ke dalam amplop cokelat. “Mohon maaf, Editor Natya. Tapi keputusan saya untuk berhenti menulis sudah bulat. Saya sudah mengatakan alasannya dengan jelas kepada Kepala Redaksi di kantor Anda. Saya juga sudah mengatakan bahwa mengirim Anda untuk menemui saya adalah hal yang sia-sia.”
“Tapi, Pak—”
“Dan jangan panggil saya dengan sapaan itu. Usia saya dan kamu hanya terpaut 2 tahun, Natya.” Daksa memotong kalimat Natya. “Anda boleh keluar jika sudah selesai.”
Natya hanya bisa membuka mulut tanpa mengucapkan satu kata pun. Detak jantungnya semakin cepat, darah di tubuhnya seakan menumpuk di dada dan kepalanya. Wajahnya kini mungkin sudah memerah karena kesal. Tapi Natya hanya bisa memberikan senyum tipis untuk yang terakhir kali sebelum meninggalkan ruang kerja Daksa.
***
Setelah berhasil keluar dari kediaman Daksa, Natya menghela napas panjang. Gadis berusia 26 tahun itu memijat kepalanya yang menadadak pening seketika.
“Ah sial. Gagal naik gaji,” gumam Natya pada angin.
“Sikapnya itu …” Natya mereka ulang pertemuannya dengan Daksa di dalam kepala. “Wah, luar biasa.”
Masih dengan perasaan kesal, Natya memesan ojek online pada aplikasi, dan duduk di pinggir trotoar samping pagar utama kediaman Daksa. Ia mengacak-acak rambut cokelat terangnya sambil menghela napas berkali-kali.
“Gimana bisa yang tadinya diakui sebagai teman kencan butanya diusir setelah tahu ternyata gue datang sebagai editor? Hah! Sifatnya itu bener-bener … nyebelin.”
Natya kembali terdiam, menatap jalanan sepi di depannya—kawasan elit memang jarang dilalui oleh kendaraan umum. Menyadari itu membuat rasa kesal di hatinya menyusut.
“Kalau emang dia berhenti jadi penulis karena punya uang banyak, setidaknya dia harus bisa lihat dari sudut pandang gue sebagai editor yang lagi kesulitan! Hah, mana tadi segala sok-sokan bilang mau ganti rugi segala!”
Beberapa detik kemudian, Natya menyadari kalimatnya sendiri, seketika ia bangkit berdiri. “ITU DIA!” raut wajahnya berubah cerah. “Ganti rugi itu bisa gue gunain buat minta dia tanda tangan kontrak! Wah … cerdas sekali Natya Lavani!”
Natya tersenyum puas. “Lihat aja, Daksa, Shaka, atau siapapun nama lo! Gue bakal bikin lo menandatangani kontrak ini!”
Natya kembali berjalan mendekat pada pos satpam gerbang rumah Daksa. Bahkan sepertinya dia lupa telah memesan ojek online, karena terlihat sangat percaya diri untuk kembali masuk ke dalam rumah itu.“Permisi, Pak. Apa saya boleh masuk lagi? Saya lupa berbicara beberapa hal dengan Daksa.” Natya berucap sambil memasang senyum semanis mungkin.Pak satpam yang berjaga itu menatapnya cukup lama. Lalu tanpa berkata apapun, satpam itu mengangkat gagang telepon—seperti saat awal Natya datang—dan bicara dengan seseorang di seberang telepon. “Bisa tolong tanya ke ‘den Skaha, Bu? Ini, Non Natya mau bertemu lagi. Ya, katanya ada yang masih mau disampaikan. Oh?” satpam yang sedang menelepon itu melirik ke arah Natya, lalu menatapnya dengan pandangan yang sulit diartikan. “Begitu. Ya wis. Ya. Tak tutup teleponnya.”“G-gimana, Pak?”“Mohon maaf, Non. Den Shaka menolak bert
Usai pulang kerja, Beno menghampiri Natya yang baru tiba di lobi kantornya dan langsung mengajak wanita itu untuk makan bersama. Natya yang sebelumnya pernah menolak makan bersama dengan Beno, kini tidak bisa menolak lagi tawaran lelaki itu. Alhasil, kini Natya berada di dalam mobil Beno menuju sebuah restoran yang dipilih oleh lelaki itu. Dalam hati Natya memanjatkan doa agar besok tidak muncul gosip di kantornya. Karena kalau sampai dirinya tertangkap makan berdua dengan Beno oleh teman sekantornya, bisa-bisa berita itu sampai ke telinga Indah dan Natya akan mendapat tatapan tidak suka selama seminggu atau bahkan sebulan dari Indah. Tiba di tempat tujuan, Natya turun dari mobil Beno. Wanita itu sedikit mendongak untuk melihat papan nama restoran yang tidak asing baginya, Dhatri Resto, adalah sebuah restoran bergaya klasik tradisional. Restoran itu adalah tempat di mana dirinya dan Eros bertemu pertama kalinya karena kesalahpahaman. “Ayok masuk.” Nat
Natya membuka mata, dan hal pertama yang dilihatnya adalah plafon berwarna cokelat yang terbuat dari kayu. Suasana ruangan yang klasik dan nampak tidak asing meski ia baru pertama kali berada di sana. Dugaannya terjawab ketika wajah Daksa muncul dari balik pintu ruangan di sisi sebelah kanannya.“Nat?”Natya menoleh ke arah datangnya panggilan itu. Di sebelah kirinya, Natya bisa melihat Beno yang memberikan pandangan khawatir sekaligus lega dari matanya.“Ehm … hai?”“Udah sadar?” sapaan Daksa terdengar lebih santai dari sebelumnya.Sebelumnya?Natya langsung mendudukan diri begitu mengingat kejadian terakhir sebelum dirinya kehilangan kesadaran. “G-gue di mana?”“Kamu masih di restoran saya. Ini ruang istirahat staff.” Daksa yang menjawab.“Ma-maaf. Tadi itu …”“Gue anter lo balik ya, Nat.” Beno langsung berdiri, memotong kalimat yang akan diucapkan oleh Natya.Daksa hanya memperhatikan Natya dan Beno sambil bersandar pada dinding dan memangku kedua tangannya di dada.“Sebentar, Ben.”
“Saya … saya cuma kagum pada Anda!” “Eh?” sekarang giliran Daksa yang terdiam. “Ma-maksud saya …” Tok … tok … tok …. Suara ketukan di pintu menginterupsi kalimat Natya. Salah satu pegawai menampakkan setengah badanya dari celah pintu yang sedikit dibuka. “Permisi.” Natya dan Daksa menoleh serempak. “Ada apa, Zal?” Daksa bertanya. “Maaf kalau saya mengganggu pembicaraan,” jeda Rizal. “Tapi Bang Daksa diminta balik lagi ke dapur karena pelanggan semakin banyak. Ditambah ada satu pelanggan yang komplain soal rasa makanan dan mau ketemu dengan pemelik restoran.” Diam-diam Natya menghela napas lega. Sementara Daksa mengangguk setelah mendengar kalimat Rizal, dan beralih menoleh pada Natya. Mendapat tatapan cukup tajam dari Daksa, membuat Natya kembali menelan ludah. “Kita bicara lain kali. Sebaiknya kamu pulang dan periksa ke rumah sakit.” Daksa mengucapkan kalimat itu dengan wajah serius yang hanya bisa diangguki oleh Natya. Setelah itu mereka keluar dari ruang istirahat. Daksa k
“Eros?!” Pria dengan rambut ikal yang berdiri di hadapan Natya itu menggaruk tengkuknya. Senyum kaku dan tatapan ke segala arah memudahkan Natya menebak bahwa pria itu sedang salah tingkah. “Ehm … hai?” Natya mengedip dua kali sebelum menanggapi sapaan Eros. “Hai.” Natya melihat penampilan Eros dari bawah hingga ujung kepalanya. “Kebetulan ketemu di sini.” Eros masih terlihat canggung ketika mengucapkan kalimat itu. “Iya. Anda seorang Dokter ternyata.” Eros tertawa kecil. “Iya.” lalu pria itu berdeham. “Ehm … karena kebetulan ketemu di sini, bisa kita bicara sebentar?” “Soal apa, ya?” Natya memiringkan kepalanya. “Soal kencan waktu itu. Maaf, saya enggak bermaksud buat nipu kamu dan bikin suasana jadi enggak nyaman.” Eros menunduk setelah mengucapkan kalimat itu. “Oh soal itu. Sebenarnya saya sudah memaafkan Anda …” Eros mengangkat kepalanya. “Tapi?” “Tapi karena kebetulan kita ketemu di sini, dan saya tahu kalau Anda adalah sahabat dari Daksa Shaka … jadi apa boleh saya min
"Wes, kalem, bro." Eros mengangkat kedua tangannya.Daksa berdeham. Tidak menyadari bahwa suaranya mendadak berubah seperti orang yang mengintimidasi. "Maksud gue, ada perlu apa dia sampai ngehubungi lo?"Eros bersiap membidik, satu senyuman penuh arti ia lemparkan pada Daksa. "Mungkin akhirnya dia sadar kalau gue adalah lelaki mempesona yang enggak bisa ditolak."Tak!"Sial." Eros memaki pada bola yang gagal dimasukan, kemudian mundur untuk memberikan ruang untuk giliran Daksa.Sementara pria yang lebih muda dari Eros itu tertawa pelan. Daksa maju dua langkah, memegang stiknya kuat-kuat. Tubuhnya ia hadapkan pada Eros, membuat pria yang memiliki makna nama sebagai Dewa cinta itu mengangkat alisnya heran."Kenapa tatapan lo bisa berubah-ubah gini sih?" Eros menyuarakan rasa penasarannya.Daksa lagi-lagi hanya tertawa. "Bro, lo tahu enggak kenapa di dalam permainan biliar bola 15, yang kita mainin sekarang ini, ada aturan yang menggolongkan bola mana yang harus kita masukin? Ada yang da
'Bagaimana bisa kau mencintai sementara kau tidak mengerti dirimu sendiri?' Natya membaca satu baris kalimat dalam naskah yang sedang dikoreksi. Sebab rencana proyek baru perusahaan penerbitan tempatnya bekerja, Natya harus membawa setengah pekerjaannya untuk dibawa pulang karena situasi di kantornya yang huru-hara membuatnya tidak fokus.Namun alih-alih pulang, Natya mengajak Daksa bertemu untuk membicarakan masalah kontrak kerja sebagai penulis. Wanita itu duduk di salah satu kursi dalam Taman Suropati, yang menghadap ke air mancur sambil membolak-balik halaman naskah yang dibacanya."Boleh saya tanya kenapa kamu memilih bertemu di tempat seperti ini? Apa saya harus curiga?"Natya sontak menoleh begitu mendengar suara dari arah belakangnya. Wanita itu melihat Daksa berdiri sambil memasukan kedua tangan ke dalam kantong celana bahan berwarna cokelat milo. Kaos putih polos dilapisi dengan cardigan cokelat susu membuat penampilan Daksa terlihat lebih muda."Anda sudah datang." Natya ba
"Natya, kalau setelah ini saya mengajak kamu untuk bertemu, bukan sebagai dua orang yang terikat pekerjaan, apa boleh?" Di dalam kamarnya, Natya masih memikirkan perkataan Daksa yang tiba-tiba itu sebelum mereka saling berpamitan. Saat itu Natya tidak memberikan jawaban yang pasti karena terlalu terkejut. Mereka pun langsung berpisah begitu Daksa mendapat telepon dari asisten koki di restorannya. “Hah …” Natya membuang napasnya. “Kalimat itu kedengeran kayak ajakan kencan. Tapi kalau gue nyimpulin kayak gitu padahal maksud Daksa bukan itu, malu juga.” Natya bermonolog dengan dirinya sendiri. Cukup lama Natya terdiam dengan pikirannya sendiri. Tubuhnya sudah terbaring di atas kasur sambil mengenakan pakaian santai untuk tidur. Tetapi mata Natya belum bisa terpejam. Karena itu, Natya bangkit dan mengambil ponsel dan dua buah novel. Natya memutar “Sonata No. 14. “Moonlight” in C-Sharp Minor” oleh Beethoven dan Paul Lewis dari salah satu aplikasi streaming musik di ponselnya. Tangan ka