Kejadian semalam terngiang jelas di pelupuk mata Ibra. Harapan yang tidak sesuai realita. Berharap Dinda mengerti dirinya sudah menyesali perbuatannya, akan tetapi kenyataan yang terjadi malah berbanding terbalik.Dia terduduk di lantai setelah teleponnya berakhir dengan Dinda. Menyandarkan tubuhnya lemah tak berdaya ke ranjang kayu model lama. Pikirannya berkecamuk meratapi apa yang sudah diperbuat.Lupa kapan pastinya, lelaki yang wajahnya sudah tak terawat ini meneteskan air mata. Yang jelas hari ini, pagi ini, lolos dari manik mata hitam pekat nan tajam. Dia biarkan lolos beberapa saat. Setelahnya, dia seka bulir bening tersebut, seiring ratapan penyesalan. "Ras, apa yang harus aku lakuin biar bisa memperbaiki semuanya, Ras?""Aku menyesal, Ras.""Sangat-sangat menyesal.""Betapa bodohnya aku, lebih percaya pada orang yang sejak awal sudah menghancurkan pernikahan kita.""Betapa bodohnya aku, termakan omongan murahan, padahal aku sadar dan tahu betul, kamu bukan perempuan seperti
"Apa? Kamu gila ya, Mas! Masa nyuruh ibu aku bertekuk lutut di hadapan kamu. Dia itu lebih tua dari kamu lho, Mas. Dia juga masih berstatus mertua kamu. Kok kamu tega sih, Mas?""Hahahhaha ...." Tawa Ibra pecah. "Apa kamu bilang? Tega? Aku tega? Pikir dulu kalau ngomong, ibu kamu yang lebih kejam. Demi dendam dia, rumah tanggaku jadi korban.""Iya, Mas. Aku tahu, ibu salah. Cuma ... Cuma nggak harus kayak gitu juga, Mas.""Ya, terserah, itu urusan kamu. Kalau tidak bisa memenuhi syarat itu, yang rugi kamu dan calon anakmu sendiri. Kita nikah cuma secara agama tidak diakui negara. Paham 'kan maksud aku? Pastilah paham ya 'kan, kamu 'kan licik, pastilah paham apa yang aku maksud."Sambungan telepon terputus. Ibra tersenyum, "aku akan buat hidupmu menderita, Liana. Sebelum aku bisa mendapatkan Laras lagi, jangan harap kamu dan ibumu akan lepas dari dendam ku. Memangnya, ibumu saja yang bisa menaruh dendam. Aku pun bisa, bahkan lebih dari itu."Ibra menggenggam kuat-kuat ponselnya, hingga
Dennis jelas tidak akan keberatan jika dimintain tolong. Ini sangat menguntungkan baginya, bisa berkomunikasi dan bertemu. Dennis masih menahan diri, terlebih perempuan yang dia sukai itu baru saja berpisah."Den, makasih banyak ya, udah bantu dagangan aku." Laras menyerahkan beberapa kotak donat pada Dennis. Sabtu pagi, Dennis sudah berada di rumah Laras. Mengambil pesanan punya kakaknya. Sebenarnya ..."Den, kamu kasih alamat lengkap Laras aja. Biar mas aja yang jemput. Sekalian berangkat ke kantor.""Nggak usah, Mas. Aku aja, biar aku anterin ke kantor, Mas. Hmm ... baik 'kan aku jadi adikmu.""Yakin baik? Atau ada udang di balik bakwan? Ngaku!""Iya, emang ada ada udang di balik bakwan, aku melindungi Laras dari perjaka tua macam kamu, Mas. Dah lah, aku berangkat dulu."Dennis dan Laras duduk di teras, ada kursi juga meja di sana. "Iya, sama-sama, Ras. Kalau ada yang punya temen, ngapain beli di tempat lain 'kan.""Hihi, bisa aja kamu, Den.""Lah, 'kan emang bener, Ras. Oh iya, R
"Bu Liana terpaksa dirawat, saya takut, jika rawat jalan, akan membahayakan si ibu juga calon anaknya.""Ya, namanya orang hamil 'kan emang lemah, Dok. Banyak juga kok yang rawat jalan persis hamilnya seperti Annisa. Apalagi zaman dulu, mana ada seperti ini." Daritadi bu Nani tak kunjung berhenti, padahal dokter Klara sudah menjelaskan."Saya coba jelaskan sekali lagi, ya, Bu. Setiap ibu hamil juga anak dalam kandungan itu beda-beda. Ada yang kuat, ada juga yang lemah. Tidak bisa dipukul rata. Nah, ibu Liana ini termasuk lemah. Bergerak banyak, fleknya akan bertambah banyak, resiko keguguran pun semakin besar.""Huh, emang keguguran itu yang saya inginkan, Dok!" bathin bu Nani, dengan mata memutar tak beraturan. Atau ibu mau kehilangan keduanya. Jangan meremehkan sesuatu, Bu. Saya, sebagai dokter juga tidak segampang itu mendiagnosa, Bu. Tapi, ya ... terserah ibu. Jangan sampai terlambat!""Ya sudahlah, berapa hari harus menginapnya, Dok?""Tergantung, Bu. Semoga saja tidak lama, saya
"Sudah, cukup, Liana. Cukup. Oke, ibu akan telpon suamimu.""Bagus, impas kita ya. Tunggu apalagi, Bu. Telpon sekarang!"Kali ini, giliran bu Nani mati kutu. Dia merogoh ponselnya dari dalam saku celana. Tatapan penuh amarah pun tersirat di kilatan matanya."Besok aja tidak diangka," elak bu Nani."Aku tidak percaya kalau ibu menghubungi mas Ibra. Bisa perlihatkan padaku bukti panggilannya?""Kamu apaan sih, Li. Lancang banget.""Siapa yang lancang, Bu? Jangan lempar bola ke dinding gitu dong. Gerak-gerik ibu yang aneh, kok malah aku disebut lancang. Udahlah, Bu."Apa yang ditebak Liana memang benar adanya. Bu Nani memang sama sekali tidak menghubungi Ibra. Berpura-pura tentunya. Fakta yang ada, bu Nani tidak mau menunjukkan panggilan keluarnya."Halo." Panggilan dari bu Nani akhirnya diangkat Ibra, ketika setelah dengan sengaja mengabaikan panggilan sebelumnya sebanyak lima kali."Ibra, ini ibu.""Saya aku kok kalau ibu licik yang telpon. Saya juga tahu, ibu licik sudah beberapa kali
"Sstttt ... kamu diam saja, Li. Aku lagi tidak mau mendengar suaramu," potong Ibra tiba-tiba yang tengah asyik bermain judi online."Tapi, Mas ... aku --.""Kamu bisa diam tidak, berisik!" bentakan Ibra membuat Liana akhirnya membungkam."Padahal aku cuma mau minta maaf, Mas. Atas apa yang aku perbuat dulu. Meski satu sisi aku tidak sepenuhnya salah." Kali ini hanya dalam hati bisa dia ungkapkan.Malam kian larut, dingin semakin menusuk di kalbu. Liana terjaga karena ingin buang air kecil, di sisir pandangan sebelum bangkit, tampak Ibra masih asyik memainkan gadgetnya sembari berselonjoran di sofa."Kamu belum tidur, Mas?" Tak ada sahutan. Terdengar akan tetapi sengaja tidak direspon Ibra. Liana hanya bisa menelan ludah."Mas, bisa temanin aku ke kamar mandi?"Meski tak digubris pertanyaan awal, Liana tidak putus asa. Masih berusaha meluluhkan hati Ibra yang sudah beku untuknya. Dia coba bertanya dengan pertanyaan yang sama sampai tiga kali. Bukannya jawaban iya yang didapat. Malah b
"Kenapa, Bu? Bukan tante Wera ya?""Katanya bukan, malah ibu di bilang salah sambung, jelas juga tersambung, namanya juga tidak salah. Ini beneran nomornya kak Wera lho. Apa dia tidak mau ketemu kita ya?""Coba cek sama nomor yang di hape kamu, Mas. Apa sama dengan yang ditelpon ibu barusan."Dengan malas Ibra mengeluarkan ponselnya. Dan, setelah di cek ..."Berapa nomor belakangnya?" tanya Ibra ketus."068""Sama!" sahut Ibra kemudian."Nah kan sama. Gimana mungkin salah sambung coba," gerutu bu Nani."Hhuuft ... ibu masih nanya kenapa mantan mertuaku berkata seperti itu. Mana ada orang yang mau ketemu macam ibu. Saya pun, kalau tahu sedari awal, tidak sudi juga punya mertua macam ibu. Bu Wera selama jadi mertua saya nggak seneko ibu. Dia baik, pengertian.Mendengar itu, bu Nani semakin cemburu dengan Wera."Atau beneran salah sambung kali, Bu. Nomornya bu Wera udah mati kali, Bu. Jadi, kalau kartu yang udah mati. Bisa diaktifkan lagi, tapi kayak nomor baru lagi." Liana ikut menjelas
"Nya, lebih baik Nyonya istirahat di kamar. Saya buatkan teh hangat ya." Bik Surti datang menghampiri Yati berdiri terpaku di ruang tamu. Dia papah majikannya itu ke dalam kamar. Setelah merebahkan tubuh Yati di tempat tidur, lalu dia bergegas bertolak ke dapur.Kondisi rumah memang lengang, Bryan dan Dennis sedang ada pekerjaan di luar kota. Jika kedua anak lelaki Yati mengetahui hal ini jelas mereka akan sangat marah pada papanya.Ponsel bu Wera kembali berdering."Siapa, Bu? Nomor yang tadi?""Tidak, Ras. Beda. Biarkan sajalah!"Namun, hal yang sama pun terjadi seperti Syahrial tadi. Nomor itu terus saja menelepon hingga lima kali."Angkat saja, Bu! Mungkin penting," usul Laras kemudian"Gimana kalau mereka?""Hmm ... angkat ajalah, Bu. Siapa tahu bukan."Wera pun menuruti usulan Laras, mengangkat telepon yang kebetulan masih belum putus asa menghubungi dirinya."Halo.""Apa ini dengan ibu Wera? Kami dari pihak rumah sakit mau mengabarkan jika saudara Ibra, ibu Nani, juga saudari L