Home / Romansa / Terbelenggu di Kamar Hasrat Sang Bos / BAB 2 - Suara Sepatu di Koridor

Share

BAB 2 - Suara Sepatu di Koridor

Author: Ellailaist
last update Last Updated: 2025-07-11 09:59:04

Tap. Tap. Tap.

Suara sepatu kulit itu bergema di kepalanya bahkan sebelum benar-benar terdengar di koridor. Aruna tersentak. Jemarinya yang sejak tadi memegang cangkir kopi dingin merasakan getaran halus, seolah suara langkah itu merambat ke tulangnya.

Jam dinding menunjukkan pukul 07.45. Baru pagi, tapi tubuhnya masih menyimpan getar sisa pertemuan kemarin. Tatapan Leonardi, dingin seperti bilah baja, menusuk ke dasar jiwanya dan terus menghantui sepanjang malam.

Ia ingat betul bagaimana suara berat itu berbisik di telinganya: “Jangan pernah coba mengenalku.” Kalimat yang membuatnya terbangun berulang kali di tengah malam, keringat dingin membasahi bantal tipis di kontrakan sempitnya.

Hari pertama sudah meninggalkan luka halus yang tak kasat mata. Hari kedua dimulai dengan rasa was-was yang menempel di kulit seperti kabut lembab, sulit diusir meski matahari sudah meninggi.

Di lantai dua puluh lima, suasana selalu sama: senyap, steril, seakan waktu tak berani lewat. Lampu putih menyala konstan, tak ada nuansa hangat, hanya cahaya dingin yang membuat kulit orang-orang terlihat lebih pucat. Beberapa karyawan sudah duduk di meja masing-masing. Wajah mereka bagai topeng porselen—rapi, rapat, dan sama sekali tak menampilkan emosi.

Aruna melangkah perlahan menuju mejanya. Meja kecil itu terletak dekat pintu kaca buram bertuliskan nama Leonardi Wiratama. Tak ada foto pribadi, tak ada hiasan kecil. Hanya laptop kantor yang sudah siap digunakan, sebuah ponsel khusus dengan logo perusahaan, dan buku agenda hitam dengan emboss perak.

Ia menyalakan laptop, layar menyala, menampilkan jadwal Leonardi yang tersusun rapi seperti barisan tentara:

08.00 — Tinjauan Proposal

09.00 — Rapat Internal

11.00 — Call Internasional (Zurich)

13.00 — Makan siang (sendiri)

14.00 — Review Proyek Baru

16.00 — Penandatanganan MoU

Aruna menelan ludah. Semua tercatat presisi, bahkan jeda minum kopi pun ada—pukul 10.15. Ia tak bisa menahan diri untuk bergumam dalam hati: Orang ini bahkan mengatur kapan dia harus meneguk kopi. Apa yang tersisa dari sisi manusianya?

Tangannya mulai mengetik email konfirmasi untuk tiap divisi. Ia berusaha bergerak cepat, tapi jemarinya kerap terpeleset. Keringat dingin menetes, mengaburkan penglihatannya.

“Tenang, Aruna. Fokus. Demi Renata, demi Ibu,” ia berbisik pada dirinya sendiri.

Sesekali ia melirik ke pintu kaca. Bayangan Leonardi tampak samar di dalam ruangan. Tubuh tinggi itu berjalan pelan, mondar-mandir. Suara yang terdengar hanya kertas dibalik atau denting gelas ketika diletakkan terlalu keras di meja.

Setiap kali bayangan itu mendekat, Aruna menahan napas, jantungnya melompat ke tenggorokan.

Instruksi HRD kemarin terngiang: Jangan tatap terlalu lama. Jangan tanya hal pribadi. Jangan berdiri terlalu dekat. Jangan bicara kecuali ditanya.

Seakan bagi Leonardi, manusia lain hanyalah alat.

Aruna mengecek kembali dokumen-dokumen yang harus disetujui hari ini. Jam tangannya menunjukkan 08.30. Masih ada setengah jam sebelum panggilan internasional dengan Zurich.

Dan tiba-tiba—

Tap. Tap. Tap.

Kali ini bukan bayangan. Suara itu nyata. Suara tumit sepatu Leonardi menghantam lantai kayu. Sebuah alarm tanpa sirene, dikenali oleh semua orang di lantai ini.

Aruna langsung menegakkan punggung. Tubuhnya kaku, seolah punggungnya disetrika.

Tap. Tap. Tap.

Langkah itu makin dekat, ritmis, terukur, pelan tapi pasti.

Ia menatap layar laptop, pura-pura sibuk, tapi matanya bergetar.

Tap. Tap. Tap.

Sampai akhirnya berhenti. Tepat di belakangnya.

Aruna tak berani menoleh. Namun tubuhnya tahu: Leonardi berdiri di sana. Kehadirannya begitu pekat, memenuhi udara, membuat paru-paru Aruna sulit bekerja.

Aroma maskulin itu menyusup—campuran kayu cendana, kopi hitam, dan sesuatu yang pahit, misterius, seperti rahasia gelap yang tak boleh dibuka.

Tangannya berhenti di atas keyboard. Napasnya tertahan.

“Status laporan Zurich.”

Suara Leonardi rendah, dalam, tapi penuh tekanan. Hanya tiga kata, cukup untuk menghantam jantung Aruna.

Dengan tergesa, ia menggeser mouse, membuka folder dokumen. Suaranya hampir patah ketika menjawab, “S-sudah dikirim, Pak. Saya baru saja menerima konfirmasi bahwa mereka akan mengirimkan revisi besok pagi.”

Keheningan.

Satu… dua… tiga detik.

Aruna tidak berani menoleh. Jantungnya berdetak di telinga, keras, bergetar seperti drum perang.

Tiba-tiba, Leonardi mencondongkan tubuh. Wajahnya mendekat ke samping telinga Aruna.

“Bagus.”

Hanya satu kata. Tapi hembusan napas hangatnya menelusup ke kulit leher Aruna, membuat bulu kuduknya berdiri.

Tubuhnya menegang. Dari tengkuk hingga tulang ekor, merinding hebat. Ia menggenggam tepi meja erat-erat, jemarinya memutih, berusaha menahan diri agar tidak bergetar.

Beberapa detik kemudian, langkah itu kembali terdengar menjauh.
Tap. Tap. Tap.

Pintu kaca berderit pelan, lalu menutup. Sunyi.

Baru setelah itu Aruna menyadari napasnya pendek-pendek, seolah baru saja berlari maraton. Dadanya naik-turun cepat, tenggorokan kering. Ia buru-buru meraih botol air, meneguk cepat, tapi tangan gemetarnya membuat beberapa tetes tumpah membasahi kemeja putihnya.

“Kenapa aku begini?” ia berbisik, menutup wajah dengan kedua telapak tangan.

Beberapa karyawan melirik. Tapi sama seperti biasa, mereka segera menunduk lagi. Di tempat ini, rasa ingin tahu adalah dosa besar.

Aruna menghela napas panjang. Perlahan, ia menurunkan tangannya, memandang ke arah pintu kaca.

Leonardi duduk di meja kerjanya, tubuhnya diam, pandangannya lurus ke layar. Tapi aura yang menguar darinya membuat ruangan seakan tertusuk jarum es.

Dan entah kenapa, Aruna tak bisa berhenti mencuri pandang. Ada sesuatu pada pria itu—dingin, jauh, berbahaya—namun magnetis. Misterius.

Ia menunduk ke tangannya sendiri. Masih ada bekas putih di kulit jemari akibat mencengkram meja terlalu keras tadi.

Aruna mencoba kembali fokus bekerja. Tapi setiap ketikan di keyboard, suara sepatu itu bergema lagi di kepalanya. Setiap baris email yang ia tulis, aroma kayu cendana seakan menyusup kembali.

Hari itu, Aruna belajar satu hal:

Di kantor ini, suara sepatu bisa lebih menakutkan daripada teriakan.

Dan tanpa ia sadari, setiap langkah Leonardi bukan hanya mengguncang lantai.

tapi perlahan, sedang merayap masuk ke dalam dirinya.

Aruna yakin sekali ada sesuatu di balik tatapan dingin itu. Sesuatu yang jauh lebih berbahaya daripada sekadar sifat keras seorang atasan. Tapi apa? Apakah Leonardi hanya seorang pemimpin perusahaan… atau seseorang yang menyembunyikan rahasia kelam yang bisa menghancurkan siapa saja yang terlalu dekat dengannya?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Terbelenggu di Kamar Hasrat Sang Bos   Tangan yang Menggenggam

    Aruna berdiri di depan pintu kayu gelap yang sudah sangat dikenalnya. Gagang pintu itu dingin di telapak tangannya, seolah berbisik ribuan kenangan yang tak semuanya ingin ia ingat.Leonardi berdiri di sampingnya, napasnya berat, matanya tertuju pada pintu itu dengan sorot campuran rasa takut, penyesalan, dan harapan. Sejak pertama kali Aruna dipaksa masuk ke ruangan itu, semuanya berubah — tubuhnya, jiwanya, juga cinta yang tumbuh di antara mereka.Hari ini, setelah perjalanan panjang dan luka yang tak terhitung, mereka berdiri di sini untuk menutup satu bab, selamanya.Aruna menarik napas panjang, telapak tangannya masih menempel di gagang pintu. Jemarinya gemetar. Banyak adegan berkelebat di kepalanya: jeritan sunyi di malam-malam gelap, air mata yang tumpah tanpa suara, tubuh yang tak lagi terasa miliknya.Leonardi mengangkat tangannya, menutupi tangan Aruna di atas gagang itu. Hangat. Teguh. Berbeda dari dulu — tidak lagi menuntut, tidak lagi memaksa. Hanya sebuah genggaman yang

  • Terbelenggu di Kamar Hasrat Sang Bos   Penyembuhan yang Dimulai

    Aruna duduk di bangku kayu panjang di ruang tunggu sebuah klinik psikoterapi di pusat kota. Tangannya bergetar, tapi kali ini bukan karena ketakutan — melainkan karena harapan yang pelan-pelan tumbuh, seperti tunas kecil di musim hujan pertama.Leonardi masih di dalam ruangan terapi. Pintu putih dengan kaca buram itu seolah menjadi batas antara dirinya yang dulu dan lelaki yang sedang berusaha lahir kembali.Aruna menatap ujung sepatunya, mencoba menenangkan napas. Sudah beberapa minggu sejak mereka sepakat untuk “memilih” satu sama lain. Bukan lagi sebagai mainan, bukan lagi sebagai pemilik dan yang dimiliki — tapi sebagai dua manusia yang sama-sama patah dan sama-sama ingin sembuh.Saat pintu itu akhirnya terbuka, Leonardi keluar dengan wajah lelah, mata sedikit sembab. Aruna berdiri refleks, hendak menjemputnya. Leonardi menghentikan langkah, menatap Aruna dengan sorot mata yang jauh lebih tenang dari biasanya, meski masih menyisakan banyak ketakutan."Aku… nggak tahu harus bilang

  • Terbelenggu di Kamar Hasrat Sang Bos   Pilihan Akhir

    Matahari baru saja naik di ujung langit, menembus kaca jendela kamar yang sudah lama menjadi saksi kelam mereka. Udara pagi menelusup perlahan, membawa aroma lembut yang seolah menenangkan luka-luka lama.Aruna duduk di pinggir ranjang, menatap punggung Leonardi yang berdiri di dekat jendela. Pria itu tampak berbeda pagi ini. Pundaknya yang dulu selalu tegak dan kaku, kini sedikit merosot, seakan akhirnya mengakui betapa berat beban yang ia pikul selama ini.Leonardi tidak menoleh, hanya membiarkan cahaya pagi menimpa wajahnya yang pucat. Suara napasnya terdengar berat, namun tenang."Aku… sudah memikirkan ini semalam," katanya perlahan, suaranya terdengar rapuh sekaligus mantap. "Jika kau ingin pergi… pintu ini akan selalu terbuka. Aku tidak akan memaksamu lagi… tidak akan menarikmu kembali…."Aruna menatapnya lama. Kata-kata itu terdengar seperti pisau yang menoreh dadanya, tapi juga seperti angin segar yang lama ia rindukan.Leonardi masih diam, tangannya mengepal di sisi tubuhnya.

  • Terbelenggu di Kamar Hasrat Sang Bos   Dinding Runtuh

    Aruna berdiri di depan pintu rumah Leonardi dengan napas yang terasa berat. Tangannya gemetar ketika menekan bel. Suara hujan yang masih turun sejak kemarin malam membuat seisi kota tampak seperti lukisan kelabu yang remuk.Dia menatap gagang pintu lama sekali. Satu detik terasa seperti seribu denyut di dadanya.Pintu itu akhirnya terbuka. Leonardi berdiri di ambang, wajahnya pucat, matanya kosong. Rambutnya berantakan, kemejanya basah keringat meski udara dingin.Ketika tatapan mereka bertemu, Aruna bisa merasakan seluruh dunianya ambruk."Aruna…" suara Leonardi serak, seperti seseorang yang hampir kehilangan suara setelah terlalu lama berteriak dalam diam.Aruna melangkah masuk tanpa berkata apa pun. Begitu melewati ambang pintu, aroma kamar yang dulu begitu menakutkan kini justru terasa menyesakkan dada, seolah setiap sudut menyimpan bisikan luka mereka berdua.Leonardi mundur beberapa langkah, menunduk. Tangannya gemetar, seolah hendak meraih Aruna tapi takut disentuh."Aku…" Leon

  • Terbelenggu di Kamar Hasrat Sang Bos   Dosa Masa Lalu

    Hujan masih mengguyur kota seperti tak mau berhenti, seolah menertawakan luka-luka manusia yang tak pernah selesai.Leonardi duduk di kursi ruangannya yang remang, menatap kosong ke luar jendela. Rambutnya acak-acakan, dasi sudah terlepas, kemeja setengah terbuka memperlihatkan dada yang naik turun tak beraturan.Seluruh kantor sudah sunyi. Semua orang takut mendekat sejak rumor tentang "kamar rahasia" mulai beredar.Di meja Leonardi, berserakan foto-foto yang dikirim Clara. Foto dirinya bersama Aruna di kamar itu. Ada juga beberapa rekaman pendek yang diambil secara diam-diam.Clara masuk perlahan, diikuti Adrian. Clara mengenakan mantel panjang berwarna gelap, wajahnya dingin, matanya menyala penuh kemenangan. Adrian, di belakangnya, tampak gelisah, sesekali menunduk seolah menyesali keputusannya."Leonardi." Clara membuka suara, nada suaranya tajam. "Akhirnya kita bertemu lagi… di saat kau paling rapuh."Leonardi tidak menoleh. Tatapannya tetap pada gelapnya jendela, seolah di luar

  • Terbelenggu di Kamar Hasrat Sang Bos   Rencana Terungkap

    Hujan turun sejak subuh, menetes deras di jendela kamar Aruna. Aroma tanah basah bercampur dengan dingin yang menusuk tulang. Aruna berdiri di depan kaca, menatap pantulan wajahnya sendiri — wajah yang tampak asing, penuh bayangan luka yang tak pernah sembuh.Tangannya masih memegang buku jurnal hitam yang dikirim Leonardi. Bekas air mata semalam masih meninggalkan noda samar di halaman-halaman terakhir.Ia menutup buku perlahan, menarik napas panjang, seolah bersiap menghadapi sesuatu yang lebih besar dari rasa sakit di dadanya.Renata muncul dari belakang, membawa segelas air hangat. "Kak… minum dulu, sebelum sakit," katanya pelan.Aruna hanya mengangguk, tapi tak segera mengambil gelas itu. Pandangannya kosong, pikirannya melayang jauh."Ren…" Aruna memanggil dengan suara parau. "Aku harus pergi."Renata mengernyit, menatap kakaknya lekat. "Pergi ke mana? Kakak masih butuh istirahat. Kakak masih butuh—""Leonardi," potong Aruna lirih.Renata terdiam. Segala kepingan rasa takut dan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status