Share

BAB 3 - Jadwal Sang Bos

Penulis: Ellailaist
last update Terakhir Diperbarui: 2025-07-11 10:00:40

“Jangan pernah mencoba mengenalku.”

Kalimat itu terus menghantui Aruna, bahkan saat fajar baru saja menyapu langit. Suara rendah itu masih terasa di telinganya, dingin seperti mantra yang mengekang jantungnya.

Pukul 05.30 pagi, ia sudah duduk di meja makan, menatap roti panggang yang tak lagi hangat. Matanya sembab, bukan karena menangis, melainkan karena ia hampir tidak tidur semalaman. Setiap kali memejamkan mata, ia kembali mendengar langkah sepatu di koridor kantor, hembusan napas dekat telinganya, dan tatapan tajam yang menelanjangi jiwanya.

Aku harus kuat, ia menegaskan pada dirinya sendiri. Demi Renata. Demi Ibu. Demi keluarga kecilku. Tidak boleh ada kesalahan.

Dengan tekad itu, Aruna berangkat lebih pagi dari biasanya. Begitu tiba di kantor, ia langsung menyalakan laptop dan membuka folder khusus berisi jadwal harian Leonardi. Layar dipenuhi tabel rapi: nama klien, topik rapat, ruangan, hingga preferensi makanan dan minuman setiap tamu. Ia mengetik, menggeser, mengecek ulang, lalu menghapus kembali bila ada sedikit keraguan.

Pesan HRD masih terngiang: “Bagi Pak Leonardi, kesalahan sekecil apapun bisa berarti pemecatan.”

Tangannya bergerak cepat, tapi matanya meneliti setiap detail. Sesekali ia meneguk kopi hitam tanpa gula, berusaha menahan kantuk dan gemetar halus di ujung jarinya. Setelah dua jam penuh fokus, ia menghela napas lega. Dadanya terasa lebih lapang—hingga suara lift terbuka memecah ketenangan.

Tap. Tap. Tap.

Aruna otomatis menegakkan punggung. Ia menata map jadwal di atas meja, merapikan rambut, lalu berdiri tegak.

Pintu kaca terbuka perlahan. Leonardi masuk dengan setelan jas arang yang jatuh sempurna di tubuh tegapnya. Satu tangan menggenggam ponsel, mata lurus ke depan tanpa sedikit pun menoleh. Namun begitu tatapan itu akhirnya bertumbukan dengannya, Aruna nyaris lupa bernapas.

Setiap langkah pria itu terdengar seperti dentuman palu di ruang kosong. Suara sepatu kulitnya tidak keras, tapi cukup untuk membuat jantung Aruna menggedor tulang rusuk.

Tanpa sepatah kata, Leonardi mengambil map dari tangannya. Jemarinya panjang, dingin, terlatih; sekilas menyentuh kulit Aruna, dan itu cukup untuk membuat darahnya berdesir aneh.

Ia membuka halaman demi halaman. Alisnya bergerak tipis, seolah setiap baris jadwal adalah kode rahasia yang harus ia pecahkan. Aruna berdiri kaku, merasa seluruh tubuhnya dipelototi meski tatapan pria itu hanya tertuju pada kertas.

Hingga akhirnya, Leonardi menghentikan jarinya di satu kolom.

“Jam 14.30. Siapa yang meminta waktu tambahan?” tanyanya. Suaranya rendah, datar, tapi menggema seperti cambuk di udara.

Aruna menelan ludah yang mendadak kering. “P-pihak legal, Pak. Mereka ingin membahas tambahan klausul untuk kontrak MoU.”

Leonardi tidak langsung menjawab. Ia menutup map perlahan, meletakkannya kembali di meja. Lalu, dengan gerakan tenang, matanya naik menatap langsung ke dalam mata Aruna.

Untuk beberapa detik yang terasa seperti seabad, tubuh Aruna terkunci. Nafasnya tertahan. Matanya panas, hampir berair.

Leonardi mendekat. Sangat dekat, hingga aroma tubuhnya merayap masuk ke paru-paru Aruna: perpaduan cendana dan kopi pahit, wangi yang maskulin dan menusuk.

“Kesalahan kecil...” bisiknya. Nada suaranya setipis angin dingin, namun mampu menembus sumsum tulang. “... bisa menghancurkan segalanya.”

Aruna menahan napas, jemarinya mencengkeram tepi meja hingga buku-bukunya memutih. Ia ingin berkata sesuatu, apapun, tapi lidahnya kaku.

Leonardi mencondongkan tubuh lebih dekat, menatapnya begitu dalam seolah sedang menguliti lapisan demi lapisan dirinya.

“Jangan pernah buatku marah, Aruna,” katanya perlahan.

Tidak ada teriakan. Tidak ada nada kasar. Namun justru itulah yang membuat kalimat itu jauh lebih berbahaya. Ancaman yang begitu dingin, begitu pasti, hingga tubuh Aruna gemetar tanpa bisa ia cegah.

Beberapa detik kemudian, Leonardi mundur. Ia masih menatap, lalu tersenyum tipis—senyum yang lebih menyerupai pisau terselubung.

“Siapkan file tambahan itu. Aku ingin di mejaku sebelum makan siang.”

Aruna mengangguk cepat. Leonardi berbalik, melangkah masuk ke ruangannya, pintu kaca tertutup rapat di belakangnya.

Begitu bayangannya menghilang, Aruna jatuh duduk di kursi. Napasnya pendek-pendek, dadanya naik turun seperti baru saja melewati ledakan.

Namun saat jarinya kembali mengetik, bayangan tatapan Leonardi, napasnya, dan kalimat terakhir itu terus mengejarnya. “Jangan pernah buatku marah.”

Suara itu bergema berulang-ulang, menghantam sisi dalam kepalanya.

Menjelang pukul dua belas, Aruna melangkah ke ruang Leonardi dengan map baru. Tangannya basah oleh keringat, tapi langkahnya tetap mantap. Ia mengetuk pintu kaca.

“Masuk,” jawab suara berat itu.

Leonardi duduk dengan punggung tegak, jas sudah dilepas, lengan kemeja putih tergulung hingga siku. Urat di lengannya menonjol, memperlihatkan ketegasan maskulin yang seolah terukir.

Aruna maju, meletakkan map di meja. Ia bisa merasakan tatapan pria itu menembus dadanya, menahan udara di paru-paru.

Keheningan pekat. Hanya aroma kopi dan detik jam dinding yang terdengar.

Leonardi belum membuka map. Ia hanya menatapnya, lama sekali, seakan sedang membaca sesuatu yang tersembunyi jauh di balik wajah Aruna.

Detik-detik itu membuat Aruna nyaris roboh. Ada ketakutan yang membuat jantungnya menciut, tapi anehnya, di balik semua itu, ada sesuatu yang hangat… nyaris memabukkan.

Akhirnya Leonardi membuka map, membaca cepat, lalu mengangguk. “Bagus,” katanya singkat, tapi nada suaranya lebih rendah dari biasanya.

Aruna menunduk, menggigit bibir untuk menahan lega. Ia berbalik hendak keluar, namun suara itu kembali memanggil.

“Aruna.”

Ia berhenti. Menoleh pelan.

Tatapan dingin itu masih menusuk.

“Kau melakukan dengan baik hari ini. Tapi ingat...” Leonardi bersandar, menyilangkan tangan. Senyum tipis melintas di bibirnya, samar namun penuh ancaman.

“Jangan pernah buatku marah.”

Aruna buru-buru mengangguk. Ia keluar sebelum tubuhnya benar-benar roboh. Begitu pintu tertutup, ia menempelkan punggung ke dinding lorong. Napasnya memburu, keringat dingin membasahi punggungnya.

Ia menatap langit-langit, dan dalam hati yang gemetar, pertanyaan itu akhirnya muncul, jujur, tanpa bisa ia bendung lagi:

“Kenapa aku justru... merasakan sesuatu yang lain di balik rasa takut ini?”

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Terbelenggu di Kamar Hasrat Sang Bos   Tangan yang Menggenggam

    Aruna berdiri di depan pintu kayu gelap yang sudah sangat dikenalnya. Gagang pintu itu dingin di telapak tangannya, seolah berbisik ribuan kenangan yang tak semuanya ingin ia ingat.Leonardi berdiri di sampingnya, napasnya berat, matanya tertuju pada pintu itu dengan sorot campuran rasa takut, penyesalan, dan harapan. Sejak pertama kali Aruna dipaksa masuk ke ruangan itu, semuanya berubah — tubuhnya, jiwanya, juga cinta yang tumbuh di antara mereka.Hari ini, setelah perjalanan panjang dan luka yang tak terhitung, mereka berdiri di sini untuk menutup satu bab, selamanya.Aruna menarik napas panjang, telapak tangannya masih menempel di gagang pintu. Jemarinya gemetar. Banyak adegan berkelebat di kepalanya: jeritan sunyi di malam-malam gelap, air mata yang tumpah tanpa suara, tubuh yang tak lagi terasa miliknya.Leonardi mengangkat tangannya, menutupi tangan Aruna di atas gagang itu. Hangat. Teguh. Berbeda dari dulu — tidak lagi menuntut, tidak lagi memaksa. Hanya sebuah genggaman yang

  • Terbelenggu di Kamar Hasrat Sang Bos   Penyembuhan yang Dimulai

    Aruna duduk di bangku kayu panjang di ruang tunggu sebuah klinik psikoterapi di pusat kota. Tangannya bergetar, tapi kali ini bukan karena ketakutan — melainkan karena harapan yang pelan-pelan tumbuh, seperti tunas kecil di musim hujan pertama.Leonardi masih di dalam ruangan terapi. Pintu putih dengan kaca buram itu seolah menjadi batas antara dirinya yang dulu dan lelaki yang sedang berusaha lahir kembali.Aruna menatap ujung sepatunya, mencoba menenangkan napas. Sudah beberapa minggu sejak mereka sepakat untuk “memilih” satu sama lain. Bukan lagi sebagai mainan, bukan lagi sebagai pemilik dan yang dimiliki — tapi sebagai dua manusia yang sama-sama patah dan sama-sama ingin sembuh.Saat pintu itu akhirnya terbuka, Leonardi keluar dengan wajah lelah, mata sedikit sembab. Aruna berdiri refleks, hendak menjemputnya. Leonardi menghentikan langkah, menatap Aruna dengan sorot mata yang jauh lebih tenang dari biasanya, meski masih menyisakan banyak ketakutan."Aku… nggak tahu harus bilang

  • Terbelenggu di Kamar Hasrat Sang Bos   Pilihan Akhir

    Matahari baru saja naik di ujung langit, menembus kaca jendela kamar yang sudah lama menjadi saksi kelam mereka. Udara pagi menelusup perlahan, membawa aroma lembut yang seolah menenangkan luka-luka lama.Aruna duduk di pinggir ranjang, menatap punggung Leonardi yang berdiri di dekat jendela. Pria itu tampak berbeda pagi ini. Pundaknya yang dulu selalu tegak dan kaku, kini sedikit merosot, seakan akhirnya mengakui betapa berat beban yang ia pikul selama ini.Leonardi tidak menoleh, hanya membiarkan cahaya pagi menimpa wajahnya yang pucat. Suara napasnya terdengar berat, namun tenang."Aku… sudah memikirkan ini semalam," katanya perlahan, suaranya terdengar rapuh sekaligus mantap. "Jika kau ingin pergi… pintu ini akan selalu terbuka. Aku tidak akan memaksamu lagi… tidak akan menarikmu kembali…."Aruna menatapnya lama. Kata-kata itu terdengar seperti pisau yang menoreh dadanya, tapi juga seperti angin segar yang lama ia rindukan.Leonardi masih diam, tangannya mengepal di sisi tubuhnya.

  • Terbelenggu di Kamar Hasrat Sang Bos   Dinding Runtuh

    Aruna berdiri di depan pintu rumah Leonardi dengan napas yang terasa berat. Tangannya gemetar ketika menekan bel. Suara hujan yang masih turun sejak kemarin malam membuat seisi kota tampak seperti lukisan kelabu yang remuk.Dia menatap gagang pintu lama sekali. Satu detik terasa seperti seribu denyut di dadanya.Pintu itu akhirnya terbuka. Leonardi berdiri di ambang, wajahnya pucat, matanya kosong. Rambutnya berantakan, kemejanya basah keringat meski udara dingin.Ketika tatapan mereka bertemu, Aruna bisa merasakan seluruh dunianya ambruk."Aruna…" suara Leonardi serak, seperti seseorang yang hampir kehilangan suara setelah terlalu lama berteriak dalam diam.Aruna melangkah masuk tanpa berkata apa pun. Begitu melewati ambang pintu, aroma kamar yang dulu begitu menakutkan kini justru terasa menyesakkan dada, seolah setiap sudut menyimpan bisikan luka mereka berdua.Leonardi mundur beberapa langkah, menunduk. Tangannya gemetar, seolah hendak meraih Aruna tapi takut disentuh."Aku…" Leon

  • Terbelenggu di Kamar Hasrat Sang Bos   Dosa Masa Lalu

    Hujan masih mengguyur kota seperti tak mau berhenti, seolah menertawakan luka-luka manusia yang tak pernah selesai.Leonardi duduk di kursi ruangannya yang remang, menatap kosong ke luar jendela. Rambutnya acak-acakan, dasi sudah terlepas, kemeja setengah terbuka memperlihatkan dada yang naik turun tak beraturan.Seluruh kantor sudah sunyi. Semua orang takut mendekat sejak rumor tentang "kamar rahasia" mulai beredar.Di meja Leonardi, berserakan foto-foto yang dikirim Clara. Foto dirinya bersama Aruna di kamar itu. Ada juga beberapa rekaman pendek yang diambil secara diam-diam.Clara masuk perlahan, diikuti Adrian. Clara mengenakan mantel panjang berwarna gelap, wajahnya dingin, matanya menyala penuh kemenangan. Adrian, di belakangnya, tampak gelisah, sesekali menunduk seolah menyesali keputusannya."Leonardi." Clara membuka suara, nada suaranya tajam. "Akhirnya kita bertemu lagi… di saat kau paling rapuh."Leonardi tidak menoleh. Tatapannya tetap pada gelapnya jendela, seolah di luar

  • Terbelenggu di Kamar Hasrat Sang Bos   Rencana Terungkap

    Hujan turun sejak subuh, menetes deras di jendela kamar Aruna. Aroma tanah basah bercampur dengan dingin yang menusuk tulang. Aruna berdiri di depan kaca, menatap pantulan wajahnya sendiri — wajah yang tampak asing, penuh bayangan luka yang tak pernah sembuh.Tangannya masih memegang buku jurnal hitam yang dikirim Leonardi. Bekas air mata semalam masih meninggalkan noda samar di halaman-halaman terakhir.Ia menutup buku perlahan, menarik napas panjang, seolah bersiap menghadapi sesuatu yang lebih besar dari rasa sakit di dadanya.Renata muncul dari belakang, membawa segelas air hangat. "Kak… minum dulu, sebelum sakit," katanya pelan.Aruna hanya mengangguk, tapi tak segera mengambil gelas itu. Pandangannya kosong, pikirannya melayang jauh."Ren…" Aruna memanggil dengan suara parau. "Aku harus pergi."Renata mengernyit, menatap kakaknya lekat. "Pergi ke mana? Kakak masih butuh istirahat. Kakak masih butuh—""Leonardi," potong Aruna lirih.Renata terdiam. Segala kepingan rasa takut dan

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status