LOGIN“Jangan pernah mencoba mengenalku.”
Kalimat itu terus menghantui Aruna, bahkan saat fajar baru saja menyapu langit. Suara rendah itu masih terasa di telinganya, dingin seperti mantra yang mengekang jantungnya.
Pukul 05.30 pagi, ia sudah duduk di meja makan, menatap roti panggang yang tak lagi hangat. Matanya sembab, bukan karena menangis, melainkan karena ia hampir tidak tidur semalaman. Setiap kali memejamkan mata, ia kembali mendengar langkah sepatu di koridor kantor, hembusan napas dekat telinganya, dan tatapan tajam yang menelanjangi jiwanya.
Aku harus kuat, ia menegaskan pada dirinya sendiri. Demi Renata. Demi Ibu. Demi keluarga kecilku. Tidak boleh ada kesalahan.
Dengan tekad itu, Aruna berangkat lebih pagi dari biasanya. Begitu tiba di kantor, ia langsung menyalakan laptop dan membuka folder khusus berisi jadwal harian Leonardi. Layar dipenuhi tabel rapi: nama klien, topik rapat, ruangan, hingga preferensi makanan dan minuman setiap tamu. Ia mengetik, menggeser, mengecek ulang, lalu menghapus kembali bila ada sedikit keraguan.
Pesan HRD masih terngiang: “Bagi Pak Leonardi, kesalahan sekecil apapun bisa berarti pemecatan.”
Tangannya bergerak cepat, tapi matanya meneliti setiap detail. Sesekali ia meneguk kopi hitam tanpa gula, berusaha menahan kantuk dan gemetar halus di ujung jarinya. Setelah dua jam penuh fokus, ia menghela napas lega. Dadanya terasa lebih lapang—hingga suara lift terbuka memecah ketenangan.
Tap. Tap. Tap.
Aruna otomatis menegakkan punggung. Ia menata map jadwal di atas meja, merapikan rambut, lalu berdiri tegak.
Pintu kaca terbuka perlahan. Leonardi masuk dengan setelan jas arang yang jatuh sempurna di tubuh tegapnya. Satu tangan menggenggam ponsel, mata lurus ke depan tanpa sedikit pun menoleh. Namun begitu tatapan itu akhirnya bertumbukan dengannya, Aruna nyaris lupa bernapas.
Setiap langkah pria itu terdengar seperti dentuman palu di ruang kosong. Suara sepatu kulitnya tidak keras, tapi cukup untuk membuat jantung Aruna menggedor tulang rusuk.
Tanpa sepatah kata, Leonardi mengambil map dari tangannya. Jemarinya panjang, dingin, terlatih; sekilas menyentuh kulit Aruna, dan itu cukup untuk membuat darahnya berdesir aneh.
Ia membuka halaman demi halaman. Alisnya bergerak tipis, seolah setiap baris jadwal adalah kode rahasia yang harus ia pecahkan. Aruna berdiri kaku, merasa seluruh tubuhnya dipelototi meski tatapan pria itu hanya tertuju pada kertas.
Hingga akhirnya, Leonardi menghentikan jarinya di satu kolom.
“Jam 14.30. Siapa yang meminta waktu tambahan?” tanyanya. Suaranya rendah, datar, tapi menggema seperti cambuk di udara.
Aruna menelan ludah yang mendadak kering. “P-pihak legal, Pak. Mereka ingin membahas tambahan klausul untuk kontrak MoU.”
Leonardi tidak langsung menjawab. Ia menutup map perlahan, meletakkannya kembali di meja. Lalu, dengan gerakan tenang, matanya naik menatap langsung ke dalam mata Aruna.
Untuk beberapa detik yang terasa seperti seabad, tubuh Aruna terkunci. Nafasnya tertahan. Matanya panas, hampir berair.
Leonardi mendekat. Sangat dekat, hingga aroma tubuhnya merayap masuk ke paru-paru Aruna: perpaduan cendana dan kopi pahit, wangi yang maskulin dan menusuk.
“Kesalahan kecil...” bisiknya. Nada suaranya setipis angin dingin, namun mampu menembus sumsum tulang. “... bisa menghancurkan segalanya.”
Aruna menahan napas, jemarinya mencengkeram tepi meja hingga buku-bukunya memutih. Ia ingin berkata sesuatu, apapun, tapi lidahnya kaku.
Leonardi mencondongkan tubuh lebih dekat, menatapnya begitu dalam seolah sedang menguliti lapisan demi lapisan dirinya.
“Jangan pernah buatku marah, Aruna,” katanya perlahan.
Tidak ada teriakan. Tidak ada nada kasar. Namun justru itulah yang membuat kalimat itu jauh lebih berbahaya. Ancaman yang begitu dingin, begitu pasti, hingga tubuh Aruna gemetar tanpa bisa ia cegah.
Beberapa detik kemudian, Leonardi mundur. Ia masih menatap, lalu tersenyum tipis—senyum yang lebih menyerupai pisau terselubung.
“Siapkan file tambahan itu. Aku ingin di mejaku sebelum makan siang.”
Aruna mengangguk cepat. Leonardi berbalik, melangkah masuk ke ruangannya, pintu kaca tertutup rapat di belakangnya.
Begitu bayangannya menghilang, Aruna jatuh duduk di kursi. Napasnya pendek-pendek, dadanya naik turun seperti baru saja melewati ledakan.
Namun saat jarinya kembali mengetik, bayangan tatapan Leonardi, napasnya, dan kalimat terakhir itu terus mengejarnya. “Jangan pernah buatku marah.”
Suara itu bergema berulang-ulang, menghantam sisi dalam kepalanya.
Menjelang pukul dua belas, Aruna melangkah ke ruang Leonardi dengan map baru. Tangannya basah oleh keringat, tapi langkahnya tetap mantap. Ia mengetuk pintu kaca.
“Masuk,” jawab suara berat itu.
Leonardi duduk dengan punggung tegak, jas sudah dilepas, lengan kemeja putih tergulung hingga siku. Urat di lengannya menonjol, memperlihatkan ketegasan maskulin yang seolah terukir.
Aruna maju, meletakkan map di meja. Ia bisa merasakan tatapan pria itu menembus dadanya, menahan udara di paru-paru.
Keheningan pekat. Hanya aroma kopi dan detik jam dinding yang terdengar.
Leonardi belum membuka map. Ia hanya menatapnya, lama sekali, seakan sedang membaca sesuatu yang tersembunyi jauh di balik wajah Aruna.
Detik-detik itu membuat Aruna nyaris roboh. Ada ketakutan yang membuat jantungnya menciut, tapi anehnya, di balik semua itu, ada sesuatu yang hangat… nyaris memabukkan.
Akhirnya Leonardi membuka map, membaca cepat, lalu mengangguk. “Bagus,” katanya singkat, tapi nada suaranya lebih rendah dari biasanya.
Aruna menunduk, menggigit bibir untuk menahan lega. Ia berbalik hendak keluar, namun suara itu kembali memanggil.
“Aruna.”
Ia berhenti. Menoleh pelan.
Tatapan dingin itu masih menusuk.
“Kau melakukan dengan baik hari ini. Tapi ingat...” Leonardi bersandar, menyilangkan tangan. Senyum tipis melintas di bibirnya, samar namun penuh ancaman.
“Jangan pernah buatku marah.”
Aruna buru-buru mengangguk. Ia keluar sebelum tubuhnya benar-benar roboh. Begitu pintu tertutup, ia menempelkan punggung ke dinding lorong. Napasnya memburu, keringat dingin membasahi punggungnya.
Ia menatap langit-langit, dan dalam hati yang gemetar, pertanyaan itu akhirnya muncul, jujur, tanpa bisa ia bendung lagi:
“Kenapa aku justru... merasakan sesuatu yang lain di balik rasa takut ini?”
“Bu… maafin Aruna, ya.”Suara itu pecah, lirih, namun menembus dinding sepi kamar rawat. Aruna menangis di pelukan ibunya, bahunya berguncang. “Aruna nggak bisa jagain Renata. Aruna bukan kakak yang baik.”Ibu Aruna memeluknya makin erat, matanya ikut basah. “Sudah, Nak. Jangan siksa dirimu terus. Tak ada seorang pun yang bisa menolak takdir.”Tangannya yang renta mengusap rambut Aruna, lembut seperti dulu waktu putrinya masih kecil. Tapi kali ini, usapan itu bukan lagi pengantar tidur—melainkan pelipur duka.Leonardi berdiri di sisi tempat tidur. Matanya sembab, wajahnya letih. Ia tak ikut bicara. Hanya menatap dua perempuan itu, sadar bahwa duka ini bukan duka biasa—melainkan kehilangan yang mengguncang sampai ke akar jiwa.Pagi itu, ibu Aruna datang menjenguk dengan hati yang setengah hancur. Sejak kabar kematian Renata, ia dan Aruna sama-sama kehilangan arah.“Leonardi,” katanya pelan, “pulanglah dulu. Istirahatlah. Kau sudah beberapa hari di sini.”Leonardi menggeleng. “Saya ngga
Aruna membuka mata dengan perlahan. Cahaya putih dari lampu ruang rawat menembus kelopak matanya yang berat, membuat pandangannya berputar sejenak.Udara rumah sakit dingin, namun keningnya dipenuhi peluh. Ia mencoba mengangkat tangan, tapi pergelangan itu terasa berat oleh selang infus yang menempel.Lalu, ia melihat seseorang di kursi sebelah.Leonardi.Lelaki itu duduk bersandar dengan kepala menunduk, mata cekung karena semalaman tidak tidur. Di pangkuannya, masih ada sisa tisu dan botol air mineral yang belum disentuh.Aruna memandangi wajah itu lama. Napasnya bergetar.“Renata …” suaranya nyaris tidak terdengar, hanya sebuah bisikan yang tersangkut di tenggorokan.Namun begitu bibirnya menyebut nama itu, kesadarannya pecah seketika.“RENATA!” jeritnya melengking, membuat Leonardi terlonjak kaget. Aruna berusaha bangkit, tapi tubuhnya belum kuat. Tangannya menepis selimut dan mencari seseorang yang tak lagi ada di ruangan itu. “Mana dia, Leo?! Di mana Renata?! Aku harus—”“Aruna,
“Turunkan senjatamu sekarang, Richardo!” suara Kirk menggema di atas dek kapal yang kini sunyi, hanya tersisa suara deburan ombak dan desau angin asin yang membawa aroma mesiu.Richardo berdiri dengan tangan bergetar, darah dari lukanya menetes ke lantai kayu. Daniel di belakangnya tampak pasrah, wajahnya kehilangan seluruh warna. Pistol yang sebelumnya ia genggam kini tergelincir ke lantai, membentur dengan suara logam yang nyaring.“Aku, aku tidak pernah bermaksud sejauh ini,” ucap Daniel gemetar, suaranya hampir patah.“Diam!” bentak Richardo, matanya merah dan penuh amarah yang tak tersisa arah. “Kau pikir aku akan menyerah begitu saja?”Namun sebelum ia sempat bertindak, dua agen FBI langsung menubruknya dari sisi kanan. Tubuh Richardo dihantam keras ke lantai, senjatanya terlepas, dan dalam hitungan detik borgol logam mengikat pergelangan tangannya.“Richardo, kau ditangkap atas tuduhan pembunuhan, perdagangan manusia, dan sabotase internasional,” ujar salah satu agen dengan nad
“Jangan bergerak!”Suara keras itu membelah udara, diikuti dentuman tembakan yang memekakkan telinga. Aruna tersentak, menutup telinganya. Seketika, jeritan Richardo terdengar — pelurunya meleset, dan pistol di tangannya terlempar jauh, terhempas ke laut.Leonardi berbalik. Di sisi dek sekoci, sosok berpakaian hitam dengan emblem FBI di dadanya berdiri dengan pistol teracung. Kirk — anggota Hostage Rescue Team yang selama ini memimpin operasi penyelamatan — menatap tajam ke arah mereka.“Target sudah teridentifikasi!” seru Kirk melalui radio di pundaknya. “Ulangi, target terkendali. Julia Beaumont dan kaki tangannya sudah dikepung.”Malam ini, suasana laut utara Jakarta lebih sibuk. Suara sirene dan desau helikopter mengguncang udara di atas mereka. Cahaya lampu sorot menembus kabut asap dan air laut, membuat permukaan dek sekoci terlihat seperti medan perang kecil — penuh darah, bayangan, dan kepanikan yang masih bergema.Richardo berlutut, memegangi lengannya yang berdarah. Ia menat
“Berhenti di situ, Aruna!”Suara Julia memotong udara seperti cambuk besi. Di ujung jarak beberapa meter, kilatan logam pistolnya berkilau oleh cahaya darurat merah yang menyorot dari langit-langit kapal yang mulai miring. Air laut sudah merembes masuk lewat dinding yang retak, menciptakan genangan yang berkilat dingin di bawah kaki mereka.Aruna membeku. Jantungnya berdetak begitu keras hingga terasa seperti hendak pecah. Nafasnya tertahan di tenggorokan, dan matanya terpaku pada moncong senjata yang berkilat—kilau maut yang memantulkan wajahnya sendiri.“Julia… kau tidak perlu melakukan ini,” ucap Aruna perlahan, suaranya parau dan gemetar. “Kita semua bisa pergi dari sini hidup-hidup.”Julia tersenyum miring, bibirnya bergetar di antara tawa dan tangis. “Kau pikir aku masih punya hidup setelah semua ini, Aruna?” desisnya getir. “Tidak. Kau sudah mengambil semuanya—Leonardi, proyekku, kebebasanku. Sekarang, aku hanya punya satu hal tersisa.”Renata yang berdiri di sisi Aruna maju se
“Leonardi!”Suara Aruna tenggelam oleh deru ledakan kedua yang menghantam sisi kanan kapal. Gelombang panas menyambar udara, lalu segalanya berubah menjadi kekacauan. The Trident bergetar seperti makhluk yang sedang sekarat—besi berderit, kaca pecah, dan suara manusia bercampur dengan teriakan panik.Air laut menerobos masuk dari dinding yang retak, mengubah koridor megah itu menjadi labirin maut. Lampu-lampu berkelap-kelip sebelum padam sepenuhnya, meninggalkan hanya cahaya merah darurat yang berdenyut seperti nadi ketakutan.“Leonardi!” Aruna berteriak lagi, berlari menembus asap dan air yang mulai memenuhi kapal hingga setinggi lutut. Tapi tak ada jawaban—hanya suara logam patah dan jeritan dari arah dek bawah.“Kakak!” Renata muncul dari balik pilar yang hampir runtuh, wajahnya penuh jelaga, rambutnya basah kuyup. Ia menarik tangan Aruna dengan paksa. “Kakak harus keluar sekarang! Kapal ini akan tenggelam!”“Tapi Leonardi—dia masih di sana!” Aruna menolak, matanya liar mencari soso







