Bab 2 – Senyum Palsu, Luka Nyata

Pagi itu, matahari belum terlalu tinggi saat Nayla berangkat ke kampus. Di rumah, ia sudah terbiasa menjadi bayang-bayang. Tak ada sapaan hangat, tak ada bekal yang disiapkan. Bahkan ayahnya pun hanya lewat tanpa menoleh, sibuk dengan dokumen di tangannya.

“Van, kamu mau Papa antar ke kampus?” tanya Pak Darmawan hangat kepada Vania yang sedang menikmati roti di meja makan.

“Boleh banget, Pa! Sekalian mampir ke toko buku ya,” jawab Vania manja, lalu melirik Nayla yang sudah siap dengan tas di pundaknya.

Pak Darmawan hanya mengangguk pada Nayla, seperti mengingat kehadirannya baru saat itu. “Kamu naik angkot aja ya, Nay. Papa buru-buru.”

Nayla tersenyum kecil, meski hatinya menjerit. “Iya, nggak apa-apa.”

Vania menatap Nayla sambil tersenyum miring. Ia tahu betul caranya membuat Nayla merasa kecil—dan itu selalu berhasil.

---

Di kampus, suasana tak jauh berbeda. Vania selalu tampil mencolok, dikelilingi teman-teman dan penuh cerita menarik. Sementara Nayla lebih banyak tenggelam dalam tugas-tugasnya, membangun prestasi diam-diam tanpa butuh sorotan.

Namun satu hal berubah: Reno. Ia mulai mendekati Nayla lebih sering, menanyakan tugas, kadang hanya untuk duduk bersama sambil membahas film atau buku. Reno bukan pria yang mudah silau pada penampilan. Itu yang membuat Nayla percaya—mungkin, kali ini, perasaannya tak akan sepihak.

Tapi semua keyakinan itu mulai runtuh saat sore itu, Reno terlihat bersama Vania… lagi. Mereka berdiri di depan kafe kampus, tertawa. Bukan tawa biasa—Vania menyentuh lengan Reno dengan santai, dan Reno tak terlihat menolak.

Nayla menghentikan langkahnya. Ia tak ingin terlihat, tapi juga tak bisa berpaling.

Sore itu, hujan kembali turun. Sama seperti pertama kali Reno mendekatinya. Tapi kali ini, bukan kehangatan yang terasa—melainkan dingin yang menggigit di balik dada.

---

Malam harinya, Vania masuk ke kamar Nayla tanpa mengetuk. Wajahnya bersinar dengan senyum menang.

“Kak… aku harus cerita sesuatu deh!” katanya ceria, duduk di pinggir ranjang Nayla.

Nayla menoleh pelan. “Apa?”

“Aku lagi deket sama Reno,” katanya sambil mengedipkan sebelah mata. “Dia itu cowok yang kayaknya cocok banget buat aku. Baik, perhatian, dan… kamu tahu kan, dia mulai sering antar jemput aku.”

Nayla menatap Vania. Tak ada ekspresi. Hatinya memang sakit, tapi ia belajar—rasa sakit tidak perlu selalu terlihat.

“Kamu suka Reno, ya?” tanya Vania tiba-tiba, tajam.

Pertanyaan itu membuat Nayla terdiam. Ia ingin berbohong, tapi apa gunanya? Vania pasti tahu.

“Aku… pernah suka,” jawab Nayla tenang. “Tapi mungkin dia memang bukan untukku.”

Vania tersenyum puas. “Bagus kalau kamu sadar. Karena aku nggak suka kalau kita sampai ‘bersaing’. Nggak enak kelihatan kayak rebutan cowok, kan?”

Nayla hanya mengangguk, lalu kembali membaca buku di tangannya, meski matanya kabur oleh genangan air yang hampir jatuh.

---

Setelah Vania keluar, Nayla menghela napas panjang. Ia tidak marah. Tidak seperti dulu, setidaknya. Sekarang ia tahu: kemarahan hanya akan membuatnya terlihat lemah. Dan Nayla bukan gadis lemah.

Ia membuka laptopnya, mulai menulis. Bukan cerita cinta, bukan curhat. Tapi rencana. Ia akan fokus pada beasiswanya, lomba karya ilmiah yang sedang ia persiapkan, dan program magang yang bisa membawanya pergi dari rumah itu—keluar dari bayang-bayang Vania, dan membangun hidupnya sendiri.

Kalau cinta bukan miliknya hari ini, maka harga diri dan masa depan adalah medan perangnya.

Dan Nayla… siap memenangkan perang itu.

---