LOGINTap. Tap. Tap.
Suara sepatu kulit itu bergema di kepalanya bahkan sebelum benar-benar terdengar di koridor. Aruna tersentak. Jemarinya yang sejak tadi memegang cangkir kopi dingin merasakan getaran halus, seolah suara langkah itu merambat ke tulangnya.
Jam dinding menunjukkan pukul 07.45. Baru pagi, tapi tubuhnya masih menyimpan getar sisa pertemuan kemarin. Tatapan Leonardi, dingin seperti bilah baja, menusuk ke dasar jiwanya dan terus menghantui sepanjang malam.
Ia ingat betul bagaimana suara berat itu berbisik di telinganya: “Jangan pernah coba mengenalku.” Kalimat yang membuatnya terbangun berulang kali di tengah malam, keringat dingin membasahi bantal tipis di kontrakan sempitnya.
Hari pertama sudah meninggalkan luka halus yang tak kasat mata. Hari kedua dimulai dengan rasa was-was yang menempel di kulit seperti kabut lembab, sulit diusir meski matahari sudah meninggi.
Di lantai dua puluh lima, suasana selalu sama: senyap, steril, seakan waktu tak berani lewat. Lampu putih menyala konstan, tak ada nuansa hangat, hanya cahaya dingin yang membuat kulit orang-orang terlihat lebih pucat. Beberapa karyawan sudah duduk di meja masing-masing. Wajah mereka bagai topeng porselen—rapi, rapat, dan sama sekali tak menampilkan emosi.
Aruna melangkah perlahan menuju mejanya. Meja kecil itu terletak dekat pintu kaca buram bertuliskan nama Leonardi Wiratama. Tak ada foto pribadi, tak ada hiasan kecil. Hanya laptop kantor yang sudah siap digunakan, sebuah ponsel khusus dengan logo perusahaan, dan buku agenda hitam dengan emboss perak.
Ia menyalakan laptop, layar menyala, menampilkan jadwal Leonardi yang tersusun rapi seperti barisan tentara:
08.00 — Tinjauan Proposal
Aruna menelan ludah. Semua tercatat presisi, bahkan jeda minum kopi pun ada—pukul 10.15. Ia tak bisa menahan diri untuk bergumam dalam hati: Orang ini bahkan mengatur kapan dia harus meneguk kopi. Apa yang tersisa dari sisi manusianya?
Tangannya mulai mengetik email konfirmasi untuk tiap divisi. Ia berusaha bergerak cepat, tapi jemarinya kerap terpeleset. Keringat dingin menetes, mengaburkan penglihatannya.
“Tenang, Aruna. Fokus. Demi Renata, demi Ibu,” ia berbisik pada dirinya sendiri.
Sesekali ia melirik ke pintu kaca. Bayangan Leonardi tampak samar di dalam ruangan. Tubuh tinggi itu berjalan pelan, mondar-mandir. Suara yang terdengar hanya kertas dibalik atau denting gelas ketika diletakkan terlalu keras di meja.
Setiap kali bayangan itu mendekat, Aruna menahan napas, jantungnya melompat ke tenggorokan.
Instruksi HRD kemarin terngiang: Jangan tatap terlalu lama. Jangan tanya hal pribadi. Jangan berdiri terlalu dekat. Jangan bicara kecuali ditanya.
Seakan bagi Leonardi, manusia lain hanyalah alat.
Aruna mengecek kembali dokumen-dokumen yang harus disetujui hari ini. Jam tangannya menunjukkan 08.30. Masih ada setengah jam sebelum panggilan internasional dengan Zurich.
Dan tiba-tiba—
Tap. Tap. Tap.
Kali ini bukan bayangan. Suara itu nyata. Suara tumit sepatu Leonardi menghantam lantai kayu. Sebuah alarm tanpa sirene, dikenali oleh semua orang di lantai ini.
Aruna langsung menegakkan punggung. Tubuhnya kaku, seolah punggungnya disetrika.
Tap. Tap. Tap.
Ia menatap layar laptop, pura-pura sibuk, tapi matanya bergetar.
Tap. Tap. Tap.
Aruna tak berani menoleh. Namun tubuhnya tahu: Leonardi berdiri di sana. Kehadirannya begitu pekat, memenuhi udara, membuat paru-paru Aruna sulit bekerja.
Aroma maskulin itu menyusup—campuran kayu cendana, kopi hitam, dan sesuatu yang pahit, misterius, seperti rahasia gelap yang tak boleh dibuka.
Tangannya berhenti di atas keyboard. Napasnya tertahan.
“Status laporan Zurich.”
Suara Leonardi rendah, dalam, tapi penuh tekanan. Hanya tiga kata, cukup untuk menghantam jantung Aruna.
Dengan tergesa, ia menggeser mouse, membuka folder dokumen. Suaranya hampir patah ketika menjawab, “S-sudah dikirim, Pak. Saya baru saja menerima konfirmasi bahwa mereka akan mengirimkan revisi besok pagi.”
Keheningan.
Aruna tidak berani menoleh. Jantungnya berdetak di telinga, keras, bergetar seperti drum perang.
Tiba-tiba, Leonardi mencondongkan tubuh. Wajahnya mendekat ke samping telinga Aruna.
“Bagus.”
Hanya satu kata. Tapi hembusan napas hangatnya menelusup ke kulit leher Aruna, membuat bulu kuduknya berdiri.
Tubuhnya menegang. Dari tengkuk hingga tulang ekor, merinding hebat. Ia menggenggam tepi meja erat-erat, jemarinya memutih, berusaha menahan diri agar tidak bergetar.
Beberapa detik kemudian, langkah itu kembali terdengar menjauh.
Tap. Tap. Tap.
Pintu kaca berderit pelan, lalu menutup. Sunyi.
Baru setelah itu Aruna menyadari napasnya pendek-pendek, seolah baru saja berlari maraton. Dadanya naik-turun cepat, tenggorokan kering. Ia buru-buru meraih botol air, meneguk cepat, tapi tangan gemetarnya membuat beberapa tetes tumpah membasahi kemeja putihnya.
“Kenapa aku begini?” ia berbisik, menutup wajah dengan kedua telapak tangan.
Beberapa karyawan melirik. Tapi sama seperti biasa, mereka segera menunduk lagi. Di tempat ini, rasa ingin tahu adalah dosa besar.
Aruna menghela napas panjang. Perlahan, ia menurunkan tangannya, memandang ke arah pintu kaca.
Leonardi duduk di meja kerjanya, tubuhnya diam, pandangannya lurus ke layar. Tapi aura yang menguar darinya membuat ruangan seakan tertusuk jarum es.
Dan entah kenapa, Aruna tak bisa berhenti mencuri pandang. Ada sesuatu pada pria itu—dingin, jauh, berbahaya—namun magnetis. Misterius.
Ia menunduk ke tangannya sendiri. Masih ada bekas putih di kulit jemari akibat mencengkram meja terlalu keras tadi.
Aruna mencoba kembali fokus bekerja. Tapi setiap ketikan di keyboard, suara sepatu itu bergema lagi di kepalanya. Setiap baris email yang ia tulis, aroma kayu cendana seakan menyusup kembali.
Hari itu, Aruna belajar satu hal:
Dan tanpa ia sadari, setiap langkah Leonardi bukan hanya mengguncang lantai.
Aruna yakin sekali ada sesuatu di balik tatapan dingin itu. Sesuatu yang jauh lebih berbahaya daripada sekadar sifat keras seorang atasan. Tapi apa? Apakah Leonardi hanya seorang pemimpin perusahaan… atau seseorang yang menyembunyikan rahasia kelam yang bisa menghancurkan siapa saja yang terlalu dekat dengannya?
Setelah para kepala divisi keluar dari ruang rapat, Arabella merapikan kertas-kertas di mejanya dengan tangan yang sedikit bergetar. Ia berusaha mempertahankan kewibawaannya, namun pikiran tentang Daniel yang masih menghilang tidak berhenti mengusik. Sejak pagi ia menunggu telepon darinya, setidaknya satu pesan singkat, tetapi tidak ada apa-apa. Hening itu justru semakin membuat dadanya nyeri.Ia membuka laptop dan mencoba menyibukkan diri dengan pekerjaan lain, namun rasa gelisah itu terus merambat seperti duri yang menusuk pelan tetapi pasti. Nafasnya naik turun, tidak stabil. Ia akhirnya membuka kotak email internal, berharap menemukan sesuatu—apa pun—yang mungkin ditinggalkan Daniel.Namun saat layar menampilkan daftar email baru, dunia Arabella seperti berhenti berputar.Ada tujuh belas pesan masuk dari vendor, klien, dan sistem keuangan.Semuanya belum diproses.Semuanya seharusnya berada di tangan Daniel.Arabella memajukan tubuh, menatap layar lebih dekat.“Tidak mungkin Danie
Hari persidangan perceraian itu datang seperti hantu yang tak diundang. Arabella duduk di ruang tunggu pengadilan, jantungnya berdebar tak karuan. Ia mencoba mengatur napas, namun kecemasan terus menggerogoti ketenangannya.Ia melirik sekeliling, mencari sosok yang familiar. Namun, hari ini ia benar-benar sendirian. Jason tidak hadir, mengirimkan kuasa pada pengacaranya. Arabella merasa seperti terdampar di pulau asing, tanpa ada seorang pun yang bisa ia andalkan.Proses persidangan berlangsung singkat dan tanpa drama. Pengacara Jason menyerahkan surat pernyataan yang menyatakan bahwa tidak menuntut sepeser pun dari harta gono-gini.Hakim mengetuk palu, dan dalam sekejap mata, Arabella resmi menjadi seorang janda. Ia merasakan hantaman keras di dadanya, seolah ada seseorang yang meremas jantungnya dengan kuat. Air mata mengalir tanpa bisa ia cegah.Ia menangis bukan karena kehilangan Jason, karena ia tahu pernikahan mereka memang tidak didasari cinta. Ia menangis karena merasa bersala
Meskipun terkejut dengan gugatan cerai Jason, Arabella tidak bisa sepenuhnya menyalahkan pria itu. Dalam benaknya, ia mengakui bahwa pernikahan mereka memang tidak didasari cinta yang tulus. Ia menikahi Jason lebih karena strategi, untuk memuluskan jalannya dalam mencapai tujuan balas dendamnya. Ia telah memanfaatkan Jason, menjadikannya alat untuk mencapai ambisinya.Perasaan bersalah mulai menghantui Arabella. Ia menyadari bahwa selama ini ia terlalu fokus pada dirinya sendiri, pada dendamnya, hingga melupakan perasaan orang lain, termasuk Jason.Ia teringat kembali saat-saat awal pernikahan mereka. Jason selalu berusaha menjadi suami yang baik, mendukungnya dalam segala hal. Namun, Arabella selalu memasang tembok tinggi di antara mereka, tidak pernah benar-benar membuka hatinya untuk Jason."Aku memang pantas mendapatkan ini," gumam Arabella lirih, meratapi kebodohannya.Di tengah kekacauan perasaannya, Arabella menyadari bahwa ia harus melakukan sesuatu. Ia tidak bisa terus meneru
Mentari pagi menyelinap masuk melalui celah gorden, membangunkan Arabella dari tidurnya. Bukan tidur nyenyak tanpa beban, melainkan tidur singkat yang diisi mimpi-mimpi tentang angka, rapat, dan tatapan meremehkan. Hari ini adalah hari pertamanya sebagai presiden direktur Grup Wijaya.Ia bangkit dari tempat tidur, merasakan sisa kantuk yang enggan pergi. Biasanya, pagi hari adalah waktu untuk menikmati kopi dan membaca berita. Sekarang, ia harus bergegas menyiapkan diri untuk terjun ke dunia yang terasa asing namun harus ia kuasai.Di meja rias, ia menatap pantulan dirinya di cermin. Wajahnya tampak lebih tirus, matanya sedikit sayu. Beban tanggung jawab dan tekanan telah mengubahnya. Ia menghela napas, lalu mulai merias diri. Bukan untuk terlihat cantik, melainkan untuk menampilkan kesan profesional dan berwibawa.Pilihan pakaiannya jatuh pada setelan blazer berwarna abu-abu gelap dan rok span selutut. Warna yang netral, namun memberikan kesan tegas. Ia menyisir rambutnya dengan rapi
Senja merayap perlahan di halaman luas kediaman keluarga Wijaya. Cahaya keemasan menyentuh dinding-dinding batu putih, menghadirkan bayangan panjang pepohonan yang bergoyang pelan diterpa angin sore. Arabella berdiri di depan jendela besar ruang tamu, kedua tangannya menggenggam satu sama lain, dingin dan sedikit bergetar. Sudah lama rumah ini terasa seperti tempat yang asing karena kesedihan, kehilangan, dan beban tanggung jawab yang tiba-tiba berpindah ke pundaknya.Namun hari ini, suasananya sedikit berbeda. Ia menatap pintu utama yang sebentar lagi akan diketuk.Leonardi, Aruna, dan putra kecil mereka datang berkunjung—atas kehendak mereka sendiri. Di saat Arabella terpuruk dan dihadapkan pada dunia yang penuh duri, dua orang asing ini datang membawa sesuatu yang tidak ia duga: ketulusan.Ketika suara mobil berhenti di depan, Arabella menarik napas panjang. Detak jantungnya berdegup lebih cepat. Ia belum pernah benar-benar menerima tamu sejak semua tragedi itu.Pintu dibuka oleh s
Suasana ruang rapat utama Grup Wijaya dipenuhi dengan desahan dan bisik-bisik ketidakpercayaan. Lampu kristal yang tergantung di langit-langit memantulkan cahaya keemasan ke lantai marmer, namun aura ketegangan tetap tak bisa disembunyikan. Arabella berdiri di depan podium, tatapannya menembus setiap orang di ruangan itu. Ia mengenakan blazer hitam elegan, rambutnya tersisir rapi, namun matanya menyimpan kesedihan yang masih terasa hangat dari luka hati yang baru saja ia alami.“Selamat pagi,” suara Arabella terdengar tegas namun lembut, mengundang perhatian semua yang hadir. “Hari ini bukan hanya tentang saya, tapi tentang masa depan Grup Wijaya yang telah dirintis oleh ayah saya. Saya hadir di sini bukan untuk membalas dendam pribadi, tapi untuk meneruskan visi dan misi ayah saya.”Beberapa anggota Dewan Direksi saling menatap. Keraguan tampak jelas di mata beberapa pria dan wanita yang sudah lama berkecimpung dalam bisnis keluarga ini.Jason, yang hadir mewakili Grup Utomo, duduk d







