Share

BAB 5 - Jurnal Rahasia

Penulis: Ellailaist
last update Terakhir Diperbarui: 2025-07-11 10:02:58

Aruna menatap halaman kosong dengan mata sembab. Jemarinya bergetar ketika menggenggam pulpen. Napas panjang meluncur dari dadanya, berat, seperti hendak merobek isi perut. Lalu perlahan ia mulai menulis.

Hari ini aku salah membuat kopi. Sepele, pikirku. Tapi baginya, itu dosa besar.

Hujan menetes deras di luar, memukul genting tua kamar kos Aruna seperti ribuan jarum. Malam itu, ia duduk bersila di atas kasur tipis yang menempel pada dinding penuh noda lembap. Lampu temaram menggantung redup, menebarkan cahaya kuning kusam yang hanya cukup menerangi satu sudut.

Di pangkuannya tergeletak sebuah buku kulit hitam, lusuh di tepinya. Jurnal itu adalah rahasia paling dalam, satu-satunya tempat di mana ia berani menelanjangi dirinya tanpa takut dihukum.

Pulpen berhenti sejenak. Air matanya jatuh, menodai tinta yang masih basah. Ia menunduk, bahunya bergetar, lalu memaksa melanjutkan.

Aku takut. Sangat takut. Tapi di balik ketakutan itu, ada sesuatu. Seperti listrik yang menyusup ke kulit, menuntut lebih banyak rasa sakit, lebih banyak ketegangan. Kenapa aku seperti ini?

Tangannya bergerak cepat, kalimat-kalimat itu seperti tumpahan yang tak bisa ia bendung.

Leonardi bukan manusia biasa. Dia dingin, jauh, berbahaya. Tapi tatapannya, menembusku. Sentuhan jarinya di daguku tadi, membuatku ingin menjerit, entah karena takut atau, karena ingin.

Wajah Aruna memerah. Ia menutup mulut dengan punggung tangan, mencoba meredam suara tangis bercampur desah. Pulpen kembali menari.

Ibu, Renata, aku bersalah pada kalian. Kalian menunggu di rumah, berharap aku bertahan. Tapi kenapa pikiranku selalu kembali padanya? Pada napasnya, pada ancamannya, pada tatapan yang tak bisa kutinggalkan? Aku merasa hina. Tapi aku tidak bisa berhenti.

Pulpen terlepas, jatuh ke kasur. Ia menutup jurnal itu erat-erat, memeluknya ke dada. Tangisnya pecah tanpa suara, tubuhnya berguncang hebat.

“Kenapa, kenapa aku begini?” bisiknya lirih, seperti doa yang dipaksa terkubur.

Pagi berikutnya, Jakarta masih basah oleh hujan semalam. Aruna tiba lebih awal di kantor, matanya bengkak, wajah pucat. Ia menata meja dengan sangat teliti, seolah setiap detail kecil bisa menebus dosa kopi yang terlalu manis kemarin.

Namun, rasa tenang tak pernah benar-benar datang. Di dalam ruangannya, Leonardi terlihat duduk tenang. Terlalu tenang. Ketenangan yang justru menakutkan—ibarat laut yang menunggu badai pecah.

Aruna meletakkan map agenda di mejanya, lalu mundur. Tapi saat ia meraih tas, suara lembut buku jatuh terdengar.

Duk.

Jurnal hitamnya tergeletak di lantai, terbuka pada halaman terakhir yang ia tulis malam tadi.

Wajah Aruna membeku. Napasnya terputus.

Leonardi menoleh. Mata tajamnya langsung menangkap buku itu. Ia membungkuk perlahan, mengambilnya dengan tenang, seolah memegang benda berharga. Tangannya membuka sedikit halaman depan.

Matanya bergerak cepat, membaca satu baris yang terbuka.

Aruna ingin berlari, ingin meraih jurnal itu kembali. Tapi kakinya terpaku, tubuhnya membeku seperti patung.

Senyum tipis terbit di bibir Leonardi. Senyum yang tak membawa cahaya apa pun.

Ia menutup jurnal, lalu menatap Aruna. “Kau menulis tentangku?” suaranya rendah, dalam, seperti pisau yang mengiris udara.

“S-saya, itu, hanya catatan pribadi, Pak. Saya—”

Leonardi berdiri. Kursinya bergeser pelan, suara gesekannya membuat bulu kuduk Aruna meremang. Ia berjalan mendekat, langkahnya mantap, setiap detik terdengar seperti palu godam di dada Aruna.

Ia berhenti hanya sejengkal darinya. Jurnal masih di tangan, ibu jarinya mengusap punggung sampul kulit itu.

“Mengagumkan,” katanya pelan. “Bahkan di luar jam kerja, kau masih memikirkan aku.”

Air mata menunggu jatuh di sudut mata Aruna.

Leonardi mendekat, sangat dekat. Jemarinya terulur, meraih dagunya, mengangkatnya paksa hingga mata mereka bertemu.

“Menulis adalah cara manusia melepaskan ketakutan,” bisiknya. “Tapi kau berbeda.”

Aruna gemetar. Bibirnya terbuka, tapi tak ada kata keluar.

Leonardi menurunkan jurnal itu ke dadanya, menekannya perlahan seakan mengukir cap kepemilikan. “Tulislah yang jujur,” ucapnya, suaranya nyaris menyerupai desahan gelap. “Aku akan membacanya nanti.”

Aruna terperangah. Tubuhnya menegang, dadanya sakit seperti ditusuk jarum-jarum halus. Tangannya gemetar saat menerima jurnal itu. Ia hanya mampu mengangguk.

Leonardi mundur perlahan, sorot matanya tak pernah lepas darinya. “Keluar.”

Dengan langkah goyah, Aruna bergerak ke pintu. Punggungnya menyentuh kaca, hampir jatuh, sebelum tangannya menemukan gagang pintu. Ia keluar dengan napas kacau, menutup pintu pelan.

Begitu di koridor, ia merosot, bersandar di dinding. Jurnal itu ia peluk sekuat tenaga. Air matanya meledak, membasahi sampul hitam itu.

Tulislah yang jujur.

Kalimat itu terus menggema di kepalanya, menekan, menuntut.

Di dalam ruangan, Leonardi kembali duduk. Bibirnya melengkung tipis, jemarinya mengetuk meja perlahan, seirama detak jantung Aruna yang masih berlari liar di luar. Ada sesuatu di matanya—bukan hanya sekadar dominasi. Lebih dari itu. Rasa lapar.

Dan permainan itu… baru saja dimulai.

Tapi… sampai kapan Aruna bisa terus menyangkal dirinya sendiri, sebelum rahasia terdalamnya ikut telanjang di hadapan Leonardi?

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Ellailaist
Terimakasih sudah baca sampai bab 5. yuk lanjut bab selanjutnya ya...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Terbelenggu di Kamar Hasrat Sang Bos   BAB 219 - Tantangan kepemimpinan

    Setelah para kepala divisi keluar dari ruang rapat, Arabella merapikan kertas-kertas di mejanya dengan tangan yang sedikit bergetar. Ia berusaha mempertahankan kewibawaannya, namun pikiran tentang Daniel yang masih menghilang tidak berhenti mengusik. Sejak pagi ia menunggu telepon darinya, setidaknya satu pesan singkat, tetapi tidak ada apa-apa. Hening itu justru semakin membuat dadanya nyeri.Ia membuka laptop dan mencoba menyibukkan diri dengan pekerjaan lain, namun rasa gelisah itu terus merambat seperti duri yang menusuk pelan tetapi pasti. Nafasnya naik turun, tidak stabil. Ia akhirnya membuka kotak email internal, berharap menemukan sesuatu—apa pun—yang mungkin ditinggalkan Daniel.Namun saat layar menampilkan daftar email baru, dunia Arabella seperti berhenti berputar.Ada tujuh belas pesan masuk dari vendor, klien, dan sistem keuangan.Semuanya belum diproses.Semuanya seharusnya berada di tangan Daniel.Arabella memajukan tubuh, menatap layar lebih dekat.“Tidak mungkin Danie

  • Terbelenggu di Kamar Hasrat Sang Bos   BAB 218 - Perpisahan

    Hari persidangan perceraian itu datang seperti hantu yang tak diundang. Arabella duduk di ruang tunggu pengadilan, jantungnya berdebar tak karuan. Ia mencoba mengatur napas, namun kecemasan terus menggerogoti ketenangannya.Ia melirik sekeliling, mencari sosok yang familiar. Namun, hari ini ia benar-benar sendirian. Jason tidak hadir, mengirimkan kuasa pada pengacaranya. Arabella merasa seperti terdampar di pulau asing, tanpa ada seorang pun yang bisa ia andalkan.Proses persidangan berlangsung singkat dan tanpa drama. Pengacara Jason menyerahkan surat pernyataan yang menyatakan bahwa tidak menuntut sepeser pun dari harta gono-gini.Hakim mengetuk palu, dan dalam sekejap mata, Arabella resmi menjadi seorang janda. Ia merasakan hantaman keras di dadanya, seolah ada seseorang yang meremas jantungnya dengan kuat. Air mata mengalir tanpa bisa ia cegah.Ia menangis bukan karena kehilangan Jason, karena ia tahu pernikahan mereka memang tidak didasari cinta. Ia menangis karena merasa bersala

  • Terbelenggu di Kamar Hasrat Sang Bos   BAB 217 - Rasa Bersalah

    Meskipun terkejut dengan gugatan cerai Jason, Arabella tidak bisa sepenuhnya menyalahkan pria itu. Dalam benaknya, ia mengakui bahwa pernikahan mereka memang tidak didasari cinta yang tulus. Ia menikahi Jason lebih karena strategi, untuk memuluskan jalannya dalam mencapai tujuan balas dendamnya. Ia telah memanfaatkan Jason, menjadikannya alat untuk mencapai ambisinya.Perasaan bersalah mulai menghantui Arabella. Ia menyadari bahwa selama ini ia terlalu fokus pada dirinya sendiri, pada dendamnya, hingga melupakan perasaan orang lain, termasuk Jason.Ia teringat kembali saat-saat awal pernikahan mereka. Jason selalu berusaha menjadi suami yang baik, mendukungnya dalam segala hal. Namun, Arabella selalu memasang tembok tinggi di antara mereka, tidak pernah benar-benar membuka hatinya untuk Jason."Aku memang pantas mendapatkan ini," gumam Arabella lirih, meratapi kebodohannya.Di tengah kekacauan perasaannya, Arabella menyadari bahwa ia harus melakukan sesuatu. Ia tidak bisa terus meneru

  • Terbelenggu di Kamar Hasrat Sang Bos   BAB 216 - Langkah Pertama di Grup Wijaya

    Mentari pagi menyelinap masuk melalui celah gorden, membangunkan Arabella dari tidurnya. Bukan tidur nyenyak tanpa beban, melainkan tidur singkat yang diisi mimpi-mimpi tentang angka, rapat, dan tatapan meremehkan. Hari ini adalah hari pertamanya sebagai presiden direktur Grup Wijaya.Ia bangkit dari tempat tidur, merasakan sisa kantuk yang enggan pergi. Biasanya, pagi hari adalah waktu untuk menikmati kopi dan membaca berita. Sekarang, ia harus bergegas menyiapkan diri untuk terjun ke dunia yang terasa asing namun harus ia kuasai.Di meja rias, ia menatap pantulan dirinya di cermin. Wajahnya tampak lebih tirus, matanya sedikit sayu. Beban tanggung jawab dan tekanan telah mengubahnya. Ia menghela napas, lalu mulai merias diri. Bukan untuk terlihat cantik, melainkan untuk menampilkan kesan profesional dan berwibawa.Pilihan pakaiannya jatuh pada setelan blazer berwarna abu-abu gelap dan rok span selutut. Warna yang netral, namun memberikan kesan tegas. Ia menyisir rambutnya dengan rapi

  • Terbelenggu di Kamar Hasrat Sang Bos   BAB 215 - Tamu di Rumah Wijaya

    Senja merayap perlahan di halaman luas kediaman keluarga Wijaya. Cahaya keemasan menyentuh dinding-dinding batu putih, menghadirkan bayangan panjang pepohonan yang bergoyang pelan diterpa angin sore. Arabella berdiri di depan jendela besar ruang tamu, kedua tangannya menggenggam satu sama lain, dingin dan sedikit bergetar. Sudah lama rumah ini terasa seperti tempat yang asing karena kesedihan, kehilangan, dan beban tanggung jawab yang tiba-tiba berpindah ke pundaknya.Namun hari ini, suasananya sedikit berbeda. Ia menatap pintu utama yang sebentar lagi akan diketuk.Leonardi, Aruna, dan putra kecil mereka datang berkunjung—atas kehendak mereka sendiri. Di saat Arabella terpuruk dan dihadapkan pada dunia yang penuh duri, dua orang asing ini datang membawa sesuatu yang tidak ia duga: ketulusan.Ketika suara mobil berhenti di depan, Arabella menarik napas panjang. Detak jantungnya berdegup lebih cepat. Ia belum pernah benar-benar menerima tamu sejak semua tragedi itu.Pintu dibuka oleh s

  • Terbelenggu di Kamar Hasrat Sang Bos   BAB 214 - Kembalinya Sang Pewaris

    Suasana ruang rapat utama Grup Wijaya dipenuhi dengan desahan dan bisik-bisik ketidakpercayaan. Lampu kristal yang tergantung di langit-langit memantulkan cahaya keemasan ke lantai marmer, namun aura ketegangan tetap tak bisa disembunyikan. Arabella berdiri di depan podium, tatapannya menembus setiap orang di ruangan itu. Ia mengenakan blazer hitam elegan, rambutnya tersisir rapi, namun matanya menyimpan kesedihan yang masih terasa hangat dari luka hati yang baru saja ia alami.“Selamat pagi,” suara Arabella terdengar tegas namun lembut, mengundang perhatian semua yang hadir. “Hari ini bukan hanya tentang saya, tapi tentang masa depan Grup Wijaya yang telah dirintis oleh ayah saya. Saya hadir di sini bukan untuk membalas dendam pribadi, tapi untuk meneruskan visi dan misi ayah saya.”Beberapa anggota Dewan Direksi saling menatap. Keraguan tampak jelas di mata beberapa pria dan wanita yang sudah lama berkecimpung dalam bisnis keluarga ini.Jason, yang hadir mewakili Grup Utomo, duduk d

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status