Aruna menatap halaman kosong dengan mata sembab. Jemarinya bergetar ketika menggenggam pulpen. Napas panjang meluncur dari dadanya, berat, seperti hendak merobek isi perut. Lalu perlahan ia mulai menulis.
Hari ini aku salah membuat kopi. Sepele, pikirku. Tapi baginya, itu dosa besar.
Hujan menetes deras di luar, memukul genting tua kamar kos Aruna seperti ribuan jarum. Malam itu, ia duduk bersila di atas kasur tipis yang menempel pada dinding penuh noda lembap. Lampu temaram menggantung redup, menebarkan cahaya kuning kusam yang hanya cukup menerangi satu sudut.
Di pangkuannya tergeletak sebuah buku kulit hitam, lusuh di tepinya. Jurnal itu adalah rahasia paling dalam, satu-satunya tempat di mana ia berani menelanjangi dirinya tanpa takut dihukum.
Pulpen berhenti sejenak. Air matanya jatuh, menodai tinta yang masih basah. Ia menunduk, bahunya bergetar, lalu memaksa melanjutkan.
Aku takut. Sangat takut. Tapi di balik ketakutan itu, ada sesuatu. Seperti listrik yang menyusup ke kulit, menuntut lebih banyak rasa sakit, lebih banyak ketegangan. Kenapa aku seperti ini?
Tangannya bergerak cepat, kalimat-kalimat itu seperti tumpahan yang tak bisa ia bendung.
Leonardi bukan manusia biasa. Dia dingin, jauh, berbahaya. Tapi tatapannya, menembusku. Sentuhan jarinya di daguku tadi, membuatku ingin menjerit, entah karena takut atau, karena ingin.
Wajah Aruna memerah. Ia menutup mulut dengan punggung tangan, mencoba meredam suara tangis bercampur desah. Pulpen kembali menari.
Ibu, Renata, aku bersalah pada kalian. Kalian menunggu di rumah, berharap aku bertahan. Tapi kenapa pikiranku selalu kembali padanya? Pada napasnya, pada ancamannya, pada tatapan yang tak bisa kutinggalkan? Aku merasa hina. Tapi aku tidak bisa berhenti.
Pulpen terlepas, jatuh ke kasur. Ia menutup jurnal itu erat-erat, memeluknya ke dada. Tangisnya pecah tanpa suara, tubuhnya berguncang hebat.
“Kenapa, kenapa aku begini?” bisiknya lirih, seperti doa yang dipaksa terkubur.
Pagi berikutnya, Jakarta masih basah oleh hujan semalam. Aruna tiba lebih awal di kantor, matanya bengkak, wajah pucat. Ia menata meja dengan sangat teliti, seolah setiap detail kecil bisa menebus dosa kopi yang terlalu manis kemarin.
Namun, rasa tenang tak pernah benar-benar datang. Di dalam ruangannya, Leonardi terlihat duduk tenang. Terlalu tenang. Ketenangan yang justru menakutkan—ibarat laut yang menunggu badai pecah.
Aruna meletakkan map agenda di mejanya, lalu mundur. Tapi saat ia meraih tas, suara lembut buku jatuh terdengar.
Duk.
Jurnal hitamnya tergeletak di lantai, terbuka pada halaman terakhir yang ia tulis malam tadi.
Wajah Aruna membeku. Napasnya terputus.
Leonardi menoleh. Mata tajamnya langsung menangkap buku itu. Ia membungkuk perlahan, mengambilnya dengan tenang, seolah memegang benda berharga. Tangannya membuka sedikit halaman depan.
Matanya bergerak cepat, membaca satu baris yang terbuka.
Aruna ingin berlari, ingin meraih jurnal itu kembali. Tapi kakinya terpaku, tubuhnya membeku seperti patung.
Senyum tipis terbit di bibir Leonardi. Senyum yang tak membawa cahaya apa pun.
Ia menutup jurnal, lalu menatap Aruna. “Kau menulis tentangku?” suaranya rendah, dalam, seperti pisau yang mengiris udara.
“S-saya, itu, hanya catatan pribadi, Pak. Saya—”
Leonardi berdiri. Kursinya bergeser pelan, suara gesekannya membuat bulu kuduk Aruna meremang. Ia berjalan mendekat, langkahnya mantap, setiap detik terdengar seperti palu godam di dada Aruna.
Ia berhenti hanya sejengkal darinya. Jurnal masih di tangan, ibu jarinya mengusap punggung sampul kulit itu.
“Mengagumkan,” katanya pelan. “Bahkan di luar jam kerja, kau masih memikirkan aku.”
Air mata menunggu jatuh di sudut mata Aruna.
Leonardi mendekat, sangat dekat. Jemarinya terulur, meraih dagunya, mengangkatnya paksa hingga mata mereka bertemu.
“Menulis adalah cara manusia melepaskan ketakutan,” bisiknya. “Tapi kau berbeda.”
Aruna gemetar. Bibirnya terbuka, tapi tak ada kata keluar.
Leonardi menurunkan jurnal itu ke dadanya, menekannya perlahan seakan mengukir cap kepemilikan. “Tulislah yang jujur,” ucapnya, suaranya nyaris menyerupai desahan gelap. “Aku akan membacanya nanti.”
Aruna terperangah. Tubuhnya menegang, dadanya sakit seperti ditusuk jarum-jarum halus. Tangannya gemetar saat menerima jurnal itu. Ia hanya mampu mengangguk.
Leonardi mundur perlahan, sorot matanya tak pernah lepas darinya. “Keluar.”
Dengan langkah goyah, Aruna bergerak ke pintu. Punggungnya menyentuh kaca, hampir jatuh, sebelum tangannya menemukan gagang pintu. Ia keluar dengan napas kacau, menutup pintu pelan.
Begitu di koridor, ia merosot, bersandar di dinding. Jurnal itu ia peluk sekuat tenaga. Air matanya meledak, membasahi sampul hitam itu.
Tulislah yang jujur.
Kalimat itu terus menggema di kepalanya, menekan, menuntut.
Di dalam ruangan, Leonardi kembali duduk. Bibirnya melengkung tipis, jemarinya mengetuk meja perlahan, seirama detak jantung Aruna yang masih berlari liar di luar. Ada sesuatu di matanya—bukan hanya sekadar dominasi. Lebih dari itu. Rasa lapar.
Dan permainan itu… baru saja dimulai.
Tapi… sampai kapan Aruna bisa terus menyangkal dirinya sendiri, sebelum rahasia terdalamnya ikut telanjang di hadapan Leonardi?
Aruna berdiri di depan pintu kayu gelap yang sudah sangat dikenalnya. Gagang pintu itu dingin di telapak tangannya, seolah berbisik ribuan kenangan yang tak semuanya ingin ia ingat.Leonardi berdiri di sampingnya, napasnya berat, matanya tertuju pada pintu itu dengan sorot campuran rasa takut, penyesalan, dan harapan. Sejak pertama kali Aruna dipaksa masuk ke ruangan itu, semuanya berubah — tubuhnya, jiwanya, juga cinta yang tumbuh di antara mereka.Hari ini, setelah perjalanan panjang dan luka yang tak terhitung, mereka berdiri di sini untuk menutup satu bab, selamanya.Aruna menarik napas panjang, telapak tangannya masih menempel di gagang pintu. Jemarinya gemetar. Banyak adegan berkelebat di kepalanya: jeritan sunyi di malam-malam gelap, air mata yang tumpah tanpa suara, tubuh yang tak lagi terasa miliknya.Leonardi mengangkat tangannya, menutupi tangan Aruna di atas gagang itu. Hangat. Teguh. Berbeda dari dulu — tidak lagi menuntut, tidak lagi memaksa. Hanya sebuah genggaman yang
Aruna duduk di bangku kayu panjang di ruang tunggu sebuah klinik psikoterapi di pusat kota. Tangannya bergetar, tapi kali ini bukan karena ketakutan — melainkan karena harapan yang pelan-pelan tumbuh, seperti tunas kecil di musim hujan pertama.Leonardi masih di dalam ruangan terapi. Pintu putih dengan kaca buram itu seolah menjadi batas antara dirinya yang dulu dan lelaki yang sedang berusaha lahir kembali.Aruna menatap ujung sepatunya, mencoba menenangkan napas. Sudah beberapa minggu sejak mereka sepakat untuk “memilih” satu sama lain. Bukan lagi sebagai mainan, bukan lagi sebagai pemilik dan yang dimiliki — tapi sebagai dua manusia yang sama-sama patah dan sama-sama ingin sembuh.Saat pintu itu akhirnya terbuka, Leonardi keluar dengan wajah lelah, mata sedikit sembab. Aruna berdiri refleks, hendak menjemputnya. Leonardi menghentikan langkah, menatap Aruna dengan sorot mata yang jauh lebih tenang dari biasanya, meski masih menyisakan banyak ketakutan."Aku… nggak tahu harus bilang
Matahari baru saja naik di ujung langit, menembus kaca jendela kamar yang sudah lama menjadi saksi kelam mereka. Udara pagi menelusup perlahan, membawa aroma lembut yang seolah menenangkan luka-luka lama.Aruna duduk di pinggir ranjang, menatap punggung Leonardi yang berdiri di dekat jendela. Pria itu tampak berbeda pagi ini. Pundaknya yang dulu selalu tegak dan kaku, kini sedikit merosot, seakan akhirnya mengakui betapa berat beban yang ia pikul selama ini.Leonardi tidak menoleh, hanya membiarkan cahaya pagi menimpa wajahnya yang pucat. Suara napasnya terdengar berat, namun tenang."Aku… sudah memikirkan ini semalam," katanya perlahan, suaranya terdengar rapuh sekaligus mantap. "Jika kau ingin pergi… pintu ini akan selalu terbuka. Aku tidak akan memaksamu lagi… tidak akan menarikmu kembali…."Aruna menatapnya lama. Kata-kata itu terdengar seperti pisau yang menoreh dadanya, tapi juga seperti angin segar yang lama ia rindukan.Leonardi masih diam, tangannya mengepal di sisi tubuhnya.
Aruna berdiri di depan pintu rumah Leonardi dengan napas yang terasa berat. Tangannya gemetar ketika menekan bel. Suara hujan yang masih turun sejak kemarin malam membuat seisi kota tampak seperti lukisan kelabu yang remuk.Dia menatap gagang pintu lama sekali. Satu detik terasa seperti seribu denyut di dadanya.Pintu itu akhirnya terbuka. Leonardi berdiri di ambang, wajahnya pucat, matanya kosong. Rambutnya berantakan, kemejanya basah keringat meski udara dingin.Ketika tatapan mereka bertemu, Aruna bisa merasakan seluruh dunianya ambruk."Aruna…" suara Leonardi serak, seperti seseorang yang hampir kehilangan suara setelah terlalu lama berteriak dalam diam.Aruna melangkah masuk tanpa berkata apa pun. Begitu melewati ambang pintu, aroma kamar yang dulu begitu menakutkan kini justru terasa menyesakkan dada, seolah setiap sudut menyimpan bisikan luka mereka berdua.Leonardi mundur beberapa langkah, menunduk. Tangannya gemetar, seolah hendak meraih Aruna tapi takut disentuh."Aku…" Leon
Hujan masih mengguyur kota seperti tak mau berhenti, seolah menertawakan luka-luka manusia yang tak pernah selesai.Leonardi duduk di kursi ruangannya yang remang, menatap kosong ke luar jendela. Rambutnya acak-acakan, dasi sudah terlepas, kemeja setengah terbuka memperlihatkan dada yang naik turun tak beraturan.Seluruh kantor sudah sunyi. Semua orang takut mendekat sejak rumor tentang "kamar rahasia" mulai beredar.Di meja Leonardi, berserakan foto-foto yang dikirim Clara. Foto dirinya bersama Aruna di kamar itu. Ada juga beberapa rekaman pendek yang diambil secara diam-diam.Clara masuk perlahan, diikuti Adrian. Clara mengenakan mantel panjang berwarna gelap, wajahnya dingin, matanya menyala penuh kemenangan. Adrian, di belakangnya, tampak gelisah, sesekali menunduk seolah menyesali keputusannya."Leonardi." Clara membuka suara, nada suaranya tajam. "Akhirnya kita bertemu lagi… di saat kau paling rapuh."Leonardi tidak menoleh. Tatapannya tetap pada gelapnya jendela, seolah di luar
Hujan turun sejak subuh, menetes deras di jendela kamar Aruna. Aroma tanah basah bercampur dengan dingin yang menusuk tulang. Aruna berdiri di depan kaca, menatap pantulan wajahnya sendiri — wajah yang tampak asing, penuh bayangan luka yang tak pernah sembuh.Tangannya masih memegang buku jurnal hitam yang dikirim Leonardi. Bekas air mata semalam masih meninggalkan noda samar di halaman-halaman terakhir.Ia menutup buku perlahan, menarik napas panjang, seolah bersiap menghadapi sesuatu yang lebih besar dari rasa sakit di dadanya.Renata muncul dari belakang, membawa segelas air hangat. "Kak… minum dulu, sebelum sakit," katanya pelan.Aruna hanya mengangguk, tapi tak segera mengambil gelas itu. Pandangannya kosong, pikirannya melayang jauh."Ren…" Aruna memanggil dengan suara parau. "Aku harus pergi."Renata mengernyit, menatap kakaknya lekat. "Pergi ke mana? Kakak masih butuh istirahat. Kakak masih butuh—""Leonardi," potong Aruna lirih.Renata terdiam. Segala kepingan rasa takut dan