Jun sedang mengingat momen pagi tadi ketika Shima berhasil menipunya dengan cuma mencium pipinya sekilas, bukan bibirnya.
Tertawa geli, Jun tidak menyangka ada wanita yang tidak menginginkan bibirnya.
Tawanya terhenti, ketika tiba-tiba saja Nasco muncul ke ruangannya dan berbisik.
“Kau gila, ya? Targetmu selanjutnya itu, kakak iparmu?”
“Mm-hm,” angguk Jun. “Gila apanya?” Sekarang dia tertawa lagi. Mengingat wajah Shima yang memerah malu sebelum membanting pintu mobilnya.
“Tentu saja gila. Jika dia berhasil termakan bujuk rayumu, kau siap bertanggung jawab?” Nasco mengerutkan kening. Dia cuma tahu bahwa Jun tertarik pada kakak iparnya. Tidak diberitahu jika pernikahan Kun dan Shima itu palsu.
Tentang kebenaran akan hal itu, Jun cuma ingin menyimpannya seorang diri.
“Bahkan jika dia hamil, aku siap menikahinya.”
“Apa? Kau gila, hah? Sejak kapan kau membiarkan ada wanita yang mengandung benih darimu?”
Jun tertawa lagi. “Sejak mengenal Shima Naomi.” Dia mendekatkan bibirnya ke telinga Nasco. “Sejak aku bercinta dengannya, aku merasakan kehidupanku jadi lebih menyenangkan.”
“Auh!” Nasco memegang tengkuknya. “Kepalaku Ya, Tuhan. Aku bisa gila memiliki sahabat pecinta selangkangan wanita sepertimu.”
Jun mengabaikan Nasco dengan pergi ke pantri. Menemukan Namari Karenina di sana. Mantan rekan di atas ranjang. Wanita yang pernah merangkak tiga kali di atas ranjangnya, tapi hanya mampu memuaskannya satu kali.
Dengan Shima? Wah, Shima tidak ada apa-apanya. Wanita itu amatir, tapi setiap apa pun yang dimiliki tubuhnya itu sangat menantang.
Kelaki-lakian Jun tertantang untuk menghamili kakak iparnya. Setidaknya, menghancurkan rumah tangga Kun yang memang tidak memiliki harapan apa pun sejak awal.
“Kau menyungging senyum saat melihatku. Ada apa? Ingin mengajakku naik ke atas ranjangmu?” Karenina sudah berdiri disamping Jun, bertanya lirih meski hanya ada mereka berdua di sini. Percakapan keduanya memang harus sepelan mungkin. Hubungan lebih dari rekan kerja pun tetap wajib dirahasiakan.
Jun menggeleng mantap. “Kau? Tidak. Aku sudah berhenti.”
Karenina keheranan. Seketika dia meraba kening Jun. “Kau sehat? Sedang dirasuki iblis mana?”
Jun terkekeh sambil menepis tangan Karenina dari keningnya. “Jangan sentuh-sentuh. Sudah kukatakan, aku berhenti.”
Karenina terdiam seketika. Meski sedang tertawa, dia tahu bahwa Jun serius. Ekspresi pria itu seolah tidak nyaman dan tidak terima disentuh seenaknya.
“Apa kau ketahuan?”
Sebelah alis Jun terangkat. “Ketahuan? Oleh siapa?”
“Orang tua dan kakakmu, mungkin.” Karena yang Karenina tahu, Jun sangat menjaga nama baiknya di depan ketiga anggota keluarganya. Mungkin saja Jun cemas karena kelakuan nakalnya mulai terendus keluarganya.
“Biarkan saja mereka tahu.”
Itu pertanda buruk.
“Kau sedang menggali lubang untuk kuburanmu sendiri?”
Jun berhenti di depan mesin pembuat kopi. “Tidak peduli apa pun itu, aku hanya akan berhenti. Itu saja. Sekarang, diriku cuma miliknya seorang.”
Miliknya seorang. Itu kata-kata yang sulit dipahami oleh Karenina. Karena selama ini, Jun bukan lah pria yang menghamba pada seorang wanita. Selalu senang tidur dengan wanita cantik berkelas yang tidak sembarangan bisa menyentuhnya di atas ranjang.
“Aku perlu memastikan siapa wanita yang berhasil membuatnya jadi gila seperti itu.” Tekad Karenina dalam hati.
*****Diminta oleh ketua timnya untuk menemui seorang klien di hotel Aretina, tidak sengaja, Shima melihat Kun dan seorang wanita sedang berjalan melintasi lobi. Keduanya pergi menuju keluar hotel.
Bersembunyi, Shima berada di salah satu pilar dan memperhatikan gerakan keduanya.
Berwajah pucat, berjalan sambil menyandarkan kepalanya ke dalam pelukan Kun, wanita itu terlihat menahan kesakitan.
Bahkan Kun tampak sangat cemas lewat raut wajahnya.
“Diakah wanita yang bernama Elia Eve itu?” Shima bergumam seorang diri. Hanya dia yang bisa mendengar suaranya sendiri.
Terus mengamati sampai Kun dan wanita itu menghilang di pintu masuk.
Jantung Shima berdetak lebih cepat. Sebenarnya, setelah pulang dari bertemu salah satu kliennya yang menginap di hotel ini, dia berniat pulang ke rumah ayahnya. Mengingat dirinya tidak bisa berduaan saja di rumah bersama Jun.
Tapi suara hatinya berkata lain. Dia bergerak cepat, nyaris berlari keluar hotel. Menyusul Kun dan wanitanya.
Setelah tahu mobil Kun bergerak cepat ke selatan, Shima menduga itu arah ke rumah sakit terbesar di kota ini. Menyusul dengan taksi, dia meminta si sopir untuk mempercepat laju kendaraannya.
Tiba di rumah sakit, Shima tidak berani melangkah lebih jauh. Hanya berdiri di luar dengan perasaan gelisah.
“Aku ini sedang apa? Kenapa ikut campur?” Shima kesal pada dirinya sendiri.
Dia memutuskan pulang ke rumah ayahnya, tapi malah melihat Jun ada di ruang tengah bersama sang ayah.
Mereka sedang membicarakan pertandingan sepak bola dengan kegembiraan yang meluap. Begitu akrab.
“Kenapa kau datang sendirian? Di mana suamimu?” tanya Alaric Domina keheranan. Dia melihat Shima yang tengah menatap Jun seperti sedang melihat hantu. “Hei, kau ini kenapa? Apa kau tidak mengenali adik iparmu sendiri?”
Lebih dari sekedar kenal! Mereka berdua malah saling serang di atas ranjang berulang kali di malam pertama Shima.
Mulut Shima hanya tidak mengeluarkan kalimat apa pun selain, “Ayah, boleh aku masuk ke kamarku sekarang?”
“Aku tanya, di mana suamimu? Kenapa malah adiknya yang datang ke sini untuk menemaniku?”
Shima melirik kesal pada Jun yang terlihat sangat akrab dan berhasil membuat ayahnya luluh hanya dalam hitungan jam. Dia yakin bahwa ayahnya itu tipikal keras kepala dan keras hati.
Sulit membuatnya bersedia bertukar cerita dengan orang lain. Seperti yang baru saja dilihatnya tadi.
Alaric benar-benar akrab dan senang karena keberadaan Jun didekatnya.
“Apa dia penjilat? Apa-apaan dengan kedatangannya ke sini? Aku berusaha menghindarinya, dia malah ikut menyusulku ke sini.” Shima terus menggerutu di dalam hati.
“Kak, maaf aku lancang datang ke sini. Aku datang karena hanya ingin menyapa Ayah sebagai gantinya kak Kun yang selalu sibuk.” Seolah sadar Shima kesal akan kehadirannya, Jun menghiasi raut wajahnya tanpa dosa. Mencoba menarik simpati Alaric Domina.
Shima baru akan menjawab, tapi ayahnya seketika menyela.
“Kau sama sekali tidak lancang, Nak. Justru aku sangat senang kau datang dan membuatku gembira walau hanya sekedar bertukar cerita seperti ini.”
Benar, ‘kan? Ayahnya seketika berubah menjadi sosok ramah tamah yang menghargai obrolan dengan seorang pria muda.
Shima sempat gugup andai Jun mengingkari janjinya dengan membongkar tentang pernikahan palsunya bersama Kun.
“Aku tidak berniat apa pun. Tenang lah.” Jun tahu Shima terus cemas sejak kedatangannya.
Mereka berdua sedang berada di dapur. Shima mengambil air untuk minum dan Jun sengaja datang menyusulnya dengan alasan yang sama.
“Dari mana kau tahu alamat rumahku?”
“Itu tidak penting, Shima. Yang terpenting, ayahmu senang karena kehadiranku.”
Karena hal itu benar, Shima hanya diam di tempat. Saat Jun melangkah ke arahnya, dia mundur beberapa langkah.
“Hei, mau apa kau?”
Alaric melintasi dapur untuk mencapai ruang makan, ketika mendengar suara putrinya dari ruangan itu.“Hei, mau apa kau?”Dia melihat Shima yang mundur beberapa langkah dari gerakan Jun yang semakin maju ke arah putri tunggalnya itu.“Ada bulu mata jatuh di pipimu, Kakak ipar.” Jun bersikap tenang. Meski tidak tahu bahwa ayahnya Shima sedang mengintai kegiatan mereka. Dia memang butuh kepercayaan pria itu untuk bisa bebas bergerak di rumah ini. Meski itu, nanti. Belum sekarang. Pelan, tapi pasti.“O-oh.” Shima gugup. Terbaca oleh Alaric sebagai sesuatu yang lucu.“Kenapa putriku itu canggung sekali pada adik iparnya? Padahal Jun itu pria baik. Walau menantuku pun tidak kalah sopan dan tampan dari adiknya.” Setelah berspekulasi sendiri di dalam hati sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, Alaric pergi ke ruang makan.Mereka makan malam bersama. Bahkan Alaric melarang Jun untuk pulang.“Menginap saja. Kamar di rumahku banyak.” Alaric bukan pamer, dia benar-benar berharap rumahnya kembali
Shima mengangguk kuat-kuat, karena tahu Jun pasti tidak bisa melihatnya, tapi ada sedikit cahaya masuk dari jendela di ujung lorong. Melepas bekapan tangannya, Jun menyeret Shima ke kamarnya. “Kenapa ke sini?” “Ssst. Jangan berisik, Shima. Aku merasa ada orang yang berniat menyelinap masuk ke rumah ini.” Mata Shima membulat terkejut. Sebelumnya, walau sudah bertahun-tahun berlalu, kejadian serupa pernah terjadi. Tapi waktu itu, ibunya masih ada. Ibunya, yang melindunginya dari para penyusup yang tidak dikenal saat mereka masuk ke rumah, ditengah malam seperti ini. Saat itu, Alaric Domina tidak ada di tempat. Dia masih dalam perjalanan pulang dari melayat salah satu rekannya yang terkena tembakan salah sasaran. “Jangan bercanda.” Shima memasang raut marah dengan begitu serius. Untuk hal seperti ini, dia tidak bisa diajak main-main. Trauma atas kematian ibunya masih sangat jelas dirasakannya sampai detik ini. Bahkan kedua tangannya kembali bergetar karena begitu ketakutan. Jun men
Alaric kembali ke rumahnya dengan keadaan ruang kerjanya yang berantakan.Tidak peduli, yang ingin dia pastikan tentu saja keadaan putrinya.Alaric melihat Shima dan Jun berdiri di lorong. Sedang bicara dengan seorang pria asing. Yang jelas, bukan salah satu dari musuhnya.“Shima,” panggil Alaric. Dia berjalan menghampiri putrinya dengan tergesa.“Ayah!” Saat melihat Alaric, Shima berlari meski kedua lututnya masih lemas.Shima menumpahkan rasa takutnya dengan memeluk sang ayah.“Kau baik-baik saja. Tidak apa-apa. Semua sudah aman.” Alaric menenangkan. Dia punya firasat, bahwa kejadian ini akan terulang kembali dan membangkitkan kenangan menyakitkan untuk Shima.“Apa Ayah juga baik-baik saja?” Melepas pelukan, dia menatap Alaric yang berwajah pucat.“Tentu saja.” Sekarang, tatapan Alaric Domina tertuju pada Jun. “Nak, bisakah kau membawa pulang Shima bersamamu?”“Bisa, Ayah.” Jun mengangguk, lalu memberi isyarat agar temannya itu segera pergi dari hadapannya.“Ayah, kenapa aku harus p
Eve menunggu sambil memeriksa ponselnya. Menanti dengan tidak tenang karena yang ditunggu belum kunjung tiba.[Kau sungguh tidak akan datang?]Berselang dua puluh menit, ketika Eve bahkan sudah lelah menanti, yang ditunggu sejak tadi akhirnya muncul juga.“Maaf. Sudah lama?”“Nyaris saja aku pergi.” Berwajah sedih, Eve menatap Kun dengan sepasang matanya yang berkaca-kaca.“Maafkan aku.”Eve menghela napas. “Jangan terus meminta maaf, Kun.”Kun bermaksud meraih tangan Eve untuk dia genggam seperti biasanya, tapi tiba-tiba hatinya menolak. Menolak agar jangan melakukan lagi hal seperti itu.Bukan karena kini Kun yang sudah menikah dengan wanita lain, tapi sungguh dia tidak ingin membuat Eve dalam keadaan yang sulit.Sulit dalam artian, jika sampai hal ini terendus oleh Mun Kamli—ayah Kun dan Jun—maka tamat lah riwayat mereka. Kun tidak ingin menyeret Eve ke dalam masalah yang lebih besar, apalagi jika itu melibatkan ayahnya.Mun Kamli adalah seorang kepala divisi di sebuah perusahaan te
Kun pulang ke rumah setelah mengantarkan Eve. Mun Kamli sudah menunggunya di ruang keluarga. Duduk tenang di sana, sambil membaca koran. Ada dua cangkir teh yang telah disiapkan Shima untuk mereka. Masih panas. Asap yang menguap dari permukaan cangkir-cangkir itu, terlihat dari jarak Kun berdiri saat ini di ambang pintu.Mun Kamli tahu ada mata yang menatapnya. Menurunkan koran, dia menatap sekilas putra sulungnya dan mengangguk, isyarat bahwa Kun boleh mengganggu waktu membacanya.“Ya, Ayah?” Sapaan, bukan. Itu langsung inti dari pembicaraan. Kun mengatakan itu karena tahu, tadi ayahnya memperpendek waktu pembicaraan mereka ditelepon.“Kenapa menantuku dijemput oleh adikmu?”Tersentak. Kun tidak tahu akan hal itu. Pikirannya langsung kosong setiap kali terjebak oleh pertanyaan Mun Kamli yang tidak ada jawaban di kepalanya.Mun tahu bahwa Kun tidak punya jawabannya. Dia meneliti wajah putranya yang kebingungan.“Sesuatu terjadi di rumah ayah mertuamu. Pencurian. Kebetulan sekali adikmu
Jun menyembunyikan kekesalannya lewat sikap yang seolah tidak peduli, saat melihat Shima dan Kun keluar kamar bersama sambil mengobrol santai.“Tingkah mereka seperti pasangan sungguhan saja,” gerutu Jun. Berharap semoga Shima mendengar sindirannya barusan.Tentu saja tidak. Jarak mereka cukup jauh. Bahkan Shima tidak berpaling sedikit pun dari tatapannya pada Kun. Membuat perasaan Jun kian memanas. “Jun.” Kun menyapa, ketika dia dan Shima sampai tepat di sisi Jun yang tengah bersantai. Ada senyum singkat yang serasa tak enak, melihat raut wajah sang adik. “Bisa bicara sebentar?”“Tidak bisa di sini saja?”Kun merasai keengganan Jun yang terdengar jelas lewat suaranya.“Tidak masalah, kalau kau tidak keberatan didengar oleh selain kita.” Tentu maksud Kun itu, Shima.Jun bangkit dengan malas. Mendorong perasaan hatinya yang masih memanas karena ulah Kun dan Shima yang keluar kamar dengan wajah seolah terpuaskan.Tidak ada seks. Jun paham benar siapa itu Kun Yongli. Bahkan dia sudah tah
Alasan konyol!Karenina membutuhkan masukan dan arahan untuk presentasi senin di kantor.Minggu adalah hari peringatan kematian ayahnya, sehingga hanya hari ini dia memiliki kesempatan untuk mempersiapkan diri dan segala keperluan lainnya.Jun tidak dapat berkata apa-apa lagi, karena mereka satu tim dan Karenina menggunakan alasan ‘peringatan kematian sepuluh tahun ayah’-nya sebagai niat terencananya ke rumah ini.“Tunggu aku di halaman belakang.” Jun meminta kedua rekan kerjanya itu pergi lebih dulu, karena dia harus mengambil laptop di kamarnya.Sepeninggal Jun, Nasco dan Karenina bergerak menuju ke arah samping.“Oh, aku lupa memberikan buah dan puding yang kubawa.” Karenina sengaja melupakannya tadi dan baru mengingatnya sekarang.“Ya sudah, ambil lah.” Nasco berkata sambil lalu. Dia sibuk mengetik pesan untuk teman-teman di obrolan grupnya. “Nanti letakkan saja di ruang tamu.”“Oke.” Karenina melangkah cepat menuju garasi, mengambil bungkusan buah dan kotak puding di mobil Nasco,
“Jun ....”“Oh, maaf!” Jun menarik tangannya menjauh dari wajah Shima.Shima merengut. “Jangan jadikan kebiasaan. Kakakmu ada di rumah.”“Dia sedang bicara ditelepon dengan Elia Eve. Sudah lebih dari tiga puluh menit.” Santainya Jun, seolah itu tidak berarti apa-apa untuk Shima yang mulai meradang.Shima memalingkan wajah. Melepas jari Jun. “Sudah selesai. Bagusnya, lukamu tidak terlalu dalam.”“Oke. Terima kasih, Kakak ipar.”Shima berhenti sejenak memasukkan barang-barang ke kotak obat. “Kau sedang mengejekku?” Rasanya seperti mendengar senandung hinaan dari Jun.“Tidak.” Jun menggeleng. “Sama sekali tidak.”Dengan kesal, Shima membanting tutup kotak obat. Membawa pergi benda itu keluar dapur. Suasana hatinya kian memburuk. Perkataan dan perilaku Jun selalu berhasil membuat perasaannya tidak menentu.Alih-alih salah tingkah, justru dia malah lebih nyaman bersikap marah.“Shima?”Langkah Shima terhenti. Melihat Kun sedang menutup pintu ruang kerjanya dan berjalan menuju ke arahnya.“