Beranda / Romansa / Terbelenggu di Kamar Hasrat Sang Bos / BAB 4 - Kopi yang Terlalu Manis

Share

BAB 4 - Kopi yang Terlalu Manis

Penulis: Ellailaist
last update Terakhir Diperbarui: 2025-07-11 10:02:20

Satu kesalahan lagi… dan kau akan benar-benar mengerti arti kehilangan.

Kalimat itu bergema di kepala Aruna bahkan sebelum pintu ruangan Leonardi terbuka. Ancaman yang pernah terlontar dari bibir pria itu, dingin tanpa nada, kini seperti belenggu yang menjerat setiap langkahnya. 

Aruna hanyalah seorang asisten pribadi biasa. Tugasnya sederhana—atau begitulah ia percaya pada awalnya. Menyiapkan kopi, merapikan laporan, dan menjaga jadwal bosnya agar tetap teratur. Namun sejak ia bekerja di lantai paling atas gedung ini, setiap detik terasa seperti ujian yang menelanjangi keberaniannya.

Koridor menuju ruangan Leonardi terasa panjang dan berat. Lantai marmer hitam memantulkan bayangannya yang rapuh. Lampu kristal bergemerincing di atas, memantulkan cahaya dingin yang tak memberi rasa hangat sedikit pun. Seolah setiap sudut gedung ini memang dirancang untuk membuat siapa pun merasa kecil dan tak berharga.

Di tangannya, sebuah map laporan mingguan tergenggam erat. Telapak tangannya sudah basah oleh keringat. Jantungnya berdetak kencang, begitu keras hingga ia takut orang lain bisa mendengarnya.

Lift di belakangnya telah menutup, meninggalkan lorong sunyi. Hanya ada denting jarum jam yang beradu, pelan tapi menyesakkan. Suara kecil di benaknya berbisik: masih ada kesempatan untuk berbalik. Masih ada jalan untuk lari.

Tapi ia tidak punya pilihan. Ada ibunya yang terbaring di rumah sakit, menanti biaya operasi. Ada Renata, adiknya, yang masih sekolah dan membutuhkan biaya besar. Semua beban itu menahannya tetap berjalan, meski lututnya gemetar.

Dengan napas berat, Aruna mengangkat tangan dan mengetuk pintu kayu berlapis ukiran emas itu.

“Masuk.” Suara Leonardi terdengar dari dalam, dalam dan datar, tapi cukup membuat tubuhnya kaku.

Aruna mendorong pintu perlahan. Aroma kayu cendana bercampur pahitnya kopi hitam langsung menyergap indra penciumannya. Ruangan itu luas, dinding kacanya menjulang tinggi dengan angkuh, menampakkan panorama kota yang berdenyut dengan lampu-lampu neon. Namun atmosfer di dalamnya lebih mirip ruang pengadilan: kaku, dingin, penuh penilaian.

Leonardi duduk di balik meja besar dari kayu mahoni. Posturnya tegak, setelan jas mewahnya tanpa cela, rambut hitamnya rapi, dan tatapannya—tatapan yang tak pernah bisa benar-benar dibaca—terarah lurus kepadanya.

Aruna menelan ludah, lalu melangkah maju mendekat ke arah meja sang bos. “Ini laporan mingguan, Tuan,” ucapnya, suaranya terdengar lebih pelan daripada yang ia maksudkan.

Leonardi tidak langsung menyambut map itu. Ia berdiri, melangkah mengitari meja, mendekat dengan langkah yang mantap. Jemarinya menyeret sepanjang tepi meja. Postur tubuh Leonardi Tinggi menjulang, membuat Aruna merasa terhimpit semakin dalam.

“Apa kau tahu, Aruna…” suaranya terdengar pelan, nyaris berbisik, namun justru membuat bulu kuduk berdiri. “…dalam dunia ini, satu kesalahan bisa lebih mahal dari sebuah nyawa?” Nada bicaranya tajam menusuk.

Aruna menunduk. “Saya… mengerti, Tuan.”

Tapi suaranya bergetar, hampir tak terdengar. Tiap hari, dia harus menghadapi perasaan takut ini.

Leonardi berhenti hanya beberapa langkah di depannya. Hawa tubuhnya terasa menekan udara di sekitarnya. Jemarinya terulur, menyentuh map yang digenggam Aruna, namun tidak segera mengambilnya. Ia justru menekannya ke dada Aruna, seakan menguji berapa lama perempuan itu bisa menahan beban tak kasatmata darinya.

“Jangan pernah coba mengenalku lebih dari yang seharusnya,” ucapnya dingin. “Kau ada di sini hanya karena aku mengizinkanmu. Ingat itu.”

Kata-katanya menancap dalam hati Aruna seperti belati. Aruna ingin membalas, ingin berteriak bahwa ia bukan sekadar pion. Namun yang keluar hanyalah napas pendek dan tangan yang semakin berkeringat.

Ruangan itu seolah menyempit. Sofa kulit hitam, rak buku yang tersusun sempurna, kaca tinggi yang memperlihatkan hiruk pikuk kota—semuanya jadi saksi bisu atas rasa gentar yang ia alami.

Namun di balik ketakutan itu, ada sesuatu yang tak bisa ia jelaskan. Saat tatapan Leonardi mengunci matanya, ada getaran aneh yang menyeruak. Seakan di balik dingin itu, tersembunyi sesuatu yang lain, sesuatu yang justru menariknya semakin dalam.

Ia memalingkan wajah, mencoba mengusir pikiran itu. Ini gila. Aku hanya asisten. Aku tidak boleh terbawa arus.

Tapi semakin ia berusaha menjauh, semakin kuat tarikan itu terasa. Seperti gravitasi yang menolak semua perlawanan.

Dan di saat itulah, sebuah kalimat tak terduga menyeruak di benaknya—pengakuan yang menyesakkan sekaligus memalukan:

Kenapa dia… tidak bisa benci pada tatapannya?

Pertanyaan itu terus bergema di dalam pikirannya. Satu sisi ingin lari sejauh mungkin, tapi sisi lain... entah kenapa, menunggu. Menunggu napas hangat itu lagi. Sentuhan dingin di dagu. Ancaman yang terdengar lebih erotis daripada mematikan. 

Aruna menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Tangisnya pecah diam-diam, tertahan di balik suara napas cepat.

Di dalam ruangan, Leonardi duduk diam. Matanya menatap kosong ke luar jendela. Jarinya mengetuk meja perlahan, berirama lambat.

Aruna di luar sana masih terisak pelan, tak menyadari bahwa dirinya baru saja menjadi bagian dari sesuatu yang jauh lebih berbahaya daripada sekadar pekerjaan.

Sunyi kembali menguasai ruangan. Hanya ada denting hujan yang menetes di kaca jendela tinggi.

Aruna di luar sana masih terisak pelan, tak menyadari bahwa dirinya baru saja menjadi bagian dari sesuatu yang jauh lebih berbahaya daripada sekadar pekerjaan.

Dan untuk pertama kalinya, ia akan segera mengerti—

bahwa Leonardi bukan hanya sekadar bos yang menakutkan.

Ia adalah misteri yang bisa menghancurkan atau menelan siapa pun yang terlalu dekat dengannya.

Sebuah senyum tipis muncul di ujung bibirnya.

Seolah segalanya berjalan sesuai permainan yang hanya dia yang tahu aturannya.  Siapa sebenarnya Leonardi? Apa yang dia incar dari sosok Aruna yang rapuh?

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Terbelenggu di Kamar Hasrat Sang Bos   Tangan yang Menggenggam

    Aruna berdiri di depan pintu kayu gelap yang sudah sangat dikenalnya. Gagang pintu itu dingin di telapak tangannya, seolah berbisik ribuan kenangan yang tak semuanya ingin ia ingat.Leonardi berdiri di sampingnya, napasnya berat, matanya tertuju pada pintu itu dengan sorot campuran rasa takut, penyesalan, dan harapan. Sejak pertama kali Aruna dipaksa masuk ke ruangan itu, semuanya berubah — tubuhnya, jiwanya, juga cinta yang tumbuh di antara mereka.Hari ini, setelah perjalanan panjang dan luka yang tak terhitung, mereka berdiri di sini untuk menutup satu bab, selamanya.Aruna menarik napas panjang, telapak tangannya masih menempel di gagang pintu. Jemarinya gemetar. Banyak adegan berkelebat di kepalanya: jeritan sunyi di malam-malam gelap, air mata yang tumpah tanpa suara, tubuh yang tak lagi terasa miliknya.Leonardi mengangkat tangannya, menutupi tangan Aruna di atas gagang itu. Hangat. Teguh. Berbeda dari dulu — tidak lagi menuntut, tidak lagi memaksa. Hanya sebuah genggaman yang

  • Terbelenggu di Kamar Hasrat Sang Bos   Penyembuhan yang Dimulai

    Aruna duduk di bangku kayu panjang di ruang tunggu sebuah klinik psikoterapi di pusat kota. Tangannya bergetar, tapi kali ini bukan karena ketakutan — melainkan karena harapan yang pelan-pelan tumbuh, seperti tunas kecil di musim hujan pertama.Leonardi masih di dalam ruangan terapi. Pintu putih dengan kaca buram itu seolah menjadi batas antara dirinya yang dulu dan lelaki yang sedang berusaha lahir kembali.Aruna menatap ujung sepatunya, mencoba menenangkan napas. Sudah beberapa minggu sejak mereka sepakat untuk “memilih” satu sama lain. Bukan lagi sebagai mainan, bukan lagi sebagai pemilik dan yang dimiliki — tapi sebagai dua manusia yang sama-sama patah dan sama-sama ingin sembuh.Saat pintu itu akhirnya terbuka, Leonardi keluar dengan wajah lelah, mata sedikit sembab. Aruna berdiri refleks, hendak menjemputnya. Leonardi menghentikan langkah, menatap Aruna dengan sorot mata yang jauh lebih tenang dari biasanya, meski masih menyisakan banyak ketakutan."Aku… nggak tahu harus bilang

  • Terbelenggu di Kamar Hasrat Sang Bos   Pilihan Akhir

    Matahari baru saja naik di ujung langit, menembus kaca jendela kamar yang sudah lama menjadi saksi kelam mereka. Udara pagi menelusup perlahan, membawa aroma lembut yang seolah menenangkan luka-luka lama.Aruna duduk di pinggir ranjang, menatap punggung Leonardi yang berdiri di dekat jendela. Pria itu tampak berbeda pagi ini. Pundaknya yang dulu selalu tegak dan kaku, kini sedikit merosot, seakan akhirnya mengakui betapa berat beban yang ia pikul selama ini.Leonardi tidak menoleh, hanya membiarkan cahaya pagi menimpa wajahnya yang pucat. Suara napasnya terdengar berat, namun tenang."Aku… sudah memikirkan ini semalam," katanya perlahan, suaranya terdengar rapuh sekaligus mantap. "Jika kau ingin pergi… pintu ini akan selalu terbuka. Aku tidak akan memaksamu lagi… tidak akan menarikmu kembali…."Aruna menatapnya lama. Kata-kata itu terdengar seperti pisau yang menoreh dadanya, tapi juga seperti angin segar yang lama ia rindukan.Leonardi masih diam, tangannya mengepal di sisi tubuhnya.

  • Terbelenggu di Kamar Hasrat Sang Bos   Dinding Runtuh

    Aruna berdiri di depan pintu rumah Leonardi dengan napas yang terasa berat. Tangannya gemetar ketika menekan bel. Suara hujan yang masih turun sejak kemarin malam membuat seisi kota tampak seperti lukisan kelabu yang remuk.Dia menatap gagang pintu lama sekali. Satu detik terasa seperti seribu denyut di dadanya.Pintu itu akhirnya terbuka. Leonardi berdiri di ambang, wajahnya pucat, matanya kosong. Rambutnya berantakan, kemejanya basah keringat meski udara dingin.Ketika tatapan mereka bertemu, Aruna bisa merasakan seluruh dunianya ambruk."Aruna…" suara Leonardi serak, seperti seseorang yang hampir kehilangan suara setelah terlalu lama berteriak dalam diam.Aruna melangkah masuk tanpa berkata apa pun. Begitu melewati ambang pintu, aroma kamar yang dulu begitu menakutkan kini justru terasa menyesakkan dada, seolah setiap sudut menyimpan bisikan luka mereka berdua.Leonardi mundur beberapa langkah, menunduk. Tangannya gemetar, seolah hendak meraih Aruna tapi takut disentuh."Aku…" Leon

  • Terbelenggu di Kamar Hasrat Sang Bos   Dosa Masa Lalu

    Hujan masih mengguyur kota seperti tak mau berhenti, seolah menertawakan luka-luka manusia yang tak pernah selesai.Leonardi duduk di kursi ruangannya yang remang, menatap kosong ke luar jendela. Rambutnya acak-acakan, dasi sudah terlepas, kemeja setengah terbuka memperlihatkan dada yang naik turun tak beraturan.Seluruh kantor sudah sunyi. Semua orang takut mendekat sejak rumor tentang "kamar rahasia" mulai beredar.Di meja Leonardi, berserakan foto-foto yang dikirim Clara. Foto dirinya bersama Aruna di kamar itu. Ada juga beberapa rekaman pendek yang diambil secara diam-diam.Clara masuk perlahan, diikuti Adrian. Clara mengenakan mantel panjang berwarna gelap, wajahnya dingin, matanya menyala penuh kemenangan. Adrian, di belakangnya, tampak gelisah, sesekali menunduk seolah menyesali keputusannya."Leonardi." Clara membuka suara, nada suaranya tajam. "Akhirnya kita bertemu lagi… di saat kau paling rapuh."Leonardi tidak menoleh. Tatapannya tetap pada gelapnya jendela, seolah di luar

  • Terbelenggu di Kamar Hasrat Sang Bos   Rencana Terungkap

    Hujan turun sejak subuh, menetes deras di jendela kamar Aruna. Aroma tanah basah bercampur dengan dingin yang menusuk tulang. Aruna berdiri di depan kaca, menatap pantulan wajahnya sendiri — wajah yang tampak asing, penuh bayangan luka yang tak pernah sembuh.Tangannya masih memegang buku jurnal hitam yang dikirim Leonardi. Bekas air mata semalam masih meninggalkan noda samar di halaman-halaman terakhir.Ia menutup buku perlahan, menarik napas panjang, seolah bersiap menghadapi sesuatu yang lebih besar dari rasa sakit di dadanya.Renata muncul dari belakang, membawa segelas air hangat. "Kak… minum dulu, sebelum sakit," katanya pelan.Aruna hanya mengangguk, tapi tak segera mengambil gelas itu. Pandangannya kosong, pikirannya melayang jauh."Ren…" Aruna memanggil dengan suara parau. "Aku harus pergi."Renata mengernyit, menatap kakaknya lekat. "Pergi ke mana? Kakak masih butuh istirahat. Kakak masih butuh—""Leonardi," potong Aruna lirih.Renata terdiam. Segala kepingan rasa takut dan

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status