LOGINSatu kesalahan lagi… dan kau akan benar-benar mengerti arti kehilangan.
Kalimat itu bergema di kepala Aruna bahkan sebelum pintu ruangan Leonardi terbuka. Ancaman yang pernah terlontar dari bibir pria itu, dingin tanpa nada, kini seperti belenggu yang menjerat setiap langkahnya.
Aruna hanyalah seorang asisten pribadi biasa. Tugasnya sederhana—atau begitulah ia percaya pada awalnya. Menyiapkan kopi, merapikan laporan, dan menjaga jadwal bosnya agar tetap teratur. Namun sejak ia bekerja di lantai paling atas gedung ini, setiap detik terasa seperti ujian yang menelanjangi keberaniannya.
Koridor menuju ruangan Leonardi terasa panjang dan berat. Lantai marmer hitam memantulkan bayangannya yang rapuh. Lampu kristal bergemerincing di atas, memantulkan cahaya dingin yang tak memberi rasa hangat sedikit pun. Seolah setiap sudut gedung ini memang dirancang untuk membuat siapa pun merasa kecil dan tak berharga.
Di tangannya, sebuah map laporan mingguan tergenggam erat. Telapak tangannya sudah basah oleh keringat. Jantungnya berdetak kencang, begitu keras hingga ia takut orang lain bisa mendengarnya.
Lift di belakangnya telah menutup, meninggalkan lorong sunyi. Hanya ada denting jarum jam yang beradu, pelan tapi menyesakkan. Suara kecil di benaknya berbisik: masih ada kesempatan untuk berbalik. Masih ada jalan untuk lari.
Tapi ia tidak punya pilihan. Ada ibunya yang terbaring di rumah sakit, menanti biaya operasi. Ada Renata, adiknya, yang masih sekolah dan membutuhkan biaya besar. Semua beban itu menahannya tetap berjalan, meski lututnya gemetar.
Dengan napas berat, Aruna mengangkat tangan dan mengetuk pintu kayu berlapis ukiran emas itu.
“Masuk.” Suara Leonardi terdengar dari dalam, dalam dan datar, tapi cukup membuat tubuhnya kaku.
Aruna mendorong pintu perlahan. Aroma kayu cendana bercampur pahitnya kopi hitam langsung menyergap indra penciumannya. Ruangan itu luas, dinding kacanya menjulang tinggi dengan angkuh, menampakkan panorama kota yang berdenyut dengan lampu-lampu neon. Namun atmosfer di dalamnya lebih mirip ruang pengadilan: kaku, dingin, penuh penilaian.
Leonardi duduk di balik meja besar dari kayu mahoni. Posturnya tegak, setelan jas mewahnya tanpa cela, rambut hitamnya rapi, dan tatapannya—tatapan yang tak pernah bisa benar-benar dibaca—terarah lurus kepadanya.
Aruna menelan ludah, lalu melangkah maju mendekat ke arah meja sang bos. “Ini laporan mingguan, Tuan,” ucapnya, suaranya terdengar lebih pelan daripada yang ia maksudkan.
Leonardi tidak langsung menyambut map itu. Ia berdiri, melangkah mengitari meja, mendekat dengan langkah yang mantap. Jemarinya menyeret sepanjang tepi meja. Postur tubuh Leonardi Tinggi menjulang, membuat Aruna merasa terhimpit semakin dalam.
“Apa kau tahu, Aruna…” suaranya terdengar pelan, nyaris berbisik, namun justru membuat bulu kuduk berdiri. “…dalam dunia ini, satu kesalahan bisa lebih mahal dari sebuah nyawa?” Nada bicaranya tajam menusuk.
Aruna menunduk. “Saya… mengerti, Tuan.”
Tapi suaranya bergetar, hampir tak terdengar. Tiap hari, dia harus menghadapi perasaan takut ini.
Leonardi berhenti hanya beberapa langkah di depannya. Hawa tubuhnya terasa menekan udara di sekitarnya. Jemarinya terulur, menyentuh map yang digenggam Aruna, namun tidak segera mengambilnya. Ia justru menekannya ke dada Aruna, seakan menguji berapa lama perempuan itu bisa menahan beban tak kasatmata darinya.
“Jangan pernah coba mengenalku lebih dari yang seharusnya,” ucapnya dingin. “Kau ada di sini hanya karena aku mengizinkanmu. Ingat itu.”
Kata-katanya menancap dalam hati Aruna seperti belati. Aruna ingin membalas, ingin berteriak bahwa ia bukan sekadar pion. Namun yang keluar hanyalah napas pendek dan tangan yang semakin berkeringat.
Ruangan itu seolah menyempit. Sofa kulit hitam, rak buku yang tersusun sempurna, kaca tinggi yang memperlihatkan hiruk pikuk kota—semuanya jadi saksi bisu atas rasa gentar yang ia alami.
Namun di balik ketakutan itu, ada sesuatu yang tak bisa ia jelaskan. Saat tatapan Leonardi mengunci matanya, ada getaran aneh yang menyeruak. Seakan di balik dingin itu, tersembunyi sesuatu yang lain, sesuatu yang justru menariknya semakin dalam.
Ia memalingkan wajah, mencoba mengusir pikiran itu. Ini gila. Aku hanya asisten. Aku tidak boleh terbawa arus.
Tapi semakin ia berusaha menjauh, semakin kuat tarikan itu terasa. Seperti gravitasi yang menolak semua perlawanan.
Dan di saat itulah, sebuah kalimat tak terduga menyeruak di benaknya—pengakuan yang menyesakkan sekaligus memalukan:
Kenapa dia… tidak bisa benci pada tatapannya?
Pertanyaan itu terus bergema di dalam pikirannya. Satu sisi ingin lari sejauh mungkin, tapi sisi lain... entah kenapa, menunggu. Menunggu napas hangat itu lagi. Sentuhan dingin di dagu. Ancaman yang terdengar lebih erotis daripada mematikan.
Aruna menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Tangisnya pecah diam-diam, tertahan di balik suara napas cepat.
Di dalam ruangan, Leonardi duduk diam. Matanya menatap kosong ke luar jendela. Jarinya mengetuk meja perlahan, berirama lambat.
Aruna di luar sana masih terisak pelan, tak menyadari bahwa dirinya baru saja menjadi bagian dari sesuatu yang jauh lebih berbahaya daripada sekadar pekerjaan.
Sunyi kembali menguasai ruangan. Hanya ada denting hujan yang menetes di kaca jendela tinggi.
Dan untuk pertama kalinya, ia akan segera mengerti—
Sebuah senyum tipis muncul di ujung bibirnya.
Seolah segalanya berjalan sesuai permainan yang hanya dia yang tahu aturannya. Siapa sebenarnya Leonardi? Apa yang dia incar dari sosok Aruna yang rapuh?
“Bu… maafin Aruna, ya.”Suara itu pecah, lirih, namun menembus dinding sepi kamar rawat. Aruna menangis di pelukan ibunya, bahunya berguncang. “Aruna nggak bisa jagain Renata. Aruna bukan kakak yang baik.”Ibu Aruna memeluknya makin erat, matanya ikut basah. “Sudah, Nak. Jangan siksa dirimu terus. Tak ada seorang pun yang bisa menolak takdir.”Tangannya yang renta mengusap rambut Aruna, lembut seperti dulu waktu putrinya masih kecil. Tapi kali ini, usapan itu bukan lagi pengantar tidur—melainkan pelipur duka.Leonardi berdiri di sisi tempat tidur. Matanya sembab, wajahnya letih. Ia tak ikut bicara. Hanya menatap dua perempuan itu, sadar bahwa duka ini bukan duka biasa—melainkan kehilangan yang mengguncang sampai ke akar jiwa.Pagi itu, ibu Aruna datang menjenguk dengan hati yang setengah hancur. Sejak kabar kematian Renata, ia dan Aruna sama-sama kehilangan arah.“Leonardi,” katanya pelan, “pulanglah dulu. Istirahatlah. Kau sudah beberapa hari di sini.”Leonardi menggeleng. “Saya ngga
Aruna membuka mata dengan perlahan. Cahaya putih dari lampu ruang rawat menembus kelopak matanya yang berat, membuat pandangannya berputar sejenak.Udara rumah sakit dingin, namun keningnya dipenuhi peluh. Ia mencoba mengangkat tangan, tapi pergelangan itu terasa berat oleh selang infus yang menempel.Lalu, ia melihat seseorang di kursi sebelah.Leonardi.Lelaki itu duduk bersandar dengan kepala menunduk, mata cekung karena semalaman tidak tidur. Di pangkuannya, masih ada sisa tisu dan botol air mineral yang belum disentuh.Aruna memandangi wajah itu lama. Napasnya bergetar.“Renata …” suaranya nyaris tidak terdengar, hanya sebuah bisikan yang tersangkut di tenggorokan.Namun begitu bibirnya menyebut nama itu, kesadarannya pecah seketika.“RENATA!” jeritnya melengking, membuat Leonardi terlonjak kaget. Aruna berusaha bangkit, tapi tubuhnya belum kuat. Tangannya menepis selimut dan mencari seseorang yang tak lagi ada di ruangan itu. “Mana dia, Leo?! Di mana Renata?! Aku harus—”“Aruna,
“Turunkan senjatamu sekarang, Richardo!” suara Kirk menggema di atas dek kapal yang kini sunyi, hanya tersisa suara deburan ombak dan desau angin asin yang membawa aroma mesiu.Richardo berdiri dengan tangan bergetar, darah dari lukanya menetes ke lantai kayu. Daniel di belakangnya tampak pasrah, wajahnya kehilangan seluruh warna. Pistol yang sebelumnya ia genggam kini tergelincir ke lantai, membentur dengan suara logam yang nyaring.“Aku, aku tidak pernah bermaksud sejauh ini,” ucap Daniel gemetar, suaranya hampir patah.“Diam!” bentak Richardo, matanya merah dan penuh amarah yang tak tersisa arah. “Kau pikir aku akan menyerah begitu saja?”Namun sebelum ia sempat bertindak, dua agen FBI langsung menubruknya dari sisi kanan. Tubuh Richardo dihantam keras ke lantai, senjatanya terlepas, dan dalam hitungan detik borgol logam mengikat pergelangan tangannya.“Richardo, kau ditangkap atas tuduhan pembunuhan, perdagangan manusia, dan sabotase internasional,” ujar salah satu agen dengan nad
“Jangan bergerak!”Suara keras itu membelah udara, diikuti dentuman tembakan yang memekakkan telinga. Aruna tersentak, menutup telinganya. Seketika, jeritan Richardo terdengar — pelurunya meleset, dan pistol di tangannya terlempar jauh, terhempas ke laut.Leonardi berbalik. Di sisi dek sekoci, sosok berpakaian hitam dengan emblem FBI di dadanya berdiri dengan pistol teracung. Kirk — anggota Hostage Rescue Team yang selama ini memimpin operasi penyelamatan — menatap tajam ke arah mereka.“Target sudah teridentifikasi!” seru Kirk melalui radio di pundaknya. “Ulangi, target terkendali. Julia Beaumont dan kaki tangannya sudah dikepung.”Malam ini, suasana laut utara Jakarta lebih sibuk. Suara sirene dan desau helikopter mengguncang udara di atas mereka. Cahaya lampu sorot menembus kabut asap dan air laut, membuat permukaan dek sekoci terlihat seperti medan perang kecil — penuh darah, bayangan, dan kepanikan yang masih bergema.Richardo berlutut, memegangi lengannya yang berdarah. Ia menat
“Berhenti di situ, Aruna!”Suara Julia memotong udara seperti cambuk besi. Di ujung jarak beberapa meter, kilatan logam pistolnya berkilau oleh cahaya darurat merah yang menyorot dari langit-langit kapal yang mulai miring. Air laut sudah merembes masuk lewat dinding yang retak, menciptakan genangan yang berkilat dingin di bawah kaki mereka.Aruna membeku. Jantungnya berdetak begitu keras hingga terasa seperti hendak pecah. Nafasnya tertahan di tenggorokan, dan matanya terpaku pada moncong senjata yang berkilat—kilau maut yang memantulkan wajahnya sendiri.“Julia… kau tidak perlu melakukan ini,” ucap Aruna perlahan, suaranya parau dan gemetar. “Kita semua bisa pergi dari sini hidup-hidup.”Julia tersenyum miring, bibirnya bergetar di antara tawa dan tangis. “Kau pikir aku masih punya hidup setelah semua ini, Aruna?” desisnya getir. “Tidak. Kau sudah mengambil semuanya—Leonardi, proyekku, kebebasanku. Sekarang, aku hanya punya satu hal tersisa.”Renata yang berdiri di sisi Aruna maju se
“Leonardi!”Suara Aruna tenggelam oleh deru ledakan kedua yang menghantam sisi kanan kapal. Gelombang panas menyambar udara, lalu segalanya berubah menjadi kekacauan. The Trident bergetar seperti makhluk yang sedang sekarat—besi berderit, kaca pecah, dan suara manusia bercampur dengan teriakan panik.Air laut menerobos masuk dari dinding yang retak, mengubah koridor megah itu menjadi labirin maut. Lampu-lampu berkelap-kelip sebelum padam sepenuhnya, meninggalkan hanya cahaya merah darurat yang berdenyut seperti nadi ketakutan.“Leonardi!” Aruna berteriak lagi, berlari menembus asap dan air yang mulai memenuhi kapal hingga setinggi lutut. Tapi tak ada jawaban—hanya suara logam patah dan jeritan dari arah dek bawah.“Kakak!” Renata muncul dari balik pilar yang hampir runtuh, wajahnya penuh jelaga, rambutnya basah kuyup. Ia menarik tangan Aruna dengan paksa. “Kakak harus keluar sekarang! Kapal ini akan tenggelam!”“Tapi Leonardi—dia masih di sana!” Aruna menolak, matanya liar mencari soso







